assalamu'alaikum
Tgk
saya ingin penjelasan bacut makna KHUSYU' dalam shalat?
Bagaimanakah hukum khusyu' dalam shalat??
ada yang mengatakan tidak sah shalat kalau tidak khusyu' (kitab sirus salikin)
bagaimanakah ukuran khusyu' untuk orang awam seperti saya
Monon penjelasannya
wassalam
saya ingin penjelasan bacut makna KHUSYU' dalam shalat?
Bagaimanakah hukum khusyu' dalam shalat??
ada yang mengatakan tidak sah shalat kalau tidak khusyu' (kitab sirus salikin)
bagaimanakah ukuran khusyu' untuk orang awam seperti saya
Monon penjelasannya
wassalam
Jawab
:
Jumhur ulama berpendapat bahwa khusyu’,
hanyalah sunnah, tidak wajib dalam shalat. Pendapat lain mengatakan wajib dan
syarat sah shalat. Pendapat kedua ini dianggap syaz (ganjil) oleh ulama, bahkan
Imam al-Nawawi menegaskan dalam kitab Majmu’ Syarah al-Muhazzab bahwa telah
terjadi ijmak tidak wajib (hanya bersifat anjuran saja) khusyu’ dalam shalat,
yakni :
فَأَجْمَعَ الْعُلَمَاءُ
عَلَى اسْتِحْبَابِ الْخُشُوعِ وَالْخُضُوعِ فِي الصَّلَاةِ
Berikut ini beberapa kutipan dari kitab-kitab fiqh
mu’tabar mengenai hukum khusyu’ dalam
shalat, yakni sebagai berikut :
1.
Dalam Majmu’ Syarah al-Muhazzab, Al-Nawawi mengatakan :
يُسْتَحَبُّ
الْخُشُوعُ فِي الصَّلَاةِ وَالْخُضُوعُ وَتَدَبُّرُ قِرَاءَتِهَا وَأَذْكَارِهَا
وَمَا يَتَعَلَّقُ بِهَا وَالْإِعْرَاضُ عَنْ الْفِكْرِ فِيمَا لَا يَتَعَلَّقُ
بِهَا فَإِنْ فَكَّرَ فِي غَيْرِهَا وَأَكْثَرَ مِنْ الْفِكْرِ لَمْ تَبْطُلْ
صَلَاتُهُ لَكِنْ يُكْرَهُ سَوَاءٌ كَانَ فِكْرُهُ فِي مُبَاحٍ أَوْ حَرَامٍ
كَشُرْبِ الْخَمْرِ وَقَدْ قَدَّمْنَا حِكَايَةَ وَجْهٍ
ضَعِيفٍ فِي فَصْلِ الْفِعْلِ مِنْ هَذَا الْبَابِ أَنَّ الْفِكْرَ فِي حَدِيثِ
النَّفْسِ إذَا كَثُرَ بَطَلَتْ الصَّلَاةُ وَهُوَ شاذ مردود وقد نقل الاجماع علي أَنَّهَا لَا
تَبْطُلُ وَأَمَّا الْكَرَاهَةُ فَمُتَّفَقٌ عَلَيْهَا
“Dianjurkan khusyu’ dalam shalat, khuzhu’, memperhatikan makna
bacaannya, zikirnya dan hal-hal yang berhubungan dengan shalat serta menjauhi
pikiran-pikiran yang tidak berhubungan dengan shalat. Namun, seandainya
seseorang memikirkan hal-hal yang tidak
berhubungan dengan shalat dan kebanyakan pikiran tidak membatalkan shalatnya,
tetapi makruh, baik pikirannya itu menganai hal yang mubah ataupun haram
seperti minum khamar. Sudah ada sebelumnya hikayah pendapat dha’if tentang
masalah perbuatan pada bab ini bahwa memikirkan tentang bisikan jiwa apabila
banyak, maka batal shalatnya. Pendapat ini syaz (ganjil) dan tertolak, padahal
sungguh telah diriwayat terjadi ijmak atas tidak batal shalat. Adapun makruh,
maka disepakati atasnya.”[2]
2.
Dalam Syarah al-Mahalli ‘ala al-Minhaj disebutkan :
(وَ) يُسَنُّ (الْخُشُوعُ) قَالَ اللَّهُ تَعَالَى: قَدْ أَفْلَحَ
الْمُؤْمِنُونَ الَّذِينَ هُمْ فِي صَلَاتِهِمْ خَاشِعُونَ (وَتَدَبُّرُ الْقِرَاءَةِ)
أَيْ تَأَمُّلُهَا
“Disunnahkan khusyu’. Allah Ta’ala berfirman : “Sungguh mendapat kemenanganlah
orang-orang yang beriman dimana mereka dalam shalatnya dalam keadaan khusyu’”
dan disunnahkan juga memikirkan makna bacaannya.”[3]
3.
Dalam halaman lain dari kitab Majmu’ Syarah al-Muhazzab, Al-Nawawi
mengatakan :
وَحَكَى أَصْحَابُنَا
الْخُرَاسَانِيُّونَ وَصَاحِبُ الْبَيَانِ عَنْ الشَّيْخِ أَبِي زَيْدٍ
الْمَرْوَزِيِّ أَنَّهُ إذَا انْتَهَى بِهِ مُدَافَعَةُ الْأَخْبَثَيْنِ إلَى أَنْ
ذَهَبَ خُشُوعُهُ لَمْ تَصِحَّ صَلَاتُهُ وَبِهِ جَزَمَ الْقَاضِي حُسَيْنٌ
وَهَذَا شَاذٌّ ضَعِيفٌ وَالْمَشْهُورُ مِنْ مَذْهَبِنَا وَمَذَاهِبِ الْعُلَمَاءِ
صِحَّةُ صَلَاتِهِ مَعَ الْكَرَاهَةِ وَحَكَى الْقَاضِي عِيَاضٌ عن أهل الظاهر
بطلانها
“Sahabat-sahabat kita dari Khurasan dan pengarang al-Bayan telah
menghikayah dari Syeikh Abu Zaid al-Marwazi, sesungguhnya apabila seseorang
sampai pada tahap sesak (kebelet) buang air besar dan kecil sehingga dapat
menghilangkan khusyu’nya, maka tidak sah shalatnya. Pendapat ini telah ditetapkan
oleh Qadhi Husain. Pendapat ini syaz (ganjil) dan dha’if. Pendapat yang masyhur
mazhab kita dan mazhab para ulama sah shalatnya serta makruh. Qadhi ‘Iyadh
telah menghikayah dari ahli dhahir yang mengatakan batal shalatnya.[4]
4.
Imam al-Ghazali, salah seorang ulama sufi terkemuka dan juga
fuqaha Syafi’iyah lebih memilih pendapat yang mengatakan khusyu’ adalah wajib
hukumnya. Diantara dalil pegangan al-Ghazali adalah firman Allah Ta’ala
berbunyi :
واقم الصلاة لذكرى
Artinya
: Dirikanlah shalat untuk mengingatku. (Q.S. Thaha : 14)
dan firman Allah berbunyi :
ولا تكن من الغافلين
Artinya
: Janganlah kamu termasuk orang-orang yang lalai. (Q.S. al-A’raf : 205)
Dalam mengartikan dua ayat di atas, al-Ghazali mengatakan dhahir
perintah pada ayat pertama di atas adalah wajib, sedangkan lalai merupakan
lawan dari mengingat. Sedangkan untuk ayat yang kedua, beliau mengatakan bahwa
dhahir dari larangan pada ayat tersebut adalah untuk haram.[5]
Menjawab kritikan apabila khusyu’ dan hadir hati merupakan syarat sah shalat,
maka ini menyalahi ijmak fuqaha, karena mereka tidak pernah mensyaratkan kecuali
hadir hati ketika takbiratul ihram, al-Ghazali mengatakan pada halaman
berikutnya :
فاعلم انه تقدم فى كتاب
العلم ان الفقهاء لا يتصرفون فى
الباطن ولا يشقون عن القلوب
ولا فى طريق الآخرة
بل يبنون ظاهر أحكام الدين على ظاهر اعمال الجوارح وظاهر
الاعمال كاف لسقوط القتل وتعزير السلطان فأما انه ينفع فى الآخرة فليس هذا من حدود
الفقه على أنه لايمكن
أن يدعى الاجماع
“Ketahuilah telah ada sebelumnya dalam kitab ilmu bahwa
fuqaha tidak mengurus hal-hal dalam bathin, tidak menjadi kesulitan bagi mereka
mengenai hati dan mengurus masalah-masalah akhirat, tetapi mereka membangun
dhahir hukum agama atas dhahir amalan anggota dhahir. Sedangkan dhahir amalan memadai untuk menggugurkan hukum bunuh
dan ta’zir sulthan. Adapun hal-hal yang bermanfaat dengan akhirat, maka tidak
termasuk dalam objek kajian fiqh, lebih-lebih lagi dakwa ijmak dalam masalah
ini tidaklah mungkin.”[6]
Bantahan al-Ghazali terhadap adanya ijmak tidak ada kewajiban khusyu’ dalam shalat ini menurut
beliau berdasarkan riwayat yang menyebutkan sejumlah ulama yang berpendapat
wajib khusyu’ dalam shalat, jadi tidak semua ulama mengatakan hanya sunnah
saja, sehingga dapat dikatakan sebagai ijmak, beliau menyebut antara lain Sufyan
al-Tsury, al-Hasan dan Muaz bin Jabal. Namun perlu menjadi catatan bahwa pendapat
al-Ghazali ini tidaklah berlaku secara mutlaq, tetapi kewajiban khusyu’ ini
disesuaikan dengan kemampuan manusia, beliau mengatakan :
والحق الرجوع الى أدلة الشرع
والاخبار والايات
ظاهرة
فى هذا الشرط
الا ان مقام الفتوى فى التكليف الظاهر يتقيد بقدر قصور الخلق فلا يمكن
ان يشترط على الناس احضار القلب فى جميع الصلاة فان ذلك يعجز عنه كل البشر الا الاقلين واذا لم يكن اشتراط
الاستيعاب للضرورة فلا مرد له الا ان يشترط ما
ينطلق عليه الاسم
ولو فى اللحظة الواحدة
وأولى اللحظات به لحظة التكبيرفاقتصرنا على التكليف بذلك
“Yang haq adalah kembali kepada dalil-dalil syara’, hadits dan ayat-ayat
yang dhahir pada ini syarat, tetapi sesungguhnya maqam fatwa dalam hal taklif
yang dhahir mesti dikaidkan dengan ukuran kelemahan makhluq. Karena itu, tidak
mungkin disyaratkan kepada manusia menghadirkan hati pada semua perbuatan shalat,
karena hal itu semua manusia tidak mampu kecuali sedikit dari mereka. Apabila tidak
disyaratkan meliputi semuanya karena dharurat, maka tidak mengandung maksud
kecuali disyaratkan yang terbenar nama (nama khusyu’) atasnya, meskipun dalam sekejap
saja dan sebaik-baik sekejap itu adalah sekejap dalam takbir. Karena itu, kita
khususkan taklif dengan cara itu.”[7]
Dalil-dalil hanya sunah dan tidak wajib khusyu’ dalam shalat.
a.
Beberapa nash syara’ yang mengkaidkan khusyu’ shalat dengan pahala atau ampunan
dosa, antara lain firman Allah Ta’ala berbunyi :
قَدْ أَفْلَحَ الْمُؤْمِنُونَ
(1) الَّذِينَ هُمْ فِي صَلَاتِهِمْ خَاشِعُونَ (2)
Artinya : Sungguh mendapat kemenangan orang-orang yang
beriman, dimana dalam shalat mereka dalam keadaan khusyu’ (Al-Mukminun :
1-2)
dan hadits dari Zaid bin Khalid sesungguhnya Nabi SAW
bersabda :
من توضأ
فأحسن وضوءه، ثم صلى ركعتين لا يسهو فيهما غفر له ما تقدم من ذنبه
Artinya : Barangsiapa berwudhu’ dan membaguskan wudhu’nya, kemudian shalat
dua raka’at dimana dia tidak lalai pada
kedua rakaat itu, maka diampuni dosa-dosanya yang sudah lalu. (H.R. Abu
Daud).[8]
b.
Agama kita memaafkan bisikan jiwa selama tidak dilaksanakan atau
diucapkan. Dari Abu Hurairah r.a. Rasulullah SAW bersabda :
إنَّ الله يجاوز لِأُمَّتِي
مَا حَدَّثَتْ بِهِ أَنْفُسَهَا مَا لَمْ تَعْمَلْ أَوْ تَكَلَّمُ بِهِ
Artinya
: Sesungguhnya Allah Ta’ala memaafkan bagi umatku apa-apa yang dibisik oleh
jiwanya selama tidak dilaksanakan atau diucapkan. (H.R. Bukhari dan Muslim)[9]
c.
Ijmak ulama berdasarkan penjelasan Imam al-Nawawi dalam kitab Majmu’ Syarah
al-Muhazzab sebagaimana telah dikutip di awal tulisan ini (apabila penjelasan
adanya ijmak ini shahih).
Berdasarkan dalil-dalil ini, maka firman
Allah Q.S. Thaha : 14 dan Q.S. al-A’raf : 205 yang dijadikan sebagai
dalil wajib khusyu’ dalam shalat oleh al-Ghazali harus dipahami sebagai
perintah sunnah, bukan wajib dan larangan makruh, bukan haram.
Wassalam
[1] Al-Nawawi, Majmu’
Syarah al-Muhazzab, Maktabah al-Irsyad, Jeddah, Juz. III, Hal. 270
[2] Al-Nawawi, Majmu’
Syarah al-Muhazzab, Maktabah al-Irsyad, Jeddah, Juz. IV, Hal. 35
[3] Jalaluddin
al-Mahalli, Syarah
al-Mahalli ‘ala al-Minhaj, (dicetak pada hamisy Qalyubi wa ‘Amirah),
Darul Ihya al-Kutub al-Arabiyah, Indonesia, Juz. I, Hal. 173
[4]
Al-Nawawi, Majmu’
Syarah al-Muhazzab, Maktabah al-Irsyad, Jeddah, Juz. IV, Hal. 38
[5] Al-Ghazali, Ihya
Ulumuddin, Thaha Putra, Semarang, Juz. I, Hal. 159
[6]
Al-Ghazali, Ihya
Ulumuddin, Thaha Putra, Semarang, Juz. I, Hal. 160-161
[7] Al-Ghazali, Ihya
Ulumuddin, Thaha Putra, Semarang, Juz. I, Hal. 161
[8] Abu Daud, Sunan
Abu Daud, Maktabah Syamilah, Juz. I, Hal. 238, No. 905
[9] Al-Nawawi, Majmu’
Syarah al-Muhazzab, Maktabah al-Irsyad, Jeddah, Juz. IV, Hal. 35
Tidak ada komentar:
Posting Komentar