Kamis, 27 Maret 2014

Wanita Menjadi Pemimpin Negara

Al-Mawardi dalam Kitab al-Ahkam al-Sulthaniyah menyebutkan syarat-syarat pemimpin (ahlu imamah) dengan tujuh syarat, yaitu : adil, berilmu, normal panca indera mendengar, melihat dan berbicara, normal anggota tubuh, mampu berpikir, berani dan dari suku Quraisy.[1] Al-Mawardi, salah seorang ulama besar dalam Mazhab Syafi’i, tidak menyebutkan laki-laki merupakan salah satu persyaratan menjadi pemimpin. Namun ini tidak berarti kita menyimpulkan bahwa beliau berpendapat bahwa wanita boleh menjadi seorang pemimpin sebagai dakwaan seorang ulama Aceh masa kini tentang ini. Hal ini karena banyak sekali nash-nash kitab karangan ulama besar yang mu’tabar dalam mazhab Syafi’i yang secara jelas menyebutkan salah satu persyaratan seorang pemimpin itu adalah laki-laki, antara lain :
1.      Berkata Imam an-Nawawi :
“Disyaratkan imam keadaannya muslim, mukallaf, merdeka, laki-laki,…… dst” [2]
2.      Berkata Zakariya Anshary :
      Disyaratkan keadaan Imam sebagai ahli qudha’, yaitu keadaannya muslim, mukallaf, merdeka, adil, laki-laki,….dst” [3]

3.      Berkata Ibrahim al-Bajury :
       Disyaratkan keadaan imam seperti syarat qadhi, yaitu muslim, mukallaf, merdeka, adil, laki-laki, …….dst”. [4]

            Adapun dalil fatwa yang mewajibkan persyaratan seorang pemimpin (imam) laki-laki, antara lain :
1.      Firman Allah Ta’ala Q. S. An-Nisa’ : 59
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنْكُمْ
Artinya : Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (nya), dan ulil amri di antara kamu. (Q.S. An-Nisa’ : 59)

                Dalam ayat ini, ada perintah ta’at kepada pemimpin dengan menggunakan lafazh “ulil amri”. Lafazh ulil amri menunjukkan makna laki-laki, karena untuk perempuan digunakan lafazh ulatil amri. Memang banyak ayat dalam al-Qur’an dalam bentuk jamak muzakar dengan makna mencakup laki-laki dan perempuan, tetapi ini tentunya karena ada qarinah yang memalingkan dari maknanya yang hakiki. Sedangkan lafazh ulil amri dalam ayat di atas, yang kita temui justru dalil-dalil yang mendukung pemaknaan ulil amri dengan makna yang terbatas pada pemimpin laki-laki saja, sebagaimana dalil-dalil berikut ini.
2. Firman Allah, Q.S. an-Nisa’ : 34
الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ اللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ وَبِمَا أَنْفَقُوا مِنْ أَمْوَالِهِمْ
Artinya : Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. (Q.S. an-Nisa’ : 34)

Dalam mentafsirkan ayat di atas, pengarang Tafsir Jalalain berkata :
Artinya dengan sebab Allah melebihkan laki-laki atas wanita dengan ilmu, akal, kekuasaan dan lain-lain”.

Ahmad Shawy dalam mengomentari tafsir di atas berkata :
“Mufassir mengisyaratkan bagi sebagian urusan yang dilebihkan laki-laki dengannya atas wanita. Termasuk dalam urusan yang dilebihkan laki-laki atas wanita adalah lebih akal, agama, kekuasaan, kesaksian, jihad, Jum’at, jama’ah, keadaan nabi-nabi dan sulthan dari laki-laki, kebolehan laki-laki kawin empat di dunia dan lebih banyak dari empat di akhirat, wanita tidak dibolehkan demikian dan kekuasaan thalaq dan ruju’ pada tangan laki-laki.” [5]

            Berkata al-Baidhawy dalam mentafsir ayat di atas :
 Dengan sebab Allah Ta’ala melebihkan laki-laki atas wanita dengan sebab sempurna akal, bagus tadbir, kelebihan kemampuan dalam bekerja dan ta’at. Oleh karena itu, kaum laki-laki dikhususkan menjadi nabi, pemimpin,……….dst.[6]

            Penafsiran ulama di atas sesuai dengan hadits shahih berbunyi :

عَنْ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- أَنَّهُ قَالَ « يَا مَعْشَرَ النِّسَاءِ تَصَدَّقْنَ وَأَكْثِرْنَ الاِسْتِغْفَارَ فَإِنِّى رَأَيْتُكُنَّ أَكْثَرَ أَهْلِ النَّارِ ». فَقَالَتِ امْرَأَةٌ مِنْهُنَّ جَزْلَةٌ وَمَا لَنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ أَكْثَرَ أَهْلِ النَّارِ.قَالَ تُكْثِرْنَ اللَّعْنَ وَتَكْفُرْنَ الْعَشِيرَ وَمَا رَأَيْتُ مِنْ نَاقِصَاتِ عَقْلٍ وَدِينٍ أَغْلَبَ لِذِى لُبٍّ مِنْكُنَّ ». قَالَتْ يَا رَسُولَ اللَّهِ وَمَا نُقْصَانُ الْعَقْلِ وَالدِّينِ قَالَ « أَمَّا نُقْصَانُ الْعَقْلِ فَشَهَادَةُ امْرَأَتَيْنِ تَعْدِلُ شَهَادَةَ رَجُلٍ فَهَذَا نُقْصَانُ الْعَقْلِ وَتَمْكُثُ اللَّيَالِىَ مَا تُصَلِّى وَتُفْطِرُ فِى رَمَضَانَ فَهَذَا نُقْصَانُ الدِّينِ
Artinya : DariRasulullah SAW bersabda : Wahai kaum perempuan! Bersedekahlah kalian dan perbanyaklah istighfar. Karena, aku melihat kalian lebih ramai menjadi penghuni neraka. Seorang perempuan yang cukup pintar di antara mereka bertanya: Wahai Rasulullah, kenapa kami kaum perempuan yang lebih ramai menjadi penghuni neraka? Rasulullah SAW bersabda: kalian banyak mengutuk dan mengingkari suami. Aku tidak melihat yang kekurangan akal dan agama dari pemilik pemahaman lebih daripada golongan kalian. Perempuan itu bertanya lagi: wahai Rasulullah! Apakah maksud kekurangan akal dan agama itu? Rasulullah SAW bersabda : maksud kekurangan akal ialah penyaksian dua orang perempuan sama dengan penyaksian seorang laki-laki. Inilah yang dikatakan kekurangan akal. Begitu juga permpuan tidak mengerjakan sembahyang pada malam-malam yang dilaluinya kemudian berbuka pada bulan Ramadhan karena haid. Maka inilah yang dikatakan kekurangan agama. (H.R. Muslim)[7]

Hadits di atas juga diriwayat dengan redaksi lain oleh Bukhari,[8] Ibnu Khuzaimah,[9] Ibnu Hibban,[10]dan Baihaqi[11].
Adapun sebab turun ayat ini adalah Habibah bin Zaid bin Abi Zahir nusyuz (durhaka) kepada suaminya, Sa’ad Ibn ar-Rabi’, salah seorang tokoh kaum Anshar. Kemudian Sa’ad menempelengnya. Maka Habibah beserta ayahnya mengadu kepada Rasulullah SAW. Maka Rasulullah bersabda : “hendaklah kamu tuntut bela” . Kemudian turunlah ayat ini. Kemudian Rasulullah SAW bersabda :
Aku menghendaki suatu urusan, tetapi Allah menghendaki urusan lain dan yang dihendaki Allah adalah lebih baik” [12].

            Sebab turun ayat ini, sebagaimana terlihat dalam riwayat diatas memang masalah keluarga, namun hukum yang dipahami dari ayat ini tidak hanya terbatas pada masalah keluarga saja sebagaimana dipahami oleh sebagian orang, tetapi juga mencakup dalam masalah lain seperti masalah kepemimpinan, jama’ah, jum’at dan lain-lain. Karena sebab turun ayat tidak dapat mengkhususkan keumuman pada suatu lafazh. Ini berdasarkan Qaidah Ushul Fiqh yang sudah umum diketahui, yaitu :
 العبرة بعموم اللفظ لا بخصوص السبب
Artinya : Yang menjadi patokan adalah keumuman  lafazh bukan khusus sebab.

3.  Hadits Nabi SAW
لن يفلح قوم ولوا أمرهم امرأة
Artinya : tidak akan suskses sesuaatu kaum, dimana mereka mengangkat wanita menjadi pemimpin.(H.R. Bukhari)[13]

Umairah telah menjadi hadits ini sebagai dalil laki-laki merupakan salah satu syarat  menjadi pemimpin.[14] Bujairumy dalam kitabnya, Bujairumi ‘ala Fathul Wahab, juga mengutip hadits ini sebagai dalil salah satu persyaratan pemimpin adalah laki-laki.[15]
Berikut ketentuan-ketentuan syara’ selain tentang pemimpin Negara yang mengharuskan laki-laki sebagai pemimpinnya, yaitu ;
  1. Nabi dan Rasul, semuanya laki-laki
  2. Khulafaurrasyidin, semuanya laki-laki
  3. Imam Shalat Jum’at, harus laki-laki
  4. Imam Jama’ah yang ada laki-laki, atau laki-laki dan perempuan harus laki-laki
  5. Hak thalaq dan ruju’ hanya pada laki-laki
  6. Pihak yang melakukan ijab qabul dalam pernikahan hanya laki-laki
  7. Qadhi harus laki-laki
  8. Kewajiban jihad hanya pada laki-laki
  9. Kewajiban menafkahkan keluarga adalah laki-laki
  10. Kesaksian laki-laki diterima pada semua kasus, tidak demikian halnya wanita. Wanita tidak diterima kesaksiannya dalam kasus qishas dan hudud.
  11. dan lain-lain.

Larangan perempuan menjadi pemimpin tidak relefan lagi dengan kondisi zaman sekarang ?

Ada ulama kita di Aceh yang berpendapat hadits “tidak akan suskses sesuaatu kaum, dimana mereka mengangkat wanita menjadi pemimpin” tidak relefan lagi dengan kondisi zaman ini, dengan alasan pemimpin pada zaman munculnya hadits Rasulullah SAW, kekuasaannya sangat tidak terbatas, sehinggga apapun keputusan yang diputuskan oleh seorang pemimpin adalah merupakan hasil ijtihadnya sendiri. Oleh karena itu, dibutuh seorang pemimpin yang betul-betul mempunyai kemampuan yang baik dan bijaksana dan itu hanya dipunyai oleh seorang laki-laki. Sedangkan zaman sekarang ini keadaan seperti gambaran tersebut sudah jauh berbeda, dimana kekuasaan seorang presiden hanya terbatas pada bidang eksekutif, sedangkan kekuasaan bidang yudikatif dan legislatif, masing-masing ada pada lembaga Mahkamah Agung dan Dewan Perwakilan rakyat/Majelis Perwakilan Rakyat. Dengan demikian pada zaman sekarang ini sangat memungkinkan seorang perempuan yang anggap lemah kemampuannya dalam memimpin, menjadi seoarang pemimpin atau presiden atau istilah lainnya.  
Pendapat ini kita tolak dengan alasan sebagai berikut :
1.      firman Allah Ta’ala Q. S. al-Maidah : 5
الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا
Artinya : telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu.(Q.S. al-Maidah : 3)

Dengan turun ayat ini lima belas abad yang telah lalu, berarti Islam sudah sempurna sebagai agama. Kita tidak boleh menambah dan mengurangi lagi apa yang telah ditetap oleh Allah dan Rasul-Nya, apalagi mengi’tiqadkan bahwa ada ajaran Islam yang tidak relevan lagi dengan kondisi zaman. Mengi’tiqad perempuan boleh menjadi pemimpin pada zaman sekarang dengan alasan hadits Rasul “tidak akan suskses sesuaatu kaum, dimana mereka mengangkat wanita menjadi pemimpin”  tidak sesuai lagi dengan kondisi sekarang termasuk dalam katagori ini.
2. menurut hemat kami menjadikan ketidakmampuan perempuan sebagai ‘illah (alasan) hukum tidak boleh seorang perempuan menjadi pemimpin pada zaman Nabi adalah kurang tepat, karena ketidakmampuan itu suatu washaf yang tidak munzhabith (tidak dapat diukur). Sedang illah itu sebagaimana dipahami dari kitab-kitab Ushul Fiqh, kriterianya adalah washaf yang zhahir,  munzhabith (dapat diukur) dan menjadi tanda bagi hukum. Oleh karena itu, menurut pemahaman penulis, yang menjadi ‘illah di sini adalah keperempuanannya seseorang itu sendiri. Sedangkan ketidakmampuan merupakan washaf yang diduga kemungkinan besar terdapat pada seorang perempuan. Ini sama halnya dengan dengan hukum kebolehan jama’ dan qashar shalat. Menurut Mazhab Syafi’i yang menjadi ‘illah-nya bukan masyaqqah yang timbul karena perjalanan panjang, karena masyaqqah tidak dapat diukur. tetapi yang menjadi ‘illah-nya adalah perjalanan panjang itu sendiri. Sedangkan masyaqqah merupakan washaf yang diduga kemungkinan besar terdapat pada sebuah perjalanan panjang. Dengan demikian,  kapan saja ada perjalanan panjang, maka ada hukum kebolehan qashar dan jama’, baik ada masyaqqah-nya atau tidak. Jadi hukum kebolehan qashar dan jama’ bukan dikaidkan pada masyaqqah, tetapi pada perjalanan panjang. Dalam hal pembahasan kita di atas, maka hukum tidak boleh seorang perempuan menjadi pemimpin tidak dikaidkan pada ketidakmampuan, karena ketidakmampuan tidak boleh menjadi ‘illah, tetapi dikaidkan pada keperempuanan itu sendiri. Dengan demikian, kapan saja seseorang itu bersifat perempuan, maka dia tidak boleh diangkat menjadi pemimpin, baik dia mampu atau tidak mampu.
3. menganggap memimpin pada zaman sekarang lebih mudah dibanding zaman Nabi SAW, dengan alasan dulu semua kekuasaan tertumpu pada seorang pemimpin, menurut hemat penulis, ini juga kurang tepat. Kita harus mengakui pada zaman sekarang umumnya, memang negara-negara di dunia ini ada terjadi pembagian kekuasaan dalam memimpin suatu negara atau apa yang sering kita dengar dengan istilah trias politica. Tetap bukan berarti tugas seorang presiden misalnya, akan lebih mudah dibanding dengan zaman Rasulullah. Kehidupan hari ini lebih kompleks dan rumit diibanding dengan zaman Rasulullah, dengan kecanggihan ilmu komunikasi saja, memimpin sebuah negara adalah seperti memimpin rakyat di seluruh dunia. Apapun yang terjadi di ujung dunia sana, hari ini juga dapat mempengaruhi keadaan negara yang kita diami. Kesimpulannya kita mengakui dengan adanya pembagian kekuasaan di sebuah negara pada zaman sekarang, tentunya akan mengurangi beban seoarang pemimpin, tetapi bukan berarti memimpin negara pada zaman sekarang akan lebih mudah dibanding dengan zaman Rasulullah SAW, karena pengaruh kemajuan teknologi pada zaman sekarang justru menjadi sebuah beban besar bagi seorang memimpin, sehinggga dibutuhkan seorang pemimpin yang mempunyai kualiatas andal dan berpikir rasional dan itu menurut syara’ hanya dipunyai oleh laki-laki.
Catatan
Mengatakan bahwa al-Mawardi tidak menyebut laki-laki sebagai syarat imam al-‘udhma dalam Kitab al-Ahkam al-Sulthaniyah, lalu berkesimpulan bahwa laki-laki tidak menjadi syarat untuk seorang imam adalah kesimpulan yang tidak tepat. Karena tidak menyebut disyaratkan laki-laki bukan berarti beliau berpendapat tidak disyaratkan laki-laki. Ini terbukti dalam kitab Al-Hawi al-Kabir, juga merupakan karya beliau, dalam pendalilian terhadap keharusan qadhi seorang laki-laki, beliau mengatakan bahwa kekurangan perempuan menyebabkan terhambatnya ter-’akad wilayat (kekuasaan) sama halnya seperti imam umat. Di sini beliau mengkiaskan posisi perempuan mengenai qadhi sama halnya dengan posisi perempuan pada urusan negara , yaitu imam ‘udhma. Lagi pula al-Mawardi merupakan ulama yang berpendapat seorang qadhi harus seorang laki-laki. Kalau qadhi saja harus laki-laki tentunya, tidak mungkin beliau berpendapat seorang imam al-udhma, yang membutuhkan sejumlah kemampuan lebih dibandingkan qadhi, dibolehkan dipegang oleh seorang perempuan.[16]





[1] Al-Mawardi, al-Ahkam al-Sulthaniyah, Darul Fikri, Beirut, Hal. 6
[2] Imam an-Nawawi, Minhaj at-Thalibin, dicetak pada hamisy Qalyubi wa Umairah, Dar Ihya al-Kutub al-Arabiyah, Indonesia, Juz. IV, Hal.173
                [3] Zakariya Anshary, Fathul Wahab, dicetak pada hamisy Bujairumy, Darul Fikri, Beirut, Juz. IV, Hal. 204
[4] Ibrahim al-Bajury, Hasyiah al-Bajury, al-Haramain, Singapura, Juz. II, Hal. 252

[5] Ahmad Shawy, Tafsir Shawy, Dar Ihya al-Kutub al-Arabiyah, Indonesia, Juz. I, Hal. 218
[6] Baidhawy, Anwar al-Tanzil wa Asrar al-Ta’wil, Muasasah Sya’ban, Beirut, Juz.II, Hal. 85

[7] Imam Muslim, Shahih Muslim, Maktabah Syamilah, Juz. I, Hal. 61, No. Hadits : 250
[8] Bukhari, Shahih al-Bukahri, Maktabah Syamilah, Juz. I, Hal. 83, No. Hadits : 304
[9] Ibnu Khuzaimah, Shahih Khuzaimah, Maktabah Syamilah, Juz. III, Hal. 268, No. Hadits : 2045
[10] Ibnu Hibban, Shahih Ibnu Hibban, Maktabah Syamilah, Juz. XIII, Hal. 54, No. Hadits : 5744
[11] Baihaqi, Sunan al-Baihaqi, Maktabah Syamilah, Juz. I, Hal. 308, No. Hadits : 1529
[12] Baidhawy, Anwar al-Tanzil wa Asrar al-Ta’wil, Muassasah Sya’ban, Beirut, Juz.II, Hal. 85
[13] Bukhari, Shahih bukhari, Dar Thauq an-Najh, Juz. VI, Hal. 8, No. Hadits : 4425
[14] lihat Kitab Qalyubi wa Umairah, Dar Ihya al-Kutub al-Arabiyah, Indonesia, Juz. I, Hal. 173
[15] Bujairumy, Bujairumi ‘ala Fathul Wahab, Darul Fikri, Beirut, Juz. IV, Hal. 204
[16] Al-Mawardi, al-Hawi al-Kabir, Dar al-Kutub al-Ilmiyah, Beirut, Juz. XVI, Hal. 156

Selasa, 18 Maret 2014

A. Hadits-Hadits Menggemarkan Nikah



1.        Dari Abdullah bin Mas’ud r.a. , beliau berkata :
قَالَ لَنَا رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم يَا مَعْشَرَ اَلشَّبَابِ مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ اَلْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ , فَإِنَّهُ أَغَضُّ لِلْبَصَرِ , وَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ , وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ ; فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ 
Artinya : Rasulullah SAW bersabda pada kami: "Wahai generasi muda, barangsiapa di antara kamu telah mampu berkeluarga hendaknya ia kawin, karena ia dapat menundukkan pandangan dan memelihara kemaluan. Barangsiapa belum mampu, hendaknya berpuasa, sebab ia dapat mengendalikanmu." (Hadits Muttafaq Alaihi.)[1]

Imam Muslim telah menempatkan hadits ini dalam bab menganjurkan nikah bagi orang-orang yang menginginkannya serta ada kemampuan memberi nafkah dan menyibukkan diri dengan berpuasa bagi orang yang tidak mempunyai kemampuan.[2] Imam al-Nawawi mengatakan, hadits ini menunjukkan kepada perintah menikah kepada orang-orang yang mempunyai kemampuan serta menginginkannya. Ini merupakan ijmak ulama. Namun mereka berbeda pendapat dalam memaknai perintah tersebut. Hampir semua ulama memaknai perintah ini dengan makna anjuran, baik dikuatirkan zina atau tidak. Tidak ada ulama yang mewajibkan menikah kecuali Daud dan ahli dhahir pengikutnya. Namun dalam satu riwayat dari Ahmad, beliau berpendapat apabila dikuatirkan zina, maka wajib menikah atau memelihara hamba sahaya.[3] Keterangan seperti ini juga telah dikemukakan oleh Waliuddin al-Iraqi dalam Tharh al-Tatsrib fi Syarh al-Taqrib.[4]
 
2.        Dari Anas bin Malik r.a. :
وَعَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ رضي الله عنه أَنَّ اَلنَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم حَمِدَ اَللَّهَ , وَأَثْنَى عَلَيْهِ , وَقَالَ : لَكِنِّي أَنَا أُصَلِّي وَأَنَامُ , وَأَصُومُ وَأُفْطِرُ , وَأَتَزَوَّجُ اَلنِّسَاءَ , فَمَنْ رَغِبَ عَنْ سُنَّتِي فَلَيْسَ مِنِّي 
Artinya : Sesungguhnya Nabi SAW setelah memuji Allah dan menyanjung-Nya bersabda: "Tetapi aku shalat, tidur, berpuasa, berbuka, dan mengawini perempuan. Barangsiapa membenci sunnahku, ia tidak termasuk ummatku." (Hadits Muttafaq ‘Alaihi)[5]

     Apabila kita setuju dengan pendapat kebanyakan ulama di atas yang mengatakan pernikahan merupakan perintah bersifat anjuran, bukan suatu kewajiban, maka makna hadits “Barangsiapa membenci sunnahku, ia tidak termasuk ummatku." adalah bermakna apabila meninggalkan pernikahan dengan i’tiqad pernikahan suatu yang harus dibenci.

     Ulama-ulama dari Syafi’yah mengatakan, manusia terbagi kepada empat golongan :
a.    Golongan Pertama : Menginginkan pernikahan serta ada kemampuan nafkah. Kelompok ini dianjurkan menikah.
b.    Kedua : Tidak menginginkan pernikahan dan juga tidak ada kemampuan nafkah, maka makruh menikah,
c.    Ketiga : Menginginkan pernikahan tetapi  tidak ada kemampuan nafkah, maka makruh menikah. Kelompok ini dianjurkan berpuasa untuk mencegah keinginannya.
d.     Keempat : Ada kemampuan nafkah, tetapi tidak menginginkan pernikahan, maka menurut mazhab Syafi’i dan kebanyakan pengikutnya berpendapat meninggalkan pernikahan dan mengkhususkan kepada ibadah lebih afdhal. Mazhab Abu Hanifah, sebagian pengikut mazhab Syafi’i dan sebagian pengikut Mazhab Malik berpendapat menikah lebih afdhal. [6]

3.        Dari Anas bin Malik berbunyi :
كَانَ رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم يَأْمُرُ بِالْبَاءَةِ , وَيَنْهَى عَنِ التَّبَتُّلِ نَهْيًا شَدِيدًا , وَيَقُولُ : تَزَوَّجُوا اَلْوَدُودَ اَلْوَلُودَ إِنِّي مُكَاثِرٌ بِكُمُ اَلْأَنْبِيَاءَ يَوْمَ اَلْقِيَامَةِ
Artinya : Rasulullah SAW memerintahkan kami berkeluarga dan sangat melarang kami membujang. Beliau bersabda: "Nikahilah perempuan yang subur, sebab dengan jumlahmu yang banyak aku akan berbangga di hadapan para Nabi pada hari kiamat." (H.R. Ahmad. Ibnu Hibban telah menyatakan  shahih)[7]

Al-Munawi mengatakan, maksud tabattul di sini adalah menjauhi hubungan dari perempuan dan juga sebaliknya.[8] Berdasarkan penggalan hadits “sebab dengan jumlahmu yang banyak aku akan berbangga di hadapan para Nabi pada hari kiamat." Qadhi ‘Iyadh mengatakan, dianjurkan menikah bagi orang yang diharapkan ada keturunan, meskipun dia tidak begitu menginginkan hubungan dengan seorang perempuan.[9]
Ulama yang mengharamkan membujang menjadikan dhahir makna hadits ini sebagai dalil pengharamannya. Ulama lain, menempatkan larangan ini sebagai larangan bersifat makruh apabila seseorang itu berkeinginan menikah dan memang punya kemampuan untuk itu atau makna larangan membujang di sini tetap bermakna haram, namun dalam arti membujang yang disertai i’tiqad tidak boleh menikah sama sekali.

4.        Dari Abu Hurairah r.a. dari Nabi SAW bersabda :
تُنْكَحُ الْمَرْأَةُ لِأَرْبَعٍ،ﻟﻤﺍﻠﻬﺍَ، وَلِحَسَبِهَا، وَجَمَالِهَا، وَلِدِينِهَا، فَاظْفَرْ بذات الدين تربت يمينك          
Artinya : Perempuan itu dinikahi karena empat hal, yaitu: harta, keturunan, kecantikan, dan agamanya. Dapatkanlah wanita yang taat beragama, engkau akan berbahagia. (Muttafaqqun ‘Alaihi dan Imam yang lima)

            Hadits di atas merupakan hadits shahih yang telah diriwayat oleh Bukhari, Muslim dan Imam yang lima sebagaimana disebut oleh Ibnu Hajar al-Asqalany dalam Bulugh al-Maram.[10] Yang dimaksud dengan Imam yang lima adalah Ahmad, Abu Daud, al-Nisa-i, Turmidzi dan Ibnu Majah sebagaimana dijelaskan dalam muqaddimah Bulughul Maram.
            Adapun pengertiannya, Rasulullah SAW hanya mengabarkan bahwa kebiasaan manusia kalau menikahi seorang perempuan, maka empat hal yang disebut dalam hadits di atas menjadi sebab seseorang menjatuhkan pilihannya. Dalam hadits ini tidak ada perintah atau anjuran mengumpulkan atau memilih salah satu diantara empat hal tersebut, tetapi hanya Rasulullah SAW memerintah memilih yang terakhir, yaitu perempuan yang taat beragama. Penjelasan seperti ini telah dikemukakan oleh para ulama, antara lain :
a.         Al-Muhaddits Ibnu Mulaqqin mengatakan :
Yang shahih makna hadits ini adalah Rasulullah SAW mengabarkan apa yang menjadi kebiasaan manusia perbuat., mereka mengqashad empat perkara ini”.[11]

Hal yang sama juga telah dikemukakan oleh al-Karmani dalam dalam kitab beliau, Syarah al-Bukhari.[12]

b.        Qadhi ‘Iyadh mengutip penafsiran al-Dawidi mengatakan :
“Rasulullah SAW hanya mengabarkan apa yang dilakukan manusia dan beliau tidak memerintah hal-hal tersebut.”[13]
           




[1] Ibnu Hajar al-Asqalany, Bulughul Maram, (Taqiq oleh Samir bin Amin al-Zahiry), Hal. 291
[2] Imam Muslim, Shahih Muslim, Maktabah Syamilah, Juz. II, Hal. 1018
[3] Al-Nawawi, Syarah Muslim, Muassisah Qurthubah, Juz. IX, Hal. 247
[4] Waliuddin al-Iraqi, Tharh al-Tatsrib fi Syarh al-Taqrib, Dar Ihya al-Turatsi al-Arabi, Beirut, Juz. VII, Hal. 4
[5] Ibnu Hajar al-Asqalany, Bulughul Maram, (Taqiq oleh Samir bin Amin al-Zahiry), Hal. 291
[6] Al-Nawawi, Syarah Muslim, Muassisah Qurthubah, Juz. IX, Hal. 247-248
[7] Ibnu Hajar al-Asqalany, Bulughul Maram, (Taqiq oleh Samir bin Amin al-Zahiry), Hal. 292
[8] Al-Munawi, Faidhul Qadir, Maktabah Syamilah, Juz. V, Hal. 196
[9] Ibnu Hajar al-Asqalany, Fathul Barri, Maktabah Syamilah, Juz. IX, Hal. 111
[10].Ibnu Hajar al-Asqalany, Bulughul Maram, (Taqiq oleh Samir bin Amin al-Zahiry), Hal. 292
[11]. Ibnu Mulaqqin, Badrul Munir, Darul Hijrah, Juz. VII, Hal. 502
[12]. Al-Karmani, Syarah al-Bukhari, Darul Ihya al-Turatsi al-Arabi, Beirut, Juz. 19, Hal.72
[13]. Qadhi ‘Iyadh, Ikmal al-Mu’allim bi Fawaid Muslim, Darul Wifa’, Juz. IV, hal. 672