Dari
semenjak masa kanak-kanak, kita sering disuguhi cerita bahwa Fatimah binti
Rasulullah SAW selalu dalam keadaan suci alias tidak pernah berhaid dan
bernifas. Cerita ini juga sering kita dengar pada zaman sekarang dari
mulut-mulut penda’i-penda’i dan mubaligh-mubaligh kita. Dalam kitab-kitab ulama
terdahulu, kita jumpai pernyataan bahwa Fatimah bin Rasulullah SAW tidak
berdarah haid dan nifas antara lain dalam kitab al-Fatawa al-Dhahiriyah li
Hanafiyah sebagaimana telah dikutip al-Munawy dalam Faidhul Qadir, kemudian
beliau mengutip hadits yang disebut dalam kitab Zakha-ir al-‘Uqbaa karya al-Muhib al-Thabary (hadits pertama di
bawah ini).[1]
Namun al-Munawy sendiri dalam kitab beliau yang lain, yaitu Ittihaf al-Saa-il bimaa li Fathimah min
al-Manaqib telah mengutip keterangan Ibnu
al-Jauzi dan al-Suyuthi yang menyatakan hadits ini adalah maudhu’ sebagaimana
terlihat dalam kutipan kami pada hadits pertama di bawah ini. Ulama lain yang
mengisyaratkan bahwa Fatimah bin Rasulullah SAW tidak berdarah haid dan nifas
adalah Ibnu Hajar al-Haitamy dalam al-Fatawa al-Haditsiyah dengan tanpa
menjelaskan rujukan sumbernya.[2]
Sekarang mari
kita perhatikan kualitas riwayat-riwayat tersebut, yaitu :
1.
Riwayat
dari Ummu Salim:
انها
حوراء آدمية طاهرة مطهرة لا تحيض ولا يرى لها دم في طمث ولا في ولادة
Artinya
: Sesungguhnya Fatimah itu bidadari dari anak Adam suci menyucikan, tidak
pernah berhaid dan tidak pernah dilihat ada darah pada masa kotor dan pada masa
wiladahnya.
Al-Munawi menjelaskan bahwa hadits
ini telah diriwayat oleh al-Hakim dan Ibnu ‘Asakir dari riwayat Ummu Salim
isteri Abu Thalhah, namun hadits ini maudhu’ (palsu) sebagaimana dijelaskan
oleh Ibnu al-Jauzi dan al-Suyuthi.[3]
Dalam al-Laala-i al-Mashnu’ah
riwayat Ibnu ‘Asakir dari Ummu Salim ini berbunyi :
لم تر فاطمة
بنت رسول الله صلعم دما قط في حيض ولا نفاس وكانت يصب عليها من ماء الجنة وذالك ان
رسول الله صلعم لما اسرى به دخل الجنة واكل من فاكهة الجنة وشرب من ماء الجنة فنزل
من ليلته فوقع على خديجة فحملت بفاطمة فكان حمل فاطمة من ماء الجنة
Artinya : Tidak pernah dilihat Fatimah binti Rasulullah SAW
berdarah sama sekali baik haid maupun
nifas. Beliau lahir dari air syurga. Yang demikian terjadi manakala Rasulullah
SAW melakukan isra’ beliau memasuki syurga dan memakan buah-buahan dan minum
minuman syurga, kemudian Rasulullah SAW kembali pada malamnya lalu berhubungan
intim dengan Khadijah, maka Khadijah mengandung Fatimah. Karena itu, kandungan
Fatimah (Fatimah dalam kandungan ibunya) adalah dari air surga.[4]
Hadits ini jelas dinilai maudhu’
karena Fatimah lahir sebelum terjadi peristiwa isra’ dengan ijmak ulama,[5]
sedangkan riwayat di atas menyebutkan bahwa Fatimah dikandungi ibunya setelah
Rasulullah SAW kembali dari perjalanan isra’.
2.
Rasulullah
SAW bersabda :
ابنتي
فاطمة حوراء آدمية لم تحض ولم تطمث وانما سماها فاطمة لان الله فطمها ومحبيها من
النار
Artinya : Anakku, Fatimah adalah bidadari dari anak Adam, tidak
pernah berhaid dan tidak pernah kotor, hanyasanya dinamai dengan Fatimah karena
Allah menjauhkannya dan orang yang mencintainya dari api neraka.
Riwayat
ini telah disebut oleh Muhib al-Thabary (w.694 H) dalam kitab manaqibnya,
Zakha-ir al-‘Uqbaa. Dalam kitab ini disebutkan hadits ini diriwayat oleh
al-Ghatsany dari Ibnu Abbas.[6] Ibnu
Hajar al-Haitamy menyebut hadits ini dalam kitab beliau, al-Shawaiq al-Muhriqah
tanpa komentar apapun terhadap kualiatas riwayatnya, namun dalam kitab ini pentakhrijnya
tertulis al-Nisa-i, bukan al-Ghatsany.[7] Khatib
al-Baghdadi juga telah menyebut riwayat ini dalam kitabnya, Tarikh al-Baghdadi,
beliau mengatakan, dalam isnad hadits ini tidak hanya satu orang yang tidak dikenal dan haditsnya tidak
tsaabit (tidak shahih).[8] Pernyataan
Khatib al-Baghdadi ini juga telah disebut dalam kitab al-Laala-i al-Mashnu’ah
karya al-Suyuthi.[9]
Al-Zahabi dalam Talkhis Kitab al-Maudhu’at mengatakan, isnadnya terdiri dari
orang-orang dhalim dan orang-orang yang tidak dikenal.[10] Ibnu
al-Jauzi telah memasukkan hadits ini dalam kelompok hadits-hadits maudhu’ dalam
kitabnya, al-Maudhu’aat.[11]
Catatan :
Kitab
Zakha-ir al-‘Uqbaa karya Muhib al-Thabary merupakan sebuah kitab yang
menguraikan biografi dan kelebihan-kelebihan ahlul bait, namun sayang dalam
kitab ini banyak memuat hadits hadits maudhu’ dan dhaif. Hal ini sebagaimana
dikemukakan oleh al-Shakawy sebagaimana telah dikutip oleh Ibnu Hajar
al-Haitamy dalam kitabnya, al-Shawaiq al-Muhriqah, beliau mengatakan :
اعْلَم
أَنه أَشَارَ فِي خطْبَة هَذَا الْكتاب إِلَى بعض حط على ذخائر العقبى فِي
مَنَاقِب ذَوي الْقُرْبَى للْإِمَام الْحَافِظ الْمُحب الطَّبَرِيّ بِأَن فِيهِ
كثيرا من الْمَوْضُوع وَالْمُنكر فضلا عَن الضَّعِيف ثمَّ نقل عَن شَيْخه
الْحَافِظ الْعَسْقَلَانِي أَنه قَالَ فِي حق الْمُحب الطَّبَرِيّ إِنَّه كثير الْوَهم فِي
عزوه للْحَدِيث مَعَ كَونه لم يكن فِي زَمَنه مثله
“Ketahuilah
al-Shakhawy telah mengisyarahkan dalam khutbah kitab ini (kitab manaqib ahlul
Bait karangan al-Shakhawy) kepada sebagian pembahasan atas kitab Zakha-ir al-‘Uqbaa
fi Manaqib Zawil Qurbaa karya Imam al-Hafizh al-Muhib al-Thabary dimana di dalam
kitab tersebut banyak terdapat riwayat-riwayat maudhu’ dan mungkar serta
dha’if. Kemudian al-Shakhawy mengutip dari gurunya, al-Hafizh al-Asqalany
bahwasanya beliau pernah berkata perihal al-Muhib al-Thabary, bahwa beliau ini
banyak waham dalam menyandarkan suatu hadits, disamping itu beliau memang tidak
ada orang yang sebanding beliau pada`masanya.”[12]
3.
Dari
Asmaa, beliau mengatakan : (ِِِAsmaa binti Amiis)
قبلت
اي ولدت فاطمة بالحسن فلم ار لها دما فقلت يا رسول الله: إني لم أر لفاطمة دما في
حيض ولا نفاس فقال أما علمت أن ابنتي طاهرة مطهرة لا يرى لها دم في طمث ولا ولادة
Artinya
: Aku turut membantu Fatimah melahirkan Hasan, aku tidak melihat pada Fatimah darah
sedikitpun, maka aku mengatakan, Ya Rasulullah, sesungguhnya aku tidak pernah
melihat Fatimah berdarah haid dan nifas, Rasulullah berkata : “Apakah kamu
tidak mengetahui sesungguhnya anakku selalu dalam keadaan suci dan disucikan,
tidak pernah dilihat darah padanya, baik darah kotoran maunpun wiladah.”
Al-Muhib
al-Thabary (w.694 H) telah menyebut hadits ini dalam kitab manaqibnya, Zakha-ir
al-‘Uqbaa pada masalah “Menyebut kesucian Fatimah dari wanita anak Adam” pada
Hal. 90 dengan pentakrijnya Imam Ali bin Musa al-Rizha.[13]
Asmaa dalam
riwayat di atas adalah Asmaa binti ‘Amiis sebagaimana tertulis dalam kitab Nur
al-Abshar karangan al-Syablanji yang juga menyebut riwayat di atas dengan
riwayat dari Asmaa binti ‘Amiss.[14] Al-Zahabi
menjelaskan bahwa Asmaa binti ‘Amiis ini salah seorang sahabat Nabi yang pernah
hijrah ke negeri Habsyah bersama suaminya, Ja’far. Kemudian meninggalkan negeri
Habsyah berangkat ke Madinah pada Tahun ketujuh Hijrah untuk ikut bersama kaum
Muhajirin di Madinah.[15] Memperhatikan
keterangan di atas, maka pada Tahun ketiga Hijrah, pada waktu lahir Sayyidina
Hasan, Asmaa binti ‘Amiis masih berada di Habsyah alias tidak berada di negeri
Madinah, jadi bagaimana mungkin dapat dikatakan bahwa Asmaa binti ‘Amiis turut
membantu kelahiran Sayyidina Hasan r.a, sedangkan Sayyidina Hasan r.a. sebagaimana dimaklumi lahir pada bulan Sya’ban
atau pertengahan Ramadhan Tahun ketiga Hijrah.[16] Berdasarkan
penjelasan ini dapat dipastikan bahwa riwayat yang dinisbah kepada Asmaa binti ‘Amiis
ini juga maudhu’ alias palsu sebagaimana riwayat lain yang tersebut pada nomor
1 dan 2 di atas.
[1]
Al-Munawi, Faidhul
Qadir, Maktabah Syamilah, Juz. IV, Hal. 421
[2]
Ibnu Hajar
al-Haitamy, al-Fatawa al-haditsiyah, Darul Fikri, Beirut, Hal.
119
[3] Al-Munawi, Ittihaf al-Saa-il
bimaa li Fathimah min al-Manaqib, Maktabah al-Qur’an, Kairo, Hal. 90
[4]
Al-Suyuthi, al-Laala-i
al-Mashnu’ah, Darul Ma’rifah, Beirut, Juz. I, Hal. 395
[5]
Al-Suyuthi,
al-Laala-i al-Mashnu’ah, Darul Ma’rifah, Beirut, Juz. I, Hal. 395
[6]
Muhib
al-Thabary al-Makky, Zakha-ir al-‘Uqbaa, Hal. 65
[7]
Ibnu Hajar
al-Haitamy, al-Shawaiq al-Muhriqah, Hal. 141
[8]
Khatib al-Baghdadi, Tarikh
al-Baghdadi wa Zuyuluhu, Maktabah Syamilah, Juz. XII, Hal. 328,
[9] Al-Suyuthi, al-Laala-i
al-Mashnu’ah, Darul Ma’rifah, Beirut, Hal. 400
[11]
Ibnu al-Jauzi, al-Maudhu’aat,
Maktabah al-Tadmutayah, Juz II, Hal. 225
[12]
Ibnu Hajar
al-Haitamy, al-Shawaiq al-Muhriqah, Hal. 199
[13]
Muhib
al-Thabary al-Makky, Zakha-ir al-‘Uqbaa, Hal. 90
[14]
Al-Syablanji, Nur
al-Abshar, Maktabah Taufiqiyah, Hal. 242
[15] Al-Zahabi, Sirr
al-Nubala’, Bait al-Afakar al-Dauliyah, Hal. 1089
[16]
Al-Zahabi, Sirr al-Nubala’,
Bait al-Afakar al-Dauliyah, Hal. 1428
Manfaat Pucuk Merah
BalasHapusPembersih wajah untuk kulit berminyak