1.
Dari Abdullah bin Mas’ud r.a. , beliau berkata :
قَالَ لَنَا رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم يَا
مَعْشَرَ اَلشَّبَابِ مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ اَلْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ ,
فَإِنَّهُ أَغَضُّ لِلْبَصَرِ , وَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ , وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ
فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ ; فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ
Artinya : Rasulullah SAW bersabda pada kami:
"Wahai generasi muda, barangsiapa di antara kamu telah mampu berkeluarga
hendaknya ia kawin, karena ia dapat menundukkan pandangan dan memelihara
kemaluan. Barangsiapa belum mampu, hendaknya berpuasa, sebab ia dapat
mengendalikanmu." (Hadits Muttafaq Alaihi.)[1]
Imam Muslim telah menempatkan hadits ini dalam bab menganjurkan
nikah bagi orang-orang yang menginginkannya serta ada kemampuan memberi nafkah dan
menyibukkan diri dengan berpuasa bagi orang yang tidak mempunyai kemampuan.[2] Imam al-Nawawi mengatakan, hadits ini menunjukkan
kepada perintah menikah kepada orang-orang yang mempunyai kemampuan serta
menginginkannya. Ini merupakan ijmak ulama. Namun mereka berbeda pendapat dalam
memaknai perintah tersebut. Hampir semua ulama memaknai perintah ini dengan
makna anjuran, baik dikuatirkan zina atau tidak. Tidak ada ulama yang
mewajibkan menikah kecuali Daud dan ahli dhahir pengikutnya. Namun dalam satu
riwayat dari Ahmad, beliau berpendapat apabila dikuatirkan zina, maka wajib
menikah atau memelihara hamba sahaya.[3] Keterangan seperti ini juga telah dikemukakan oleh
Waliuddin al-Iraqi dalam Tharh al-Tatsrib fi Syarh al-Taqrib.[4]
2.
Dari Anas bin Malik r.a. :
وَعَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ رضي الله عنه أَنَّ
اَلنَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم حَمِدَ اَللَّهَ , وَأَثْنَى عَلَيْهِ , وَقَالَ :
لَكِنِّي أَنَا أُصَلِّي وَأَنَامُ , وَأَصُومُ وَأُفْطِرُ , وَأَتَزَوَّجُ
اَلنِّسَاءَ , فَمَنْ رَغِبَ عَنْ سُنَّتِي فَلَيْسَ مِنِّي
Artinya : Sesungguhnya Nabi SAW setelah memuji Allah
dan menyanjung-Nya bersabda: "Tetapi aku shalat, tidur, berpuasa, berbuka,
dan mengawini perempuan. Barangsiapa membenci sunnahku, ia tidak termasuk
ummatku." (Hadits Muttafaq ‘Alaihi)[5]
Apabila kita
setuju dengan pendapat kebanyakan ulama di atas yang mengatakan pernikahan
merupakan perintah bersifat anjuran, bukan suatu kewajiban, maka makna hadits “Barangsiapa
membenci sunnahku, ia tidak termasuk ummatku." adalah bermakna apabila
meninggalkan pernikahan dengan i’tiqad pernikahan suatu yang harus dibenci.
Ulama-ulama
dari Syafi’yah mengatakan, manusia terbagi kepada empat golongan :
a. Golongan Pertama : Menginginkan pernikahan serta ada kemampuan nafkah.
Kelompok ini dianjurkan menikah.
b. Kedua : Tidak menginginkan pernikahan dan juga tidak ada
kemampuan nafkah, maka makruh menikah,
c. Ketiga : Menginginkan pernikahan tetapi tidak ada kemampuan nafkah, maka makruh
menikah. Kelompok ini dianjurkan berpuasa untuk mencegah keinginannya.
d. Keempat : Ada kemampuan nafkah, tetapi tidak menginginkan
pernikahan, maka menurut mazhab Syafi’i dan kebanyakan pengikutnya berpendapat
meninggalkan pernikahan dan mengkhususkan kepada ibadah lebih afdhal. Mazhab
Abu Hanifah, sebagian pengikut mazhab Syafi’i dan sebagian pengikut Mazhab
Malik berpendapat menikah lebih afdhal. [6]
3.
Dari Anas bin Malik berbunyi :
كَانَ رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم يَأْمُرُ بِالْبَاءَةِ ,
وَيَنْهَى عَنِ التَّبَتُّلِ نَهْيًا شَدِيدًا , وَيَقُولُ : تَزَوَّجُوا
اَلْوَدُودَ اَلْوَلُودَ إِنِّي مُكَاثِرٌ بِكُمُ اَلْأَنْبِيَاءَ يَوْمَ
اَلْقِيَامَةِ
Artinya : Rasulullah SAW memerintahkan kami berkeluarga dan sangat
melarang kami membujang. Beliau bersabda: "Nikahilah perempuan yang subur,
sebab dengan jumlahmu yang banyak aku akan berbangga di hadapan para Nabi pada
hari kiamat." (H.R. Ahmad. Ibnu Hibban telah menyatakan shahih)[7]
Al-Munawi mengatakan, maksud
tabattul di sini adalah menjauhi hubungan dari perempuan dan juga sebaliknya.[8] Berdasarkan penggalan hadits “sebab dengan jumlahmu yang
banyak aku akan berbangga di hadapan para Nabi pada hari kiamat."
Qadhi ‘Iyadh mengatakan, dianjurkan menikah bagi orang yang diharapkan ada
keturunan, meskipun dia tidak begitu menginginkan hubungan dengan seorang
perempuan.[9]
Ulama yang mengharamkan membujang
menjadikan dhahir makna hadits ini sebagai dalil pengharamannya. Ulama lain,
menempatkan larangan ini sebagai larangan bersifat makruh apabila seseorang itu
berkeinginan menikah dan memang punya kemampuan untuk itu atau makna larangan membujang
di sini tetap bermakna haram, namun dalam arti membujang yang disertai i’tiqad
tidak boleh menikah sama sekali.
4.
Dari Abu Hurairah r.a. dari Nabi SAW bersabda :
تُنْكَحُ الْمَرْأَةُ لِأَرْبَعٍ،ﻟﻤﺍﻠﻬﺍَ،
وَلِحَسَبِهَا، وَجَمَالِهَا، وَلِدِينِهَا، فَاظْفَرْ بذات الدين تربت يمينك
Artinya : Perempuan itu dinikahi karena empat hal, yaitu:
harta, keturunan, kecantikan, dan agamanya. Dapatkanlah wanita yang taat
beragama, engkau akan berbahagia.
(Muttafaqqun ‘Alaihi dan Imam yang lima)
Hadits di
atas merupakan hadits shahih yang telah diriwayat oleh Bukhari, Muslim dan Imam
yang lima sebagaimana disebut oleh Ibnu Hajar al-Asqalany dalam Bulugh al-Maram.[10] Yang dimaksud dengan Imam yang lima
adalah Ahmad, Abu Daud, al-Nisa-i, Turmidzi dan Ibnu Majah sebagaimana
dijelaskan dalam muqaddimah Bulughul Maram.
Adapun
pengertiannya, Rasulullah SAW hanya mengabarkan bahwa kebiasaan manusia kalau
menikahi seorang perempuan, maka empat hal yang disebut dalam hadits di atas
menjadi sebab seseorang menjatuhkan pilihannya. Dalam hadits ini tidak ada
perintah atau anjuran mengumpulkan atau memilih salah satu diantara empat hal
tersebut, tetapi hanya Rasulullah SAW memerintah memilih yang terakhir, yaitu
perempuan yang taat beragama. Penjelasan seperti ini telah dikemukakan oleh
para ulama, antara lain :
a.
Al-Muhaddits Ibnu Mulaqqin mengatakan :
“Yang
shahih makna hadits ini adalah Rasulullah SAW mengabarkan apa yang menjadi
kebiasaan manusia perbuat., mereka mengqashad empat perkara ini”.[11]
Hal yang sama juga telah dikemukakan oleh al-Karmani dalam
dalam kitab beliau, Syarah al-Bukhari.[12]
b.
Qadhi ‘Iyadh mengutip penafsiran al-Dawidi mengatakan :
“Rasulullah SAW hanya mengabarkan apa yang dilakukan manusia
dan beliau tidak memerintah hal-hal tersebut.”[13]
[1]
Ibnu Hajar al-Asqalany, Bulughul Maram, (Taqiq oleh
Samir bin Amin al-Zahiry), Hal. 291
[2]
Imam Muslim, Shahih Muslim, Maktabah Syamilah, Juz. II, Hal. 1018
[3] Al-Nawawi, Syarah Muslim, Muassisah
Qurthubah, Juz. IX, Hal. 247
[4]
Waliuddin al-Iraqi, Tharh al-Tatsrib fi Syarh al-Taqrib, Dar Ihya al-Turatsi
al-Arabi, Beirut, Juz. VII, Hal. 4
[6] Al-Nawawi, Syarah Muslim, Muassisah
Qurthubah, Juz. IX, Hal. 247-248
[8] Al-Munawi, Faidhul Qadir, Maktabah
Syamilah, Juz. V, Hal. 196
[9] Ibnu Hajar al-Asqalany, Fathul Barri,
Maktabah Syamilah, Juz. IX, Hal. 111
[10].Ibnu
Hajar al-Asqalany, Bulughul Maram, (Taqiq oleh Samir bin Amin al-Zahiry), Hal. 292
"Ada kemampuan nafkah, tetapi tidak menginginkan pernikahan, maka menurut mazhab Syafi’i dan kebanyakan pengikutnya berpendapat meninggalkan pernikahan dan mengkhususkan kepada ibadah lebih afdhal."
BalasHapusAlhamdulillah. Berarti gpp ya membujang? yang penting saya insya Allah selamat dari perzinahan. Saya tinggal menjaganya dengan banyak-banyak berpuasa, sholat dan sering sodaqoh. Soalnya saya seriing terbersit perasaan nggak pengen nikah. Toh saya nggak pernah macem-macem seperti mengumbar syahwat.