Para fuqaha berbeda pendapat tentang hukum
shalat tasbih. Sebagian ulama mengangap hukummnya mustahab (dianjurkan) dan
sebagian kecil lainnya mengatakan tidak disunnahkan sama sekali. Perbedaan
tersebut dilatarbelakangi oleh perbedaan mereka dalam hal menilai kualitas hadits
yang menjadi pensyariatan ibadah shalat tersebut. Sebahagian besar fuqaha dari
kalangan mazhab as-Syafi’iyah berpendapat mustahab (dianjurkan) melaksanakan
shalat tasbih. Diantara ulama Syafi’iyyah yang berpendapat mustahab
melaksanakan shalat Tasbih adalah Qadhi Husain, pengarang al-Tahzib dan pengarang
al-Tatimmah, serta al-Rauyani.[1] Dalam
kitab al-Laala-i al-Mashnu’ah fil-Ahadits al-Mauzhu’ah, al-Suyuthi mengatakan,
para imam dari kalangan Syafi’iyah yang menyebut sunnah shalat tasbih antara
lain Syeikh Abu Hamid, al-Muhamiliy, al-Juwaini, Imam al-Haramain, Al-Ghazali,
Qadhi Husain, al-Baghwi, al-Mutawalli, Zahir bin Ahmad al-Sarkhasi dan
al-Rafi’i.[2]
Landasan yang menjadi dalil pendapat ini
adalah hadits dari jalur Musa bin Abdul Aziz, al-Hakam bin Abaan, dari Ikrimah
dari Ibnu Abbas berbunyi :
أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال للعباس: "يا عماه ألا أعطيك؟ ألا أمنحك؟ ألا أحبوك؟ ألا أفعل بك عشر خصال إذا أنت فعلت ذلك غفر الله لك ذنبك أوله وآخره وقديمه وحديثه وخطأه وعمده، وصغيره وكبيره، وسره وعلانيته، عشر خصال، أن تصلي أربع ركعات تقرأ في كل ركعة فاتحة الكتاب وسورة، فإن فرغت من القرآن قلت: سبحان الله والحمد لله ولا إله إلا الله والله أكبر خمس عشرة مرة، ثم تركع فتقولها وأنت راكع عشرا ، ثم ترفع رأسك من الركوع فتقولها عشراً، ثم تهوي ساجداً فتقولها وأنت ساجد عشراً، ثم ترفع رأسك من السجود فتقولها عشراً، ثم تسجد فتقولها عشراً، ثم ترفع رأسك فتقولها عشراً. فذلك خمس وسبعون في كل ركعة، تفعل ذلك في الأربع ركعات. إن استطعت أن تصليها في كل يوم مرة فافعل، فإن لم تفعل ففي كل جمعة مرة، فإن لم تفعل ففي كل شهر مرة، فإن لم تفعل ففي كل سنة مرة، فإن لم تفعل ففي عمرك مرة".
Artinya : Ibnu Abbas r.a. berkata
bahwa Rasulullah SAW bersabda kepada Abbas r.a.
“Wahai Abbas pamanku, Aku ingin memberikan padamu, aku benar-benar
mencintaimu, aku ingin engkau melakukan sepuluh perkara, jika engkau
melakukannya Allah akan mengampuni dosamu, baik yang pertama dan terakhir, yang
terdahulu dan yang baru, yang tidak sengaja maupun yang disengaja, yang kecil
maupun yang besar, yang tersembunyi maupun yang terang-terangan. Sepuluh
perkara adalah : Engkau melaksanakan shalat empat rakaat; engkau baca dalam
setiap rakaat al-Fatihah dan surat, apabila engkau selesai membacanya di rakaat
pertama dan engkau masih berdiri, maka ucapkanlah: Subhanallah Walhamdulillah
Walaa Ilaaha Ilallah Wallahu Akbar lima belas kali, Kemudian ruku’lah dan
bacalah do’a tersebut sepuluh kali ketika sedang ruku, kemudian engkau angkat
kepalamu dari ruku’, bacalah sepuluh kali, kemudian sujudlah dan bacalah do’a
tersebut sepuluh kali ketika sujud, kemudian bangkitlah dari sujud dan bacalah
sepuluh kali kemudian sujudlah dan bacalah sepuluh kali kemudian bangkitlah
dari sujud dan bacalah sepuluh kali. Itulah tujuh puluh lima kali dalam setiap
rakaat, dan lakukanlah hal tersebut pada empat rakaat. Jika engkau sanggup
untuk melakukannya satu kali dalam setiap hari, maka lakukanlah, jika tidak,
maka lakukanlah satu kali seminggu, jika tidak maka lakukanlah sebulan sekali,
jika tidak maka lakukanlah sekali dalam setahun dan jika tidak maka lakukanlah
sekali dalam seumur hidupmu.” (H.R Abu Daud, Ibnu Majah, Ibnu Khuzaimah,
dalam Shahihnya dan lainnya. Al-Turmidzi telah meriwayat yang semakna dengannya
dari riwayat Abu Rafi’).[3]
Imam al-Nawawi mengatakan, hadits ini
dhaif. Beliau juga mengutip pernyataan al-‘Aqiili yang mengatakan, “Tidak
ada hadits yang tsabit (shahih) mengenai shalat tasbih.” dan pernyataan Abu
Bakar bin al-Arabi dan lainnya : “Tidak ada hadits shahih dan hasan tentang
shalat tasbih”. Berdasarkan ini, Imam al-Nawawi dalam al-Majmu’ Syarh
al-Muhazzab mengatakan pendapat dianjurnya shalat tasbih ini perlu ada
tinjauan, karena haditsnya dha’if, sedangkan bentuk shalatnya berbeda dengan
bentuk shalat yang ma’ruf. [4]
Hal senada juga telah dikemukakan beliau dalam kitab al-Tahqiq.[5]
Ibnu al-Jauzi telah memasukkan hadits Ibnu Abbas ini dalam katagori hadits
maudhu’ dalam kitab beliau al-Maudhu’aat, beliau mengatakan, Musa bin Abdul
Aziz tidak dikenal.[6]
Namun demikian, Ibnu Nashiruddin al-Dimasyqi
(w. 843 H) menjelaskan dalam kitabnya, al-Tarjih li Hadits Shalat al-Tasbih
bahwa hadits ini telah dinyatakan shahih oleh Abu Daud dan Abu Bakar al-Ajriy.
Imam Muslim mengatakan, tidak ada riwayat tentang hadits ini isnad yang lebih
hasan dari ini. Al-Baihaqi setelah meriwayat hadits shalat tasbih melalui jalur
Abu Rafi’ r.a. , beliau mengatakan, senantiasa Ibnu Mubarrak melakukannya dan para
ulama-ulama shaleh secara bergantian sebagian mereka dari sebagian lain
menerima amalan ini, ini semua menguatkan hadits marfu’ ini. Ibnu Khuzaimah
juga telah mentakrij hadits ini dalam kitab shahihnya. Diantara ahli hadits
lain yang menyatakan shahih hadits shalat tasbih adalah Abu Musa Muhammad bin
Abu Bakar al-Madiniy (w. 581 H). Dalam kitabnya, al-Tarjih li Hadits Shalat
al-Tasbih ini, Ibnu Nashiruddin al-Dimasyqi juga telah menyebut hadits-hadits
tentang shalat tasbih dengan berbagai jalur, sebelumnya beliau mengatakan :
“Hadits ini mempunyai banyak jalur
yang ma’ruf dikalangan imam-imam hadits yang menyanjungnya dalam beramal dengan
hadits Ikrimah dari Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma.” [7]
Al-Turmidzi mengatakan, Ibnu Mubarrak dan
bukan hanya satu orang dari ahli ilmu telah berpendapat dianjurkan shalat
tasbih.[8]
Al-Suyuthi menjelaskan dalam kitabnya, al-Laala-i
al-Mashnu’ah fil-Ahadits al-Mauzhu’ah bahwa hadits Ibnu Abbas di atas telah
diriwayat oleh Abu Daud, Ibnu Majah dan al-Hakim. Sedangkan hadits Abi Rafi’
(hadits shalat tasbih dari jalur lain) diriwayat oleh al-Turmidzi dan Ibnu
Majah. Selanjutnya al-Suyuthi menjelaskan, Ibnu Hajar al-Asqalany mengatakan, rijal
isnad hadits Ibnu Abbas di atas tidak mengapa (laa baksa), sedangkan
Ikrimah dijadikan hujjah oleh al-Bukhari dan al-Hakam saduuq
(terpercaya) dan sedangkan Musa bin Abdul Aziz menurut Ibnu Mu’in tidak mengapa
(laa baksa). Al-Nisa-i juga mengatakan seumpama itu. Ibnu al-Madiniy
mengatakan, isnad ini termasuk syarat hadits hasan, baginya ada pendukung yang
menguatkannya.[9]
Termasuk ulama lain yang menyatakan shahih
atau hasan hadits tentang shalat tasbih adalah Ibnu Mandah, al-Ajriy,
al-Khathib, Abu Sa’ad al-Sam’ani, Abu al-Hasan bin al-Mufazzhal, al-Munziriy,
Ibnu al-Shalah, al-Nawawi dalam kitab Tahzib al-Asmaa wal Lughat, al-Subki dan
lain-lain. Abu Mansur al-Dailamiy mengatakan, Shalat Tasbih adalah yang sangat
masyhur sah sanadnya.[10]
Ibnu Hajar al-Haitami mengatakan, hadits shalat tasbih adalah hasan karena
banyak jalurnya. Telah jatuh dalam waham belaka orang-orang yang mendakwa
hadits ini maudhu’.[11]
Adapun keterangan Imam al-Nawawi di dalam kitab
beliau, al-Majmu’ Syarh al-Muhazzab dan al-Tahqiq yang menyatakan dha’if hadits
shalat tasbih ini berbeda dengan keterangan beliau dalam kitab beliau lainnya
seperti kitab Tahzib al-Asmaa wal- Lughat sebagaimana telah dikemukakan oleh
al-Suyuthi di atas. Setelah kita memperhatikan keterangan-keterangan
ulama-ulama hadits di atas, maka dapatlah kita simpulkan bahwa penjelasan al-Nawawi
dalam kitab Tahzib al-Asmaa wal- Lughat lebih rajih dan sesuai dengan pendapat
mayoritas ahli hadits. Ataupun keterangan al-Nawawi dalam al-Majmu’ Syarh
al-Muhazzab dan al-Tahqiq tersebut haruslah dipahami dari sisi penilaian al-Nawawi
terhadap masing-masing jalur hadits, bukan dari sisi jalur-jalur tersebut
saling menguatkan satu sama lainnya. Dalam kitabnya al-Fatawa al-Kubra al-Fiqhiyah,
Ibnu Hajar al-Haitami mengatakan :
“Yang benar tentang hadits shalat
tasbih, sesungguhnya hadits itu adalah hasan lighairihi. Maka barangsiapa yang
menyebutnya shahih secara mutlaq seperti Ibnu Khuzaimah dan al-Hakim, maka dipertempatkan
beliau berpendapat hadits hasan dapat dinamakan shahih apabila ada banyak pendukungnya.
Orang-orang yang menyebutnya dhaif secara mutlaq seperti al-Nawawi dalam
sebagian kitabnya dan orang-orang sesudahnya, maka maksudnya dilihat dari sisi
masing-masing jalur hadits dan sedangkan orang-orang yang menyatakan hasan,
maka dengan itu i’tibar apa yang telah kami katakan.”[12]
Adapun Ibnu al-Jauzi memasukkan hadits Ibnu
Abbas dalam katagori hadits maudhu’ sebagaimana telah kemukakan di atas,
menurut keterangan para ulama hadits yang hidup sesudah beliau, maka tindakan
tersebut sungguh tidak mempunyai dasar yang falid. Hal ini karena alasan yang
beliau kemukakan hanya karena didasarkan keadaan Musa bin Abdul Aziz yang tidak
dikenal. Karena itu, Ibnu Nashiruddin al-Dimasyqi mengatakan, “Bagaimanakah
dihukum sebuah hadits menjadi maudhu’ hanya karena tidak dikenal perawinya?”[13]
Ibnu al-Madiniy mengatakan, tindakan Ibnu al-Jauzi sangatlah buruk dan tidak
benar, karena orang yang telah dinyatakan terpercaya oleh Ibnu Mu’in dan
al-Nisa-i maka tidak mudharat tidak dikenal oleh orang-orang yang datang sesudah
mereka dan lagi telah didukung oleh hadits yang ditakrij oleh al-Darulquthni
dari hadits Abbas serta al-Turmidzi dan Ibnu Majah dari hadits Abi Rafi’ dan
juga telah diriwayat oleh Abu Daud dari hadits Ibnu Umar dengan isnad “laa
baksa bihi” serta juga telah diriwayat oleh al-Hakim dari hadits Ibnu Umar.
Al-Hakim juga mempunyai jalur lain.[14]
Kesimpulan
1.
Pelaksanaan shalat tasbih merupakan sunnah berdasarkan hadits Nabi SAW,
bukan bid’ah
2.
Hadits Nabi yang menjelaskan kesunnahan shalat tasbih bernilai maqbul
(shahih atau hasan)
3.
Mayoritas ulama mazhab Syafi’i berpendapat sunnah melaksanakan shalat
tasbih dan ini yang mu’tamad dalam mazhab
[1]
Al-Nawawi, al-Majmu’ Syarh al-Muhazzab, Maktabah al-Irsyad,
Jeddah, Juz. III, Hal. 546
[2]
Al-Suyuthi, al-Laala-i al-Mashnu’ah
fil-Ahadits al-Mauzhu’ah, Dar al-Ma’rifah, Beirut, Juz. II, Hal. 43
[3]
Al-Nawawi, al-Majmu’ Syarh al-Muhazzab, Maktabah al-Irsyad,
Jeddah, Juz. III, Hal. 546-547
[4]
Al-Nawawi, al-Majmu’ Syarh al-Muhazzab, Maktabah al-Irsyad,
Jeddah, Juz. III, Hal. 546-547
[5]
Al-Nawawi, al-Tahqiq, Dar al-Jail, Beirut, Hal. 231
[6]
Ibnu Jauzi, al-Maudhu’aat, al-Maktabah al-Salafiyah, Juz. II, Hal.
143-145
[7]
Ibnu Nashiruddin al-Dimasyqi, al-Tarjih li
Hadits Shalat al-Tasbih, Dar al-Basyair al-Islamiyah, Beirut, Hal.
41-43
[8]
Al-Nawawi, al-Majmu’ Syarh al-Muhazzab, Maktabah al-Irsyad,
Jeddah, Juz. III, Hal. 547
[9]
Al-Suyuthi, al-Laala-i al-Mashnu’ah fil-Ahadits al-Mauzhu’ah,
Dar al-Ma’rifah, Beirut, Juz. II, Hal. 38-39
[10] Al-Suyuthi,
al-Laala-i al-Mashnu’ah fil-Ahadits al-Mauzhu’ah, Dar
al-Ma’rifah, Beirut, Juz. II, Hal. 42-43
[11]. Ibnu
Hajar al-Haitami, Tuhfah al-Muhtaj, (dicetak pada hamisy Hasyiah
al-Syarwani), Mathba’ah Mustafa Muhammad, Mesir, Juz. II, Hal. 239
[13]
Ibnu Nashiruddin al-Dimasyqi, al-Tarjih li
Hadits Shalat al-Tasbih, Dar al-Basyair al-Islamiyah, Beirut, Hal. 42
[14].
Al-Suyuthi, al-Laala-i al-Mashnu’ah
fil-Ahadits al-Mauzhu’ah, Dar al-Ma’rifah, Beirut, Juz. II, Hal. 39
Tidak ada komentar:
Posting Komentar