Rabu, 10 Agustus 2016

Menempatkan kembali Nash-Nash Imam Syafi’i pada pemahaman yang benar (bag 4)


7. Nash Imam Syafi’i menyukai satu azan shalat Jum’at

Nash Imam Syafi’i yang sering digunakan orang sebagai pendukung hujjahnya menolak azan dua kali pada hari jum’at adalah sebagai berikut :
فَالْأَمْرُ الذي على عَهْدِ رسول اللَّهِ صلى اللَّهُ عليه وسلم أَحَبُّ إلى

Apa yang diamalkan pada masa Rasulullah masih hidup lebih aku sukai (daripada melakukan adzan dua kali di hari Jum’at).

Nash dari Imam Syafi’i ini lengkapnya adalah sebagai berikut :

قال أَخْبَرَنِي الثِّقَةُ عَنْ الزُّهْرِيِّ عَنْ السَّائِبِ بْنِ يَزِيدَ أَنَّ الْأَذَانَ كَانَ أَوَّلُهُ لِلْجُمُعَةِ حِينَ يَجْلِسُ الْإِمَامُ عَلَى الْمِنْبَرِ عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – وَأَبِي بَكْرٍ وَعُمَرَ فَلَمَّا كَانَتْ خِلَافَةُ عُثْمَانَ وَكَثُرَ النَّاسُ أَمَرَ عُثْمَانَ بِأَذَانٍ ثَانٍ فَأُذِّنَ بِهِ فَثَبَتَ الْأَمْرُ عَلَى ذَلِكَ.(قَالَ: الشَّافِعِيُّ) وَقَدْ كَانَ عَطَاءٌ يُنْكِرُ أَنْ يَكُونَ عُثْمَانُ أَحْدَثَهُ وَيَقُولُ أَحْدَثَهُ مُعَاِيَةُ، وَاَللَّهُ تَعَالَى أَعْلَمُ.(قَالَ: الشَّافِعِيُّ) وَأَيُّهُمَا كَانَ فَالْأَمْرُ الَّذِي عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ – صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – أَحَبُّ إلَيَّ
Imam Syafi’i berkata, memberitahu kepadaku seorang yang terpercaya, dari al-Zuhri dari Sayyib bin Yazid bahwa pada awalnya azan Jum’at adalah ketika imam duduk atas mimbar pada masa Rasulullah SAW, Abu Bakar dan Umar. Manakala pemerintahan khilafah Usman dan banyaklah manusia, maka Usman memerintah manusia azan untuk  yang kedua kalinya, maka diazanlah azan yang kedua kali dan tetaplah berlaku yang demikian itu. Syafi’i berkata, sesungguhnya Itha’ mengingkari bahwa Usmanlah yang mendatangkan kali pertama azan yang kedua kali, ‘Itha’ mengatakan, sebenarnya yang mendatangkan azan kedua adalah Mu’awiyah. Walluhua’lam. Syafi’i berkata, siapapun yang mendatangkan pertama sekali azan yang kedua itu, apa yang diamalkan pada masa Rasulullah lebih aku sukai.[1]

Berita yang diriwayat oleh Imam Syafi’i di atas juga telah tersebut dalam kitab Shahih al-Bukhari sebagai berikut :
السَّائِبَ بْنَ يَزِيدَ يَقُولُ إِنَّ الْأَذَانَ يَوْمَ الْجُمُعَةِ كَانَ أَوَّلُهُ حِينَ يَجْلِسُ الْإِمَامُ يَوْمَ الْجُمُعَةِ عَلَى الْمِنْبَرِ فِي عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَبِي بَكْرٍ وَعُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا فَلَمَّا كَانَ فِي خِلَافَةِ عُثْمَانَ بْنِ عَفَّانَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ وَكَثُرُوا أَمَرَ عُثْمَانُ يَوْمَ الْجُمُعَةِ بِالْأَذَانِ الثَّالِثِ فَأُذِّنَ بِهِ عَلَى الزَّوْرَاءِ فَثَبَتَ الْأَمْرُ عَلَى ذَلِكَ.
Saib bin Yazid berkata: Pada masa Rasulullah SAW, Abu Bakar r.a , dan Umar r.a, azan di hari Jum’at pada awalnya hanyalah ketika Imam duduk di atas mimbar. Pada saat Ustman bin Affan r.a. menjabat sebagai khalifah dan manusia sudah semakin banyak, beliau pun memerintahkan orang-orang untuk mengumandangkan azan yang ketiga. Azan tersebut dilakukan di atas zaura’ (sebuah tempat di pasar Kota Madinah) dan tetaplah itu berlaku. (H.R. Bukhari).[2]

Adapun yang dimaksud dengan azan ketiga dalam hadis di atas adalah azan pertama yang dikumandangkan di atas zaura’ pada masa kekhalifahan Usman bin Affan. Sementara itu azan kedua adalah azan pada saat khatib duduk di atas mimbar dan azan satu lagi adalah iqamah yang dikumandangkan sesaat menjelang didirikannya shalat Jum’at.
Gagasan yang dilakukan oleh Khalifah Usman bin Affan pada dasarnya berbeda dengan praktek pada masa Rasulullah SAW dan dua khalifah sebelumnya,  yang hanya mengumandangkan azan shalat Jum’at satu kali saja yaitu azan pada saat khatib naik mimbar, namun praktek ini diterima oleh semua kalangan umat Islam pada ketika itu. Ini terbukti dengan ada ungkapan perawi diujung riwayat tersebut : “tsabata al-amr ‘ala zalika”. Ungkapan tersebut menurut Ibn Hajar al-Asqalani mempunyai pengertian bahwa apa yang digagas oleh Khalifah Usman bin Affan diterima secara baik oleh umat Islam di seluruh negeri pada saat itu.[3] Dalam kata lain keputusan tersebut telah menjadi konsensus di kalangan sahabat. Kalau memang apa yang digagas dan dilakukan oleh Khalifah Usman bin Affan tersebut dipatuhi dan tidak seorangpun di antara sahabat dan ulama yang ada pada saat itu menentang keputusan beliau, maka ketetapan itu bisa dianggap sebagai ijmak sukuti yang harus dipatuhi dan diikuti oleh segenap umat Islam.
Sekarang kembali kepada masalah nash Imam Syafi’i di atas. Ada dua kemungkinan maknanya, yakni: Pertama, Imam Syafi’i lebih menyukai azan satu kali sebagaimana halnya berlaku pada masa Nabi SAW, baik itu dalam kondisi umat Islam sudah banyak sebagaimana kondisi umat Islam hari ini maupun dalam kondisi umat Islam yang masih sedikit sebagaimana pada masa Nabi SAW. Ini dhahir nash.  Kedua, Imam Syafi’i lebih menyukai azan satu kali apabila kondisi umat Islam masih sedikit sebagaimana pada masa Nabi SAW. Namun apabila kondisi umat Islam sudah banyak, maka azan dua kali lebih disukai, karena ‘illah hukumnya sudah berubah. Ini perlu ta’wil.
Lalu pengertian yang mana yang lebih cocok ? mengingat Imam Syafi’i ini seorang ulama yang ketinggian ilmunya tidak diragukan lagi dalam dunia Islam. Jawabannya adalah apabila kita menempat nash Imam Syafi’i di atas berlaku secara dhahirnya nash tersebut, yakni berlaku mutlaq sebagaimana kemungkinan makna pertama di atas, maka kita telah menempatkan posisi Imam Syafi’i sebagai orang yang menolak ijmak dan konsensus para sahabat Nabi pada masa Khalifah Usman. Berdasarkan ini, maka pilihan kepada makna yang kedua, yakni Imam Syafi’i lebih menyukai azan satu kali apabila kondisi umat Islam masih sedikit sebagaimana pada masa Nabi SAW merupakan alternatif makna yang dipahami dari nash Imam Syafi’i tersebut dan lebih tepat dan sesuai dengan kapasitas Imam Syafi’i sebagai seorang ulama besar dalam dunia Islam. Lagi pula pemahaman tersebut merupakan upaya kompromi (al-jam’u wal taufiq) yang dapat menghindarkan terjadi pertentangan antara dua nash. Dalam kitab Ghayatul Wushul disebutkan :
ان العمل بالمتعارضين اولى من الغاء احدهما
Sesunguhnya mengamalkan dua nash yang saling bertentangan lebih baik dari membatalkan salah satunya.[4]

            Dengan demikian, maka nash Imam Syafi’i di atas tidaklah tepat apabila digunakan untuk menolak anjuran azan dua kali pada shalat Jum’at. Karena nash terrsebut sebagaimana dijelaskan sebelum ini harus dipertempatkan dalam hal apabila kondisi umat Islam sedikit yang tidak sukar mengumpulkannya dalam masjid untuk shalat Jum’at. Pemahaman ini diambil supaya nash Imam Syafi’i tersebut tidak bertentangan dengan praktek yang dilakukan oleh Usman bin Affan dan disetujui oleh umat Islam ketika itu, sedangkan mereka itu adalah para salafusshalih yang maenjadi ikutan kita dalam beragama.

Catatan
Menurut Ibnu Hajar al-Asqalani pengingkaran ‘Itha’ adalah lemah, karena beliau ini tidak bertemu dengan Usman bin Affan. Karena itu, riwayat yang mengatakan penambahan azan terjadi pada masa Usman bin Affan lebih diutamakan dari riwayat yang mengingkarinya.[5]




[1] Syafi’i, al-Um, Dar al-Wifa, Juz. II, Hal. 389
[2] Al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, Maktabah Syamilah, Juz. II, Hal. 9, No . 916
[3] Ibnu Hajar al-Asqalani, Fathulbarri, al-Maktabah al-Salafiyah, Juz. II, Hal. 394
[4] Zakaria al-Anshari, Ghayatul Wushul, Maktabah Usaha Keluarga, Semarang, Hal. 141
[5] Ibnu Hajar al-Asqalani, Fathulbarri, al-Maktabah al-Salafiyah, Juz. II, Hal. 395

8 komentar:

  1. Pak bagaimana hukumnya jika seperti ini :
    A. Di selimut yg besar terkena sedikit najis, namun tidak tahu persis letaknya dimana. Kemudian saya lupa dan membiarkannya, setelah itu ada handuk saya yg basah mengenai selimut itu, apakah handuk saya menjadi najis dg terkenanya ke selimut itu walau tidak tau persis dimana najis yg ada pada selimut berada?
    B. Jika saya sudah membersihkan najis, lalu setelah beberapa saat saya ragu apakah saya melepaskan ikatan rambut saya sebelum membersihkan najis atau sesudah membersihkan najis, berhubung rambut saya basah dan tangan saya sudah memegang najis lalu mengering dan belum sempat dicuci. Tapi saya tidak yakin apakah sebelum memegang najis atau sesudahnya saya melepaskan ikatan rambut saya yg basah, apa bisa dikatakan rambut saya kena najis?
    C. Jika kucing saya setelah menjilati pantatnya yg ada kotorannya lalu menjilati bulunya, dibiarkan saja tanpa dicuci, apakah setelah berminggu2 bulunya itu suci kembali? Karena kelihatannya sudah tida ada illah di bulu kucing itu
    D. Apakah ketika saya sedang buntu tidak tau harus bertanya kepada siapa mengenai permasalahan agama, bolehkah saya sementara waktu mengambil pendapat imam yg lain (misal dalam masalah najis) berhubung madzhab syafii begitu ketat dalam bab najis, sedangkan masalah saya mengenai najis belum terjawab, saya org yg bodoh dalam masalah agama pak, saya memang mengaji tapi bersama org tua saya ke pengajian, dan biasanya membahas kitab seperti riyadhu solihin, mukhtarol hadits, tafsir, bukan masalah fiqih pak.
    E. Jika kuku kaki saya sakit dan sering mengeluarkan darah dan nanah dg sendirinya, dan selalu basah dg cairan2 jika setelah pergi ke wc, apakah tidak mengapa jika mukena saya terkena darah dari kuku kaki itu lalu saya menggunakan mukena itu untuk sholat? Lalu kaki saya tsb sering terdapat darah dan nanah yg mengering dan mengendap, apakah tidak mengapa jika wudhu membiarkan darah kering itu tetap ada, pernah saya mencongkelnya setiap wudhu, tp lama2 kaki saya jadi parah, dan ibu saya memarahi saya.

    Pak ustad mohon dijawab pertanyaan2 saya.

    BalasHapus
    Balasan
    1. 1. utk soal A dan B , hukumnya tidak bernajis, karena tidak dihukum najis kecuali ada dalilnya. ragu2 tidak bisa menetap najis dengannya.

      2. najis dgn sebab kucing seperti jilatannya, sedangkan dia barusan makan bangkai atau yg sejenisnya seperti kasus yg sdr sebutkan itu di maafkan, karena kucing makhluq yg selalu bersama manusia padda biasanya. jadi sukarr menghindarinya. nabi saw pernah menjelaskan kepada kita ttg di maafkan jilatan kucingg

      3. mengikuti mazhab lain boleh saja, asal tidak talfiq. seperti berwudhu' dlm mazhab syafi'i, tetapi masalah najis mengikuti mazhab lain. ini talfiq yg dilarang.

      4. masalah E, jika itu menyebabkan bertambah parah sakit kukunya, maka tidak mengapa dibiarkan saja tdk perlu di congkel2 lagi kuku sdr itu, namun darahnya atau nanah tetap tdk boleh kena kain yg sdr pake. solusi kalau mau shalat balut aja dgn perban kuku sdr. ini kalau memang darah/nanahnya bisa mengenai kain ygg dipake.

      wassalam

      Hapus

  2. Assalamu'alaikum Guru yg lon muliakan.

    Sebagaimana kita ketahui zaman ini tidak ada org yg mampu membangun suatu mazhab secara mandiri krn ketidakmampuan mencukupi syarat2 utk menjadi mujtahid muthlak.

    Bolehkah membangun mazhab kolektif sebagai alternatif, misal imam fulan melengkapi syarat a sampe h, imam fulen memenuhi syarat i sampai p dan imam fulin dari syarat q sampai z sehingga terpenuhi semua syaratnya oleh 3 imam utk satu mazhab?

    BalasHapus
    Balasan
    1. insya allah akan kami bahas masalah ini dlm posting khusus. karena masalah banyak sekalai perlu ada tinjauan nya.
      wassalam

      Hapus
    2. alhamdulillah , sdh kami bahas dlm link berikut :
      http://kitab-kuneng.blogspot.co.id/2016/08/apa-itu-ijtihad-kolektif.html
      mudah2an bermanaat
      wassalam

      Hapus
  3. Assalamualaikum bapa yang semoga diberkahi Allah dalam setiap aktivitas harian bapa.

    Bapa darah pada daging termasuk najis, namun apabila saya memasak lalu masih tersisa sedikit darah berwarna merah pias pada air basuhan daging itu bagaimana hukumnya, apakah dimafu? Saya sudah mencuci beberapa kali namun selalu saja tersisa warna merah pias pada air bekas mencucinya.

    BalasHapus
  4. Maaf bapa ada pertanyaan lanjutan, apakah tidak mengapa saya mencuci dagingnya itu dibiarkan disimpan di wadah, lalu saya cuci diguyur pake gayung, berulang-ulang seperti itu, tapi selalu saja ada sisa air yg berwarna merah namun pucat. Apakah ini dimafu?

    BalasHapus