5.
Nash Imam Syafi’i menganjurkan zikir secara sirr.
وَأَخْتَارُ
لِلْإِمَامِ وَالْمَأْمُومِ أَنْ يَذْكُرَا اللَّهَ بَعْدَ الِانْصِرَافِ مِنْ
الصَّلَاةِ وَيُخْفِيَانِ الذِّكْرَ إلَّا أَنْ يَكُونَ إمَامًا يَجِبُ أَنْ
يُتَعَلَّمَ مِنْهُ فَيَجْهَرَ حَتَّى يَرَى أَنَّهُ قَدْ تُعُلِّمَ مِنْهُ، ثُمَّ
يُسِرُّ فَإِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ يَقُولُ: وَلا تَجْهَرْ بِصَلاتِكَ وَلا
تُخَافِتْ بِهَ يَعْنِي وَاَللَّهُ تَعَالَى أَعْلَمُ الدُّعَاءَ وَلَا تَجْهَرْ
تَرْفَعْ وَلَا تُخَافِتْ حَتَّى لَا تُسْمِعَ نَفْسَك
Aku memilih
pendapat, imam dan makmum berzikir kepada Allah sesudah selesai shalat dan
menyembunyikan suaranya kecuali keadaan imam wajib belajar makmum darinya zikir
tersebut, maka dijihar sehingga dimaklumi bahwa makmum sudah belajar darinya,
kemudian imam melakukannya dengan sir. Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla
berfirman : “Jangan kamu jihar shalatmu dan juga jangan kamu sembunyikan”.
Yakni Allah Ta’ala Maha mengetahui do’a dan jangan kamu angkat suara serta
jangan kamu sembunyi suara sehingga kamu sendiri tidak mendengarnya.[1]
Ibnu Abbas menceritakan :
أَنَّ رَفْعَ الصَّوْتِ
بِالذِّكْرِ حِينَ يَنْصَرِفُ النَّاسُ مِنَ الْمَكْتُوبَةِ كَانَ عَلَى عَهْدِ
النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم وَقَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ كُنْتُ أَعْلَمُ إِذَا
انْصَرَفُوا بِذَلِكَ إِذَا سَمِعْتُهُ
Artinya :
Sesungguhnya mengeraskan suara dengar zikir pada ketika berpaling manusia dari
shalat wajib ada terjadi pada masa Nabi SAW. Ibnu Abbas mengatakan, Aku
mengetahui mereka telah selesai dari shalat wajib ketika mendengarnya.(H.R.
Bukhari [2]dan
Muslim[3])
Imam al-Nawawi dalam mensyarah hadits di atas dalam Syarah Muslim
mengatakan :
Ini (hadits di atas) merupakan dalil bagi sebagian salaf yang
berpendapat sunnat mengeraskan suara pada takbir dan zikir sesudah shalat
wajib. Termasuk yang mengatakan sunnat itu adalah Ibnu Hazm al-Dhahiry. Ibnu
Bathal dan lainnya mengutip bahwa pengikut mazhab-mazhab yang diikuti dan
lainnya sepakat atas tidak disunnatkan mengeraskan suara pada zikir dan takbir.
Al-Syafi’i r.a. telah menempatkan hadits ini kepada makna bahwa jihar itu
terjadi dalam waktu tidak lama sehingga mereka tahu bagaimana sifat zikir,
bukan mereka melakukan jihar selama-selamanya. Al-Syafi’i mengatakan, “Aku
memilih pendapat, imam dan makmum berzikir kepada Allah Ta’ala sesudah selesai
shalat dan menyembunyikan suaranya kecuali imam menginginkan makmum belajar
zikir darinya, maka dijihar sehingga dimaklumi bahwa makmum sudah belajar darinya,
kemudian imam melakukannya dengan sir. Al-Syafi’i menempatkan hadits atas
pemahaman ini.[4]
Nash
Imam Syafi’i di atas telah dijadikan hujjah oleh orang-orang anti zikir jihar
secara mutlaq. Padahal apabila kita mau mendalami lebih jauh nash berzikir
secara sirr sesudah shalat yang difatwa oleh Imam Syafi’i tersebut tidaklah
secara mutlaq sifatnya, akan tetapi tergantung kondisi dan keadaan seseorang
yang berzikir. Ini terbukti dengan fatwa beliau membolehkan zikir secara jihar
apabila imam berpendapat perlu menjiharkannya untuk mengajari makmum berzikir. Makna yang dapat kita
tangkap dari fatwa Imam Syafi’i ini adalah apabila ada kemaslahatan yang
kembali kepada zikir, maka dibolehkan, bahkan dianjurkan zikir secara jihar. Kemashalatan
itu bisa dalam bentuk mengajari zikir kepada jama’ah sebagaimana nash Imam Syafi’i di atas, juga
bisa saja dalam bentuk lain, seperti untuk meningkatkan semangat dan keinginan
jama’ah berzikir ataupun untuk lebih mendapati rasa kusyu’. Ini tentu berbeda
dengan sebab berbeda keadaan seseorang. Sebagian orang kadang-kadang merasa
lebih menikmati zikir secara sirr dan kadang sebagian lain lebih mempunyai
kesungguhan dan menghilangkan rasa malas berzikir apabila zikir dilakukan
secara jihar. Di sini berlakulah qaidah fiqh yang mengatakan :
الحكم يدور مع
العلة وجودا او عدما
Hukum
bergantung kepada ‘illah dalam hal adanya hukum atau tidak adanya.[5]
Ibnu
Hajar al-Haitami salah seorang ulama yang dianggap sangat mengerti tentang
mazhab Syafi’i, mengomentari beberapa hadits Nabi SAW yang menunjukan
dianjurnya zikir secara jihar, sementara ada beberapa hadits lain yang
cenderung menganjurkan zikir secara sirr, beliau mengatakan :
Bahwa yang
demikian itu, berbeda dengan sebab berbeda orang dan keadaannya, sebagaimana
al-Nawawi r.hm. mengkompromikan antara hadits-hadits yang menuntut jihar
membaca al-Qur’an dan hadits-hadits yang menuntut sir. Karena itu, tidak makruh
menjiharkan zikir sama sekali, karena memang tidak ada pertentangan antara keduanya,
bahkan dalam hadits tersebut menunjuki kepada disunnatkannya dengan jihar, baik
dengan sharih ataupun iltizam (isyarah lazim) dan tidak bertentangan yang
demikian itu dengan hadits sir, sebagaimana tidak bertentangan hadits-hadits
jihar membaca al-Qur’an dengan hadits yang menyuruhnya dengan sir sama halnya
dengan sir bersadaqah. Al-Nawawi telah mengkompromikannya, bahwa sir lebih baik
pada ketika dikuatirkan riya atau mengganggu orang shalat atau orang tidur.
Sedangkan jihar lebih baik pada selain itu, karena amalan padanya lebih banyak
dan faedahnya mencakup juga kepada pendengarnya serta meneguhkan hati
pembacanya, memfokuskan kemauannya kepada berpikir, mengkonsentrasikan
pendengarannya kepada al-Qur’an, dapat mengusir tidur dan menambah ketekunan. Maka
demikian juga zikir berdasarkan perincian ini. [6]
6.
Nash Imam Syafi’i mencela berkumpul di rumah kematian.
وَأَكْرَهُ
الْمَأْتَمَ وَهِيَ الْجَمَاعَةُ وَإِنْ لم يَكُنْ لهم بُكَاءٌ فإن ذلك يُجَدِّدُ
الْحُزْنَ وَيُكَلِّفُ الْمُؤْنَةَ مع ما مَضَى فيه من الْأَثَرِ
Dan aku
memakruhkan ma’tam yakni kumpulan (dirumah kematian), meskipun didalamnya tidak
terdapat tangisan, karena yang demikian bisa memperbaharui kesedihan dan juga
membebani secara materi sebagai dampak apa yang telah terjadi.[7]
Sebagian
umat Islam mengatakan, Imam Syafi’i sendiri yang menjadi ikutan bagi
orang-orang sering melakukan kenduri di rumah kematian sebagaimana nash di atas,
mengatakan tidak boleh berkumpul dirumah kematian, apalagi dengan menyediakan
makanan.
Apabila
kita mau memperhatikan secara seksama perkataan Imam Syafi’i di atas, maka akan
terlihat bahwa alasan yang digunakan Syafi’i dalam memakruhkan berkumpul itu adalah menimbulkan kesedihan
baru dan membebani ahli warris yang sedang berduka. Karena itu, apabila faktor
yang dapat menimbulkan kesedihan itu tidak ada, maka hukum makruh itupun
hilang. Hal ini sesuai dengan kaidah fiqh berbunyi :
الحكم يدور مع
العلة وجودا وعدما
Artinya : Hukum itu bergantung pada ‘illah-nya dari sisi ada dan
tidaknya.[8]
Berdasarkan
ini pula, ketika ditanyai mengenai hukum bermalam di rumah kematian yang
mencapai sebulan dari hari kematian, Ibnu Hajar al-Haitamy menjawab bahwa bermalam di sisi ahli mayat untuk
menghibur atau untuk membalut luka hati
mereka, maka itu tidaklah mengapa, karena hal itu termasuk silaturahmi yang
terpuji yang disukai syara’.[9]
Adapun
kenduri pada rumah kematian dengan niat menghadiahkan pahala bagi mayat justru
membuat ahli rumah akan merasa senang sebab ada harapan anggota keluarganya
mendapat keringanan azab di alam kubur, apalagi kenduri tersebut biasanya
dibaringi dengan kegiatan pembacaan do’a untuk mayat. Dengan demikian perkataan
Imam Syafi’i di atas tidak dapat menjadi alasan larangan kenduri pada rumah
kematian. Apalagi sebenarnya pengertian al-ma’tam dalam perkataan Imam
Syafi’i di atas, maksudnya adalah duduk ahli rumah kematian dengan sengaja dengan
niat menunggu datang penta’ziyah yang tujuannya melakukan hal-hal yang dapat
menimbulkan kesedihan baru atas ahli rumah yang ditimpa musibah kematian
seperti menyebut kebaikan-kebaikan mayat pada masa hidupnya, membahas kehidupan yang dihadapi anggota
keluarga setelah kematian sang mayat dan lain-lain. Imam al-Nawawi dalam
menjelaskan maksud al-ma’tam dalam perkataan Imam Syafi’i tersebut
mengatakan :
“Adapun ucapan
Imam Syafi’i rahimahullan didalam al-Umm : “Aku memakruhkan ma’tam, yaitu
sebuah kelompok, walaupun tidak ada tangisan pada kelompok tersebut, maka
maksudnya adalah duduk-duduk untuk dita’ziyah.”[10]
Adapun kenduri di rumah
kematian yang menjadi pembahasan kita adalah berkumpulnya para tamu di rumah
kematian atas undangan ahli rumah untuk membaca tahlil dan do’a, kemudian
disuguhi makanan kepada tamu tersebut dengan niat menghadiahkan pahalanya
kepada mayat, bukan dalam rangka untuk dita’ziyah. Ini tentu jauh berbeda
dengan duduk-duduk ahli rumah menunggu datang penta’ziyah, lalu membicarakan
hal-hal yang mengundang ratapan dan kesedihan ahli rumah.
Menempatkan kembali Nash-Nash Imam Syafi’i pada pemahaman yang benar (bag 2)
Menempatkan kembali Nash-Nash Imam Syafi’i pada pemahaman yang benar (bag 4)
Menempatkan kembali Nash-Nash Imam Syafi’i pada pemahaman yang benar (bag 4)
[2] Bukhari, Shahih al-Bukhari, Maktabah Syamilah. Juz.
I, Hal. 213, No. Hadits : 841
[3] Imam Muslim, Shahih Muslim, Maktabah Syamilah, Juz.
II, Hal. 91, No. Hadits : 1346
[6] Ibnu Hajar al-Haitamy, al-Fatawa al-Kubra, Darul
Fikri, Beirut, Juz. I, Hal. 176
[8] Al-Bakri al-Damyathi, I’anah al-Thalibin, Thaha
Putra, Semarang, Juz. II, hal. 290
[10] Al-Nawawi, Majmu’ Syarh al-Muhazzab, Maktabah
al-Irsyad, Jeddah, Juz. V, Hal. 281
Tidak ada komentar:
Posting Komentar