1.
Perkataan
Syafi’i: “Qiyam bulan Ramadhan, shalat sendiri lebih aku senangi darinya.”
Perkataan
Imam Syafi’i ini terdapat dalam kitab Mukhtashar al-Muzani. Teksnya adalah sebagai
berikut :
وقيام شهر
رمضان فصلاة المنفرد احب الى منه
“Qiyam
(mendirikan) bulan Ramadhan, maka shalat secara sendiri-sendiri lebih aku
senangi darinya.”[1]
Perkataan
Imam Syafi’i ini kadang dipahami sebagian orang bahwa Imam Syafi’i berpendapat
shalat Tarawih sunnah dilakukan secara sendiri-sendiri tanpa jama’ah. Untuk
memahami secara baik, mari kita perhatikan penjelasan al-Mawardi, seorang ulama
besar mazhab Syafi’i berikut ini. Menurut al-Mawardi ada dua kemungkinan makna
pernyataan Imam Syafi’i di atas, yakni :
a. Qiyam Ramadhan, meskipun dilakukan secara
berjama’ah, maka shalat sunat yang dilakukan secara sendiri-sendiri seperti
witir dan dua raka’at fajar lebih kuat pahalanya dari shalat qiyam Ramadhan. Ini
pendapat Abu al-Abbas bin Suraij.
b.
Shalat secara sendiri-sendiri pada qiyam Ramadhan lebih afdhal
apabila pada shalat secara sendiri-sendiri itu tidak mengosongkan jama’ah pada
suatu perkampungan. Ini merupakan pendapat kebanyakan pengikut Syafi’i. Hal ini
karena beramal dengan riwayat Zaid bin Tsabit sesungguhnya Nabi SAW bersabda :
صلوا في بيوتكم فان صلاة المرء في بيته افضل من صلاته في المسجد الا المكتوبة
Artinya : Shalatlah pada
rumah kalian, sesungguhnya shalat seseorang dalam rumahnya lebih baik dari
shalatnya dalam masjid kecuali shalat wajib.
Karena itu, seandainya dapat mengosong jama’ah dalam sebuah
perkampungan dengan sebab seseorang shalat secara sendiri-sendiri, maka shalat
qiyam Ramadhan secara berjama’ah lebih afdhal bagi orang itu, karena
mengosongkan jama’ah termasuk memadam
cahaya masjid dan meninggalkan sunnah ma’tsurah (sunnah dari syara’)[2]
Hadits
Zaid bin Tsabit di atas diriwayat oleh al-Bukhari dan Muslim dalam Shahihnya. [3]
Pendapat yang dianggap shahih
menurut Imam al-Nawawi dalam al-Majmu’ Syarh al-Muhazzab, mengerjakan shalat
tarawih dengan cara berjama’ah lebih afdhal dari shalat tarawih secara
sendiri-sendiri. Abu al-Abbas dan Abu Ishaq mengatakan, shalat tarawih dengan cara
berjama’ah lebih afdhal dari shalat tarawih secara sendiri-sendiri dengan ijmak
para sahabat dan ulama ahli masa sesudah mereka. Pendapat ini merupakan nash
Imam Syafi’i dalam al-Buwaithi. Pendapat ini juga merupakan pendapat kebanyakan
ashhab Syafi’i mutaqaddimin. Selanjutnya al-Nawawi menjelaskan bahwa khilaf ini
terjadi dalam hal pada orang-orang yang menghafal al-Qur’an dan tidak
dikuatirkan malas melaksanakan tarawih kalau melaksanakannya secara
sendiri-sendiri serta tidak kosong jama’ah dalam masjid dengan sebab orang itu
tidak berjama’ah. Karena itu, apabila tidak ada salah satu kriteria yang tiga
ini, maka jama’ah lebih afdhal tanpa khilaf.[4]
Berdasarkan
ini, maka makna yang lebih tepat untuk perkataan Imam Syafi’i dalam Mukhtashar
al-Muzani di atas adalah makna yang pertama. Dengan demikian, tidaklah tepat
kalau dipahami nash Imam Syafi’i tersebut dengan makna shalat tarawih tanpa
jama’ah lebih baik dari shalat tarawih berjama’ah secara mutlaq. Hal ini karena
bertentangan dengan ijmak ulama sebagaimana dikutip oleh Abu al-Abbas dan Abu
Ishaq serta nash Imam Syafi’i dalam al-Buwaithi di atas.
2.
Perkataan Imam Syafi’i : “Apabila shahih hadits, maka itulah mazhabku”.
Pernyataan
di atas adalah perkataan Imam Syafi’i yang sangat sering dikutip oleh sebagian
umat Islam. Dengan mempedomani perkataan Imam Syafi’i ini, apabila menemukan
sebuah hadits shahih, mereka langsung (tanpa mendalami kemungkinan-kemungkinan
lain dalam memahami hadits tersebut) menisbahkan kandungan zhahir hadits
tersebut sebagai mazhab Syafi’i, dengan alasan setiap hadits yang shahih
sanadnya, maka itu adalah pendapat Syafi’i, padahal Imam Syafi’i sendiri
terlepas dari penisbatan itu sendiri
Perkataan Imam Syafi’i di atas,
terdapat dalam kitab-kitab karya ulama antara lain :
a.
Dalam Kitab Ma’na Qaul al-Imam al-Muthallabi “Idza Shahha al-Hadits
Fa huwa Mazhabi” karya Imam al-Subki disebutkan :
سألت وفقك الله عن قول امامنا الشافعي رضي الله عنه إذا صح الحديث فهو
مذهبي "وهو قول مشهور عنه لم يختلف الناس في انه قاله وروي عنه
معناه ايضا بالفاظ مختلفة
Artinya
: Engkau (Tajul al-Subki, anak dari Imam al-Subki) menanyakan – Semoga Allah
memberikan taufiq bagimu – tentang perkataan Imam kita Syafi’i r.a. “Apabila
shahih hadits, maka itulah mazhabku”. Perkataan tersebut adalah perkataan yang
masyhur dari beliau dan tidak terjadi perbedaan pendapat manusia bahwa
perkataan tersebut diriwayat dari beliau. Telah diriwayat juga dari beliau
perkataan yang semakna dengannya dengan lafazh yang berbeda. [5]
b.
Dalam Nihayah al-Muhtaj
disebutkan :
فَقَدْ صَحَّ
أَنَّهُ قَالَ: إذَا صَحَّ الْحَدِيثُ فَهُوَ مَذْهَبِي
Artinya :Maka sesungguhnya telah shahih bahwasanya Imam Syafi’i
pernah mengatakan : Apabila shahih
hadits,maka itulah mazhabku. [6]
Apakah setiap
hadits yang shahih sanadnya merupakan mazhab Syafi’i ?
Dapat
dipastikan jawaban pertanyaan di atas adalah tidak semua zhahir makna hadits
yang telah dinyatakan shahih sanadnya oleh ahli hadits merupakan mazhab
Syafi’i, meskipun harus diakui dan memang begitulah adanya bahwa semua hukum
fiqh dalam mazhab Syafi’i didasarkan kepada hadits shahih atau hasan (hadits
maqbul). Pernyataan bahwa tidak setiap zhahir makna hadits shahih merupakan
mazhab Syafi’i dibuktikan dengan sebagai berikut :
a.
Kadang-kadang Imam Syafi’i tidak mengamalkan zhahir makna dari hadits
shahih, karena hadits tersebut dinyatakan mansukh (dihapus). Misalnya hadits
yang disebut dalam kitab Shahih al-Bukhari berbunyi :
أَفْطَرَ الحَاجِمُ وَالمَحْجُومُ
Artinya : Yang membekam dan yang dibekam terbuka puasanya(H.R.Bukhari).[7]
Hadits ini meskipun shahih, namun Imam Syafi’i tidak
mengamalkannya, karena menurut pendapat beliau kandungan hadits ini mansukh.
Al-Subki menjawab pertanyaan Abu Walid yang mengatakan bahwa hadits “Yang
membekam dan yang dibekam terbuka puasanya” adalah shahih, mengatakan :
“Ditolak
perkataan Abu Walid tersebut dengan penjelasan bahwa Syafi’i meninggalkan
hadits tersebut, padahal hadits itu shahih, karena hadits itu mansukh di
sisinya dan beliau sendiri telah menjelaskannya.[8]
Contoh lain hadits riwayat Muslim berbunyi :
الْوُضُوءُ
مِمَّا مَسَّتِ النَّارُ
Artinya
: berwudhu’ karena makan sesuatu yang disentuh api.(H.R.Muslim) [9]
Hadits ini meskipun shahih, namun Imam Syafi’i tidak
mengamalkannya, karena menurut pendapat beliau kandungan hadits ini mansukh.
Imam al-Nawawi mengatakan :
“Jawaban dari
hadits-hadits mereka (hadits-hadits wajib berwudhu’ dengan sebab makan sesuatu
yang disentuh api), sesungguhnya hadits itu mansukh, seperti ini telah dijawab
oleh Syafi’i dan ashabnya dan ulama-ulama lainnya.”[10]
b.
Kadang-kadang Imam Syafi’i meninggalkan mengamalkan zhahir dari
hadits shahih karena hadits tersebut diposisikan kepada makna yang sesuai
dengan maksud hadits lain. Misalnya Imam Syafi’i berpendapat bahwa yang afdhal wudhu’
dilakukan tiga kali dengan mengikuti perbuatan Nabi SAW berdasarkan hadits
Usman bin Affan berbunyi :
ان النبي صلعم توضأ ثلاثا ثلاثا
Artinya : Sesungguhnya Nabi SAW berwudhu’ tiga kali, tiga kali.
dengan memposisikan maksud hadits shahih dari Ibnu Abbas yang
menjelaskan bahwa Rasulullah SAW pernah berwudhu’ satu kali, satu kali dengan
makna sebagai mubah saja, bukan suatu yang utama.[11]
Dhahir hadits Ibnu Abbas yang telah beliau riwayat dalam kitab Ikhtilaf
al-Hadits ini adalah melakukan wudhu’ satu kali, satu kali merupakan amalan
yang utama, mengingat itu merupakan amalan Nabi SAW, namun beliau
mengesampingkan dhahir hadits ini dengan memposisikannya hanya sebagai
perbuatan yang mubah dilakukan, bukan yang utama dengan berdalil kepada hadits
Usman bin Affan di atas. Hadits Ibnu Abbas dimaksud juga telah diriwayat oleh
al-Bukhari, berbunyi :
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ، قَالَ: تَوَضَّأَ
النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَرَّةً مَرَّةً
Artinya : Dari Ibnu Abbas, beliau
berkata : “Nabi SAW pernah berwudhu’ satu kali, satu kali (H.R. Bukhari)[12]
c.
Kadang-kadang Imam Syafi’i meninggalkan mengamalkan zhahir dari
hadits shahih, karena menurut beliau ada hadits shahih lain yang lebih rajih
dibandingkan hadits shahih pertama. Misalnya hadits dari Rafi’ bin Khadiij,
Rasulullah SAW bersabda :
أَسْفِرُوا بِالفَجْرِ، فَإِنَّهُ
أَعْظَمُ لِلأَجْرِ
Artinya : Kerjakanlah
shalat Subuh saat pagi sedikit terang, karena itu lebih besar pahalanya (H.R.
al-Turmidzi, hadits hasan shahih).[13]
Sementara itu
ada sebuah hadits shahih dari ‘Aisyah r.a. , beliau berkata :
كن النساء من
المؤمنات يصلين مع النبي الصبح ثم ينصرفن وهن متلفعات بمروطهن ما يعرفهن احد من
الغلس
Artinya
: Kaum perempuan mukminin shalat Subuh bersama Nabi SAW, kemudian mereka pulang
dengan menutupi diri mereka dengan jubah mereka. Tidak seorangpun mengenal
mereka karena masih gelap.(H.R. Bukhari dan Muslim)[14]
Dhahir
hadits pertama bertentangan dengan hadits Aisyah, karena hadits pertama
mengandung perintah shalat Subuh pada akhir waktu, sedangkan kandungan hadits
Aisyah berisikan bahwa shalat Subuh lebih afdhal dilakukan pada awal waktu.
Dalam mengomentari dua hadits ini, Imam Syafi’i mengatakan :
“Seandainya
hadits tersebut (hadits pertama) bertentangan dengan hadits Aisyah, maka kami dan
anda wajib berpegang pada hadits Aisyah, bukan yang lain.”
Kemudian
Imam Syafi’i menjelaskan bahwa alasan beliau lebih berpegang kepada hadits
Aisyah, karena kandungan hadits Aisyah lebih mendekati dengan Kitabullah.[15]
Dengan demikian, hadits Aisyah lebih rajih di sisi beliau. Namun beliau dalam
penjelasan akhir mengenai kedua hadits di atas berpendapat bahwa kedua hadits
ini tidak saling bertentangan, dengan jalan memaknai “Asfiruu bil-fajr” dengan
pengertian shalat Subuh pada saat fajar yang kedua sesudah nampak melintang
(fajar saadiq)[16].
Namun berdasarkan uraian ini, dapat dipahami bahwa Imam Syafi’i bisa saja
meninggalkan beramal dengan sebuah hadits shahih, apabila beliau berpendapat
ada hadits shahih lain yang lebih rajih dibandingkan hadits pertama.
d.
Kadang-kadang Imam Syafi’i meninggalkan mengamalkan zhahir dari
hadits shahih, karena hadits tersebut mutlaq yang diqaidkan dengan hadits lain.
Misalnya hadits dari Ibnu Umar, Rasulullah SAW bersabda :
وَلاَ يَخْطُبَ
الرَّجُلُ عَلَى خِطْبَةِ أَخِيهِ، حَتَّى يَتْرُكَ الخَاطِبُ قَبْلَهُ أَوْ
يَأْذَنَ لَهُ الخَاطِبُ
Artinya :
Jangan salah seorang dari kalian meminang pinangan saudaranya sehingga peminang
sebelumnya meninggalkannya atau mengizinkannya. (H.R. Bukhari).[17]
Dhahir hadits
ini dilarang meminang pinangan orang lain sehingga peminangnya meninggalkannya
dengan mencakup keadaan dimana sang perempuan yang dilamar tersebut menolak
atau tidak menolaknya. Namun Imam Syafi’i tidak mengamalkan mutlaq dari dhahir
hadits tersebut dengan memposisikan larangan pada hadits tersebut apabila
perempuan yang dilamar tidak menolaknya. Pemahaman beliau ini didasarkan pada
hadits Fatimah binti Qiis berkata :
ان زوجها طَلَّقَهَا فَأَمَرَهَا رسول الله صلعم أَنْ
تَعْتَدَّ فِي بَيْتِ ابن أُمِّ مكتوم وقَالَ إِذَا حَلَلْتِ فَآذِنِينِي،
قَالَتْ: فَلَمَّا حَلَلْتُ ذَكَرْتُ لَهُ: أَنَّ مُعَاوِيَةَ بْنَ أَبِي
سُفْيَانَ، وَأَبَا جَهْم خَطَبَانِي، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَمَ: أَمَّا أَبُو جَهْمٍ، فَلاَ يَضَعُ عَصَاهُ عَنْ عَاتِقِهِ، وَأَمَّا
مُعَاوِيَةُ فَصُعْلُوكٌ، لا مَالَ لَهُ، انْكِحِي أُسَامَةَ بْنَ زَيْدٍ، قَالَتْ: فَكَرِهْتُهُ،َ
فقَالَ: انْكِحِي أُسَامَةَ بْنَ زَيْدٍ، فَنَكَحْتُهُ، فَجَعَلَ اللَّهُ فِيه
خَيْرًا، وَاغْتَبَطْتُ بِهِ
Artinya :
Sesungguhnya suaminya mentalaqnya, maka Rasulullah SAW menyuruhnya ber’iddah di
rumah Ibnu Ummi Maktum. Beliau bersabda : “Kalau sudah halal, beritahu aku.”
Ketika aku sudah halal, aku berkata kepada Rasulullah SAW : “Mu’awiyah bin Abu
Sufyan dan Abu Jahm telah meminangku.” Lalu Rasulullah SAW bersabda : “Abu Jahm
tidak pernah meletak tongkatnya dari pundaknya, sedangkan Mu’awiyah miskin
tidak berharta. Karena itu, nikahilah dengan dengan Usamah bin Zaid.” Fatimah
binti Qiis mengatakan : “Aku tidak menyukainya.” Kemudian Rasulullah SAW
mengulangi lagi : “Nikahilah Usamah bin Zaid.” Akupun menikahi Usamah bin Zaid,
Allah memberikan kebaikan kepadanya dan akupun bahagia bersamanya.[18]
Dalam kisah yang tersebut dalam hadits ini, menurut
pemahaman Imam Syafi’i, Rasulullah SAW melamar Fatimah binti Qiis untuk Usamah
bin Zaid, karena beliau tahu bahwa Fatimah binti Qiis sudah menolak lamaran Mu’awiyah
bin Abu Sufyan dan Abu Jahm. Karena itu, Imam Syafi’i memposisikan hadits
larangan meminang pinangan orang lain di atas, selama pinangan tersebut tidak
ditolak oleh perempuan yang dilamar.[19]
e.
Imam Syafi’i juga bisa saja meninggalkan mengamalkan zhahir hadits
shahih, karena faktor lain seperti hadits tersebut merupakan ‘am yang
dikhususkan dengan maksud hadits lain yang sifatnya khusus.
Dengan
menyimak uraian-uraian di atas, maka dapat dipastikan, tidak boleh bagi
seseorang umat Islam hanya dengan membaca sebuah hadits shahih, lalu dengans
serta merta mengklaim kandungan hadits tersebut sebagai mazhab Syafi’i hanya dengan
mendasarkan kepada perkataan Imam Syafi’i “Apabila shahih hadits, maka
itulah mazhabku”, tetapi penisbatan kandungan hadits shahih tersebut kepada
mazhab Syafi’i haruslah terlebih dahulu dengan melakukan kajian-kajian yang
mendalam dan konverehensif dan ini tentunya yang mampu melakukannya hanyalah
seorang mujtahid juga atau setidak-tidaknya orang tersebut mempunyai kemampuan
mendekati kemampuan seorang mujtahid.
Tidak
boleh dengan serta merta mengklaim kandungan hadits shahih sebagai mazhab
Syafi’i hanya dengan mendasarkan kepada perkataan Imam Syafi’i “Apabila
shahih hadits, maka itulah mazhabku” disebabkan seorang mujtahid, termasuk
dalam hal ini Imam Syafi’i bisa saja mengesampingkan pengamalan sebuah makna
dhahir dari sebuah hadits shahih karena ada dalil lain yang lebih rajih untuk
diamalkan di sisinya sebagaimana contoh-contoh yang telah dikemukakan sebelum
ini.
Mengomentari
perkataan Imam Syafi’i di atas, dalam Majmu’ Syarh al-Muhazzab, Imam al-Nawawi
mengatakan :
“Perkataan Imam Syafi’i ini bukanlah maknanya bahwa setiap orang
yang melihat hadits shahih dapat mengatakan “Ini mazhab Syafi’i”, lalu
mengamalkan dhahirnya. Tetapi ini hanyalah diposisikan pada orang-orang
mencapai martabat ijtihad dalam mazhab sesuai dengan sifat-sifatnya yang
terdahulu atau mendekati martabat ijtihad. Persyaratannya adalah kuat dugaannya
bahwa Syafi’i Rhm tidak pernah menemukan hadits ini atau tidak mengetahui
sahnya. Hal ini hanya dapat terpenuhi sesudah meneliti semua kitab-kitab
Syafi’i dan lainnya yaitu kitab-kitab pengikut-pengikutnya yang mengambil ilmu
dari beliau dan kitab-kitab lainnya yang serupa dengan keduanya. Persyaratan
ini merupakan persyaratan yang sukar dan sedikit orang-orang mempunyai sifat
seperti ini. Para ulama mensyaratkan hal-hal yang telah kami sebutkan, karena
Syafi’i Rhm banyak meninggalkan pengamalan hadits-hadits yang pernah beliau melihat
dan mengetahuinya, namun ada ketetapan dalil di sisi beliau bahwa hadits
tersebut tercela, di nasakhkan, dikhususkan, atau ditakwil ataupun lainnya.[20]
3.
Nash Imam
Syafi’i mencela ajaran tasawwuf dan para penganutnya
Sekelompok umat Islam yang anti ajaran
tasawwuf sering mengutip perkataan Imam Syafi’i ini sebagai pendukung pendapat
mereka. Perkataan tersebut adalah riwayat al-Baihaqi dalam kitab Manaqib
Syafi’i berbunyi :
عن يونس بن عبد الأعلى يقول: سمعت الشافعي يقول: لو أن رجلاً تصوَّف
من أول النهار لم يأت عليه الظهر إلا وجدته أحمق.
Dari Yunus bin Abdul A’la, aku mendengar Imam Syafi’i mengatakan : Jika
seorang bertasawwuf di pagi hari, sebelum datang waktu dhuhur engkau akan dapati
dia menjadi orang dungu.[21]
Dalam riwayat
lain, Imam Syafi’i berkata :
ما لزم أحد الصوفية أربعين يوما فعاد عقله إليه أبدا
Seorang yang
telah bersama kaum shufiyah selama 40 hari, tidak mungkin kembali akalnya
selama-lamanya.”[22]
Dalam
kitab Hilyatul Aulia dengan bersambung juga kepada Yunus bin Abdul A’la
disebutkan dengan menggunakan laazh
“laulaa”, yakni sebagai berikut :
سَمِعْتُ
الشَّافِعِيَّ ، يَقُولُ لَوْلا أَنَّ رَجُلا عَاقِلا تَصَوَّفَ ، لَمْ يَأْتِ
الظُّهْرَ حَتَّى يَصِيرَ أَحْمَقَ
Aku mendengar Imam Syafi’i berkata : Seandainya orang yang berakal
tidak bertasawwuf, maka belum sampai dhuhur, ia akan menjadi dungu.[23]
Makna
yang benar dari perkataan Imam Syafi’i di atas sesuai dengan apa yang
dikemukakan oleh al-Baihaqi sendiri setelah meriwayatkan perkataan tersebut
adalah :
قلت وإنما أراد به من دخل في الصوفية واكتفى بالاسم عن المعنى،
وبالرسم عن الحقيقة، وقعد عن الكسب، وألقى مؤنته على المسلمين، ولم يبال بهم، ولم
يرع حقوقهم ولم يشتغل بعلم ولا عبادة، كما وصفهم في موضع آخر
Aku
katakan : Sesungguhnya yang Imam Syafi'i maksud adalah orang yang masuk dalam
shufi namun hanya cukup dengan nama bukan dengan makna (pengamalan), merasa
cukup dengan simbol dan melupakan hakekat sufi, malas bekerja, membebankan
nafkah pada kaum muslimin tapi tidak peduli dgn mereka, tidak menjaga haq-haq
mereka, tidak menyibukkan diri dengan ilmu dan ibadah, sebagaimana beliau
mensifati hal ini di tempat yang lainnya.[24]
Pemahaman
sebagaimana dikemukakan oleh al-Baihaqi harus kita terima mengingat Imam Syafi’i
tidak anti tasawwuf, beliau hanya tidak suka dengan perilaku sebagian orang
yang mengaku sebagai sufi yang hidup pada zamannya, akan tetapi perilakunya tidak
sesuai dengan hakikat tasauf itu sendiri. Bukti beliau tidak anti tasawwuf dapat
disimak dari bait syair beliau berikut :
فقيهاً وصوفياً فكن ليس واحدا فإنــي وحـق الله إيـاك أنصح
فذلك قاس لم يذق قلبه تقــى وهذا جهول كيف ذو الجهل يصلح
فذلك قاس لم يذق قلبه تقــى وهذا جهول كيف ذو الجهل يصلح
Jadilah kamu seorang ahli fiqih yang bertasawwuf jangan jadi salah
satunya, sungguh dengan haq Allah aku menasehatimu.
Jika kamu menjadi salah satunya saja (menjadi ahli fiqh saja), maka
hatimu akan keras tak akan merasakan nikmatnya taqwa. Dan (jika jadi ahli
tasawwuf saja) sungguh dia orang teramat bodoh, maka orang bodoh tak akan
menjadi baik.[25]
Mari kita simak perkataan Imam Syafi’i yang lain :
صحبت الصوفية عشر سنين, ما استفدت منهم الا هذين حرفين : الوقت سيف، ومن
العصمة ان لا تقدر
Aku bersahabat dengan kaum sufi selama sepuluh tahun. Tidak ada yang
dapat aku ambil faedah dari mereka kecuali dua perkara, yaitu waktu adalah pedang,
dan dari pemeliharaan Allah engkau tidak akan mampu menentang-Nya.[26]
Dari perkataan
ini, kita bisa melihat Imam Syafi’i memuji kaum sufi. Lalu bagaimana mungkin
kita mengatakan beliau membenci tasawwuf ?. Berikut ini kita coba simak
perkataan Ibnu Qayyim al-Jauzi mengomentari perkataan Imam Syafi’i yang senada
dengan di atas, yakni :
قال الشافعي رضي الله عنه : صحبت
الصوفية فما انتفعت منهم إلا بكلمتين سمعتهم يقولون الوقت سيف فإن قطعته وإلا قطعك
ونفسك إن لم تشغلها بالحق وإلا شغلتك بالباطل . قلت - أي ابن القيم - : يا لهما من
كلمتين ما أنفعهما وأجمعهما وأدلهما على علو همة قائلهما ويقظته ويكفي في هذا ثناء
الشافعي على طائفة هذا قدر كلماتهم
Imam
Syafi'i r.a. berkata : Aku berteman dgn
kaum shufi dan tidaklah aku mendapat mamfaat dari mereka kecuali dua kalimat yang aku
dengar dari mereka yaitu waktu itu adalah pedang jika kamu mampu memutusnya,
jika tidak maka waktu itu yang akan memutusmu. Dan nafsumu jika tidak
disibukkan dengan kebenaran, maka akan disibukkan dgn kebathilan . Aku katakan
(Ibnul Qayyim) : Aduhai sangatlah manfaat dan mencangkup dua kalimat tersebut
dan sangat menunjukkan atas tingginya semangat dan ketajaman pikiran orang yang
mengatakan dua kalimat tersebut, dan cukuplah hal ini sebagai pujian imam
Syafi'i pada mereka.[27]
Berdasarkan
keterangan-keterangan di atas, dapat dipahami bahwa Imam Syafi’i bukan orang
yang anti kepada tasawwuf, bahkan beliau pernah menimba ilmu dari ahli tasawwuf.
Adapun celaan beliau kepada penganut tasawwuf sebagaimana terdapat dalam perkataan-perkataan
beliau di atas itu hanya merupakan
respon terhadap perilaku sebagian orang yang hidup di zaman beliau yang mengaku
sebagai ahli tasawwuf, padahal hakikatnya mereka adalah orang-orang yang jauh
dari hakikat tasawwuf itu sendiri. Karena itu, kita bisa memahami kenapa Imam
Syafi’i mengecualikan seorang sufi bernama Muslim al-Khawas dari celaan beliau,
sebagaimana perkataan beliau berikut :
ما رايت صوفيا عاقلا قط الا مسلم الخواص
Tidak aku
melihat seorangpun sufi yang berakal sama sekali kecuali Muslim al-Khawas.[28]
Dengan pemahaman
seperti ini, maka kita juga harus memahami perkataan Imam Syafi’i, “Seorang
yang telah bersama kaum shufiyah selama 40 hari, tidak mungkin kembali akalnya
selama-lamanya” sebagaimana telah dikutip di awal tulisan ini.
[1] .
al-Muzani, Mukhtashar al-Muzani, Dar al-Kutub al-Ilmiyah, Beirut,
Hal. 34
[2]. Al-Mawardi, al-Hawi al-Kabir,
Dar al-Kutub al-Ilmiyah, Beirut Juz. II, Hal. 290
[4]
Al-Nawawi, al-Majmu’ Syarh al-Muhazzab, Maktabah al-Irsyad,
Jeddah, Juz. III, Hal. 526
[5]
Al-Subki, Ma’na Qaul al-Imam al-Muthallabi “Idza Shahha al-Hadits Fa huwa
Mazhabi”, Muassasah Qurthubah, Hal. 85
[6] Imam al-Ramli, Nihayah
al-Muhtaj, (dicetak bersama Hasyiah Ali Syibran al-Malusi dan Hasyiah al-Rasyidi),
Dar al-Kutub al-Ilmiyah, Beirut, Juz. I, Hal. 50
[7]
Al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, Maktabah Syamilah, Juz. III, Hal.
33.
[8] Al-Subki, Ma’na Qaul al-Imam al-Muthallabi “Idza Shahha
al-Hadits Fa huwa Mazhabi”, Muassasah Qurthubah, Hal. 91-92
[9] Imam Muslim, Shahih
Muslim, Maktabah Syamilah, Juz. I, Hal. 272, No. Hadits : 351
[11]
Imam Syafi’i, al-Um, Dar al-Wifa’, Juz. X, Hal. 42
[14]
Al-Manawi, Faidh al-Qadir, Maktabah Syamilah, Juz. I, Hal. 508,
No. Hadits : 1024
[17] Al-Bukhari,
Shahih al-Bukhari, Maktabah Syamilah, Juz. VII, Hal. 15, No.
Hadits : 5142
[18]
Imam Syafi’i, al-Risalah, Dar al-Kutub al-Ilmiyah, Beirut, Hal.
309-310
[20]
Al-Nawawi, al-Majmu’ Syarh al-Muhazzab, Maktabah al-Irsyad,
Jeddah, Juz. I, Hal. 105
[27] Ibnu Qayyim al-Jauzi, Madarij al-Salikin, Dar al-Kitab al-Arabi, Beirut, Juz. III, Hal.
129
Tidak ada komentar:
Posting Komentar