Dalam kitab Syarah Baiquniyah fi Mushthalah
al-Hadits disebutkan :
والحديث (الكذب) أي المكذوب على النبي صلعم (المختلق) بفتح
اللام أي لا ينسب الى النبي اصلا (المصنوع) من واضعه (على النبي فذالك الموضوع)
Hadits yang didustai kepada Nabi SAW, dibuat-buat (baca mukhtalaq dengan
fatah lam) artinya tidak dapat dinisbahkan kepada Nabi sama sekali, merupakan buatan
pemalsunya atas Nabi, itu adalah maudhu’.(Hasyiah ‘Athiyah al-Ajhuurii ‘ala
Syarh al-Baiquniyah : 81)
Lebih jelasnya, Hadits maudhu' adalah sesuatu yang dinisbahkan
kepada Rasulullah SAW, karena rekaan atau dusta tentang sesuatu yang tidak
pernah beliau ucapkan, kerjakan, atau taqrirkan. Membuat rekaan atau dusta ini,
baik karena dengan sengaja atau bukan. Penegasan yang terakhir ini sesuai dengan
penjelasan al-Zarqaniy berikut ini :
ثم من الموضوع نوع لم يقصد وضعه وانما غلط ناقله
Kemudian termasuk hadits maudhu’ satu jenis hadits yang tidak sengaja
memalsukannya, hanya kesilapan pengutipnya. .(Hasyiah ‘Athiyah al-Ajhuurii ‘ala
Syarh al-Baiquniyah : 84)
Dari penegasan ini, dipahami bahwa hadits maudhu’ mencakup
juga karena faktor tidak kesengajaan dari pemalsunya seperti lupa atau
kesilapan sebagaimana juga terlihat setelah ini dalam pembahasan sebab-sebab
munculnya hadits maudhu’.
Al-Zarqaniy menyebut contoh karena kesilapan, hadits Tsabit
bin Musa, berbunyi :
من كثرت صلاته باليل حسن وجهه بالنهار
Barangsiapa banyak shalat malamnya, maka bagus wajahnya di siang harinya
Di sini, Tsabit bin Musa tidak sengaja memalsukan hadits
ini. Pada suatu waktu, Tsabit bin Musa masuk dalam majelis pengajian Syariik
bin Abdullah yang sedang mendiktekan sanad dengan katanya, “Telah memberikan
hadits kepada kami oleh al-A’masy dari Abu Sufyan dari Jabir, beliau berkata,
Rasulullah SAW bersabda”. Sampai di sini Syariik bin Abdullah berhenti dan
tidak menyebut matan haditsnya atau ada menyebutnya menurut penuturan Ibnu
Hibban, yaitu :
يعقد الشيطان على قافية أحدكم
Syaithan diikat di atas tengkuk salah seorang kamu
Melihat Tsabit bin Musa masuk ruangan majelisnya, Syariik
bin Abdullah dalam keadaan bersambung dengan sanad atau matan hadits di atas,
mengatakan dengan berkelakar yang ditujukan kepada Tsabit bin Musa yang dikenal
zuhud, warak dan kuat ibadahnya :
من كثرت صلاته باليل حسن وجهه بالنهار
Kemudian, oleh Tsabit bin Musa tanpa menyadari perkataan
tersebut sebenarnya hanya kelakar Syariik bin Abdullah, menyangka bahwa
perkataannya itu adalah sambungan dari sanad atau sambungan dari sebagian matan
yang telah disebut oleh Syariik bin Abdullah. Ini merupakan kesilapan dari Tsabit
bin Musa, sehingga beliau menyangkanya sebagai hadits Nabi SAW..(Hasyiah
‘Athiyah al-Ajhuurii ‘ala Syarh al-Baiquniyah : 84)
Cara mengenal hadits maudhu’
Dalam Syarh Al-Zarqaniy ‘ala Syarh
al-Baiquniyah dan Hasyiahnya disebutkan beberapa hal yang dapat membantu kita mengenal
hadits maudhu’, yaitu:
1. Pengakuan dari pemalsu sendiri.
2. Qarinah dan perihal hadits yang dapat diketahui oleh orang yang mempunyai
kemampuan dan kecakapan dalam bidang hadits dengan pemeriksaan yang cermat dan
sempurna. Qarinah itu antara lain :
a. dipahami dari perihal perawi. Contohnya, Ghayats bin Ibrahim pernah
menemui Khalifah al-Mahdi, salah seorang Khalifah Bani Abbasiyah di Baghdad.
Melihat Khalifah sedang bermain dengan seekor merpati, Ghayats dengan serta
merta mengatakan sebuah hadits dengan sanadnya yang berujung sampai kepada Nabi
SAW bahwa Nabi SAW bersabda :
لا سبق الا في نصل او خف اوحافر او جناح
Tidak ada perlombaan kecuali pada panahan, hewan bersepatu,
hewan berkuku dan hewan bersayap
Pada saat itu. Khlaifah al-Mahdi maklum bahwa Ghayats bin
Ibrahim berdusta untuk menyenanginya, lalu beliau memerintahkan bawahanya
menyembelih merpati tersebut.
b. kandungan matannya bertentangan dengan nash al-Qur’an, al-Sunnah yang
mutawatir, ijma’ yang qahth’i dan sharih ‘aql (akal sehat). Ini apabila matannya
itu tidak memungkin menerima takwil kepada makna yang bersesuaian.
3. Hadits maudhu’ kadang dikenali dengan sebab janggal lafazhnya karena tidak
fashahah atau janggal maknanya karena berujung kepada berita yang menghimpunkan
dua yang saling berlawanan ataupun janggal lafazh dan makna sekaligus
4. Berita yang mengandung pemberian pahala yang sangat besar dengan sebab
melakukan suatu perbuatan yang sangat kecil dan remeh. Contohnya hadits berbunyi :
من اطعم لقمة بنى الله له الف مدينة في كل مدينة الف بيت في كل
بيت الف حورية لكل حورية الف وصيفة
Barangsiapa yang memberikan sesuap makanan, maka Allah
membangun untuknya seribu kota, dalam setiap kota ada seribu rumah, dalam
setiap rumah ada seribu bidadari, dalam setiap bidadari ada seribu pelayannya.
5. Atau sebaliknya, berita yang mengandung pemberian azab yang sangat berat
dengan sebab melakukan suatu perbuatan yang sangat kecil dan remeh.
(Hasyiah ‘Athiyah al-Ajhuurii ‘ala Syarh al-Baiquniyah : 82)
Mulaa ‘Ali al-Qari telah menyebut contoh hadits maudhu’ yang
dikenali dengan sebab pengakuan perawi, yaitu pengakuan Umar bin Shubaiih telah
memalsukan pidato dengan menisbahkan pidato tersebut kepada Nabi SAW dan demikian
juga hadits yang panjang dari Ubay bin Ka’ab r.a. perihal fadhilah surat surat
al-Qur’an yang diakui oleh perawinya. (Syarah Nukhbah al-Fikri karangan Mulaa
‘Ali al-Qari : 437).
Mulaa ‘Ali al-Qari juga telah menyebut contoh hadits maudhu’
sebab kandungan matannya bertentangan dengan nash al-Qur’an, al-Sunnah yang
mutawatir, ijma’ yang qath’i dan sharih ‘aql (akal sehat), yaitu riwayat :
لا يبقى على ظهر الارض بعد مئة سنة نفس منفوسة
Tidak akan kekal di muka bumi setelah seratus tahun satu jiwa yang
bernapas.
Dinyatakan maudhu’ karena kandungannya tidak sesuai dengan
kenyataan.(Syarah Nukhbah al-Fikri karangan Mulaa ‘Ali al-Qari : 444).
Sumber matan hadits maudhu’
Matan hadits-hadits yang divonis maudhu’ oleh ulama hadits
ini berasal dari, antara lain :
1. Dari kalam pemalsu hadits sendiri
2. Dari kalam orang lain, antara lain seperti :
a. kalam sebagian salafusshalih. Contohnya :
حب الدنيا رأس كل خطيْة
Mencintai dunia merupakan inti dari segala kesalahan
Perkataan ini,
sebenarnya merupakan perkataan Malik bin Dinar sebagaimana riwayat Ibnu Abu
Dun’ya atau perkataan Nabi Isa a.s. sebagaimana riwayat al-Baihaqi dalam kitab
al-Zuhd.
b. kalam para hukama zaman dahulu. Contohnya :
المعدة بيت الداء والحمية رأس الدواء
Lambung adalah rumah penyakit dan menjaganya adalah inti
dari segala pengobatan
Ini merupakan perkataan sebagian para tabib
c. kalam Israiliyyat (kalam yang dinisbahkan kepada Bani Israil yang berasal
kitab Taurat, tokoh-tokoh agama dan orang-shaleh dari kalangan mereka).
d. berasal dari hadits dhaif yang dicampur aduk dengan hadits shahih
(Hasyiah ‘Athiyah al-Ajhuurii ‘ala Syarh al-Baiquniyah : 82)
Sebab-sebab munculnya hadits maudhu’
Adapun sebab-sebab yang memotivasi seseorang melakukan
pemalsuan hadits sesuai dengan yang disebiut dalam Syarh al-Zarqaniy
‘ala Syarh al-Baiquniyah dan Hasyiahnya, yaitu :
1. Tidak ada agama seperti golongan zindiq (golongan yang tidak mempunyai
ketetapan dengan satu agama). Al-‘Uqailiy mentakrijkan riwayat dari Humad bin
Zaid, beliau mengatakan, golongan zindiq ini telah memalsukan hadits sebanyak
empat belas ribu hadits. Al-Mahdi mengatakan, seorang dari golongan zindiiq
mengaku memalsukan hadits sebanyak seratus hadits.
2. Dalam rangka mneyokong dan fanatik mazhab seperti golongan al-Khatthabiyah
dan al-Saliimiyah. Al-Khatthabiyah merupakan salah satu cabang dari golongan
Rafiidhah. al-Khatthabiyah yang dinisbahkan kepada Abu al-Khatthab al-Asaadiy
yang mengi’tiqad ajaran hulul Allah pada ahlu bait). Sedangkan al-Saliimiyah
adalah golongan yang dinisbahkan kepada al-Hasan bin Muhammad bin Ahmad bin
Salim al-Saalimiy.
3. Mengikuti hawa nafsu sebagian pembesar negara seperti khalifah dan para
amiir dalam rangka mendekatkan diri kepada mereka
4. Keinginan mencela orang-orang yang ingin mereka cela. Mereka adalah para
fakir miskin yang suka meminta-minta kepada anak-anak sahabat Nabi. Apabila
anak para sahabat Nabi tersebut tidak memenuhi keinginan mereka, maka mereka
mengatakan, bapakmu tidak termasuk yang menghadiri perang Badar, lalu merekapun
menyebut hadits-hadits batil.
5. Motivasi pekerjaan dan mendapatkan harta
6. Motivasi terkenal dengan sebab meriwayatkan berita-berita ganjil
7. Karena dihinggapi kebodohan, seperti pekerjaan sebagian orang yang kuat
beribadah yang memalsukan hadits-hadits keutamaan surat-surat al-Qur’an
(Hasyiah ‘Athiyah al-Ajhuurii ‘ala Syarh al-Baiquniyah : 82-83)
Zakariya al-Anshari dalam Ghayatul Wushul menyebut
sebab-sebab lain terjadinya pemalsuan hadits sebagai berikut :
1. Lupa apa yang diriwayatkannya, lalu menyebut yang bukan riwayatnya karena
menyangka itu merupakan riwayatnya
2. Menjauhkan orang dari beragama, seperti pemalsuan yang dilakukan oleh
golongan zindiq berita-berita yang bertentangan dengan akal guna menjauhkan
orang-orang dari syariat yang suci
3. Kesilapan dari perawi, yakni terlanjur lisannya mengucapkan yang bukan
riwayatnya atau menempatkan lafazh-lafazh darinya yang menurut sangkaanya dapat
mengungkapkan makna hadits yang diriwayatnya (riwayat bil makna) ataupun
meriwayat yang menurut sangkaannya itu merupakan hadits.
4. Memalsukan berita-berita dalam rangka menggemarkan orang pada ketaatan dan
menjauhkan dari maksiat.
(Ghayatul Wushul : 99).
Hukum meriwayat hadits maudhu’
Telah terjadi ijmak ulama atas keharaman meriwayatkan hadits
maudhu’ kecuali dalam rangka menjelaskan maudhu’nya (kepalsuannya). Al-Zarqaniy
dalam Syarah al-Baiquniyah, setelah menyebut motivasi-motivasi pemalsuan hadits
sebagaimana dirincikan di atas, beliau mengatakan :
كل ذالك حرام باجماع من يعتد به ولا عبرة لما ذهب اليه بعض
الكرامية وبعض الصوفية من اباحة الوضع في الترغيب والترهيب لانه خطأ نشأ عن جهل
لان الترغيب والترهيب من جملة الاحكام الشرعية وقد اجمعوا على ان الكذب على النبي
صلعم من الكبائر وبالغ الجويني فكفر من تعمده عليه و اجمعوا على تحريم رواية
الموضوع الا مقرونا ببيانه لقوله صلعم من حدث عني بحديث يرى انه كذب فهو أحد
الكاذبين رواه مسلم
Semua itu adalah haram dengan ijmak para ulama muktabar dan tidak
dii’tibar pendapat sebagian golongan Karamiyah dan sebagian golongan shufiyah
yang membolehkan pemalsuan hadits dalam perihal targhib (menggemarkan amal) dan
tarhiib (menjauhi larangan). Karena hal itu terjadi karena kebodohan. Sebab
targhiib dan tarhiib merupakan bagian dari hukum syariat, sementara telah
terjadi ijmak bahwa berdusta atas nama Nabi SAW merupakan dosa besar, bahkan
Imam al-Juwaini secara berlebihan mengatakan kafir orang-orang yang sengaja
melakukannya. Dan telah ijmak ulama haram meriwayat hadits maudhu’ kecuali
dalam rangka menjelaskan maudhu’nya, karena beramal dengan sabda Nabi SAW :
“Barangsiapa memberitakan sebuah hadits dariku yang dia mengetahui itu dusta,
maka dia termasuk salah seorang pendusta. Telah diriwayat hadits ini oleh Imam
Muslim. (Hasyiah ‘Athiyah al-Ajhuurii ‘ala Syarh al-Baiquniyah : 83)
Kitab al-Maudhu’aat Ibnu al-Jauzi
Tidak boleh menetapkan sebuah hadits
sebagai hadits maudhu’ hanya semata-mata
merujuk kepada penilaian Ibnu al-Jauzi dalam kitab beliau, al-Maudhu’aat. Hal
ini karena berdasarkan peneletian banyak ahli hadits yang hidup setelah zaman
beliau, banyak hadits-hadits yang divonis maudhu’ dalam kitab tersebut ternyata
hadits tersebut disepakati shahih atau hanya dalam derajad dhaif. Bahkan dalam
kitab tersebut terdapat hadits shahih Muslim yang dinyatakan maudhu’. Ini dapat
menggambarkan kepada kita betapa ketidakhati-hatian dan keliru Ibnu al-Jauzi
dalam menilai hadits dalam kitab beliau ini. Al-Zarqani mengatakan :
وقد صنف ابن
الجوزي في بيان الموزضوعات كتابا نحو مجلدين لكنه خرج عن موضوعه بحيث اودع فيه
كثيرا من الاحاديث الضعيفة التي لا دليل له على وضعه بل ربما اودع فيه الحسن و
الصحيخ وخطْؤه في ذالك وشنعوا عليه فيه. قال السيوطي وفي كتاب ولد الجوزي ما * ليس
من الموضوع حتى وهما * من الصحيح و الضعيف والحسن * ضمنته كتابي القول الحسن
* ومن الغريب ما تراه فاعلم * . فيه حديث
من صحيح مسلم حتى قال شيخ الاسلام الحافط بن حجر العسقلاني هذا غفلة شديدة من ابن
الجوزي حيث حكم على هذا الحديث بالوضع وهو في احد الصحيحين.
Sesungguhnya Ibnu al-Jauzi telah mengarang
sebuah kitab yang menjelaskan hadits maudhu’ sekitar dua jilid, akan tetapi
kitab tersebut melenceng dari mauhu’ hadits karena di dalamnya terdapat banyak
hadits dhaif yang tidak ada dalil atas maudhu’nya. Bahkan kadang dimasukkan
dalamnya hadits hasan dan shahih. Karenanya, para ahli hadits telah
mempersalahkan dan mencelanya. Al-Suyuthi mengatakan : “Dalam kitab Ibnu
al-Jauzi ada hadits yang bukan maudhu’ sehingga disangkakannya kepada hadits
shahih, dhaif dan hasan. Telah aku
masukannya dalam kitabku, al-Qaul
al-Hasan, Ketahuilah termasuk yang aneh sebagaimana kamu lihat di dalam kitab
Ibnu al-Jauzi tersebut ada hadits Shahih Muslim, sehingga Syeikh Islam
al-Hafizh Ibn Hajar al-Asqalany mengatakan, Ini kelalaian berat dari Ibnu
al-Jauzi karena telah menilai hadits ini dengan maudhu’, padahal hadits ini
terdapat dalam salah satu kitab al-Shahihaini.(Hasyiah ‘Athiyah al-Ajhuurii ‘ala
Syarh al-Baiquniyah : 83)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar