Kamis, 17 Agustus 2023

Mengenal hadits maudhu’ (palsu)

 

Dalam kitab Syarah Baiquniyah fi Mushthalah al-Hadits disebutkan :

والحديث (الكذب) أي المكذوب على النبي صلعم (المختلق) بفتح اللام أي لا ينسب الى النبي اصلا (المصنوع) من واضعه (على النبي فذالك الموضوع)

Hadits yang didustai kepada Nabi SAW, dibuat-buat (baca mukhtalaq dengan fatah lam) artinya tidak dapat dinisbahkan kepada Nabi sama sekali, merupakan buatan pemalsunya atas Nabi, itu adalah maudhu’.(Hasyiah ‘Athiyah al-Ajhuurii ‘ala Syarh al-Baiquniyah : 81)

 

Lebih jelasnya, Hadits maudhu' adalah sesuatu yang dinisbahkan kepada Rasulullah SAW, karena rekaan atau dusta tentang sesuatu yang tidak pernah beliau ucapkan, kerjakan, atau taqrirkan. Membuat rekaan atau dusta ini, baik karena dengan sengaja atau bukan. Penegasan yang terakhir ini sesuai dengan penjelasan al-Zarqaniy berikut ini :

ثم من الموضوع نوع لم يقصد وضعه وانما غلط ناقله

Kemudian termasuk hadits maudhu’ satu jenis hadits yang tidak sengaja memalsukannya, hanya kesilapan pengutipnya. .(Hasyiah ‘Athiyah al-Ajhuurii ‘ala Syarh al-Baiquniyah : 84)

 

Dari penegasan ini, dipahami bahwa hadits maudhu’ mencakup juga karena faktor tidak kesengajaan dari pemalsunya seperti lupa atau kesilapan sebagaimana juga terlihat setelah ini dalam pembahasan sebab-sebab munculnya hadits maudhu’.

Al-Zarqaniy menyebut contoh karena kesilapan, hadits Tsabit bin Musa, berbunyi :

من كثرت صلاته باليل حسن وجهه بالنهار

Barangsiapa banyak shalat malamnya, maka bagus wajahnya di siang harinya

 

Di sini, Tsabit bin Musa tidak sengaja memalsukan hadits ini. Pada suatu waktu, Tsabit bin Musa masuk dalam majelis pengajian Syariik bin Abdullah yang sedang mendiktekan sanad dengan katanya, “Telah memberikan hadits kepada kami oleh al-A’masy dari Abu Sufyan dari Jabir, beliau berkata, Rasulullah SAW bersabda”. Sampai di sini Syariik bin Abdullah berhenti dan tidak menyebut matan haditsnya atau ada menyebutnya menurut penuturan Ibnu Hibban, yaitu :

يعقد الشيطان على قافية أحدكم

Syaithan diikat di atas tengkuk salah seorang kamu

Melihat Tsabit bin Musa masuk ruangan majelisnya, Syariik bin Abdullah dalam keadaan bersambung dengan sanad atau matan hadits di atas, mengatakan dengan berkelakar yang ditujukan kepada Tsabit bin Musa yang dikenal zuhud, warak dan kuat ibadahnya :

من كثرت صلاته باليل حسن وجهه بالنهار

Kemudian, oleh Tsabit bin Musa tanpa menyadari perkataan tersebut sebenarnya hanya kelakar Syariik bin Abdullah, menyangka bahwa perkataannya itu adalah sambungan dari sanad atau sambungan dari sebagian matan yang telah disebut oleh Syariik bin Abdullah. Ini merupakan kesilapan dari Tsabit bin Musa, sehingga beliau menyangkanya sebagai hadits Nabi SAW..(Hasyiah ‘Athiyah al-Ajhuurii ‘ala Syarh al-Baiquniyah : 84)

Cara mengenal hadits maudhu’

Dalam Syarh Al-Zarqaniy ‘ala Syarh al-Baiquniyah dan Hasyiahnya disebutkan beberapa hal yang dapat membantu kita mengenal hadits maudhu’, yaitu:

1.  Pengakuan dari pemalsu sendiri.

2.  Qarinah dan perihal hadits yang dapat diketahui oleh orang yang mempunyai kemampuan dan kecakapan dalam bidang hadits dengan pemeriksaan yang cermat dan sempurna. Qarinah itu antara lain :

a.  dipahami dari perihal perawi. Contohnya, Ghayats bin Ibrahim pernah menemui Khalifah al-Mahdi, salah seorang Khalifah Bani Abbasiyah di Baghdad. Melihat Khalifah sedang bermain dengan seekor merpati, Ghayats dengan serta merta mengatakan sebuah hadits dengan sanadnya yang berujung sampai kepada Nabi SAW bahwa Nabi SAW bersabda :

لا سبق الا في نصل او خف اوحافر او جناح

Tidak ada perlombaan kecuali pada panahan, hewan bersepatu, hewan berkuku dan hewan bersayap

 

Pada saat itu. Khlaifah al-Mahdi maklum bahwa Ghayats bin Ibrahim berdusta untuk menyenanginya, lalu beliau memerintahkan bawahanya menyembelih merpati tersebut.

b.  kandungan matannya bertentangan dengan nash al-Qur’an, al-Sunnah yang mutawatir, ijma’ yang qahth’i dan sharih ‘aql (akal sehat). Ini apabila matannya itu tidak memungkin menerima takwil kepada makna yang bersesuaian.

3.  Hadits maudhu’ kadang dikenali dengan sebab janggal lafazhnya karena tidak fashahah atau janggal maknanya karena berujung kepada berita yang menghimpunkan dua yang saling berlawanan ataupun janggal lafazh dan makna sekaligus

4.  Berita yang mengandung pemberian pahala yang sangat besar dengan sebab melakukan suatu perbuatan yang sangat kecil  dan remeh. Contohnya hadits berbunyi :

من اطعم لقمة بنى الله له الف مدينة في كل مدينة الف بيت في كل بيت الف حورية لكل حورية الف وصيفة

Barangsiapa yang memberikan sesuap makanan, maka Allah membangun untuknya seribu kota, dalam setiap kota ada seribu rumah, dalam setiap rumah ada seribu bidadari, dalam setiap bidadari ada seribu pelayannya.

 

5.  Atau sebaliknya, berita yang mengandung pemberian azab yang sangat berat dengan sebab melakukan suatu perbuatan yang sangat kecil dan remeh.

(Hasyiah ‘Athiyah al-Ajhuurii ‘ala Syarh al-Baiquniyah : 82)

 

Mulaa ‘Ali al-Qari telah menyebut contoh hadits maudhu’ yang dikenali dengan sebab pengakuan perawi, yaitu pengakuan Umar bin Shubaiih telah memalsukan pidato dengan menisbahkan pidato tersebut kepada Nabi SAW dan demikian juga hadits yang panjang dari Ubay bin Ka’ab r.a. perihal fadhilah surat surat al-Qur’an yang diakui oleh perawinya. (Syarah Nukhbah al-Fikri karangan Mulaa ‘Ali al-Qari : 437).

Mulaa ‘Ali al-Qari juga telah menyebut contoh hadits maudhu’ sebab kandungan matannya bertentangan dengan nash al-Qur’an, al-Sunnah yang mutawatir, ijma’ yang qath’i dan sharih ‘aql (akal sehat), yaitu riwayat :

لا يبقى على ظهر الارض بعد مئة سنة نفس منفوسة

Tidak akan kekal di muka bumi setelah seratus tahun satu jiwa yang bernapas.

 

Dinyatakan maudhu’ karena kandungannya tidak sesuai dengan kenyataan.(Syarah Nukhbah al-Fikri karangan Mulaa ‘Ali al-Qari : 444).

Sumber matan hadits maudhu’

Matan hadits-hadits yang divonis maudhu’ oleh ulama hadits ini berasal dari, antara lain :

1.  Dari kalam pemalsu hadits sendiri

2.  Dari kalam orang lain, antara lain seperti :

a.  kalam sebagian salafusshalih. Contohnya :

حب الدنيا رأس كل خطيْة

Mencintai dunia merupakan inti dari segala kesalahan

 

Perkataan ini, sebenarnya merupakan perkataan Malik bin Dinar sebagaimana riwayat Ibnu Abu Dun’ya atau perkataan Nabi Isa a.s. sebagaimana riwayat al-Baihaqi dalam kitab al-Zuhd.

b.  kalam para hukama zaman dahulu. Contohnya :

المعدة بيت الداء والحمية رأس الدواء

Lambung adalah rumah penyakit dan menjaganya adalah inti dari segala pengobatan

 

Ini merupakan perkataan sebagian para tabib

c.  kalam Israiliyyat (kalam yang dinisbahkan kepada Bani Israil yang berasal kitab Taurat, tokoh-tokoh agama dan orang-shaleh dari kalangan mereka).

d.  berasal dari hadits dhaif yang dicampur aduk dengan hadits shahih

(Hasyiah ‘Athiyah al-Ajhuurii ‘ala Syarh al-Baiquniyah : 82)

Sebab-sebab munculnya hadits maudhu’

Adapun sebab-sebab yang memotivasi seseorang melakukan pemalsuan hadits sesuai dengan yang disebiut dalam Syarh al-Zarqaniy ‘ala Syarh al-Baiquniyah dan Hasyiahnya, yaitu :

1.  Tidak ada agama seperti golongan zindiq (golongan yang tidak mempunyai ketetapan dengan satu agama). Al-‘Uqailiy mentakrijkan riwayat dari Humad bin Zaid, beliau mengatakan, golongan zindiq ini telah memalsukan hadits sebanyak empat belas ribu hadits. Al-Mahdi mengatakan, seorang dari golongan zindiiq mengaku memalsukan hadits sebanyak seratus hadits.

2.  Dalam rangka mneyokong dan fanatik mazhab seperti golongan al-Khatthabiyah dan al-Saliimiyah. Al-Khatthabiyah merupakan salah satu cabang dari golongan Rafiidhah. al-Khatthabiyah yang dinisbahkan kepada Abu al-Khatthab al-Asaadiy yang mengi’tiqad ajaran hulul Allah pada ahlu bait). Sedangkan al-Saliimiyah adalah golongan yang dinisbahkan kepada al-Hasan bin Muhammad bin Ahmad bin Salim al-Saalimiy.

3.  Mengikuti hawa nafsu sebagian pembesar negara seperti khalifah dan para amiir dalam rangka mendekatkan diri kepada mereka

4.  Keinginan mencela orang-orang yang ingin mereka cela. Mereka adalah para fakir miskin yang suka meminta-minta kepada anak-anak sahabat Nabi. Apabila anak para sahabat Nabi tersebut tidak memenuhi keinginan mereka, maka mereka mengatakan, bapakmu tidak termasuk yang menghadiri perang Badar, lalu merekapun menyebut hadits-hadits batil.

5.  Motivasi pekerjaan dan mendapatkan harta

6.  Motivasi terkenal dengan sebab meriwayatkan berita-berita ganjil

7.  Karena dihinggapi kebodohan, seperti pekerjaan sebagian orang yang kuat beribadah yang memalsukan hadits-hadits keutamaan surat-surat al-Qur’an

(Hasyiah ‘Athiyah al-Ajhuurii ‘ala Syarh al-Baiquniyah : 82-83)

Zakariya al-Anshari dalam Ghayatul Wushul menyebut sebab-sebab lain terjadinya pemalsuan hadits sebagai berikut :

1.  Lupa apa yang diriwayatkannya, lalu menyebut yang bukan riwayatnya karena menyangka itu merupakan riwayatnya

2.  Menjauhkan orang dari beragama, seperti pemalsuan yang dilakukan oleh golongan zindiq berita-berita yang bertentangan dengan akal guna menjauhkan orang-orang dari syariat yang suci

3.  Kesilapan dari perawi, yakni terlanjur lisannya mengucapkan yang bukan riwayatnya atau menempatkan lafazh-lafazh darinya yang menurut sangkaanya dapat mengungkapkan makna hadits yang diriwayatnya (riwayat bil makna) ataupun meriwayat yang menurut sangkaannya itu merupakan hadits.

4.  Memalsukan berita-berita dalam rangka menggemarkan orang pada ketaatan dan menjauhkan dari maksiat.

(Ghayatul Wushul : 99).

Hukum meriwayat hadits maudhu’

Telah terjadi ijmak ulama atas keharaman meriwayatkan hadits maudhu’ kecuali dalam rangka menjelaskan maudhu’nya (kepalsuannya). Al-Zarqaniy dalam Syarah al-Baiquniyah, setelah menyebut motivasi-motivasi pemalsuan hadits sebagaimana dirincikan di atas, beliau mengatakan :

كل ذالك حرام باجماع من يعتد به ولا عبرة لما ذهب اليه بعض الكرامية وبعض الصوفية من اباحة الوضع في الترغيب والترهيب لانه خطأ نشأ عن جهل لان الترغيب والترهيب من جملة الاحكام الشرعية وقد اجمعوا على ان الكذب على النبي صلعم من الكبائر وبالغ الجويني فكفر من تعمده عليه و اجمعوا على تحريم رواية الموضوع الا مقرونا ببيانه لقوله صلعم من حدث عني بحديث يرى انه كذب فهو أحد الكاذبين رواه مسلم

Semua itu adalah haram dengan ijmak para ulama muktabar dan tidak dii’tibar pendapat sebagian golongan Karamiyah dan sebagian golongan shufiyah yang membolehkan pemalsuan hadits dalam perihal targhib (menggemarkan amal) dan tarhiib (menjauhi larangan). Karena hal itu terjadi karena kebodohan. Sebab targhiib dan tarhiib merupakan bagian dari hukum syariat, sementara telah terjadi ijmak bahwa berdusta atas nama Nabi SAW merupakan dosa besar, bahkan Imam al-Juwaini secara berlebihan mengatakan kafir orang-orang yang sengaja melakukannya. Dan telah ijmak ulama haram meriwayat hadits maudhu’ kecuali dalam rangka menjelaskan maudhu’nya, karena beramal dengan sabda Nabi SAW : “Barangsiapa memberitakan sebuah hadits dariku yang dia mengetahui itu dusta, maka dia termasuk salah seorang pendusta. Telah diriwayat hadits ini oleh Imam Muslim. (Hasyiah ‘Athiyah al-Ajhuurii ‘ala Syarh al-Baiquniyah : 83)

 

Kitab al-Maudhu’aat Ibnu al-Jauzi

Tidak boleh menetapkan sebuah hadits sebagai hadits maudhu’ hanya  semata-mata merujuk kepada penilaian Ibnu al-Jauzi dalam kitab beliau, al-Maudhu’aat. Hal ini karena berdasarkan peneletian banyak ahli hadits yang hidup setelah zaman beliau, banyak hadits-hadits yang divonis maudhu’ dalam kitab tersebut ternyata hadits tersebut disepakati shahih atau hanya dalam derajad dhaif. Bahkan dalam kitab tersebut terdapat hadits shahih Muslim yang dinyatakan maudhu’. Ini dapat menggambarkan kepada kita betapa ketidakhati-hatian dan keliru Ibnu al-Jauzi dalam menilai hadits dalam kitab beliau ini. Al-Zarqani mengatakan :

وقد صنف ابن الجوزي في بيان الموزضوعات كتابا نحو مجلدين لكنه خرج عن موضوعه بحيث اودع فيه كثيرا من الاحاديث الضعيفة التي لا دليل له على وضعه بل ربما اودع فيه الحسن و الصحيخ وخطْؤه في ذالك وشنعوا عليه فيه. قال السيوطي وفي كتاب ولد الجوزي ما * ليس من الموضوع حتى وهما * من الصحيح و الضعيف والحسن * ضمنته كتابي القول الحسن *   ومن الغريب ما تراه فاعلم * . فيه حديث من صحيح مسلم حتى قال شيخ الاسلام الحافط بن حجر العسقلاني هذا غفلة شديدة من ابن الجوزي حيث حكم على هذا الحديث بالوضع وهو في احد الصحيحين.

Sesungguhnya Ibnu al-Jauzi telah mengarang sebuah kitab yang menjelaskan hadits maudhu’ sekitar dua jilid, akan tetapi kitab tersebut melenceng dari mauhu’ hadits karena di dalamnya terdapat banyak hadits dhaif yang tidak ada dalil atas maudhu’nya. Bahkan kadang dimasukkan dalamnya hadits hasan dan shahih. Karenanya, para ahli hadits telah mempersalahkan dan mencelanya. Al-Suyuthi mengatakan : “Dalam kitab Ibnu al-Jauzi ada hadits yang bukan maudhu’ sehingga disangkakannya kepada hadits shahih, dhaif dan hasan.  Telah aku masukannya dalam  kitabku, al-Qaul al-Hasan, Ketahuilah termasuk yang aneh sebagaimana kamu lihat di dalam kitab Ibnu al-Jauzi tersebut ada hadits Shahih Muslim, sehingga Syeikh Islam al-Hafizh Ibn Hajar al-Asqalany mengatakan, Ini kelalaian berat dari Ibnu al-Jauzi karena telah menilai hadits ini dengan maudhu’, padahal hadits ini terdapat dalam salah satu kitab al-Shahihaini.(Hasyiah ‘Athiyah al-Ajhuurii ‘ala Syarh al-Baiquniyah : 83)

 

 

 

 

 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar