Pengertian ilmu tauhid.
Tauhid menurut bahasa adalah :
العلم بأن الشيِء
واحدا
Mengetahui sesuatu
adalah satu
Sedangkan menurut
syara’ adalah :
علم يقتدر به على
اثبات العقائد الدينية مكتسب من أدلتها اليقينية
Ilmu yang dengan
sebabnya mempunyai kemampuan menetapkan ‘aqaid agama, ilmu tersebut diusahakan
dari dalil-dalil yang yakin. (Hasyiah al-Bajuriy ‘ala Jauharah al-Tauhid : 38)
Dalil yaqiniyah
ini mencakup dalil ‘aqli dan dalil naqli.
Maudhu’ (objek)
ilmu tauhid
1. Zat Allah Ta’ala dari
aspek sifat yang wajib, mustahil dan jaiz bagi Allah Ta’ala
2. Zat rasul-rasul Allah
dari aspek sifat yang wajib, mustahil dan jaiz bagi mereka
3. Alam yang bersifat
mumkinat atau baharu dari aspek dapat mengantarkan kepada keyakinan ada
penciptanya
4. Al-sam’iyaat (keyakinan
yang hanya dapat dipahami dari keterangan nash syara’) dari aspek kewajiban
mengi’tiqadnya. (Hasyiah al-Bajuriy ‘ala Jauharah al-Tauhid : 39)
Tsamarah (manfaat)
ilmu tauhid
Mengenal Allah Ta’ala dengan
dalil yang qath’i dan mendapat kemenangan mendapatkan kebahagiaan yang abadi (Hasyiah al-Bajuriy ‘ala Jauharah al-Tauhid
: 39)
Pencetus ilmu tauhid
Yang membangun pondasi dan
pencetus pertama ilmu tauhid adalah Imam al-Asy’ari dan Imam al-Maturidiy serta
pengikut keduanya, dalam arti kedua imam ini dan pengikutnya merupakan orang
pertama yang membukukan ilmu tauhid serta menolak argumentasi-argumentasi kaum
Muktazilah dan kelompok sesat lainnya. Adapun kandungan keyakinan aqidahnya
sudah duluan ada bersumber dari Nabi Muhammad SAW serta nabi-nabi sebelumnya. (Hasyiah al-Bajuriy ‘ala Jauharah al-Tauhid
: 40)
Sumber rujukan
Sumber rujukan ilmu tauhid
adalah dalil akal dan naqal (Hasyiah
al-Bajuriy ‘ala Jauharah al-Tauhid : 40)
Hukum mempelajari ilmu tauhid
adalah fardhu ‘ain atas setiap mukallaf (Hasyiah
al-Bajuriy ‘ala Jauharah al-Tauhid : 40)
Batasan minimal
fardhu ‘ain mengetahui ilmu tauhid
Secara garis
besar kewajiban iman sesuai dengan pengertian iman yang dikemukakan oleh
Ibrahim al-Bajuri berikut ini :
تصديق النبي صلعم في كل ما جاء وعلم من الدين بالضرورة
Membenarkan Nabi SAW pada setiap yang datang
dan dimaklumi dari agama secara dharuri. (Hasyiah al-Bajuriy ‘ala Jauharah al-Tauhid : 90-91)
Kemudian Ibrahim
al-Bajuri menjabarkan sebagai berikut :
ويكفي الإجمال
فيما يعتبر التكليف به إجمالا كالإيمان بغالب الأنبياء والملائكة، ولا بد من
التفصيل فيما يعتبر التكليف به تفصيلا كالإيمان بجمع من الأنبياء والملائكة،
فالجمع الذي يجب معرفتهم تفصيلا من الأنبياء خمسة وعشرون
Memadai secara ijmal dalam perkara-perkara yang
dii’tibar taklif secara ijmal seperti mengimani umumnya para nabi dan malaikat
dan tidak boleh tidak mengimani secara tafshil dalam perkara-perkara yang
dii’tibar taklif secara tafshil seperti mengimani sekelompok para nabi dan
malaikat. Karena itu, kelompok para nabi yang wajib mengenalnya secara tafshil
adalah 25 orang. (Hasyiah
al-Bajuriy ‘ala Jauharah al-Tauhid : 91)
Mengimani jumlah
para nabi 25 orang secara tafshil ini bukan dalam arti wajib menghafal nama 25
nabi., akan tetapi dengan makna tidak mengingkarinya apabila nama-nama tersebut
dikemukakan kepadanya.
ومعنى كون الإيمان واجبا بهم تفصيلا إنه لو عرض عليه واحد منهم لم
ينكر نبوته ولا رسالته، فمن أنكر نبوة واحد منهم أو رسالته كفر، لكن العامي لا
يحكم عليه بالكفر إلا إن أنكر بعد
تعليمه، وليس المراد أنه يجب حفظ أسمائهم خلافا لمن زعم ذلك،
Makna mengimani para nabi secara tafshil adalah
apabila dikemukakan salah satu nama para nabi tersebut, tidak diingkar kenabian
dan kerasulannya. Maka barangsiapa yang mengingkari kenabian atau kerasulannya,
hukumnya adalah kafir. Akan tetapi tidak dihukum kafir orang awam kecuali dia
mengingkarinya sesudah mentaklimnya. Ini bukan maksudnya, wajib menghafal
nama-nama mereka, ini berbeda dengan pendapat yang mendakwa demikian. (Hasyiah al-Bajuriy ‘ala Jauharah al-Tauhid
: 91-92)
Alhasil, iman
adalah :
فالإيمان شرعا هو التصديق بجميع ما جاء به النبي، مما علم من الدين
بالضرورة إجمالا في الإجمالي، وتفصيلا في التفصيلي
Iman menurut syara’
adalah membenarkan semua yang didatang oleh Nabi SAW, yaitu yang dimaklumi dari
agama secara dharuriy secara ijmal dalam perkara ijmali dan tafshil dalam
perkara tafshili. (Hasyiah al-Bajuriy ‘ala Jauharah al-Tauhid : 92)
Apabila kita
jabarkan lebih lanjut, maka kewajiban dalam hal aqidah dapat dikelompokkan
sebagai berikut :
1. Mengetahui dan
mengi’tiqad sifat yang wajib, mustahil dan jaiz bagi Allah Ta’ala dengan dalil akal
yang ijmali (al-uluhiyaat)
2. Mengetahui dan
mengi’tiqad sifat yang wajib, mustahil dan jaiz bagi rasul-rasul dengan dalil akal
yang ijmali.(al-Nubuwaat)
3. Mengetahui dan
mengi’tiqad berita-berita yang sifatnya qath’i dari nash syara’ (al-sam’iyaat) seperti
adanya hari kebangkitan, surga dan neraka, mizan, hisab, azab kubur, kolam nabi
SAW, titian sirathal mustaqim, melihat tuhan di surga, adanya malaikat baik
secara ijmal maupun tafshil, adanya para nabi dan rasul baik secara ijmal
maupun tafshili, adanya jin, syaithan, dan lain-lain.
Adapun batas
kewajiban mengenal dalil ketauhidan, Imam al-Sanusi menjelaskan sebagai berikut:
ولا نزاع بين المتكلمين في عدم وجوب المعرفة بالدليل التفصيلي على
الأعيان وإنما هو كفاية
Tidak ada pertentangan di antara ahli kalam
tentang tidak wajibnya mengetahui dalil mendetail (dalil tafshiliy) terhadap
masing-masing orang. Itu tidak lain hanyalah fardhu kifayah. (‘Umdat Ahl
at-Taufîq :13).
Mendalami tauhid dengan
metode ilmu kalam
Ilmu kalam merupakan
argumentasi-argumentasi rasional untuk mempertahankan aqidah Islam dari
rongrongan syubhat-syubhat dan kesesatan baik dari internal umat Islam yang
menyimpang maupun dari pihak eksternal. Ibnu Khaldun mengatakan :
Ilmu kalam
sebagaimana penjelasan Ibnu Khaldun adalah :
هو علم يتضمن الحجاج عن العقائد الإيمانية بالأدلة العقلية
والرد على المبتدعة المنحرفين في الاعتقادات عن مذاهب السلف واهل السنة
Ilmu yang membahas tentang argumentasi tentang aqidah keimanan dengan
berlandaskan kepada akal serta membantah golongan ahli bid’ah yang menyimpang
dari akidah mazhab salaf dan kaum ahlussunah. (Muqaddimah Ibnu Khaldun : 458)
Argumentasi-argumentasi teologis dalam
ilmu kalam tergolong rumit bagi kebanyakan orang awam. Tidak semua orang mampu
mengenal Tuhan dengan cara dialektis (qiyas ‘aqli), seperti misalnya menyusun
argumen: “Alam ini berubah, setiap yang berubah pastilah baharu, setiap yang
baharu pasti ada penciptanya, pencipta dari segalanya adalah Tuhan”. Demikian
juga seperti teori kemustahilan daur dan tasalsul
ولا يشترط معرفة النظر على طريق المتكلمين
من تحرير الادلة وترتيبها ودفع الشبهة الواردة عليها
Tidak disyaratkan mengenal nadhar (dalil)
dengan metode para ahli kalam dalam hal mengonsep dan penyusunan dalil serta
menolak syubhat yang muncul atasnya.(Hasyiah al-Dusuqi ‘ala Syarh Umm
al-Baraahiin : 67)
Bahkan memperkenalkan ilmu tauhid kepada awam dalam bentuk
kajian dan argumentasi yang rumit, tidak dapat dicerna dengan akal umum manusia
seperti ilmu kalam dan kajian tasauf tingkat tinggi menjadi haram, karena dapat
menjerumus orang awam kepada kesesatan.
Ibnu Abbas dari Nabi SAW bersabda :
أمرنا أن نكلم الناس على قدر عقولهم
Kami diperintahkan berbicara dengan
manusia menurut qadar akal mereka.(H.R. al-Dailamiy)
Hadits ini meskipun dhaif, akan tetapi
didukung oleh hadits yang ditakhrij oleh Imam Muslim dalam muqaddimah Shahihnya
dari Ibnu Mas’ud, berkata :
ما أنت بمحدث قومًا حديثًا لا تبلغه عقولهم
إلا كان لبعضهم فتنة
Tidaklah kamu berbicara dengan suatu kaum suatu
pembicaraan yang tidak sampai akal mereka kecuali hal itu menjadi fitnah bagi
sebagian mereka.
(al-Ajwabah al-Mardhiah, karangan al-Shakhawiy : I/294)
Sesuai dengan ini, tidak heran sebagian
ulama mengharamkan belajar kitab Umm al-Barahiin. Al-Sayyid ‘Alawiy bin Ahmad
al-Saqaaf mengatakan,
وقد جزم بعضهم حرمة قرأة أم البرأهين عقيدة
السنوسي على بعض العوام
Sebagian ulama menegaskan haram membaca Kitab
Umm al-Baraahiin, Aqidah al-Sanusi atas sebagian awam.(Sab’ah al-Kutub
al-Mufidah; 38)
Dalam ilmu tasauf terkenal ungkapan :
فقد قال العارفون إفشاء سر الربوبية
كفر
Para ulama ‘arifiin mengatakan, membuka rahasia
ketuhanan adalah kufur (Ihya ulumuddin: I/100)
Dalam Fath al-Mu’in, Zainuddin
al-Malibariy mengatakan,
نعم، يحرم على من لم يعرف حقيقة اصطلاحهم
وطريقتهم مطالعة كتبهم فإنها مزلة قدم
له، ومن ثم ضل كثيرون
اغتروا بظواهرها.
Namun demikian, haram atas orang yang tidak mengenal hakikat
istilah dan metode mereka (ahli shufi) muthala’ah kitab-kitab mereka. Karena
yang demikian dapat menggelincirkannya. Karena inilah, banyak orang yang
tertipu dengan makna dhahirnya.(Hasyiah I’anah al-Thalibin ‘ala Fath al-Mu’in:
134)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar