7. Al-Manshus,
maksudnya adalah pendapat yang rajih di sisi al-Nawawi, baik pendapat tersebut
berupa al-nash, qaul Syafi’i maupun wajh (pendapat sahabat Syafi’i)[1]
Contohnya, seperti perkataan al-Nawawi, yang menjadi al-ashah al-manshus,
tayamum itu wajib dengan dua kali pukul tanah. Maksud perkataan al-Nawawi ini
adalah pendapat sahabat Syafi’i (wajh) yang rajih di sisi beliau adalah
pendapat yang mengatakan wajib memukul tanah dengan dua kali pukul. Pentarjihan
ini berdasarkan hadits riwayat Abu Daud berbunyi :
أَنَّهُ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَيَمَّمَ بِضَرْبَتَيْنِ مَسَحَ
بِإِحْدَاهُمَا وَجْهَهُ
Artinya : Sesungguhnya
Nabi SAW bertayamum dengan dua kali pukul, beliau menyapu muka dengan salah satunya
(H.R. Abu Daud)
dan riwayat al-Hakim, berbunyi :
التَّيَمُّمُ ضَرْبَتَانِ : ضَرْبَةٌ لِلْوَجْهِ ، وَضَرْبَةٌ لِلْيَدَيْنِ
إلَى الْمِرْفَقَيْنِ
Artinya : Tayamum adalah
dua kali pukul, satu kali untuk muka dan satu kali lagi untuk dua tangan
sehingga dua siku-siku (H.R. al-Hakim)[2]
8. Qaul
mukharraj, yakni qaul yang
ditakhrij dari nash Imam Syafi’i pada masalah yang menyerupai dengan masalah
yang ada nash.[3] Dalam
Mughni al-Muhtaj, Khatib Syarbaini menyebutkan :
“Takhrij adalah jawaban
Syafi’i dengan dua hukum yang berbeda pada dua kasus yang saling menyerupai,
namun tidak dhahir sifat yang dapat membedakan antara keduanya, sehingga
sahabat Syafi’i menaqal jawaban Syafi’i tersebut pada setiap kasus kepada kasus
yang lain. Maka muncullah pada setiap kasus, dua qaul, yakni manshus dan
mukharraj. Yang menjadi manshus pada kasus ini menjadi mukharraj pada kasus itu
dan yang menjadi manshus pada kasus itu menjadi mukharraj pada kasus ini. Dan dikatakan
pada manshus dan mukharraj dua qaul dengan naqal dan takhrij.”[4]
Salah satu
contoh takhrij yang dikemukakan pengarang al-Minhaj adalah masalah ijtihad tentang
air dalam kasus terjadi kesamaran antara dua air dimana salah satunya bernajis,
lalu seseorang berijtihad yang hasil ijtihadnya dengan kesimpulannya bejana A
(misalnya) suci, sedangkan bejana B najis, tetapi tetap membiarkan air dalam
bejana B tanpa ditumpahkan. Kemudian ijtihadnya itu berubah dengan kesimpulan
yang berbeda dengan yang ijtihad pertama (sekarang bejana B yang suci,
sedangkan bejana A najis). Dalam kasus ini, berdasarkan nash Imam Syafi’i tidak
boleh beramal dengan ijtihad kedua, supaya tidak gugur dhan dengan dhan yang
lain atau dengan kata lain, tidak gugur ijtihad dengan ijtihad, tetapi
seandainya memang tidak ada air suci yang lain, maka beralih kepada tayamum.
Namun Ibnu Suraij, salah seorang ashab Syafi’i mengatakan beramal dengan
ijtihad kedua pada kasus berubah ijtihad tentang air di atas dengan mentakhrijkan
dari nash Syafi’i tentang arah qiblat, yang mengatakan beramal dengan ijtihad
kedua apabila berubah ijtihad.[5]
Berdasarkan pengertian takhrij yang disebut oleh Khatib Syarbaini di atas, maka
dalam contoh di atas dapat dijelaskan bahwa dalam kasus berubah ijtihad tentang
air, muncul dua qaul, yakni manshus yakni tidak beramal dengan ijtihad kedua
dan mukharraj, yakni beramal dengan ijtihad kedua. Demikan juga dalam kasus
berubah ijtihad arah qiblat, yakni manshus : beramal dengan ijtihad kedua dan
mukharraj : tidak beramal dengan ijtihad kedua.
Terjadi perbedaan pendapat dalam
penisbatan qaul mukharraj ini kepada Imam Syafi’i. Qalyubi mengatakan tidak
boleh dinisbahkan kepada Syafi’i kecuali dengan muqayyid. Sedangkan ‘Umairah
mengatakan boleh.[6]
Ibnu Hajar al-Haitamy mengatakan, menurut pendapat yang lebih shahih, tidak
boleh dinisbah kepada Syafi’i.[7]
9. Qadim
dan Jadid, Qadim adalah pendapat Syafi’i di Iraq atu sesudah
keluar beliau dari Iraq, namun sebelum memasuki Mesir dan beliau tidak lagi
mempertahankan pendapat itu di Mesir. Menurut Al-Imam, tidak halal
menganggapnya sebagai mazhab selama tidak didukung oleh nash atau ditarjih oleh
ashab ahli tarjih. Perawi Qadim yang masyhur ada empat orang, yakni
al-Kurabisi, al-Za’farany, Abu Tsur dan Ahmad bin Hanbal. Sedangkan jadid adalah
pendapat Imam Syafi’i di Mesir atau pendapat yang tetap beliau pertahankan di
Mesir, meskipun pendapat tersebut pernah beliau kemukakan di Iraq. Perawi qaul
jadid ini antara lain al-Muzani, al-Buwaithi, al-Rabi’ al-Muradi, al-Rabi’
al-Jaizi, Harmalah, Yunus bin Abd al-A’la, Abdullah bin Zubair al-Makki dan
Muhammad bin Abdullah bin Abd al-Hakam.[8]
Qaul jadid ini merupakan qaul Syafi’i yang dianggap sebagai mazhab dan
diamalkan kecuali dalam beberapa kasus yang dianggap marjuh (dha’if).[9]
Perawi qaul qadim dan jadid di
atas merupakan thabaqat pertama ulama-ulama Syafi;iyah.
10. Al-Qaul
atau al-aqwal, maksudnya pendapat Imam Syafi’i.[10]
11. Al-Wajh
atau al-aujah, pendapat sahabat Syafi’i yang di isttikhraj dari kalam
Syafi’i. namun kadang-kadang wajh tersebut merupakan ijtihad sahabat
Syafi’i tanpa memperhatikan kalam Syafi’i.[11]
Sahabat Syafi’i yang mengistikhrajkan wajh
ini dengan jalan istinbath, tafri’, taujih dari nash imam Syafi’i dinamakan
dengan Ashab al-Wujuh. Ahmad bin Abu Bakar Ibnu Sumaith al-‘Alawi al-Hazharamy
al-Syafi’i telah menyebut nama-nama yang diangap sebagai Ashab al-Wujuh dalam
mazhab Syafi’i,[12] antara lain :
Thabaqat kedua :
1). Ahmad bin Yasar,
2). Muhammad bin Nashr al-Murawazy
Thabaqat ketiga :
3). Abu al-Thaib bin Salamah
4). Abu Abdullah al-Zabiry
5). Ibnu Harbawih
6). Abu Hafash al-Babasyami
7). Abu ‘Ali bin Khairan
8). Abu Bakar al-Naisaburi
9). Abu Sa’id al-Ashthakhri
10). Abu Bakar al-Shairufi
11). Ibnu al-Qash
12). Abu Ishaq al-Murawazi
13). Abu Bakar al-Shabghi
14). Abu Ali bin Abi Hurairah
15). Ibnu al-Hadad
16). Abu ‘Ali al-Thabari
17). Abu Bakar al-Mahmudy
18). Abu Hasan al-Shabuni
19). Ibnu al-Qithan
20). Al-Qufal al-Syasyi
21). Ibnu al-Ifris
22). Ibnu Sahl al-Sha’luki
23). Ibnu Zaid al-Murawazi
24). Abu Ahmad al-Jurjani
25). Al-Maasarjasi
26). Abu al-Qasim al-Shaimiri
27). Zahir al-Sarkhasi
28). Ibnu Laal
29). Al-Khuzhari
30). Abu Hasan al-Juri
31). Abu Abdullah al-Hanathi
Thabaqat keempat :
32). Abu Thahir al-Ziyadi
33). Abu Ishaq al-Asfiraini
34). Abu Bakar al-Buqani
35). Abu Hatim al-Quzwaini
36). Al-Syarif Nashir al-Umari
37). Abu Abdullah al-Qithan
38). Abu Abdurrahman al-Quzazi
39). Abu ‘Ashim al-Ubadi
40). Al-Syalusyi
41). Abu Khalaf al-Thabari
Kemudian
datang lagi dari satu generasi kegenerasi berikutnya, sehingga muncullah Abu
Hamid Ahmad al-Asfirayaini yang merupakan tokoh besar mazhab Syafi’i di Baghdad
yang pengajiannya dihadiri oleh ulama-ulama besar mazhab Syafi’i lainya,
diantaranya : Qadhi Abu Hasan al-Mawardi (W. 450 H), Qadhi Abu al-Thaib al-Thabari
(W. 450 H), Qadhi Abu Ali al-Bandiji, Abu Hasan Ahmad bin Muhammad al-Muhamili
(W. 450 H), dan Salim al-Razi. Mereka ini mengikuti manhaj Abu Hamid Ahmad
al-Asfirayaini dalam pembukuan mazhab Syafi’i. Manhaj mereka ini dikenal dengan
Thariqat al-Iraqiyun.
Disamping
itu muncul pula al-Qufal al-Murawazi, yang diikuti oleh Abdullah bin Yusuf
al-Naisaburi yang dikenal dengan al-Juwaini (W. 438 H), Abu al-Qasim Abdurahman
bin Muhammad al-Murawazi (W. 461 H), Qadhi Husain bin Muhammad al-Murwazi (W.
462 H), Abu Ali al-Sanji dan al-Mas’udi. Manhaj mereka ini dikenal dengan
Thariqat al-Khurasaniyun atau disebut juga dengan nama Muraawazah.
Kemudian setelah muncul
kelompok al-Iraqiyun dan al-Khurasaniyun di atas, muncullah kelompok yang
menaqal kedua-dua thariqat di atas (dengan mengkompromikan atau mentarjih salah
satunya). Nama-nama kelompok ini, antara lain : Abu Abdullah al-Hulaimy,
al-Ruyani (W. 502 H), Qadhi Abu al-Ma’ali (W. 505 H), Abu Ishaq al-Syairazi (W.
476 H), Imam al-Haramain al-Juwaini (W. 478 H), al-Mutawalli al-Naisaburi (W.
478 H) dan Imam al-Ghazali.
12. Qiila
dan Fi qaul, yang maksud dengan qiila adalah wajh dha’if, yakni
pendapat sahabat Syafi’i yang dianggap dha’if. Lawan pendapat ini adakalanya
wajh shahih dan adakalanya wajh al-al-ashah. Sedangkan fi qaul,
maksudnya adalah qaul dhaif.[13]
[1]
Qalyubi, Hasyiah Qalyubi, dicetak bersama Umairah, Dar Ihya
al-Kutub al-Arabiyah, Juz. I, Hal. 13
[2]
Al-Nawawi dan Jalaluddin al-Mahalli, Minhaj al-Thalibin dan Syarahnya,
dicetak pada hamisy Qalyubi wa Umairah, Dar Ihya al-Kutub al-Arabiyah, Juz. I,
Hal. 91
[3]
Al-Nawawi dan Jalaluddin al-Mahalli, Minhaj al-Thalibin dan Syarahnya,
dicetak pada hamisy Qalyubi wa Umairah, Dar Ihya al-Kutub al-Arabiyah, Juz. I,
Hal. 13
[4]
Khatib Syarbaini, Mughni al-Muhtaj, Darul Ma’rifah, Beirut, Juz.
I, Hal. 37
[5]
Lihat al-Nawawi dan Jalaluddin al-Mahalli, Minhaj al-Thalibin dan
Syarahnya, dicetak pada hamisy Qalyubi wa Umairah, Dar Ihya al-Kutub
al-Arabiyah, Juz. I, Hal. 26
[6]
Qalyubi dan ‘Umairah, Hasyiah Qalyubi
wa ‘Umairah, Dar Ihya al-Kutub al-Arabiyah, Juz. I, Hal. 13
[7]
Ibnu Hajar al-Haitami, Tuhfah al-Mutaj, dicetak pada hamisy
Hawasy Syarwani, Mathba’ah Mustafa Muhammad, Mesir, Juz. I, Hal. 53
[8]
Qalyubi, Hasyiah Qalyubi, Dar Ihya al-Kutub al-Arabiyah, Juz. I,
Hal. 13-14
[9]
Jalaluddin al-Mahalli, Syarah al-Mahalli ala al-Minhaj, dicetak
pada hamisy Hasyiah Qalyubi, Dar Ihya al-Kutub al-Arabiyah, Juz. I,
Hal. 14
[10]
Al-Nawawi dan Jalaluddin al-Mahalli, Minhaj al-Thalibin dan Syarahnya,
dicetak pada hamisy Qalyubi wa Umairah, Dar Ihya al-Kutub al-Arabiyah, Juz. I,
Hal. 12
[11]
Jalaluddin al-Mahalli dan Qalyubi, Syarah al-Mahalli ala al-Minhaj dan
Hasyiah Qalyubi, Dar Ihya
al-Kutub al-Arabiyah, Juz. I, Hal. 13
[12]
Ahmad bin Abu Bakar Ibnu Sumaith
al-‘Alawi al-Hazharamy al-Syafi’i, al-Ibtihaj fi Bayani Isthilah
al-Minhaj, dicetak bersama kitab Minhaj al-Thalibin, Darul Minhaj, Hal. 671-673
[13]
Al-Nawawi, Minhaj al-Thalibin, dicetak pada hamisy Qalyubi wa Umairah, Dar
Ihya al-Kutub al-Arabiyah, Juz. I, Hal. 13
penjelasan ttg istilah mazhab dimana tgk ?
BalasHapusbaca : http://kitab-kuneng.blogspot.com/2011/06/istilah-istilah-yang-digunakan-dalam_15.html
Hapus