Islam adalah agama yang memberi kemudahan
bagi para pemeluknya. Salah satunya adalah keringanan bagi orang yang sedang
melakukan perjalanan jauh dengan menjamak. Jamak adalah mengumpulkan dua
pelaksanaan shalat fardhu dalam satu waktu shalat, seperti melaksanakan shalat
Dhuhur dan Ashar pada waktu Dhuhur sekaligus. Shalat yang bisa dijamak adalah
Dhuhur dengan Ashar dan Maghrib dengan Isya. Jika dilakukan di waktu shalat
yang pertama (Dhuhur atau Maghrib) dinamakan jamak taqdim, jika dilakukan di
waktu shalat yang kedua (Ashar atau Isya) dinamakan jamak ta’khir. Diantara
hadits yang memberi petunjuk kebolehan jamak shalat adalah riwayat Anas bin
Maalik r.a, beliau berkata,
كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ إِذَا ارْتَحَلَ قَبْلَ أَنْ تَزِيغَ الشَّمْسُ أَخَّرَ الظُّهْرَ إِلَى
وَقْتِ العَصْرِ، ثُمَّ يَجْمَعُ بَيْنَهُمَا، وَإِذَا زَاغَتْ صَلَّى الظُّهْرَ
ثُمَّ رَكِبَ
Nabi SAW jika bepergian sebelum
matahari condong ke barat (sebelum masuk waktu Dhuhur), maka beliau
mengakhirkan salat Dhuhur di waktu Ashar, kemudian menjamak kedua salat
tersebut. Jika beliau bepergian setelah matahari condong ke barat (setelah
masuk waktu Dhuhur), beliau salat Dhuhur kemudian berangkat. (H.R. Bukhari
dan Muslim)
Syarat jamak shalat karena musafir
(perjalanan)
Adapun syarat-syarat jamak shalat antara
lain:
1. Jamak shalat dilakukan dengan melakukan shalat
magrib pada waktu ‘Isya (jamak ta’khir) atau sebaliknya (jamak taqdim) dan
shalat dhuhur pada waktu ‘Ashar (jamak ta’khir) atau sebaliknya (jamak taqdim)
2. Dalam keadaan musafir panjang, yaitu jarak
tempuhnya dua marhalah (Syarah al-Mahalli: I/299). Adapun ukuran jarak tempuh
apabila menggunakan ukuran jarak tempuh zaman sekarang adalah 138,24 km atau
lebih. Ini apabila merujuk kepada penghitungan yang dilakukan Tgk H. Muhammad
Yusuf A. Wahab dan Tgk Tarmidzi al-Yusufi
(risalah Miqdar al-Syar’i: 11). Namun menurut Dr. Musthafa Al-Khin
ukurannya adalah 81 km.atau lebih (al-Fiqh al-Manhajiy ‘ala Mazhab al-Imam
al-Syafi’i: I/190). Yang mendekati pendapat yang terakhir ini adalah pendapat
yang dikemukakan H. Sulaiman Rasjid, yaitu minimal menempuh jarak perjalanan 80,640
km.(Fiqh Islam: 120).
3. Tujuan musafir bukan maksiat. Karena jamak
shalat merupakan rukhsah (keringanan) dalam agama, sedangkan rukhsah tidak
boleh karena faktor maksiat. Qaidah fiqh mengatakan :
الرخصة لا تناط بالمعصية
Rukhsah tidak digantung dengan maksiat.
4. Keringanan kebolehan jamak shalat bisa hilang apabila:
a. Sudah kembali ke kampung halaman.
b. Sampai
di tempat tujuan dengan niat menetap secara mutlaq di tempat tujuan tersebut (tanpa
diqaitkan dengan jumlah hari)
c. Sampai
di tempat tujuan dengan niat menetap di tempat tujuan tersebut selama empat
hari penuh atau lebih
d. Sampai
di tempat tujuan serta ada keyakinan atau dugaan dalam hati bahwa keperluannya
akan selesai dalam empat hari penuh di tempat tujuan tersebut
Dalam Fath al-Mu’in disebutkan :
وينتهي السفر بعوده
إلى وطنه، وإن كان مارا به، أو إلى موضع آخر، ونوى إقامته به مطلقا أو أربعة أيام صحاح، أو علم أن إربه لا ينقضي
فيها
Habis masa musafir dengan kembalinya kepada tempat tinggal menetap seseorang,
meskipun ia hanya melewatinya saja, atau dengan sebab sampai ketempat lain,
dimana dia meniatkan menetap ditempat itu secara mutlaq atau empat hari penuh
atau ia memaklumi bahwa ia selesai keperluannya dalam empat hari penuh.(Hasyiah
I’anah al-Thalibin ‘ala Fathul Mu’in: II/101-102)
Hukum jamak shalat tidak dalam keadaan
musafir
Adapun hukum jamak shalat tidak dalam
keadaan musafir dapat disimak penjelasan Imam al-Nawawi dalam Majmu’ Syarah
al-Muhazzab berikut :
(فَرْعٌ) فِي مَذَاهِبِهِمْ فِي الْجَمْعِ فِي
الْحَضَرِ بِلَا خَوْفٍ ولا سفر وَلَا مَرَضٍ: مَذْهَبُنَا وَمَذْهَبُ أَبِي
حَنِيفَةَ وَمَالِكٍ وَأَحْمَدَ وَالْجُمْهُورِ أَنَّهُ لَا يَجُوزُ وَحَكَى ابْنُ
الْمُنْذِرِ عَنْ طَائِفَةٍ جَوَازَهُ بِلَا سَبَبٍ قَالَ وجوزه بن سِيرِينَ
لِحَاجَةٍ أَوْ مَا لَمْ يَتَّخِذْهُ عَادَةً
Masalah mazhab ulama tentang jamak shalat pada
waktu hazhir (tidak musafir) tanpa faktor ketakutan, musafir dan sakit, yakni
mazhab kita (Mazhab Syafi’i), Mazhab Abu Hanifah, Malik, Ahmad dan jumhur ulama
berpendapat tidak boleh. Namun Ibnu al-Munzir menceritakan pendapat dari
sekelompok ulama yang mengatakan boleh dengan tanpa sebab apapun. Ibnu Siriin
membolehkannya karena kebutuhan atau selama
tidak menjadikannya sebagai suatu kebiasaan. (Majmu’ Syarah al-Muhazzab IV/264)
Juga penjelasan Imam
al-Nawawi dalam Raudhah al-Thalibin :
وَقَدْ حَكَى
الْخَطَّابِيُّ عَنِ الْقَفَّالِ الْكَبِيرِ الشَّاشِيِّ، عَنْ أَبِي إِسْحَاقَ
الْمَرْوَزِيِّ جَوَازَ الْجَمْعِ فِي الْحَضَرِ لِلْحَاجَةِ مِنْ غَيْرِ
اشْتِرَاطِ الْخَوْفِ، وَالْمَطَرِ، وَالْمَرَضِ، وَبِهِ قَالَ ابْنُ الْمُنْذِرِ
مِنْ أَصْحَابِنَا
Al-Khathabiy
sungguh telah menceritakan dari al-Qafal al-Kabiir al-Syaasyii dari Abu Ishaq
al-Marwaziy boleh jamak pada waktu hazhir (tidak musafir) karena ada kebutuhan
tanpa disyaratkan ada ketakutan, hujan dan sakit. Pendapat ini merupakan
pendapat Ibnu al-Munzir dari pengikut Syafi’i. (Raudhah al-Thalibin I/401)
Sesuai dengan penjelasan al-Nawawi di atas,
bahwa jumhur ulama, termasuk di dalamnya imam mazhab empat berpendapat jamak
shalat shalat tanpa faktor musafir, hujan, ketakutan dan sakit tidak
dibolehkan. Dengan demikian pendapat yang mengatakan boleh jamak shalat hanya
karena hajat (kebutuhan) atau selama tidak menjadi kebiasaan bertentangan
dengan mazhab yang empat dan jumhur ulama. Al-Ruyaaniy telah menyebut pendapat
ini sebagai pendapat ghalzun (tersalah) (Bahr al-Mazhab II/350). Pendapat ini
juga bertentangan dengan hadits Nabi SAW berbunyi :
من جمع بين صلاتين من غير عذر فقد أتى بابا من أبواب الكبائر
Barangsiapa yang melakukan jamak antara dua
shalat dengan tanpa ‘uzur, maka dia telah mendatangkan pintu dari pintu-pintu
dosa besar. (H.R. al-Turmidzi, al-Baihaqi dan lainnya)
Setelah menolak pendapat yang
mengatakan boleh jamak shalat hanya karena hajat (kebutuhan) atau selama tidak
menjadi kebiasaan dengan mengemukakan dalil-dalilnya, Ismail al-Zain (W. 1382
H), seorang ulama mazhab Syafi’i mutaakhirin, menyimpulkan :
إذا علم هذا فما عليه أئمة المذاهب الأربعة هو المعتمد وهو الذي يدين
الله به من يريد الاستبراء للدين وما سوى ذلك لا يعول عليه ولا يجوز اعتماده ولا
تقليد قائله
Apabila ini sudah dimaklumi, maka apa yang
menjadi pegangan mazhab yang empat adalah mu’tamad (menjadi pegangan) dan
dengannya orang-orang yang mau menjagakan diri bagi agamanya,
menundukkan diri kepada Allah. Tidak bersandar kepada selain itu (selain
pendapat mazhab empat) dan tidak boleh berpegang dengannya dan juga tidak boleh
taqlid kepada yang mengatakan pendapat tersebut. (Qurratul ‘Ain bi Fatawa
Isma’il al-Zain :82)
Adapun hadits Nabi SAW berbunyi :
أن النبي صلى الله عليه وسلم جمع بالمدينة من غير خوف ولا مطر
Sesungguhnya Nabi SAW melakukan shalat secara
jamak di Madinah tanpa ada sebab ketakutan dan hujan (H.R. Muslim)
Diantara takwil hadits ini yang
dikemukakan jumhur ulama, yang dimaksud jamak dalam hadits ini
adalah al-jam’u al-shuuri (seperti bentuk jamak), yakni melaksanakan
shalat waktu pertama pada akhir waktunya dan melaksanakan shalat waktu kedua
pada awal waktunya, sehingga kedua shalat tersebut berhampiran waktu
pelaksanaannya, seolah-olah seperti shalat jamak. (Qurratul ‘Ain bi Fatawa
Isma’il al-Zain :82)
Jamak shalat karena hujan
Dalam I’anah al-Thalibin dijelaskan
syarat-syarat jamak shalat ketika hujan sebagai berikut :
a. Boleh jamak shalat jamak taqdim saja
b. Syarat2nya seperti syarat jamak taqdim dalam
musafir (musafir tidak menjadi syarat)
c. Wujud hujan pada ketika takbiratul ihram shalat
pertama, ketika tahallul (sudah melakukan salam) shalat pertama dan sampai
melakukan takbiratul ihram shalat kedua.
d. Orang yang merencanakan melakukan jamak
tersebut melakukan shalat secara berjama’ah di mesjid atau tempat lain yang
jauh dari rumahnya. Ukuran jauh itu apabila orang tersebut pulang kerumahnya
dapat menyebabkan basah bajunya. (I’anah al-Thalibin: II/105)
Jamak shalat karena ketakutan atau sakit
Imam al-Nawawi mengatakan,
المشهور في
المذهب والمعروف من نصوص الشافعي وطرق الأصحاب أنه لا يجوز الجمع بالمرص
والريح والظلمة ولا الخوف ولا الوحل
Pendapat yang masyhur dalam mazhab dan yang
ma'ruf dalam nash-nash Imam Syafi'i serta jalur para ulama pengikut beliau
adalah tidak boleh menjama' karena sakit, angin, gelap malam, takut ataupun karena
lumpur. (Al-Majmu’ Syarah al-Muhazzab: IV/383)
Sebelumnya, beliau mengatakan,
وأما الوحل
والظلمة والريح والمرض والخوف فالمشهور من المذهب أنه لا يجوز الجمع بسببها وبه
قطع المصنف والجمهور وقال جماعة من أصحابنا بجوازه
Adapun karena takut lumpur,
kegelapan malam, angin, sakit dan rasa takut, maka menurut yang masyhur dalam mazhab
tidak boleh jamak dengan sebabnya. Pendapat ini telah ditegaskan (qatha’) oleh
pengarang al-Muhazzab dan Jumhur ulama. Namun demikian, satu jamaah dari
kalangan ulama Syafi’iyah berpendapat boleh jamak. (Al-Majmu’ Syarah al-Muhazzab: IV/381)
Sesuai dengan
keterangan Imam al-Nawawi di atas, maka pendapat yang menjadi pegangan dalam
mazhab Syafi’i adalah tidak boleh melakukan jamak shalat karena alasan ketakutan atau sakit. Namun demikian ada sekelompok ulama
Syafi’iyah yang berpendapat boleh jamak shalat
tersebut.
Wallahua’lam bisshawab
Tidak ada komentar:
Posting Komentar