Ada tiga perkara yang tidak terputus apabila seseorang
sudah meninggalkan alam fana ini, yakni sadaqah jariah, ilmu yang bermanfaat
dan anak yang saleh yang berdoa kepada ibu bapaknya. Penjelasan ini merupakan
kandungan makna harfiyah dari hadits di bawah ini. Nabi SAW bersabda:
إِذَا مَاتَ الْإِنْسَانُ
انْقَطَعَ عَنْهُ عَمَلُهُ إِلَّا مِنْ ثَلَاثَةٍ: إِلَّا مِنْ صَدَقَةٍ
جَارِيَةٍ، أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ، أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ
Apabila seorang manusia
menimpa ajalnya, maka amalnya terputus kecuali tiga perkara, yaitu sadaqah
jariah, ilmu yang dimanfaatkan orang lain dan anak shaleh yang berdoa untuknya.
(H.R. Muslim)
Al-Iraqi mengatakan hadits ini telah diriwayat oleh
Muslim, Abu Daud dan al-Turmudzi. Al-Turmidzi mengatakan hadits ini hasan
shahih.(Takrij Ahadits Ihya Ulumuddin, karya al-Zabidiy: I/79)
Tafsir hadits
Bila kita ingin memahami lebih dalam makna hadits ini,
ada beberapa penjelasan berikut ini yang perlu diketengahkan di sini, yaitu:
1.
Yang terputus bukanlah amal sebagaimana makna dhahirnya. Karena tidak
ada makna penegasan putus amal, karena nyawa seseorang apabila sudah
meninggalkan raganya, tentunya tidak dapat beramal tanpa ada pengecualian.
Karena itu, para ulama memahami bahwa yang terputus dalam hadits ini adalah
pahala amal, bukan amalnya. Dalam kitab
I’anah al-Thalibin disebutkan:
وقوله انقطع عمله، أي ثواب عمله
Sabda Nabi SAW: terputus amalnya, artinya terputus pahala amalnya
(I’anah al-Thalibin: III/186)
Dalam penjelasan Imam al-Nawawi tentang hadits
ini, beliau mengatakan,
قَالَ الْعُلَمَاءُ مَعْنَى الْحَدِيثِ أَنَّ
عَمَلَ الْمَيِّتِ يَنْقَطِعُ بِمَوْتِهِ وَيَنْقَطِعُ تَجَدُّدُ الْثوَابِ لَهُ
إِلَّا فِي هَذِهِ الْأَشْيَاءِ الثَّلَاثَةِ لِكَوْنِهِ كَانَ سَبَبَهَا فَإِنَّ
الْوَلَدَ مِنْ كَسْبِهِ وَكَذَلِكَ الْعِلْمُ الَّذِي خَلَّفَهُ مِنْ تَعْلِيمٍ
أَوْ تَصْنِيفٍ وَكَذَلِكَ الصَّدَقَةُ الْجَارِيَةُ وَهِيَ الْوَقْفُ
Para ulama mengatakan,
makna hadits ini adalah amal orang yang sudah mati terputus dengan sebab mati
dan terputus mengalir pahala yang baru baginya kecuali pada tiga perkara ini,
karena ia merupakan sebab bagi tiga perkara tersebut. Anak merupakan hasil
usahanya, demikian juga ilmu yang ia tinggalkan dalam bentuk mengajar atau
tulisan. Dan demikian juga sadaqah jariah, yakni waqaf.(Syarah Muslim: XI/85)
2.
Sebagaimana lafazh hadits
di atas, yang teputus adalah pahala amal yang pernah dilakukan si mati pada
masa hidupnya. Karena itu, hadits ini tidak dapat dijadi hujjah untuk menafikan
pahala amal orang yang masih hidup yang diperuntukkan bagi si mati seperti doa
bagi si mati, sadaqah yang diniatkan pahalanya untuk si mati, haji badal dan
lain-lain.
3.
Pengertian sadaqah jariah
adalah sadaqah yang pahalanya terus mengalir. Pahalanya bukan hanya pahala
sekali beramal sebagaimana umumnya ibadah lainnya, akan tetapi setelah
diperuntukkan suatu pahala karena sadaqahnya tersebut, bagi yang melakukannya terus
menerus mengalir pahala yang sama selama sadaqahnya itu dimanfaatkan (tajaddud
tsawab) dan itu tidak terputus dengan sebab kematian. Sadaqah model ini
adalah sadaqah dalam bentuk waqaf sebagaimana penafsiran Imam al-Nawawi di
atas. Karena itu tidak heran kalau para ulama mensyaratkan waqaf haruslah dalam
bentuk kekal bendanya, tidak boleh seperti makanan yang hilang wujud bendanya
apabila dimanfaatkan dengan memakannya.
4.
Pengertian ilmu yang dimanfaatkan
oleh orang lain adalah seperti mengajar dan mengarang. Namun menurut Imam
al-Subkiy mengarang lebih utama dibandingkan mengajar, karena tulisan dalam
bentuk karangan lebih lama bertahan dalam perjalanan masanya. Al-Munawi
mengutip perkataan al-Subkiy sebagai berikut:
والتصنيف أقوى لطول بقائه على ممر الزمان
Mengarang lebih kuat
karena lama kekalnya dalam perjalanan masanya. (Faidh al-Qadir, karangan
al-Munawi: I/437)
Namun demikian, al-Munawi menyambung
pernyataan al-Subkiy di atas dengan perkataan beliau:
لكن شرط بعض شراح مسلم لدخول التصنيف فيه اشتماله
على فوائد زائدة على ما في الكتب المتقدمة فإن لم يشتمل إلا على نقل ما فيها فهو
تحبير للكاغد فلا يدخل في ذلك وكذا التدريس فإن لم يكن في الدرس زيادة تستفاد من
الشيخ مزيدة على ما دونه الماضون لم يدخل
Akan tetapi sebagian
pensyarah hadits Muslim untuk masuk mengarang di dalam “Ilmu yang dimanfaatkan
orang lain” mensyaratkan harus mencakup faedah-faedah yang merupakan tambahan
dari kitab-kitab yang lebih duluan ada. Karena itu, apabila karangan tersebut
hanya merupakan kutipan dari kitab-kitab sebelumnya, maka itu hanya tinta pada
kertas. Karenanya tidak masuk dalam “ilmu yang dimanfaatkan orang lain”.
Demikian juga mengajar apabila dalam pengajaran tersebut tidak ada tambahan
dari apa yang diterima dari gurunya melebihi dari apa yang sudah pernah
dibukukan oleh orang-orang sebelumnya, maka juga tidak termasuk dalamnya.
(Faidh al-Qadir, karangan al-Munawi: I/437)
Pengutamaan mengarang dari
mengajar ini tidak berlaku mutlaq. Menurut ‘Ali Syibran al-Malasiy, apabila di
sebuah kawasan tertentu tidak terdapat seorang pengajar, maka dalam kondisi
seperti ini, mengajar akan menjadi lebih utama dari mengarang. Tersebut dalam Hasyiah
Syarwani ‘ala Tuhfah al-Muhtaj:
وَاَلَّذِي يُتَّجَهُ
أَنَّهُ إنْ كَانَ ثَمَّ مَنْ يَقُومُ عَنْهُ بِالتَّعْلِيمِ كَانَ التَّصْنِيفُ
أَوْلَى وَإِلَّا فَالتَّعْلِيمُ أَوْلَى اهـ.ع ش
Pendapat yang dianggap
kuat adalah apabila terdapat orang yang mampu mengajar, maka mengarang lebih
utama. Adapun jika tidak ada, maka mengajar lebih utama. Demikian dari ‘Ali
Syibran al-Malasiy (Hasyiah Syarwani ‘ala Tuhfah al-Muhtaj: VI/236)
5.
Pengertian anak shaleh
yang berdoa untuknya. Pengertian shaleh di sini adalah muslim, baik dia shaleh
atau tidak. Disebut shaleh di sini karena ghalibnya hanya anak yang shaleh yang
mau berdoa kepada orangtuanya. Dalam kitab
I’anah al-Thalibin disebutkan:
وقوله أي مسلم، أي أن المراد بالصالح: المسلم، فأطلق الخاص وأراد العام
Perkataan pengarang “maksudnya muslim” bermakna sesungguhnya makna
shaleh adalah muslim. Di sini disebut khusus, akan tetapi maksudnya umum.(I’anah
al-Thalibin: III/187)
Sejatinya doa bukan hanya dari anak kepada orangtuanya saja dapat
bermanfaat, tetapi bisa juga dari yang bukan anaknya. Di sini ada penyebutan
secara khusus pada anak karena dalam rangka menggerakkan hati anak untuk
sungguh-sungguh berdoa kepada orangtuanya. Ini sebagaimana dikemukakan oleh Abu
Bakar Syatha di berikut ini:
(قوله أو ولد) فائدة التقييد
به، مع أن دعاء الغير ينفعه، تحريض الولد على الدعاء لأصله.
Sabda Nabi SAW: ”atau anak…”. Faedah mengkhususkan dengan anak,
sementara doa selain anak juga bermanfaat karena menggerakkan anak untuk berdoa
kepada orangtuanya. .(I’anah al-Thalibin: III/187)
Alhasil, anak yang beriman dan berakidah muslim, baik shaleh maupun
tidak, yang berdoa untuk orangtuanya dapat bermanfaat doanya itu untuk orangtua
dan termasuk dalam tiga perkara yang tidak terputus pahala amal seseorang yang
dilakukan pada masa hidupnya. Dinyatakan sebagai amal orangtuanya karena
orangtua menjadi sebab wujud anaknya, menjadi sebab keshalihannya dan
terpetunjuk kepada kebenaran. Al-Munawi mengatakan,
(أو
ولد صالح) أي مسلم (يدعو له) لأنه هو السبب لوجوده وصلاحه وإرشاده إلى الهدى
Atau anak yang shaleh,
yaitu seorang muslim yang berdoa untuknya. Karena dia menjadi sebab wujud anaknya,
keshalihan dan terpetunjuknya kepada kebenaran. (Faidh al-Qadir, karangan
al-Munawi: I/437)
Suatu doa disebut
bermanfaat apabila tujuan doanya itu berhasil diraih. Ini tentunya apabila
Allah Ta’ala menjawab doanya, sedangkan jawaban terhadap doa hanya semata-mata
merupakan karunia Allah Ta’ala. Adapun pahala berdoa itu sendiri karena doa
merupakan suatu ibadah hanya diperuntukkan untuk orang yang berdoa. Namun
memperhatikan hadits di atas, khusus doa anak yang shaleh untuk orangtuanya,
manfaatnya bukan hanya jawaban doa dari Allah, akan tetapi pahala berdoa juga
bisa sampai kepada orangtua. Berdasarkan ini, maka ada dua manfaat doa seorang
anak kepada orangtuanya, yaitu jawaban Allah atas doa yang dituju kepada
orangtua (syafaat doa) dan pahala berdoa itu sendiri. Jadi di sini ada dua
variabel yaitu syafaat doa dan pahala berdoa itu sendiri. Berbeda dengan doa
orang lain, menfaatnya hanya syafa’at doa, tidak pahala berdoanya. Abu Bakar
Syatha mengatakan,
أما نفس الدعاء وثوابه فهو للداعي، لانه شفاعة
أجرها للشافع، ومقصودها للمشفوع له نعم، دعاء الولد يحصل ثوابه نفسه للوالد الميت، لان عمل ولده لتسببه في
وجوده من جملة عمله، كما صرح به خبر ينقطع عمل ابن آدم إلا من ثلاث ثم قال: أو ولد
صالح، أي مسلم، يدعو له حمل دعاءه من عمل الوالد
Adapun doa itu sendiri dan
pahalanya adalah untuk diri orang yang berdoa, karena doa adalah syafaat dimana
pahalanya bagi yang memberi syafaat, sedangkan tujuan syafaat diperuntukkan
bagi yang diberikan syafaat. Akan tetapi doa seorang anak, pahala doanya itu
sendiri juga diperuntukkan bagi orangtuanya yang sudah mati, karena amalan
anaknya termasuk dalam katagori amalan orangtua karena orangtua menjadi sebab
wujud anaknya sebagaimana diterangkan dalam hadits “Terputus amal anak Adam
kecuali tiga perkara, kemudian berkata, “atau anak shaleh (muslim) yang berdoa
kepadanya, maka dipertempatkan doa anak
dalam amalan orangtuanya. .(I’anah al-Thalibin: III/257)
Wallahua’lam
bisshawab
Tidak ada komentar:
Posting Komentar