Sebelum mulai membaca ayat-ayat suci
dalam al-Qur'an, umat Islam biasanya mengawali dengan ucapan ta'awudz dan
basmalah, meskipun pembacaan ayat al-Qur’an tersebut dimulai di pertengahan
surat. Pengertian ta’awudz di sini adalah ucapan, “a’uu dzubillahi
minassyaithanirrajiim” dan pengertian basmalah adalah ucapan “bismillahirrahmanirrahiim”.
Anjuran membaca ta’awudz dapat dipahami
antara lain dalam firman Allah Ta’ala:
فَإِذَا
قَرَأْتَ ٱلْقُرْءَانَ فَٱسْتَعِذْ بِٱللَّهِ مِنَ ٱلشَّيْطَٰنِ ٱلرَّجِيمِ
Apabila kamu
membaca Al-Qur'an hendaklah kamu meminta perlindungan kepada Allah dari syaitan
yang terkutuk. (Q.S. An-Nahl ayat: 98)
Adapun dalil
anjuran membaca basmalah berdasarkan keumuman hadits Nabi SAW berbunyi:
كل أمر ذي بال لايبدأ فيه ببسم الله فهو أقطع
Sesuatu pekerjaan yang penting yang tidak dimulai dengan menyebut nama
Allah adalah buntung, yakni tidak ada hasilnya. (H.R. Abu Daud)
Imam al-Nawawi mengatakan, hadits ini kualitasnya hasan.(al-Azkar/103).
Sesuai dengan maksud hadits ini, Zainuddin al-Malibary mengatakan dalam
kitabnya:
تسن التسمية لتلاوة القران و لو من اثناء سورة فى صلاة او خارجها و لغسل و
تيمم و ذبح
Disunnahkan membaca basmalah ketika membaca al-Qur'an meskipun berada di
tengah-tengah surat baik di dalam shalat maupun di luar shalat. Sunnah juga
ketika mandi, tayamum dan menyembelih. (Fathul Muin, (dicetak pada hamisy I’anah al-Thalibin): I/44)
Dalam Kitabusshalah kitab Fathul Muin juga, Zainuddin al-Malibarry
bahkan menegaskan bahwa kesunnahan membaca basmallah ketika mulai membaca di
tengah-tengah surat merupakan nash dari Imam Syafi’i. Perkataan al-Malibarry
tersebut adalah :
ويسن لمن قرأها من أثناء السورة البسملة نص عليه الشافعي
Sunnah membaca basmallah bagi orang-orang yang membacanya pada
tengah-tengah surat. Ini merupakan nash Imam Syafi’i. (Fathul Muin, (dicetak pada hamisy I’anah al-Thalibin): I/49)
Sebagian umat Islam anjuran membaca ta’awudz dan basmalah ini dipahami
sampai melebar kepada ketika membaca ayat al-Qur’an dalam rangka berhujjah dan
mengemukan dalil dalam diskusi maupun ceramah agama lainnya. Ucapan dalam
berhujjah biasanya dengan mengucapkan, “Qaalallahu Ta’ala fiil qur’anilkarim”
atau dalam Bahasa Indonesia “Allah Ta’ala berfirman dalam al-Qur’an yang mulia”
atau yang semakna dengannya, kemudian membaca ta’awudz, kemudian membaca
basmalah. Ada juga membaca ta’awudz saja atau basmalah saja. Sesudah itu baru
membaca ayat al-Qur’an yang ingin dibacakan. Untuk lebih memahami rangkain
kalam ini, perhatikan contoh berikut ini:
“Allah Ta’ala berfirman dalam al-Qur’an, Surat al-Baqarah, ayat 2: A’uu dzubillahi minassyaithanirrajiim, Bismillahirrahmanirrahiim,
ذَٰلِكَ ٱلْكِتَٰبُ
لَا رَيْبَ فِيهِ هُدًى لِّلْمُتَّقِينَ
Rangkaian kalam
seperti ini, tentunya akan mengakibatkan kerancuan maknanya serta dapat
mengakibatkan kesalahpahaman pendengar dalam menentukan mana yang menjadi
firman Allah Ta;ala. Karena penempatan ta’awudz dan basmalah sesudah ucapan ““Allah Ta’ala berfirman dalam al-Qur’an” telah menempatkan ta’awudz dan
basmalah termasuk dalam rangkaian firman Allah. Ini tentu menyalahi dengan yang
sebenarnya. Karena itu, Imam al-Suyuthi dalam kitab al-Hawi lil Fatawi, beliau
mengatakan,
وإن قال أعوذ بالله من الشيطان
الرجيم وذكر الآية ففيه من الفساد جعل الاستعاذة مقولا الله وليست من قوله
Jika seseorang mengatakan, “Auu’dzu billahi minassyaithanirrajiim,
kemudian menyebut ayat, maka di sini muncul kerancuan sebab menjadikan ta’awudz
bagian dari firman Allah, sedangkan ia bukan firman Allah.(al-Hawi lil Fatawi;
I/353)
Hal yang sama tentunya juga berlaku apabila seseorang
membaca basmalah sebelum pengucapan ayat al-Qur’an dalam berhujjah sebagaimana
pengucapan ta’awudz sebelum pengucapan ayat al-Qur’an. Karena akan menempatkan
basmalah menjadi bagian dari ayat al-Qur’an yang dibaca.
Pada halaman sebelumnya, Imam al-Suyuthi mengatakan,
فأقول الذي ظهر لي من حيث النقل والاستدلال أن الصواب أن
يقول قال الله تعالى ويذكر الآية ولا يذكر الاستعاذة فهذا هو الثابت في الأحاديث
والآثار من فعل النبي صلى الله عليه وسلم والصحابة والتابعين فمن بعدهم
Aku mengatakan, pendapat yang dhahir menurutku setelah
memperhatikan dalil naqli dan pendaliliannya, maka yang benar adalah seseorang
mengatakan, “Allah Ta’ala berfirman”, kemudian menyebut ayat al-Qur’an, tanpa
menyebut ta’awudz. Inilah yang shahih dalam hadits-hadits dan atsar berupa
perbuatan Nabi SAW, para Sahabat dan Tabi’in serta ulama-ulama sesudahnya.(al-Hawi
lil Fatawi; I/352)
Imam al-Suyuthi menyebut beberapa hadits yang dapat
dijadikan contoh pengucapan ayat al-Qur’an tanpa ucapan ta’awudz sebelumnya
dalam mengemukakan dalil dalam bentuk ucapan “Allah Ta’ala berfirman” atau
sejenisnya sebelum pengucapan ayat al-Qur’an, antara lain:
عن أنس قال: قال: أبو طلحة يا رسول الله إن الله يقول لن
تنالوا البر حتى تنفقوا مما تحبون وإن أحب أموالي إلي بيرحاء
Dari Anas, beliau berkata, Abu Thalhah berkata, Ya Rasulullah,
sesungguhnya Allah berfirman, “Kalian tidak akan mendapat kebaikan sehingga kalian
infaqkan dari apa yang kalian cintai.” dan sesungguhnya harta yang paling aku
cintai adalah Bairuha' itu (H.R. Ahmad, Bukhari, Muslim dan al-Nisa’i)
عن علي قال:
قال رسول الله صلى الله عليه وسلم من ملك زادا وراحلة ولم يحج بيت الله فلا يضره
مات يهوديا أو نصرانيا وذلك بأن الله تعالى يقول ولله على الناس حج البيت من
استطاع إليه سبيلا ومن كفر فإن الله غني عن العالمين
Dari Ali
berkata, Rasulullah SAW bersabda: “Barangsiapa yang memiliki bekal dan kendaraan
yang cukup untuk dijadikan bekal ke Baitullah, namun dia tidak pergi haji, aku
tidak peduli jika dia mati dalam keadaan Yahudi atau Nasrani. Karena Allah
berfirman: “Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu
(bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah dan siapa saja
yang mengingkarinya, maka sesungguhnya Allah Maha Kaya dari sekalian alam” (H.R. Turmidzi)
عن سماك بن الوليد أنه سأل ابن عباس ما تقول في سلطان علينا
يظلمونا ويعتدون علينا في صدقاتنا أفلا نمنعهم قال لا الجماعة الجماعة إنما هلكت
الأمم الخالية بتفرقها أما سمعت قول الله واعتصموا بجبل الله جميعا ولا تفرقوا
Dari Samaak bin al-Waliid
sesungguh beliau menanyakan kepada Ibnu Abbas,”Apa pendapatmu tentang sulthan
yang berbuat aniaya dan melampaui batas terhadap sadaqah kita, apakah engkau
tidak mencegahnya?” Ibnu Abbas menjawab: “Tidak, jama’ah adalah jama’ah,
sesungguhnya umat sebelumnya celaka dengan sebab mereka bercerai berai. Apakah
engkau tidak mendengar firman Allah: “Berpeganglah kalian semua kepada tali
Allah dan jangan bercerai berai”.(H.R. Ibnu Abi Hatim)
Kemudian pada halaman berikutnya, Imam al-Suyuthi menegaskan,
فالصواب
الاقتصار على إيراد الآية من غير استعاذة اتباعا للوارد في ذلك فإن الباب باب
اتباع، والاستعاذة المأمور بها في قوله تعالى (فإذا قرأت القرآن فاستعذ) إنما هي
عند قراءة القرآن للتلاوة أما إيراد آية منه للاحتجاج والاستدلال على حكم فلا
Maka yang benar adalah mencukupi
mendatangkan ayat tanpa ada ta’awudz karena ittiba’ (mengikuti) hadits yang
datang tentang itu. Sesungguhnya bab ini adalah bab ittiba’. Adapun pengucapan
ta’awudz yang diperintahkan berdasarkan firman Allah Ta’ala, “Apabila kamu
membaca al-Qur’an, maka mintalah perlindungan (membaca ta’awudz)”, ayat ini
hanya diposisikan ketika membaca al-Qur’an secara tilawah. Adapun ketika
mendatangkan ayat al-Qur’an dalam rangka berhujjah dan mengemukakan dalil atas
suatu hukum, maka tidak dianjurkannya. (al-Hawi lil Fatawi; I/353)
Kesimpulan
1.
Membaca basmalah
dan ta’awudz sebelum pembacaan ayat al-Qur’an dalam berhujjah dan mengemukakan
dalil seperti mengucapkan, “Qaalallahu Ta’ala fiil
qur’anilkarim” atau dalam Bahasa Indonesia “Allah Ta’ala berfirman dalam
al-Qur’an yang mulia” atau yang semakna dengannya, kemudian membaca ta’awudz,
kemudian membaca basmalah, kemudian baru membaca ayat al-Qur’an telah
menempatkan ta’awudz dan basmalah termasuk dalam rangkaian firman Allah yang
dibacakan. Ini tentu menyalahi dengan yang sebenarnya.
2.
Tidak ada
contoh dari perbuatan Nabi SAW, atsar para sahabat dan ulama sesudahnya membaca
basmalah dan ta’awudz sebelum pembacaan ayat al-Qur’an dalam berhujjah dan
mengemukakan dalil, bahkan sebagaimana yang dipahami dari penjelasan Imam
al_Suyuthi di atas, yang benar adalah pengucapan ayat al-Qur’an tanpa basmalah
dan ta’awudz sebelumnya.
3.
Adapun ayat
yang memerintah membaca ta’awudz sebelum membaca ayat al-Qur’an hanya diposisikan ketika membaca al-Qur’an
secara tilawah tidak dalam berhujjah atau mengemukakan dalil hukum.
Wallahua’lam bisshawab
Tidak ada komentar:
Posting Komentar