Kamis, 20 November 2025

Cara Rasulullah SAW mengenang jasa pahlawan

 

Puluhan tahun setelah mantan presiden Soeharto lengser, warisan kontroversialnya kembali mencuat ke permukaan dan memicu perdebatan sengit saat pemerintah Republik Indonesia di bawah kepemimpinan presiden Prabowo Subianto menobatnya sebagai pahlawan nasional.  Bagi sebagian orang, dia adalah "Bapak Pembangunan" yang membawa stabilitas dan pertumbuhan ekonomi dan sebagai penyelamat bangsa dari pengaruh komunisme. Namun bagi kalangan lainnya, rezimnya ditandai dengan pelanggaran hak azazi manusia (HAM), korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN), serta menguatnya peran militer dalam ranah sipil dan pemasungan terhadap perbedaan pendapat. Karenanya, penobatannya sebagai pahlawan Nasional merupakan sebuah kebijakan yang keliru dan merugikan masa depan bangsa ini.

Terlepas dari pro dan kontra terhadap kelayakan mantan presiden Soeharto sebagai pahlawan nasional, penulis ingin mengajak pembaca menelusuri kembali rekam jejak Nabi Muhammad SAW dalam menyikapi jasa seorang yang kontroversial, yang mempunyai dua sisi yang berbeda, ada sisi baik dan ada juga sisi gelapnya. Dikisahkan Mut’im bin ‘Adiy adalah seorang pembesar Quraisy yang menolong Nabi SAW dan keluarga-keluarga beliau dari embargo di Makkah. Ketika itu, Bani Hasyim dan Bani Muthalib (Nabi SAW dan kerabat beliau) diboikot dan dikucilkan, tidak boleh ada transaksi ekonomi, dilarang dipasok makanan dan tidak boleh ada hubungan pernikahan dengan mereka. Akhirnya Mut’im bin ‘Adiy menyelamatkan Bani Hasyim dengan merobek surat kesepakatan boikot yang digantungkan di Ka’bah. Jasa Mut’im bin ‘Adiy yang lain kepada Nabi SAW adalah ketika Nabi SAW berencana pulang kembali dari Thaif ke Makkah, namun kafir Quraisy dengan tegas menolak menerima kembali Nabi SAW dan para sahabat beliau. Di sini Mut’im bin ‘Adiy muncul lagi memberikan perlindungan kepada Nabi SAW untuk kembali ke Makkah. Tatkala terjadi perang Badar dan kaum muslimin meraih kemenangan. Saat itu Nabi SAW teringat dengan kebaikan Mut’im bin ‘Adiy setelah bertahun-tahun lalu dan Nabi SAW belum bisa membalas jasa Mut’im bin ‘Adiy karena sudah meninggal dunia. Kemudian beliau bersabda di hadapan kaum muslimin dan orang-orang Quraisy,

لَوْ كَانَ الْمُطْعِمُ بْنُ عَدِيٍّ حَيًّا ثُمَّ كَلَّمَنِي فِي هَؤُلَاءِ النَّتْنَى لَتَرَكْتُهُمْ لَهُ

Andai saja Mut’im bin ‘Adiy masih hidup, lalu ia berbicara sesuatu (memberikan kebijakan) tentang orang-orang jahat (musuh-musuh Allah) ini untuk mengampuni atau mengasihani mereka, maka akan aku bebaskan mereka untuknya. (H.R. Bukhari)

 

Inilah kisah dari seorang nonmuslim yang menolong Rasulullah SAW dalam berdakwah. Rasulullah tidak melupakan jasa orang lain dan sangat menghargainya, meskipun jasa tersebut berasal dari orang kafir. Inilah bentuk nilai kemanusiaan yang ditunjukkan Rasulullah yang sesuai dengan ajaran Islam. Kekufuran Mut’im bin ‘Adiy merupakan sisi gelap Mut’im bin ‘Adiy, namun ada sisi kebaikan padanya yaitu pernah menolong Rasulullah SAW pada saat beliau sangat membutuhkan pertolongan.  Allah Ta’ala berfirman,

وَلَا تَنسَوُا الْفَضْلَ بَيْنَكُمْ

Dan janganlah kamu melupakan kebaikan di antara kamu. (Q.S. Al-Baqarah: 237)

 

Apalagi ungkapan rasa terima kasih kepada manusia ini juga merupakan cerminan dari rasa syukur kepada Allah Ta’ala sebagaimana sabda Nabi SAW berbunyi:

لاَ يَشْكُرُ اللَّهَ مَنْ لاَ يَشْكُرُ النَّاسَ

Tidaklah bersyukur kepada Allah, orang yang tidak bersyukur (berterima kasih) kepada manusia. (H.R. al-Thabraniy dan Ahmad)

 

Inti dari hadits ini adalah orang yang tidak berterima kasih kepada manusia, maka ia tidak bersyukur kepada Allah SWT. Hal ini karena manusia adalah perantara nikmat dari Allah, dan dengan berterima kasih kepada manusia, kita sebenarnya sudah mengakui bahwa nikmat itu datang dari Allah melalui orang lain. Ada dua makna utama dari hadis ini: yang pertama, syukur kepada manusia merupakan cerminan dan bagian dari kesempurnaan syukur kepada Allah dan yang kedua, tanpa rasa terima kasih kepada manusia, maka rasa syukur kepada Allah tidak akan sempurna atau bahkan tidak diterima.

Melupakan jasa orang lain hanya karena ada secuil kesalahan yang dilakukan seseorang merupakan perilaku kekufuran terhadap nikmat Allah Ta’ala. Karena itu, Rasulullah SAW memberikan label kufur kepada orang-orang yang mudah melupakan kebaikan. Sebagaimana para istri yang apabila mudah melupakan banyak kebaikan suaminya hanya karena satu atau dua kesalahan yang diperbuat suaminya. Nabi SAW bersabda:

أُرِيتُ النَّارَ فَإِذَا أكْثَرُ أهْلِهَا النِّسَاءُ، يَكْفُرْنَ قيلَ: أيَكْفُرْنَ باللهِ ؟ قالَ يَكْفُرْنَ العَشِيرَ ويَكْفُرْنَ الإحْسَانَ، لو أحْسَنْتَ إلى إحْدَاهُنَّ الدَّهْرَ، ثُمَّ رَأَتْ مِنْكَ شيئًا، قالَتْ: ما رَأَيْتُ مِنْكَ خَيْرًا قَطُّ

Aku pernah diperlihatkan neraka, ternyata kebanyakan penghuninya adalah para wanita, karena mereka sering berbuat kufur.” Beliau ditanya, “Apakah mereka berbuat kufur kepada Allah?” Beliau menjawab, “Mereka mengingkari suami dan kebaikan suami mereka. Bilamana engkau (suami) berbuat baik kepada salah seorang dari mereka (istri) sepanjang masa, kemudian ia melihat satu kesalahan saja darimu, ia akan mengatakan, ‘Aku belum pernah melihat kebaikan sedikit pun darimu. (H.R. Bukhari dan Muslim)

 

Jka tangan terlalu pendek untuk membalas, maka panjangkanlah lisan dengan memuji dan mendoakannya. Jika tidak mampu membalas sebagaimana layaknya, maka memujinya merupakan ungkapan terima kasih dan jika tidak mampu juga, maka berdoalah untuknya dengan  kebaikan. Nabi SAW bersabda:

مَنْ أُعْطِىَ عَطَاءً فَوَجَدَ فَلْيَجْزِ بِهِ فَإِنْ لَمْ يَجِدْ فَلْيُثْنِ بِهِ فَمَنْ أَثْنَى بِهِ فَقَدْ شَكَرَهُ وَمَنْ كَتَمَهُ فَقَدْ كَفَرَهُ

Barangsiapa yang diberikan sebuah hadiah, lalu ia mendapati kecukupan, maka hendaknya ia membalasnya. Jika ia tidak mendapati (sesuatu untuk membalasnya), maka pujilah ia. Barangsiapa yang memujinya, maka sungguh ia telah bersyukur kepadanya. Barangsiapa menyembunyikannya, sungguh ia telah kufur. (H.R. Abu Daud)

 

Berdoa bukan suatu yang berat untuk diucapkan. Hanya beberapa kata seperti “Jazakallah khairan” saja sudah memenuhi anjuran Nabi SAW untuk berdoa kepada pahlawan kita. Ini sesuai dengan Sabda Nabi SAW berikut ini:

مَنْ صُنِعَ إِلَيْهِ مَعْرُوفٌ فَقَالَ لِفَاعِلِهِ جَزَاكَ اللَّهُ خَيْرًا فَقَدْ أَبْلَغَ فِى الثَّنَاءِ

Barangsiapa yang mendapatkan kebaikan, lalu ia mengatakan kepada pelakunya, “Jazakallah khairan” (semoga Allah membalasmu dengan kebaikan), maka sungguh ia telah benar-benar meninggikan pujian. (H.R. Turmidzi)

 

Alhasil, mari kita memberikan penghargaan kepada pahlawan-pahlawan yang telah berjasa dalam kehidupan kita, baik jasa pribadi, dalam bernegara atau berbangsa. Jangan melupakannya hanya karena ada satu atau dua kesalahan lain yang menimpanya. Akhirnya, semoga kita dapat meneladani rekam jejak Nabi Muhammad SAW dalam perilaku dan bersikap di dunia fana ini dan jangan larut hanya menyibuk diri dengan menghitung-hitung dosa orang lain. Amiin!.

 

Jumat, 14 November 2025

Apakah terlarang tidur di dalam masjid?

 

Baru-baru ini, Indonesia dan Aceh serta Sumatera Utara khususnya dikejutkan dengan berita yang sangat memilukan dan menyayat hati. Betapa tidak, seorang musafir muda berasal dari Aceh ditemukan tidak bernyawa setelah diduga dianiaya lima pria secara brutal hanya karena beristirahat di sebuah masjid di Sibolga Sumatera Utara, karena kelelahan melakukan perjalanan panjang. Sebagian warga menyelutuk “Kasihan kali, dia cuma tidur. Mungkin capek jalan jauh. Tapi malah dipukuli ramai-ramai”. Peristiwa ini menggugah kita merenung kembali apakah fungsi masjid sebagai rumah Allah yang ramah dan pusat aktifitas keislaman pada hari ini sudah mulai sirna?. Ataukah masjid pada zaman now hanya dipahami sebagai tempat sakral, tempat ritual belaka dan tidak boleh ada aktifitas sosial di dalamnya sehingga tidak ada ruang lagi untuk tidur untuk melepas kelelahan dari perjalanan jauh?. Sebegitu angkerkah masjid, sehingga masjid sebagai fungsi sosial dianggap sebagai suatu yang tabu dengan alasan masjid merupakan tempat suci dan sakral?.

Tidur di masjid pada zaman Rasulullah SAW

Dari beberapa riwayat yang dapat ditelusuri, kita dapat menyimpulkan bahwa masjid pada zaman Nabi SAW tidak hanya sebatas untuk ibadah ritual semata, akan tetapi juga merupakan tempat melepaskan lelah seperti tidur, tempat latihan perang dan lain-lain. Ini dapat dilihat dalam riwayat berikut:

1.  Diriwayatkan dari Ibnu Umar, beliau mengatakan,

‌كُنْتُ ‌غُلَامًا ‌شَابًّا عَزَبًا فِي عَهْدِ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم، وَكُنْتُ أَبِيتُ فِي الْمَسْجِدِ،

Dahulu aku adalah seorang pemuda yang belum menikah pada masa Nabi SAW dan aku tidur di masjid. (H.R. Bukhari)

 

2.  ’Aisyah r.a menceritakan bahwa ada seorang budak wanita hitam milik salah satu suku arab lalu mereka merdekakan. Ketika wanita ini mendatangi Nabi SAW, dia masuk islam, beliau menceritakan,

 فَكَانَ لَهَا خِبَاءٌ فِي المَسْجِدِ أَوْ حِفْشٌ

Wanita ini memiliki tenda kecil atau gubuk kecil yang berada di dalam masjid. (H.R. Bukhari).

 

3.  Ahlusshufah (para Sahabat Nabi yang fakir tidak mempunya rumah) pada masa Nabi SAW tidur di dalam masjid. Imam al-Baihaqi meriwayatkan bahwa Sa’id bin al-Musayyab pernah ditanyai hukum tidur di dalam masjid. Beliau menjawab:

فَأَيْنَ كَانَ أَهْلُ الصُّفَّةِ؟ يَعْنِي يَنَامُونَ فِيهِ

Maka di mana lagi tidur ahlusshuffah, yakni mereka tidur di dalam masjid. (H.R. al-Baihaqi)

 

4.  Selain itu, terdapat pula kisah Tsumamah bin Utsal, seorang tokoh dari Bani Hanifah, yang pernah bermalam di masjid sebelum masuk Islam. Sehingga Imam al-Nawawi mengatakan,

  وَكُلُّ هَذَا فِي زَمَنِ رَسُوْلِ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. قَالَ الشَّافِعِيُّ فِي الْأُمِّ وَإِذَا بَاتَ الْمُشْرِكُ فِي الْمَسْجِدِ فَكَذَا الْمُسْلِمُ 

 Dan semua ini (terjadi) pada zaman Rasulullah saw. Imam Syafi’i berkata dalam kitab al-Um: ‘Jika seorang musyrik boleh bermalam di masjid, maka demikian pula (bolehnya) seorang muslim. (al-Majmu’ Syarah al-Muhazzab: II/173-174)

 

Pendapat para ulama tentang hukum tidur di dalam masjid

Imam al-Syafi’i dan pengikut-pengikutnya berpendapat boleh tidur di dalam masjid dan tidak makruh. Ini juga merupakan pendapat Ibnu Musayyab, ‘Itha’ dan al-Hasan. Ibnu Abbas juga berpendapat yang sama, namun beliau mensyaratkan tidak menjadikan sebagai tempat tidur yang tetap. Riwayat lain dari Ibnu Abbas berpendapat boleh tidur di dalam masjid jika tidur itu karena menungggu waktu shalat. Ahmad dan Ishaq mengatakan, jika tidur karena kelelahan dari perjalanan, maka itu dibolehkan, tidak dijadikan sebagai tempat tidur tetap. Imam Malik berpendapat boleh bagi musafir, tidak untuk penduduk setempat. Namun demikian, ada juga ulama yakni al-Auza’i yang memakruhkan tidur di dalam masjid. Alhasil kebanyakan ulama berpendapat boleh tidur di dalam masjid dengan syarat tidak menjadi sebagai tempat tidur tetap. Hanya al-Auza’i yang berpendapat makruh secara mutlak. Imam al-Nawawi dalam al-Majmu’ Syarh al-Muhazzab mengatakan,

يجوز النوم في المسجد ولا كراهة فيه عندنا، نص عليه الشافعي رحمه الله في الأم واتفق عليه الأصحاب، قال ابن المنذر في الإشراف: رخص في النوم في المسجد ابن المسيب وعطاء والحسن والشافعي، وقال ابن عباس: لا تتخذوه مرقدا، وروي عنه: إن كنت تنام للصلاة فلا بأس، وقال الأوزاعي: يكره النوم في المسجد، وقال مالك: لا بأس بذلك للغرباء، ولا أرى ذلك للحاضر، وقال أحمد وإسحاق: إن كان مسافرا أو شبهه فلا بأس، وإن اتخذه مقيلا ومبيتا فلا،

Boleh tidur di masjid dan tidak makruh menurut mazhab kita. Imam al-Syafi‘i rahimahullah telah menegaskan hal ini dalam kitab al-Umm, dan para ulama Syafi‘iyyah sepakat atas pendapat tersebut. Ibnu al-Mundzir dalam kitab al-Isyraf berkata: “Ibnu al-Musayyab, ‘Atha’, al-Hasan, dan al-Syafi‘i memberikan keringanan tidur di masjid.” Sedangkan Ibnu ‘Abbas berkata: “Janganlah kamu menjadikannya sebagai tempat tidur (tetap).” Dalam riwayat lain darinya disebutkan: “Jika kamu tidur di masjid karena hendak menunaikan shalat, maka tidak mengapa.” Al-Auza‘i berpendapat bahwa tidur di masjid hukumnya makruh. Imam Malik berkata: “Tidak mengapa bagi orang asing (musafir) tidur di masjid, tetapi aku tidak menyukai hal itu bagi orang yang tinggal (penduduk setempat).” Imam Ahmad dan Ishaq berkata: “Jika seseorang sedang dalam perjalanan atau dalam keadaan serupa, maka tidak apa-apa; tetapi jika menjadikannya tempat istirahat tetap atau tempat bermalam secara terus-menerus, maka tidak boleh.” (al-Majmu’ Syarah al-Muhazzab: II/173-174)


Hadits-hadits di atas secara gamblang menjelaskan kepada kita bahwa tidur di dalam masjid sudah merupakan fenomena umum pada zaman Rasulullah SAW dan itu menjadi hujjah kebolehan tidur di dalam masjid. Namun demikian, ada beberapa hal penting yang perlu diperhatikan agar tidur di masjid tidak menjadi haram. Ketentuan itu sebagai berikut:

1.  Tidak dalam keadaan junub. Orang yang sedang hadats besar seperti junub, haid, atau nifas, tidak diperkenankan berdiam diri di masjid. Maka tidur di masjid dalam keadaan demikian hukumnya tidak diperbolehkan. 

2.  Tidak mengganggu jamaah lain. Jika seseorang tidur di tempat yang menghalangi jalan masuk, shaf shalat, atau menyebabkan bau tidak sedap, maka hukumnya berubah menjadi tidak boleh karena menimbulkan gangguan.

3.  Mempersempit ruang orang yang melakukan shalat

Penjelasan ini sebagaimana ditegaskan oleh al-Syarwaniy dalam kitabnya, beliau berkata:  

لَا بَأْسَ بِالنَّوْمِ فِي الْمَسْجِدِ لِغَيْرِ الْجُنُبِ وَلَوْ لِغَيْرِ أَعْزَبَ نَعَمْ إنْ ضَيَّقَ عَلَى الْمُصَلِّينَ أَوْ شَوَّشَ عَلَيْهِمْ حَرُمَ النَّوْمُ فِيهِ  

Tidak mengapa tidur di dalam masjid bagi selain orang yang junub, sekalipun bagi selain orang yang belum menikah. Namun jika (tidur itu) mempersempit orang-orang yang shalat atau mengganggu mereka, maka haram tidur di dalamnya. (Hasyiah al-Syarwaniy ‘ala Tuhfah al-Muhtaj; I/271)

 

Wallahua’lam bisshawab

 

 

Kamis, 06 November 2025

Move on, berdamai dengan masa lalu

 

 

Move on adalah proses melepaskan diri dari masa lalu untuk melanjutkan hidup, bukan hanya sekadar melupakan. Ini melibatkan penerimaan terhadap kenyataan, pemprosesan emosi seperti kesedihan atau kekecewaan, belajar dari pengalaman, dan fokus pada masa kini serta masa depan untuk membangun kembali diri sendiri. Seseorang itu bisa gampang atau susah untuk move on sangat tergantung bagaimana dia menempatkan dan memperlakukan masa lalu. Masa lalu sebagai sesuatu yang paling jauh dari diri kita, tidak mungkin bisa diraih lagi. Waktu tidak pernah berhenti hingga akhir masa. Kita tidak usah terlalu larut dengan masa lalu,  terutama masa lalu yang tidak menyenangkan. Cukuplah masa lalu dikenang sebagai sebuah perjalanan hidup dan menjadi pelajaran hidup untuk menjalani kehidupan lebih baik di masa yang akan datang. Orang yang susah move on, dia tak bisa menempatkan dan memperlakukan masa lalu pada tempatnya. Dia selalu mengingat-ingat masa lalu sebagai sesuatu yang sangat menyiksa dan harus dilampiaskan. Orang yang seperti ini, sama halnya dengan mengejar fatamorgana. Tidak akan ada habis-habisnya dan tidak akan ada ujungnya. Jika susah move on ini terus bersarang di dalam diri manusia, maka bisa memicu benih-benih dendam. Karena itu, satu-satunya jalan yang harus ditempuh adalah move on dan berdamai dengan masa lalu, tanpa perasaan dendam.

Dendam berawal dari sifat pemarah. Sifat marah itu apabila terus dipelihara dan tidak segera diobati dengan memaafkan. Maka akan menjadi dendam terhadap orang yang menyakitinya. Imam al-Ghazali mengatakan,

اعْلَمْ أَنَّ الْغَضَبَ إِذَا لَزِمَ كَظْمُهُ لِعَجْزٍ عَنِ التَّشَفِّي فِي الْحَالِ رَجَعَ إِلَى الْبَاطِنِ وَاحْتَقَنَ فِيهِ فَصَارَ حِقْدًا

Ketahuilah marah itu apabila terus ditahan karena tidak mampu menyembuhnya seketika itu, maka ia akan kembali dan terkurung di dalam batin, kemudian menjadi dendam (Ihya ‘Ulumuddin: III/181).

 

Dendam adalah perasaan ingin membalas karena sakit hati yang timbul sebab permusuhan dan selalu mencari kesempatan untuk melampiaskan sakit hatinya, agar lawannya mendapat celaka, barulah dia merasa puas. Setiap manusia pasti pernah disakiti, baik oleh ucapan, tindakan, maupun perlakuan tidak adil. Perasaan kecewa, marah, dan terluka pun menjadi hal yang wajar. Namun, ketika luka itu tidak disembuhkan dan malah dipelihara dalam hati, maka muncullah satu penyakit yang sangat berbahaya yakni dendam. Dendam adalah keinginan kuat dalam hati untuk membalas perlakuan buruk atau menyakiti orang yang telah mendzalimi kita. Ia adalah emosi yang tidak sekadar kecewa, tapi juga mengandung niat untuk mencelakai balik, bahkan meski waktunya sudah lama berlalu. Dendam bukan hanya rasa benci biasa. Ia seperti bara api yang terus menyala dalam dada. Dan seperti api, dendam tidak hanya membakar orang lain, tapi lebih dulu membakar orang yang menyimpannya. Ketika seseorang menyimpan dendam, fokus hidupnya berubah. Ia tidak lagi mencari makna, tidak lagi berusaha tumbuh, tetapi hanya terpaku pada balas dendam. Hidup pun terasa berat, penuh kecurigaan dan tidak pernah tenang. Kebahagiaan menjadi hal yang mustahil didapat jika hati terus dipenuhi amarah masa lalu. Karena itu, Allah Ta’ala berfirman:

وَجَزٰۤؤُا سَيِّئَةٍ سَيِّئَةٌ مِّثْلُهَاۚ فَمَنْ عَفَا وَاَصْلَحَ فَاَجْرُهٗ عَلَى اللّٰهِۗ اِنَّهٗ لَا يُحِبُّ الظّٰلِمِيْنَ

Balasan suatu keburukan adalah keburukan yang setimpal. Akan tetapi, siapa yang memaafkan dan mau berdamai, maka pahalanya dari Allah. Sesungguhnya Dia tidak menyukai orang-orang dhalim. (Q.S. Asy-Syuraa: 40)

 

Rasulullah SAW pernah menyarankan untuk kita tetap sabar dan memaafkan orang yang membalas kebaikan kita dengan kejahatan sebagaimana kisah yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah berikut ini:

أنَّ رَجُلًا، قَالَ: يَا رسول الله، إنّ لي قَرَابةً أصِلُهم وَيَقْطَعُونِي، وَأُحْسِنُ إلَيْهِمْ وَيُسِيئُونَ إلَيَّ، وَأحْلُمُ عَنهم وَيَجْهَلُونَ عَلَيَّ! فَقَالَ: لَئِنْ كُنْتَ كَمَا قُلْتَ، فَكأنَّمَا تُسِفُّهُمُ الْمَلَّ، وَلاَ يَزَالُ مَعَكَ مِنَ اللهِ تَعَالَى ظَهيرٌ عَلَيْهِمْ مَا دُمْتَ عَلَى ذَلِكَ

Seseorang berkata pada Rasulullah SAW, “Ya Rasulullah, saya mempunyai keluarga yang saya hubungi tetapi mereka memutuskan hubungan dengan saya. Saya berbuat baik kepada mereka, tetapi mereka membalas kebaikanku dengan berbuat jahat. Saya berusaha sabar dalam hal ini, tapi mereka selalu berbuat kebodohan kepadaku.” Lalu Rasulullah bersabda:“Apabila keadaanmu benar seperti apa yang engkau katakan, maka seolah-olah engkau menaburkan abu panas kepada mulut mereka dan engkau selalu mendapatkan pertolongan Allah Ta’ala atas mereka selama engkau tetap berbuat yang demikian.” (H.R. Muslim)

 

Akibat dendam

Imam al-Ghazali menjelaskan kepada kita bahwa dendam itu akan berpotensi mengakibatkan delapan penyakit yang diharamkan, yaitu:

Pertama; sifat dengki. Pada orang yang dendam muncul rasa ingin menghilangkan nikmat yang ada pada orang yang dia dendam. Paling tidak, dia merasa senang apabila hilang nikmat tersebut.

Kedua; berupaya untuk menyembunyikan rasa dengki dalam batinnya dan merasa gembira dengan bahaya yang menimpa orang yang didendamnya.

Ketiga; memutus silaturrahim dengan orang yang di dendam. Tidak ada tegur sapa dan tidak ada saling bicara

Keempat: berpaling muka karena ingin menghinanya

Kelima: mengumpatnya dengan umpatan yang dusta dan berusaha membuka aibnya

Keenam: meniru tingkah lakunya dengan tujuan menghina dan mengolok-oloknya

Ketujuh: menyakiti dengan memukul atau lainnya yang dapat menyakiti fisiknya

Kedelapan: menghambat haknya berupa pembayaran hutang, silaturrahim dan menolak kedhaliman. (Ihya ‘Ulumuddin: III/181).

Mengobati rasa marah

Di atas sudah dijelaskan bahwa dendam berawal dari sifat pemarah. Karena itu, menghilangkan sifat pemarah merupakan solusi untuk menghilangkan sifat dendam dalam hati. Imam Al-Ghazali menyebutkan enam pendekatan yang dapat ditempuh dalam rangka menghilngkan marah;

Pertama, mengingat kembali al-Qur’an dan hadits perihal keutamaan menahan marah. Keinginan pada keutamaan ganjaran menahan marah, memaafkan kesalahan orang lain, menerima kekurangan orang lain diharapkan dapat mencegahnya untuk melampiaskan kemarahannya. Kedua, menakuti diri dengan murka Allah dengan mengatakan dalam hati, “Kuasa Allah padaku lebih besar daripada kuasaku pada orang tersebut. Kalau kulampiaskan kemarahanku padanya, aku khawatir Allah menimpakan murka-Nya padaku. Sedangkan aku lebih membutuhkan ampunan-Nya

Ketiga, mengingatkan diri pada dampak permusuhan dan konflik berkepanjangan di dunia sekiranya dirinya tidak takut pada akhirat.

Keempat, merenungkan keburukan rupanya saat marah. Manusia yang melampiaskan kemarahannya akan berubah menjadi bentuk lain, yaitu anjing liar dan binatang buas lainnya. Sedangkan manusia yang dapat mengelola kemarahannya menjadi manusia mulia seperti para nabi, para wali, ulama, dan orang bijak lainnya. ia boleh memilih untuk menjadi binatang buas atau makhluk mulia seperti para nabi dan manusia suci lainnya.

Kelima, menakuti dirinya dengan kemarahan yang menjadi sebab yang mendatangkan siksa Allah. Sementara setan terus melakukan propaganda dan bujukan bahwa kalau tidak marah, orang-orang akan mengecilkan dan menghinakannya.

Keenam, mengingatkan diri bahwa murka Allah yang berlaku atas sesuatu berjalan sesuai kehendak-Nya, bukan kehendak dirinya. Bagaimana ia dapat mengatakan, “Kehendakku lebih utama daripada kehendak Allah.” Sedangkan murka Allah lebih besar daripada murkanya. (Ihya ‘Ulumuddin: III/173-174).

 

Jumat, 31 Oktober 2025

Bayar zakat fitrah kemudian mudik ke kampung kelahiran

 

Telah menjadi tradisi bahwa menjelang lebaran hari raya ‘Idul Fitri, kebanyakan orang yang merantau pulang kampung kelahirannya. Sebagiannya kembali menjelang hari raya. Kadang-kadang di tempat tinggalnya, ia telah menunaikan zakat fitrah. Namun sebelum malam lebaran tiba, ia telah berangkat menuju kampung kelahirannya sehingga saat berbuka puasa hari terakhir ia tidak lagi berada di tempat domisili ia membayar zakat fitrah. Yang menjadi pertanyaan, apakah fitrahnya tersebut sah dan tidak perlu mengulangi lagi dikampung kelahirannya?, Sementara pada saat wajib zakat fitrah (mendapati dua ujung bulan, yaitu akhir bulan Ramadhan dan awal bulan Syawal) ia tidak berada lagi di tempat pembayaran zakat fitrah tersebut, akan tetapi sudah berada di perjalanan pulang kampung atau sudah sampai dikampung kelahirannya, alias zakat tersebut dibayar sebelum tiba waktu kewajibannya.

Jawaban

Untuk menjawab persoalan di atas, kita simak nash kitab ulama berikut ini:

1.  Pengarang I’anah al-Thalibin mengatakan:

وفي إجزاء المعجل عند غيبة المال أو الآخذ عن بلد الوجوب وقته خلاف فقال حجر لا يجزئه لعدم الأهلية وقت الوجوب وقال م ر يجزئه

Dalam hal memadai zakat yang disegerakan ketika jauh harta atau pengambilnya dari balad wajib pada waktu wajib ada terjadi khilafiyah. Ibnu Hajar mengatakan, tidak memadai karena bukan ahlinya pada waktu wajib. Al-Ramli mengatakan memadai. (I’anah al-Thalibin:II/210)

 

2.    Dalam Hasyiah ‘Ali Syiban al-Malasi dijelaskan:

)قوله : كما اعتمده الوالد ) وهل يجري ذلك في البدن في الفطرة حتى لو عجل الفطرة ثم كان عند الوجوب في بلد آخر أجزأ أو لا ولا بد من الإخراج ثانيا إذا كان عند الوجوب ببلد آخر فيه نظر ا هـ سم على حج .والأقرب الأول للعلة المذكورة في كلام الشارح فإن قضيتها أنه لا فرق بين زكاة المال والبدن

(Perkataan pengarang: sebagaimana yang dimuktamadkan oleh al-Waliid), apakah berlaku demikian pada badan pada zakat fitrah, sehingga kalau seseorang menyegerakan fitrah kemudian pada saat wajib dia berada di balad lain, apakah memadai atau tidak dan diharuskan mengeluarkan lagi pada kali kedua apabila dia berada di balad lain pada waktu wajib. Dalam hal ini ada tinjauan. Demikian Ibnu al-Qasim‘ala Ibnu Hajar. Yang mendekati adalah yang pertama, karena illah yang telah disebutkan dalam kalam Syarih. Dan mafhumnya tidak beda antara zakat harta dan zakat badan. (Hasyiah ‘Ali Syibran al-Malasi ‘ala NIhayah al-Muhtaj: III/143)

3.    Dalam kitab Ismadul `Ainaini fi Ba`dh Ikhtilaf asy-Syaikhaini Ibn Hajar al-Haitamy wa Syamsuddin al-Ramli dijelaskan:

)مسألة(.لو غاب المالك او الآخذ عن بلد الوجوب لم يجز المعجل عند حج خلافا لمر. قال الشرقاوى قرر الحفني ان غيبة الدافع لاتضر فى زكاة الفطر ولو مات المدفوع له مثلا لزم المالك الدفع ثانيا ولا يجزئ دفع المعجل لغير مستحق وقت القبض وان استحقه وقت الوجوب اهــ

(Masalah); kalau jauh pemilik atau pengambil zakat dari balad wajib, maka tidak memadai zakat yang disegerakan menurut Ibnu Hajar al-Haitamiy. Ini khilaf dari pendapat al-Ramli. Al-Syarqawiy mengatakan al-Hufniy menetapkan bahwa jauh si pemberi zakat tidak mudharat pada zakat fitrah. Jikalau mati orang yg sudah diberikan (misalnya), maka wajib si pemilik memberikan lagi pada kali kedua. Dan tidak memadai pemberian yang disegerakan bagi bukan yang berhak pada waktu qabazh, meskipun berhak pada wajib. (Ismadul `Ainaini fi Ba`dh Ikhtilaf asy-Syaikhaini Ibn Hajar al-Haitamy wa Syams Ramli (Hasmisy bersama Bughyah al-Mustarsyidin): 51)

Berdasarkan rujukan kitab di atas, maka dapat simpulkan bahwa terjadi khilafiyah di antara ulama mutaakhirin mazhab Syafi’i. Ibnu Hajar al-Haitamiy berpendapat zakat tersebut tidak sah. Karena itu wajib diulangi kembali ketika orang tersebut berada dikampung kelahirannya. Adapun Imam al-Ramli berpendapat sebaliknya, yaitu zakat fitrah yang sudah pernah diberikan kepada mustahiqnya ditempat tinggalnya sudah memadai sebagai zakat fitrahnya.

Wallahua’lam bisshawab

Kamis, 30 Oktober 2025

Naqal zakat dari tempat domisilinya ke tempat lain

 

Membayar zakat merupakan kewajiban setiap muslim yang harus dilaksanakan apabila mempunyai sejumlah harta yang sudah ditentukan syara’. Ini berdasarkan firman Allah berbunyi:

خُذْ مِنْ اَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً تُطَهِّرُهُمْ وَتُزَكِّيْهِمْ بِهَا وَصَلِّ عَلَيْهِمْۗ اِنَّ صَلٰوتَكَ سَكَنٌ لَّهُمْۗ وَاللّٰهُ سَمِيْعٌ عَلِيْمٌ

Ambillah zakat dari harta mereka (guna) menyucikan dan membersihkan mereka, dan doakanlah mereka karena sesungguhnya doamu adalah ketenteraman bagi mereka. Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.(Q.S. al-Taubah: 103)

 

Terjadi khilafiyah para ulama dalam hal naqal zakat atau memberikan zakat tidak di tempat domisili pemberi zakat dan tempat domisili harta. Pendapat yang muktamad dalam Mazhab Syafi'i tidak boleh pemilik harta memindah zakatnya dari satu balad zakat (daerah wajib zakat) ke  balad lainnya.

Sabda Nabi SAW:

فَأَعْلِمْهُمْ أَنَّ اللَّهَ افْتَرَضَ عَلَيْهِمْ صَدَقَةً فِي أَمْوَالِهِمْ تُؤْخَذُ مِنْ أَغْنِيَائِهِمْ وَتُرَدُّ عَلَى فُقَرَائِهِمْ

Maka beritahukanlah bahwa Allah telah mewajibkan atas mereka shadaqah (zakat) dari harta mereka yang diambil dari orang-orang kaya mereka dan diberikan kepada orang-orang faqir mereka.(Muttaqun a’alahi)

 

Dalam hadits ini dijelaskan bahwa zakat diambil dari orang-orang kaya suatu tempat, kemudian dikembalikan kepada fakir miskin mereka. Ini artinya, zakat tidak boleh dipindahkan dari domisilinya.

Imam al-Nawawi mengatakan,

(أما) الأحكام فحاصل المذهب أنه ينبغي أن يفرق الزكاة في بلد المال فلو نقلها إلى بلد آخر مع وجود المستحقين فللشافعي رضي الله عنه في المسألة قولان وللأصحاب فيها ثلاث طرف (أصحها) عندهم أن القولين في الإجزاء وعدمه (أصحهما) لا يجزئه )والثاني( يجزئه ولا خلاف في تحريم النقل (والطريق الثاني) أنهما في التحريم وعدمه (أصحهما) يحرم )والثاني( لا يحرم ولا خلاف انه يجزىء وهذان الطريقان في الكتاب (والثالث) حكاه صاحب الشامل أنهما في الجواز والإجزاء معا (أصحهما) لا يجوز ولا يجزئه (والثاني) يجوز ويجزئه وتعليل الجميع في الكتاب والأصح عند الأصحاب الطريق الأول (والأصح) من القولين أنه لا يجزئه وهو محكي عن عمر بن عبد العزيز وطاوس وسعيد بن جبير ومجاهد والنخعي والثوري ومالك وأحمد وبالإجزاء قال أبو حنيفة

Adapun hukumnya, maka Kesimpulan mazhab Syafi’i seharusnya dibagikan zakat dalam balad harta. Karena itu, kalau dinaqal zakat kepada balad lain sedangkan dalam balad tersebut ada mustahiqnya, maka dalam hal ini, Imam Syafi’i ada dua qaul. Merespon dua qaul Imam Syafi’i ini, pengikutnya terbagi dalam tiga pendapat. Pendapat yang lebih shahih di sisi mereka, dua qaul tersebut terkait memadai dan tidak memadai sebagai zakat. Yang lebih shahih dari keduanya adalah tidak memadai. Qaul kedua ; memadai. Dan tidak terjadi khilaf dalam hal keharaman naqal. Thariq kedua; kedua qaul tersebut terkait haram dan tidak haram. Pendapat yang lebih shahih adalah haram. Qaul kedua ; tidak haram. Tidak ada khilaf bahwa naqal zakat itu memadai. Dua thariq ini terdapat dalam kitab. Thariq ketiga telah dihikayah oleh pengarang al-Syaamil, sesungguhnya dua qaul tersebut adalah terkait kebolehan dan sekaligus memadai. Yang lebih shahih adalah tidak tidak boleh dan tidak memadai. Qaul kedua ; boleh dan memadai. ‘illah semuanya ada dalam kitab. Yang lebih shahih di sisi pengikut Syafi’i adalah thariq pertama serta yang lebih shahih dari dua qaul tersebut adalah tidak memadai. Pendapat ini telah dihikayah pula dari Umar bin Abdul Aziz, Thaus, Sa’id bin Jubair, Mujahid, al-Nakh’i, al-Tsuriy, Malik, Ahmad. Adapun pendapat memadai datang dari Abu Hanifah. (Al-Majmu’ Syarh al-Muhazzab: VI/221-222)

 

Berdasarkan penjelasan Imam al-Nawawi di atas, ketidakbolehnaqal zakat merupakan pendapat mayoritas ulama Islam dan juga merupakan pendapat muktamad mazhab Syafi’i (pendapat yang dianggap sebagai mazhab Syafi’i)

Syekh Zainuddin al-Malibary menyatakan,

ولا يَجوزُ لِمالِكٍ نقْلُ الزّكاةِ عنْ بلدِ الْمال ولوْ إلى مسافةٍ قريبةٍ، ولا تُجزِئ

Tidak diperbolehkan bagi pemilik harta zakat memindahkan zakat dari daerah harta itu, sekalipun ke daerah yang berdekatan, dan zakat tersebut tidak sah.(Kitab Fathul Mu'in (edisi bersama I’anatut Thalibin), Hal. 198)

 

Pengarang I’anah Thalibin berkomentar:

وخرج بالمالك، الإمام، فيجوز له نقلها إلى محل عمله، لا خارجه، لأن ولايته عامة، وله أن يأذن للمالك فيه.

Dengan perkataan “malik”, maka tidak termasuk imam (pemimpin), boleh baginya naqal zakat kepada wilayah kerjanya, tidak boleh diluarnya. Karena wilayahnya umum dan boleh baginya mengizinkan pemilik harta naqal di dalam wilayahnya. (I’anah al-Thalibin: II/198)

 

Pengarang I’anah al-Thalibin menjelaskan kepada kita bahwa ketidakbolehan naqal zakat hanya berlaku atas pemilik harta. Adapun penguasa atau badan yang berwenang pengelolaan zakat seperti Baital Mal di Aceh dibolehkan naqal zakat selama masih di wilayah wewenangnya.

Dalam komentar selanjutnya:

(قوله: عن بلد المال) أي عن محل المال الذي وجبت فيه الزكاة، وهو الذي كان فيه عند وجوبها.

Perkataan pengarang: dari balad harta, artinya dari tempat harta yang wajib zakat padanya, yaitu tempat keberadaan harta ketika wajib zakat

 

Kemudian selanjutnya beliau mengatakan,

وهذا في زكاة المال. أما زكاة الفطرة: فالعبرة فيها ببلد المؤدى عنه.

Ini pada zakat harta. Adapun zakat fitrah, maka yang menjadi patokannya adalah balad orang yang ditunai zakat untuknya. (I’anah al-Thalibin: II/198)

 

Nash kitab di atas, menjelaskan bahwa yang menjadi patokan naqal zakat adalah apabila naqal zakat zakat tersebut dari domisili harta pada ketika zakat di wajibkan atasnya. Ini zakat harta. Adapun zakat fitrah patokannya adalah tempat domisi seseorang yang diberikan zakat atas namanya, meskipun diberikan oleh orang lain.

Dalam kitab Syarh al-Mahally dijelas:

( وَالْأَظْهَرُ مَنْعُ نَقْلِ الزَّكَاةِ ) مِنْ بَلَدِ الْوُجُوبِ مَعَ وُجُودِ الْمُسْتَحِقِّينَ فِيهِ إلَى بَلَدٍ آخَرَ فِيهِ الْمُسْتَحِقُّونَ ، بِأَنْ تُصْرَفَ إلَيْهِمْ أَيْ يَحْرُمُ ، وَلَا يُجْزِئُ لِمَا فِي حَدِيثِ الشَّيْخَيْنِ { صَدَقَةٌ تُؤْخَذُ مِنْ أَغْنِيَائِهِمْ ، فَتُرَدُّ عَلَى فُقَرَائِهِمْ } ، وَالثَّانِي : يَجُوزُ النَّقْلُ وَيُجْزِئُ لِلْإِطْلَاقِ فِي الْآيَةِ ، ( وَلَوْ عُدِمَ الْأَصْنَافُ فِي الْبَلَدِ وَوَجَبَ النَّقْلُ ) إلَى أَقْرَبِ الْبِلَادِ إلَيْهِ

Menurut qaul adzhar tidak boleh memindah zakat dari tempat diwajibkannya mengeluarkan zakat -sedangkan orang-orang yang berhak menerima zakat tersebut ada-  dipindah ke daerah lain yang juga ada orang-orang yang berhak menerimanya, yaitu zakat tersebut diberikan kepada mereka (mustahiq zakat yang berada didaerah lain), maka hukumnya diharamkan dan tidak memadai, karena berdasarkan hadits Bukhari dan Muslim. "Shadaqah (zakat) itu diambilkan dari orang-orang yang kaya, kemudian dikembalikan (diberikan) kepada orang-orang faqir dari golongan mereka". Sedangkan menurut pendapat yang kedua "Boleh memindah zakat dan sudah dianggap memadai, karena berdasarkan kemutlakan firman Allah". Dan apabila disebuah daerah tidak ditemukan ashnâf yang menerima zakat, maka zakat wajib pindah kedaerah yang paling terdekat. (Al-Mahalli beserta hasyiah Qalyubi wa ‘Amirah: III/202-203)

 

Kemudian Qalyubi berkomentar:

 (قوله وَالثَّانِي يَجُوزُ النَّقْلُ وَتُجْزِئُ ) وَاخْتَارَهُ جَمَاعَةٌ مِنْ أَصْحَابِ الشَّافِعِيِّ كَابْنِ الصَّلَاحِ وَابْنِ الْفِرْكَاحِ وَغَيْرِهِمْ ، قَالَ شَيْخُنَا تَبَعًا لِشَيْخِنَا الرَّمْلِيِّ : وَيَجُوزُ لِلشَّخْصِ الْعَمَلُ بِهِ فِي حَقِّ نَفْسِهِ ، وَكَذَا يَجُوزُ الْعَمَلُ فِي جَمِيعِ الْأَحْكَامِ بِقَوْلِ مَنْ يَثِقُ بِهِ مِنْ الْأَئِمَّةِ ، كَالْأَذْرَعِيِّ وَالسُّبْكِيِّ وَالْإِسْنَوِيِّ عَلَى الْمُعْتَمَدِ

Perkataan pengarang: pendapat kedua boleh naqal dan memadai, artinya pendapat yang ke-dua ini telah dipilih oleh segolongan ulama' dari ashâb imam Syafi'I, seperti Ibnu Shalah, Ibnu Al-Farkâh dan ulama' yang lainnya. Syaikhunâ berkata dengan mengikuti terhadap pendapat guru kami imam Ar-Ramlî, diperbolehkan bagi seseorang mengamalkan pendapat tersebut untuk dirinya sendiri, begitu pula mengamalkan semua hukum-hukum dengan berpijak terhadap pendapat ulama' yang dapat dipercaya dari beberapa ulama'. Seperti imam Al-Adza’iI, Al-Subukî dan imam Al-Isnâwî menurut qaul mu'tamad ".(Hasyiah Qalyubi wa ‘Amirah: III/203)

 

Dalam Bughyatul Mustarsyidin disebutkan:

اَلرَّاجِحُ فِى الْمَذْهَبِ عَدَمُ جَوَازِ نَقْلِ الزَّكاَتِ وَاخْتَارَ جَمْعُ الْجَوَازَ كَابْنِ عُجَيْلٍ وَابْنِ الصَّلاَحِ وَغَيْرِ هِمَا قَالَ أَبُو مَخْرَمَةَ وَهُوَ الْمُخْتاَرُ إِذاَ كاَنَ لِنَحْوِ قَرِيْبٍ وَاخْتَارَهُ الرَّوْياَنِى وَنَقَلَهُ الْخَطَّابِى عَنْ أَكْثَرِ الْعُلَماَءِ وَبِهِ قَالَ ابْنُ عَتِيْق فَيَجُوْزُ تَقْلِيْدُ هَؤُلاَءِ (مَسْأَلَةٌ ي ك) لاَيَجُوْزُ نَقْلُ الزَّكاَتِ وَالْفِطْرَةِ عَلىَ اْلأَظْهَرِ مِنْ أَقْوَالِ الشَّافِعِى نَعَمْ أُسْتُثْنِيَ فِى التُّحْفَةِ وَالنِّهَاَيَةِ مَا يَقْرُبُ مِنَ الْمَوْضِعِ وَيُعَدُّ مَعَهُ وَاحِدًا وَإِنْ خَرَجَ عَنِ السُّوْرِ

Pendapat rajih dalam madzhab tidak memperbolehkan pemindahan zakat ke (daerah lain). Sekelompok ulama memilih di perbolehkan pemindahan zakat, seperti pendapat Ibnu ‘Ujail dan Ibnu Shalah dan selain keduanya. Ibnu Makhramah mengatakan kebolehan memindah zakat merupakan pendapat terpilih apabila diberikan kepada kerabat. Pendapat ini juga dipilih oleh Imam Al-Rauyani, Al-khathabi dan Ibnu ‘Atiq telah mengutip dari sebagian besar ulama, maka boleh mengikuti mereka itu.

(Masalah Ya ka) Menurut qaul azhhar Imam Syafi’i tidak diperkenankan memindahkan zakat (maal) dan (fitrah). Dalam karya Tuhfah dan Nihayah terdapat pengecualian untuk tempat yang berdekatan dan masih dianggap satu walaupun berada di luar perbatasan.(Bughyatul Mustarsyidin: 105)

 

Berdasarkan penjelasan Qalyubi dan kitab Bughyatul Mustarsyidin di atas, naqal zakat ini meskipun dianggap pendapat yang lemah dari sisi pandangan mazhab Syafi’i, namun boleh diamalkan binafsihi (amalan untuk diri sendiri, bukan untuk fatwa). Karena amalan ini merupakan juga pendapat pilihan beberapa ulama besar Syafi’yah seperti al-Ruyaniy, al-Khathabi dan lain-lain

Ulama mazhab Syafi’i menyatakan kewajiban seseorang untuk mengeluarkan zakat fitrah di negeri mereka tinggal sebagaimana keterangan Imam Abu Ishaq al-Syairazi dari Mazhab Syafi’i dalam al-Muhazzab berikut ini:

وان وجبت عليه زكاة الفطر وهو في بلد وماله فيه وجب اخراجها إلى الاصناف في البلد لان مصرفها مصرف سائر الزكوات

Jika datang waktu wajib pembayaran zakat fitrah pada seseorang, sementara ia dan hartanya ada di suatu negeri, maka ia wajib mengeluarkan zakatnya kepada golongan penerima zakat yang ada di negeri tersebut karena tempat tasaruf zakat fitrah sama saja dengan tempat tasaruf zakat jenis lainnya (al-Majmu’ Syarh al-Muhazzab: VI/225)

 

Imam al-Nawawi mengatakan.

قال أصحابنا إذا كان في وقت وجوب زكاة الفطر في بلد وماله فيه وجب صرفها فيه فإن نقلها عنه كان كنقل باقي الزكوات ففيه الخلاف والتفصيل السابق وان كان في بلد وماله في آخر فأيهما يعتبر فيه وجهان (أحدهما)بلد المال كزكاة المال (وأصحهما) بلد رب المال ممن صححه المصنف في التنبيه والجرجاني في التحرير والغزالي والبغوي والرافعي وآخرون

Ashabunaa (Ulama Syafi’iyah) berpendapat apabila seseorang pada ketika wajib zakat fitrah berada dalam satu baladdan hartanya juga dalam balad tersebut, maka wajib menyerahkan zakat fitrah dalam balad tersebut. Jika di naqal, maka hukumnya sama dengan naqal zakat  lain. Padanya ada khilaf dan rincian sebelumnya. Dan jika seseorang berada dalam satu balad, sedangkan hartanya di balad lain, maka mana yg menjadi i’tibar?. Ini ada dua pendapat, salah satunya adalah balad harta sama seperti zakat harta. Namun pendapat yang lebih shahih adalah balad yang punya harta. Pendapat ini termasuk yang telah ditashihkan oleh pengarang dalam al-Tanbiih, Jarjaniy dalam al-Tahrir, al-Ghazali, al-Baghwiy, al-Rafi’I dan lainnya. (al-Majmu’ Syarh al-Muhazzab:VI/225-226)

 Wallahua'lam bisshawab