Membayar zakat merupakan kewajiban setiap muslim yang harus
dilaksanakan apabila mempunyai sejumlah harta yang sudah ditentukan syara’. Ini
berdasarkan firman Allah berbunyi:
خُذْ مِنْ اَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً تُطَهِّرُهُمْ
وَتُزَكِّيْهِمْ بِهَا وَصَلِّ عَلَيْهِمْۗ اِنَّ صَلٰوتَكَ سَكَنٌ لَّهُمْۗ
وَاللّٰهُ سَمِيْعٌ عَلِيْمٌ
Ambillah zakat dari harta mereka (guna) menyucikan dan membersihkan
mereka, dan doakanlah mereka karena sesungguhnya doamu adalah ketenteraman bagi
mereka. Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.(Q.S.
al-Taubah: 103)
Terjadi khilafiyah para ulama dalam hal naqal zakat atau memberikan
zakat tidak di tempat domisili pemberi zakat dan tempat domisili harta. Pendapat
yang muktamad dalam Mazhab Syafi'i tidak boleh pemilik harta memindah zakatnya
dari satu balad zakat (daerah wajib zakat) ke 
balad lainnya.
Sabda Nabi SAW:
فَأَعْلِمْهُمْ
أَنَّ
اللَّهَ افْتَرَضَ عَلَيْهِمْ صَدَقَةً فِي أَمْوَالِهِمْ تُؤْخَذُ مِنْ
أَغْنِيَائِهِمْ وَتُرَدُّ عَلَى فُقَرَائِهِمْ
Maka beritahukanlah bahwa Allah telah mewajibkan atas mereka
shadaqah (zakat) dari harta mereka yang diambil dari orang-orang kaya mereka
dan diberikan kepada orang-orang faqir mereka.(Muttaqun a’alahi)
Dalam hadits ini dijelaskan bahwa zakat diambil dari orang-orang
kaya suatu tempat, kemudian dikembalikan kepada fakir miskin mereka. Ini artinya,
zakat tidak boleh dipindahkan dari domisilinya. 
Imam al-Nawawi mengatakan,
(أما) الأحكام
فحاصل المذهب أنه ينبغي أن يفرق الزكاة في بلد المال فلو نقلها إلى بلد آخر مع
وجود المستحقين فللشافعي رضي الله عنه في المسألة قولان وللأصحاب فيها ثلاث طرف
(أصحها) عندهم أن القولين في الإجزاء وعدمه (أصحهما) لا يجزئه )والثاني(
يجزئه
ولا خلاف في تحريم النقل (والطريق الثاني) أنهما في التحريم وعدمه (أصحهما) يحرم )والثاني(
لا
يحرم ولا خلاف انه يجزىء وهذان الطريقان في الكتاب (والثالث) حكاه صاحب الشامل
أنهما في الجواز والإجزاء معا (أصحهما) لا يجوز ولا يجزئه (والثاني) يجوز ويجزئه
وتعليل الجميع في الكتاب والأصح عند الأصحاب الطريق الأول (والأصح) من القولين أنه
لا يجزئه وهو محكي عن عمر بن عبد العزيز وطاوس وسعيد بن جبير ومجاهد والنخعي
والثوري ومالك وأحمد وبالإجزاء قال أبو حنيفة 
Adapun
hukumnya, maka Kesimpulan mazhab Syafi’i seharusnya dibagikan zakat dalam balad
harta. Karena itu, kalau dinaqal zakat kepada balad lain sedangkan dalam balad
tersebut ada mustahiqnya, maka dalam hal ini, Imam Syafi’i ada dua qaul.
Merespon dua qaul Imam Syafi’i ini, pengikutnya terbagi dalam tiga pendapat.
Pendapat yang lebih shahih di sisi mereka, dua qaul tersebut terkait memadai
dan tidak memadai sebagai zakat. Yang lebih shahih dari keduanya adalah tidak
memadai. Qaul kedua ; memadai. Dan tidak terjadi khilaf dalam hal keharaman
naqal. Thariq kedua; kedua qaul tersebut terkait haram dan tidak haram.
Pendapat yang lebih shahih adalah haram. Qaul kedua ; tidak haram. Tidak ada
khilaf bahwa naqal zakat itu memadai. Dua thariq ini terdapat dalam kitab.
Thariq ketiga telah dihikayah oleh pengarang al-Syaamil, sesungguhnya dua qaul
tersebut adalah terkait kebolehan dan sekaligus memadai. Yang lebih shahih
adalah tidak tidak boleh dan tidak memadai. Qaul kedua ; boleh dan memadai. ‘illah
semuanya ada dalam kitab. Yang lebih shahih di sisi pengikut Syafi’i adalah
thariq pertama serta yang lebih shahih dari dua qaul tersebut adalah tidak
memadai. Pendapat ini telah dihikayah pula dari Umar bin Abdul Aziz, Thaus,
Sa’id bin Jubair, Mujahid, al-Nakh’i, al-Tsuriy, Malik, Ahmad. Adapun pendapat
memadai datang dari Abu Hanifah. (Al-Majmu’
Syarh al-Muhazzab: VI/221-222)
Berdasarkan penjelasan Imam al-Nawawi di atas, ketidakbolehnaqal
zakat merupakan pendapat mayoritas ulama Islam dan juga merupakan pendapat
muktamad mazhab Syafi’i (pendapat yang dianggap sebagai mazhab Syafi’i)
Syekh Zainuddin
al-Malibary menyatakan, 
ولا يَجوزُ لِمالِكٍ نقْلُ الزّكاةِ عنْ بلدِ
الْمال ولوْ إلى مسافةٍ قريبةٍ، ولا تُجزِئ
Tidak diperbolehkan bagi pemilik harta zakat memindahkan zakat dari
daerah harta itu, sekalipun ke daerah yang berdekatan, dan zakat tersebut tidak
sah.(Kitab Fathul Mu'in (edisi bersama I’anatut Thalibin), Hal. 198)
Pengarang I’anah Thalibin berkomentar:
وخرج بالمالك،
الإمام، فيجوز له نقلها إلى محل عمله، لا خارجه، لأن ولايته عامة، وله أن يأذن
للمالك فيه.
Dengan perkataan “malik”, maka tidak termasuk imam (pemimpin),
boleh baginya naqal zakat kepada wilayah kerjanya, tidak boleh diluarnya.
Karena wilayahnya umum dan boleh baginya mengizinkan pemilik harta naqal di
dalam wilayahnya. (I’anah al-Thalibin: II/198)
Pengarang I’anah al-Thalibin menjelaskan kepada kita bahwa ketidakbolehan
naqal zakat hanya berlaku atas pemilik harta. Adapun penguasa atau badan yang
berwenang pengelolaan zakat seperti Baital Mal di Aceh dibolehkan naqal zakat
selama masih di wilayah wewenangnya. 
Dalam komentar selanjutnya:
(قوله: عن بلد المال) أي عن محل المال الذي وجبت فيه الزكاة، وهو
الذي كان فيه عند وجوبها.
Perkataan pengarang: dari balad harta, artinya dari tempat harta yang
wajib zakat padanya, yaitu tempat keberadaan harta ketika wajib zakat 
Kemudian selanjutnya beliau mengatakan,
وهذا في زكاة المال.
أما
زكاة الفطرة: فالعبرة فيها ببلد المؤدى عنه.
Ini pada zakat harta. Adapun zakat fitrah, maka yang menjadi
patokannya adalah balad orang yang ditunai zakat untuknya. (I’anah al-Thalibin:
II/198)
Nash kitab di atas, menjelaskan bahwa yang menjadi patokan naqal
zakat adalah apabila naqal zakat zakat tersebut dari domisili harta pada ketika
zakat di wajibkan atasnya. Ini zakat harta. Adapun zakat fitrah patokannya
adalah tempat domisi seseorang yang diberikan zakat atas namanya, meskipun
diberikan oleh orang lain.
Dalam kitab Syarh al-Mahally dijelas:
( وَالْأَظْهَرُ مَنْعُ نَقْلِ الزَّكَاةِ ) مِنْ بَلَدِ
الْوُجُوبِ مَعَ وُجُودِ الْمُسْتَحِقِّينَ فِيهِ إلَى بَلَدٍ آخَرَ فِيهِ
الْمُسْتَحِقُّونَ ، بِأَنْ تُصْرَفَ إلَيْهِمْ أَيْ يَحْرُمُ ، وَلَا يُجْزِئُ
لِمَا فِي حَدِيثِ الشَّيْخَيْنِ { صَدَقَةٌ تُؤْخَذُ مِنْ أَغْنِيَائِهِمْ ،
فَتُرَدُّ عَلَى فُقَرَائِهِمْ } ، وَالثَّانِي : يَجُوزُ النَّقْلُ وَيُجْزِئُ
لِلْإِطْلَاقِ فِي الْآيَةِ ، ( وَلَوْ عُدِمَ الْأَصْنَافُ فِي الْبَلَدِ
وَوَجَبَ النَّقْلُ ) إلَى أَقْرَبِ الْبِلَادِ إلَيْهِ 
Menurut qaul adzhar tidak boleh memindah zakat dari tempat
diwajibkannya mengeluarkan zakat -sedangkan orang-orang yang berhak menerima
zakat tersebut ada-  dipindah ke daerah
lain yang juga ada orang-orang yang berhak menerimanya, yaitu zakat tersebut
diberikan kepada mereka (mustahiq zakat yang berada didaerah lain), maka
hukumnya diharamkan dan tidak memadai, karena berdasarkan hadits Bukhari dan
Muslim. "Shadaqah (zakat) itu diambilkan dari orang-orang yang kaya,
kemudian dikembalikan (diberikan) kepada orang-orang faqir dari golongan
mereka". Sedangkan menurut pendapat yang kedua "Boleh memindah zakat
dan sudah dianggap memadai, karena berdasarkan kemutlakan firman Allah".
Dan apabila disebuah daerah tidak ditemukan ashnâf yang menerima zakat, maka
zakat wajib pindah kedaerah yang paling terdekat. (Al-Mahalli beserta hasyiah
Qalyubi wa ‘Amirah: III/202-203)
Kemudian Qalyubi berkomentar:
 (قوله وَالثَّانِي يَجُوزُ
النَّقْلُ وَتُجْزِئُ ) وَاخْتَارَهُ جَمَاعَةٌ مِنْ أَصْحَابِ الشَّافِعِيِّ
كَابْنِ الصَّلَاحِ وَابْنِ الْفِرْكَاحِ وَغَيْرِهِمْ ، قَالَ شَيْخُنَا تَبَعًا
لِشَيْخِنَا الرَّمْلِيِّ : وَيَجُوزُ لِلشَّخْصِ الْعَمَلُ بِهِ فِي حَقِّ
نَفْسِهِ ، وَكَذَا يَجُوزُ الْعَمَلُ فِي جَمِيعِ الْأَحْكَامِ بِقَوْلِ مَنْ
يَثِقُ بِهِ مِنْ الْأَئِمَّةِ ، كَالْأَذْرَعِيِّ وَالسُّبْكِيِّ
وَالْإِسْنَوِيِّ عَلَى الْمُعْتَمَدِ
Perkataan pengarang: pendapat kedua boleh naqal dan memadai,
artinya pendapat yang ke-dua ini telah dipilih oleh segolongan ulama' dari
ashâb imam Syafi'I, seperti Ibnu Shalah, Ibnu Al-Farkâh dan ulama' yang
lainnya. Syaikhunâ berkata dengan mengikuti terhadap pendapat guru kami imam
Ar-Ramlî, diperbolehkan bagi seseorang mengamalkan pendapat tersebut untuk
dirinya sendiri, begitu pula mengamalkan semua hukum-hukum dengan berpijak
terhadap pendapat ulama' yang dapat dipercaya dari beberapa ulama'. Seperti
imam Al-Adza’iI, Al-Subukî dan imam Al-Isnâwî menurut qaul mu'tamad ".(Hasyiah Qalyubi wa ‘Amirah: III/203)
Dalam Bughyatul
Mustarsyidin disebutkan:
اَلرَّاجِحُ
فِى الْمَذْهَبِ عَدَمُ جَوَازِ نَقْلِ الزَّكاَتِ وَاخْتَارَ جَمْعُ الْجَوَازَ
كَابْنِ عُجَيْلٍ وَابْنِ الصَّلاَحِ وَغَيْرِ هِمَا قَالَ أَبُو مَخْرَمَةَ
وَهُوَ الْمُخْتاَرُ إِذاَ كاَنَ لِنَحْوِ قَرِيْبٍ وَاخْتَارَهُ الرَّوْياَنِى
وَنَقَلَهُ الْخَطَّابِى عَنْ أَكْثَرِ الْعُلَماَءِ وَبِهِ قَالَ ابْنُ عَتِيْق
فَيَجُوْزُ تَقْلِيْدُ هَؤُلاَءِ (مَسْأَلَةٌ ي ك) لاَيَجُوْزُ نَقْلُ الزَّكاَتِ
وَالْفِطْرَةِ عَلىَ اْلأَظْهَرِ مِنْ أَقْوَالِ الشَّافِعِى نَعَمْ أُسْتُثْنِيَ
فِى التُّحْفَةِ وَالنِّهَاَيَةِ مَا يَقْرُبُ مِنَ الْمَوْضِعِ وَيُعَدُّ مَعَهُ
وَاحِدًا وَإِنْ خَرَجَ عَنِ السُّوْرِ
Pendapat rajih dalam madzhab tidak memperbolehkan pemindahan zakat
ke (daerah lain). Sekelompok ulama memilih di perbolehkan pemindahan zakat,
seperti pendapat Ibnu ‘Ujail dan Ibnu Shalah dan selain keduanya. Ibnu Makhramah
mengatakan kebolehan memindah zakat merupakan pendapat terpilih apabila
diberikan kepada kerabat. Pendapat ini juga dipilih oleh Imam Al-Rauyani,
Al-khathabi dan Ibnu ‘Atiq telah mengutip dari sebagian besar ulama, maka boleh
mengikuti mereka itu.
(Masalah Ya ka) Menurut qaul azhhar Imam Syafi’i tidak
diperkenankan memindahkan zakat (maal) dan (fitrah). Dalam karya Tuhfah dan
Nihayah terdapat pengecualian untuk tempat yang berdekatan dan masih dianggap
satu walaupun berada di luar perbatasan.(Bughyatul Mustarsyidin: 105)
Berdasarkan penjelasan Qalyubi dan kitab Bughyatul Mustarsyidin di
atas, naqal zakat ini meskipun dianggap pendapat yang lemah dari sisi pandangan
mazhab Syafi’i, namun boleh diamalkan binafsihi (amalan untuk diri sendiri,
bukan untuk fatwa). Karena amalan ini merupakan juga pendapat pilihan beberapa
ulama besar Syafi’yah seperti al-Ruyaniy, al-Khathabi dan lain-lain 
Ulama mazhab Syafi’i menyatakan
kewajiban seseorang untuk mengeluarkan zakat fitrah di negeri mereka tinggal
sebagaimana keterangan Imam Abu Ishaq al-Syairazi dari Mazhab Syafi’i dalam
al-Muhazzab berikut ini:
وان وجبت عليه
زكاة الفطر وهو في بلد وماله فيه وجب اخراجها إلى الاصناف في البلد لان مصرفها
مصرف سائر الزكوات
Jika datang waktu wajib pembayaran zakat fitrah pada seseorang,
sementara ia dan hartanya ada di suatu negeri, maka ia wajib mengeluarkan
zakatnya kepada golongan penerima zakat yang ada di negeri tersebut karena
tempat tasaruf zakat fitrah sama saja dengan tempat tasaruf zakat jenis lainnya
(al-Majmu’ Syarh al-Muhazzab: VI/225)
Imam al-Nawawi
mengatakan. 
قال أصحابنا إذا كان في وقت وجوب زكاة الفطر في
بلد وماله فيه وجب صرفها فيه فإن نقلها عنه كان كنقل باقي الزكوات ففيه الخلاف
والتفصيل السابق وان كان في بلد وماله في آخر فأيهما يعتبر فيه وجهان
(أحدهما)بلد المال
كزكاة المال (وأصحهما) بلد رب المال ممن صححه المصنف في التنبيه
والجرجاني في التحرير والغزالي والبغوي والرافعي وآخرون
Ashabunaa (Ulama Syafi’iyah) berpendapat apabila seseorang pada
ketika wajib zakat fitrah berada dalam satu baladdan hartanya juga dalam balad
tersebut, maka wajib menyerahkan zakat fitrah dalam balad tersebut. Jika di
naqal, maka hukumnya sama dengan naqal zakat 
lain. Padanya ada khilaf dan rincian sebelumnya. Dan jika seseorang
berada dalam satu balad, sedangkan hartanya di balad lain, maka mana yg menjadi
i’tibar?. Ini ada dua pendapat, salah satunya adalah balad harta sama seperti
zakat harta. Namun pendapat yang lebih shahih adalah balad yang punya harta.
Pendapat ini termasuk yang telah ditashihkan oleh pengarang dalam al-Tanbiih,
Jarjaniy dalam al-Tahrir, al-Ghazali, al-Baghwiy, al-Rafi’I dan lainnya. (al-Majmu’
Syarh al-Muhazzab:VI/225-226)
 
 
Tidak ada komentar:
Posting Komentar