( وَالْعِلْمُ ) بالمطلوب الحاصل ( عِنْدَنَا )
أيها الأشاعرة ( عَقِبَهُ ) أى عقب صحيح النظر عادة عند الأشعرى وغيره فلا يتخلف
الا خرقا للعادة كتخلف الإحراق عن مماسة النار أولزوما عند الإمام الرازى وغيره
فلاينفك اصلا كوجود الجوهر لوجود العرض ( مُكْتَسَبٌ ) للناظر ( فِيْ الأَصَحِّ )
لأن حصوله عن نظره المكتسب له وقيل لا لأن حصوله اضطرارى لا قدرة
على دفعه فلاخلاف الا فى التسمية
وهى بالمكتسب أنسب والتصحيح من زيادتى وكالعلم فيما ذكر الظن وان لم يكن بينه وبين
أمر ما ارتباط بحيث يمتنع تخلفه عنه عقلا أوعادة لأن النتيجة لازمة للقضيتين وان
كانتا ظنيتين وزواله بعد حصوله لايمنع حصوله لزوما أوعادة وخرج بعندنا المعتزلة
فقالوا النظر يولد العلم كتوليد حركة اليد لحركة المفتاح عندهم وعلى وزانه يقال
الظن الحاصل متولد عن النظر عندهم
(Dan sisi kita) hai pengikut Asy’ari (mengetahui) kesimpulam yang hasil
sesudah nazhar yang shahih secara ‘adat(1) di sisi Asya’ri dan lainnya, karena
itu, mengetahui kesimpulam tersebut tidak akan berselisih dari nazhar yang
shahih kecuali karena kharq al-adah, sama halnya dengan berselisih
membakar dari sentuhan api ataupun secara luzum(2) di sisi Imam al-Razi
dan lainnya, karena itu, ia tidak akan terlepas dari nazhar yang shahih sama
sekali, sama dengan wujud jauhar(3) bagi wujud ‘aradh(4) (merupakan muktasab(5)) bagi orang yang
nazhar (menurut pendapat yang lebih shahih), karena hasilnya bersumber dari nazharnya
yang diusahakannya. Ada yang mengatakan tidak, karena hasilnya idhthirari(6)
yang tidak mampu ditolaknya. Maka tidak ada khilaf kecuali pada penamaan(7)
dan sedangkan penamaannya dengan muktasab lebih sesuai. Pentashhihan ini adalah tambahanku. Sama
dengan ilmu/mengetahui dalam hal yang telah disebutkan adalah dhan dari sisi
tidak terjadi berselisih kesimpulan dari nazhar yang shahih pada akal dan al-‘adah,
meskipun tidak ada antara dhan dan sesuatupun mempunyai hubungan, karena
natijah/kesimpulan lazim bagi dua qadhiyah, meskipun keduanya dhanni, sedangkan
hilang dhan sesudah hasilnya tidak mencegah hasilnya secara luzum atau al-‘adah.
Dengan perkataan “di sisi kita” keluarlah Mu’tazilah, mereka mengatakan, nazhar
melahirkan ilmu seperti melahirkan gerak tangan bagi bergerak anak kunci
menurut mereka.(8) Berdasarkan konsep ini, menurut mereka dikatakan, dhan yang
terjadi dilahirkan dari nazhar.
Penjelasannya
(1). Suatu
hubungan yang berjalan secara kebiasaan, seperti hubungan api dengan membakar,
karena itu kadang-kadang ada api tetapi tidak membakar. Ini disebut dengan kharq
al-adah, yaitu tidak berjalan sebagaimana kebiasaannya. Hal seperti ini
juga terjadi pada sebuah nazhar yang shahih, dimana biasanya kalau ada nazhar
yang shahih, maka akan ada sebuah kesimpulan, namun kadang-kadang ada nazhar
yang shahih tetapi tidak wujud sebuah kesimpulan, karena hubungan keduanya
adalah hubungan al-‘adah.
(2). Hubungan
yang tidak pernah terlepas satu sama lainnya dan selalu berjalan beriringan,
yakni lazim pada akal. Karena itu tidak sah Allah Ta’ala menciptakan salah satunya
tanpa ada yang lain, yang sah adalah menciptakannya atau meniadakannya secara
bersamaan. Pendapat Imam al-Razi ini merupakan pendapat yang terpilih di sisi
jumhur ulama.[1]
(3). Jauhar
adalah yang berdiri dengan sendirinya, baik yang tunggal, tidak berjuzu’ sama
sekali yaitu jauhar fard maupun yang tersusun yaitu jisim thabi’i.[2]
(4). ‘Aradh
adalah sesuatu yang wujudnya berhajat kepada tempat berdirinya seperti warna
dimana wujudnya berhajat kepada jisim (benda) yang ditempatinya.[3]
(5).Muktasab
yakni ilmu muktasab yaitu yang tergantung kepada nazhar dan pendalilian.[4]
(6). Maksudnya tidak
cocok dinamakan dengan muktasab. Idhthirari adalah datang sendirinya
tanpa ada usaha.
(7). Karena muwafakat
pendapat pertama atas pendapat kedua tentang hasil ilmu sesudah nazhar yang
shahih merupakan idhthirari dan muwafakat pendapat kedua atas pendapat pertama
tentang hasil ilmu itu berasal dari nazhar yang diusahakan. Jadi dinamakan
muktasab karena i’tibar sebabnya, yaitu nazhar yang diusahakan, meskipun apabila
telah terjadi nazhar yang shahih, maka muncul ilmu itu secara Idhthirari. Penamaan
dengan dharuri kurang tepat, karena mewahamkan sebab ilmu itu, yaitu nazhar,
juga datang secara dharuri, padahal tidak demikian adanya.[5]
(8). Ini tawwalud
(melahirkan) secara kebiasaan, karenanya, boleh berselisih. Maka nazhar itu diberikan
kemampuan atas seorang hamba, yang wujud dengan qudrah haditsahnya dan ilmu itu
lahir dari kemampuan tersebut. Pendapat yang keempat, pendapat hukamaaa, yakni ilmu
hasil dengan ta’lil, yakni nazhar merupakan ‘illat yang memberi bekas (ta’tsir
bizatihi) bagi menghasilkan ilmu [6]
[1] Lihat
Al-Banany, Hasyiah al-Banany ‘ala Syarah Jam’u al-Jawami’, Dar
Ihya al-Kutub al-Arabiyah, Indonesia, Juz. I, Hal. 130
[2]
Muhammad bin Ali al-Shabban, Hasyiah ‘ala Syarh al-Sulam,
al-Haramain, Singapura, Hal. 71
[3] Al-Jarjani,
al-Ta’rifaat, Maktabah Libanon, Hal. 153
[4] Jalaluddin
al-Mahalli, Syarah al-Warqaat, dicetak pada hamisy Hasyiah
al-al-Dimyathi ‘ala Syarah al-Warqat, Raja Murah, Pekalongan, Hal. 5
[5] Lihat
Al-Banany, Hasyiah al-Banany ‘ala Syarah Jam’u al-Jawami’, Dar
Ihya al-Kutub al-Arabiyah, Indonesia, Juz. I, Hal. 131
[6] Al-Banany,
Hasyiah al-Banany ‘ala Syarah Jam’u al-Jawami’, Dar Ihya al-Kutub
al-Arabiyah, Indonesia, Juz. I, Hal. 130
Tidak ada komentar:
Posting Komentar