Sabtu, 24 Desember 2022

Bolehkah yang berqurban memakan daging qurban wajib ?

 Pada dasarnya, berqurban pada hari raya ‘Idul Adha hukumnya sunnah muakkadah. Ini merupakan pendapat mazhab Syafi’i dan kebanyakan ulama. Imam al-Nawawi mengatakan :

أَنْ مَذْهَبَنَا أَنَّهَا سُنَّةٌ مُؤَكَّدَةٌ فِي حَقِّ الْمُوسِرِ وَلَا تَجِبُ عَلَيْهِ وَبِهَذَا قَالَ أَكْثَرُ الْعُلَمَاءِ وَمِمَّنْ قَالَ بِهِ أَبُو بَكْرٍ الصِّدِّيقُ وَعُمَرُ بْنُ الْخَطَّابِ وَبِلَالٌ وَأَبُو مَسْعُودٍ الْبَدْرِيُّ وَسَعِيدُ بْنُ الْمُسَيِّبِ وَعَطَاءٌ وَعَلْقَمَةُ وَالْأَسْوَدُ وَمَالِكٌ وَأَحْمَدُ وَأَبُو يوسف واسحق وَأَبُو ثَوْرٍ وَالْمُزَنِيُّ وَدَاوُد وَابْنُ الْمُنْذِرِ

Sesungguhnya mazhab kita (Mazhab Syafi’i), berqurban adalah sunnah muakkadah atas orang yang mampu dan tidak wajib. Pendapat ini merupakan pendapat kebanyakan ulama. Termasuk yang berpendapat sunnah adalah Abu Bakar al-Shiddiq, Umar bin Khathab, Bilal, Abu Mas’ud al-Badriy, Sa’id bin Musayyab, ‘Itha’, ‘Alqamah, al-Aswad, Malik, Ahmad, Abu Yusuf, Ishaq, Abu Tsur, al-Muzaniy, Daud, dan Ibnu al-Munzir. (Majmu’ Syarah al-Muhazzab VIII/385)

 

Di antara dalil yang menjadi pegangan kebanyakan ulama ini adalah sabda Nabi SAW yang berbunyi :

إِذَا رَأَيْتُمْ هِلاَلَ ذِى الْحِجَّةِ وَأَرَادَ أَحَدُكُمْ أَنْ يُضَحِّىَ فَلْيُمْسِكْ عَنْ شَعْرِهِ وَأَظْفَارِهِ

Jika masuk bulan Dzulhijah dan salah seorang dari kalian ingin menyembelih qurban, maka hendaklah ia tidak memotong sedikitpun dari rambut dan kukunya. (H.R. Muslim)

 

Imam Syafi’i mengatakan, hadits ini menjadi dalil bahwa hukum kurban itu tidak wajib. Karena dalam hadits digunakan kata “arada” (siapa yang mau). Nabi SAW menyerahkan ibadah berqurban kepada kemauan seseorang. Seandainya menyembelih qurban itu wajib, maka cukup Nabi SAW mengatakan, “Maka hendaklah ia tidak memotong sedikitpun dari rambut hingga ia berkurban.” (Al-Majmu’, Syarah al-Muhazzab 8/386).

Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, bahwa pada dasarnya, berqurban hukumnya sunnah muakkadah, tidak wajib. Namun hukum sunnah ini dapat saja menjadi wajib dengan sebab nadzar atau sebab lainnya. Memang terjadi perbedaan tata cara penyaluran qurban antara yang wajib dan sunnah. Diantara perbedaannya, qurban wajib tidak boleh dimakan oleh yang berqurban. Zainuddin al-Malibarri dalam Kitab Fathul Mu’in menjelaskan :

ويحرم الأكل من أضحية أو هدي وجبا بنذره.

Haram makan qurban atau hadyu yang wajib dengan sebab nazar.

 

Kemudian, penjelasan di atas, dikomentari oleh Abu Bakar Syatha dalam Hasyiah I’anah al-Thalibin :

(قوله: ويحرم الأكل إلخ) إي يحرم أكل المضحى والمهدي من ذلك، فيجب عليه التصدق بجميعها، حتى قرنها، وظلفها. فلو أكل شيئا من ذلك غرم بدله للفقراء

(Perkataan pengarang : haram makan..dst), artinya yang berqurban dan yang memberikan hadyu haram memakannya. Karena itu, wajib atasnya menyalurkan semuanya sebagai sadaqah hingga termasuk tanduk dan kukunya. Apabila dimakan maka dibayar untuk disalurkan kepada fakir miskin sebagai gantinya. (I’anah al-Thalibin II/378)

 

Keharaman ini juga berlaku atas kerabat dari yang berqurban yang nafakahnya masih di bawah tanggungannya sebagaimana dijelaskan dalam I’anah al-Thalibin dalam bab nadzar berikut ini :

‌ولا ‌يجوز ‌له ‌أي ‌الناذر ‌الأكل ‌منه ‌ولا ‌لمن ‌تلزمه ‌نفقتهم قياسا على الكفارة.اه

Makanan yang dinadzarkan tidak boleh dimakan oleh yang bernadzar dan oleh kerabat yang wajib nafkah atas orang yang bernadzar karena diqiyaskan kepada kifarat. (I’anah al-Thalibin : II/417)

Berbeda dengan qurban wajib, qurban sunnah boleh dimakan sebagiannya. Sisanya disalurkan  kepada yang berhak sebagaimana dijelaskan dalam Syarah al-Mahalli ‘ala Minhaj al-Thalibin :

)وَلَهُ) أَيْ لِلْمُضَحِّي (الْأَكْلُ مِنْ أُضْحِيَّةِ تَطَوُّعٍ وَإِطْعَامُ الْأَغْنِيَاءِ) مِنْهَا (لَا تَمْلِيكُهُمْ) وَيَجُوزُ تَمْلِيكُ الْفُقَرَاءِ مِنْهَا لِيَتَصَرَّفُوا فِيهِ بِالْبَيْعِ وَغَيْرِهِ

Boleh bagi yang berqurban memakan qurban tathawu’ (qurban tidak wajib) dan memberi makan orang kaya akan tetapi tidak boleh menjadikan milik kepada orang kaya. Boleh menjadikan milik daging qurban kepada fakir miskin supaya mereka dapat mempergunakannya dengan menjual atau lainnya. (Syarah al-Mahalli ‘ala Minhaj al-Thalibin IV/255)

 

Kesimpulan

1.  Qurban wajib tidak boleh dimakan oleh yang berqurban dan juga kerabat yang masih dibawah tanggungannya. Semuanya wajib disalurkan kepada yang berhak

2.  Apabila yang berqurban terlanjur memakannya, maka wajib diganti, kemudian disalurkan kembali kepada fakir miskin

3.  Adapun qurban sunnah yang tidak wajib, maka yang berqurban boleh memakan sebagiannya. Sisanya diberikan kepada yang berhak.

 

Wallahua’lam bisshawab



Tidak ada komentar:

Posting Komentar