Dalam negara yang menganut sistem
demokrasi, sangat mungkin bagi semua kalangan masyarakat untuk ikut serta
andil, bahkan menjadi pemain, dalam pencalonan diri menjadi legislatif ataupun pemimpin
pemerintahan. Banyak dari lapisan masyarakat yang sebelumnya fokus dalam dunia
non-politik, kini berpindah masuk dalam percaturan politik dan bergelut
memperebutkan kursi kekuasaan. Dari pengamatan kita di Indonesia, dalam
memperoleh suara rakyat, banyak cara yang ditempuh oleh calon legislatif
ataupun calon pemimpin. Sebagian calon ada yang hanya mengandalkan ketenaran di
dunia non-politik, atau calon yang tidak memiliki ketenaran sama sekali, namun
dengan modal finansial yang besar. Kekuatan finansial tersebut yang kemudian
digunakannya sebagai sarana meraih suara mayoritas. Mereka dengan sangat piawai
dalam menutupi money politik yang mereka lancarkan; mulai dari yang berwujud
sumbangan terhadap lembaga-lembaga keagamaan dan pendidikan, hingga yang
dibungkus rapi dalam bentuk hadiah dan pemberian secara individual. Sehingga,
suap (risywah) sudah tidak lagi dilakukan di bawah meja kekuasaan, namun dengan
menu dan aroma yang baru.
Menanggapi fenomena semacam ini, beberapa
abad yang lalu Islam telah mengajarkan kepada kita bahwa risywah (sogok)
merupakan tindakan yang tidak terpuji. Dari Ibnu Umar r.a, beliau berkata:
لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ صلعم الرَّاشِيَ
وَالمُرْتَشِيَ
Rasulullah SAW melaknat penyogok dan penerima sogok (H.R.
Abu Daud dan lainnya)
Al-Turmidzi menyatakan hadits ini hasan
dan dinyatakan shahih oleh Ibnu Hibban.(Fath al-Alam karya Zakariya al-Anshariy:
673).
Dalam mengomentari kandungan hadits
ini, Zakariya al-Anshariy menjelaskan kepada kita,
وفيه تحريم
الرشوة على القاضي وغيره من الولاة لأنها ترفع إليه ليحكم بحق أو ليمتنع من ظلم
وكلاهما واجب عليه فلا يجوز أخذ العوض عليه وأما دافعها وهو الراشي فإن توصل بها
إلى باطل فحرام عليه، وإن توصل بها إلى تحصيل حق أو دفع ظلم فليس بحرام، ويختلف
الحال في جوازه واستحبابه ووجوبه باختلاف المواضع
Dalam hadits memberi petunjuk haram
menyogok qadhi dan pemangku kewenangan lainnya. Karena seseorang membuat
laporan kepadanya agar mendapat hukum yang haq atau mencegah dari sebuah
kedhaliman. Keduanya merupakan kewajibannya. Karena itu tidak boleh mengambil
imbalan atas pekerjaannya itu. Adapun pemberinya yaitu penyogok apabila
menjadikan sogokan tersebut sebagai perantaraan kepada suatu yang batil, maka
hukumnya haram. Adapun apabila sogokannya itu sebagai perantaraan untuk
mendapatkan haknya atau menolak kedhaliman, maka ini tidak haram. Terkait dalam
hal boleh, anjuran atau wajib, ini tergantung perbedaan kondisinya. (Fath al-Alam
karya Zakariya al-Anshariy: 673).
Imam al-Ghazali sebagaimana dikutip oleh
Zakariya al-Anshari menegaskankan dalam Ihya ‘Ulumuddin sebagai berikut:
قَالَ
الْغَزَالِيُّ فِي الْإِحْيَاءِ الْمَالُ إنْ بُذِلَ لِغَرَضٍ آجِلٍ فَصَدَقَةٌ
أَوْ عَاجِلٍ، وَهُوَ مَالٌ فَهِبَةٌ بِشَرْطِ الثَّوَابِ أَوْ عَلَى مُحَرَّمٍ
أَوْ وَاجِبٍ مُتَعَيِّنٍ فَرِشْوَةٌ
Imam al-Ghazali mengatakan dalam
al-Ihya, jika diberikan harta untuk tujuan mendatang (akhirat), maka dinamakan
sadaqah atau untuk tujuan segera (imbalan dunia) berupa harta maka dinamakan
hibah bisyarthi al-tsawab (hibah dengan syarat imbalan). Jika pemberian harta
itu atas perkara yang diharamkan atau kewajiban muaya'an (fardhu ‘ain) maka
dinamakan risywah.(Asnaa al-Mathaalib, karya Zakaria al-Anshari: IV/300)
Majelis Permusyawaratan Ulama Aceh dalam fatwanya No. 03
Tahun 2014 Tentang Pemilihan Umum Menurut Perspektif Islam dalam fatwa point
kedua disebutkan: “Memilih pemimpin dan wakil rakyat yang bertaqwa kepada Allah SWT dan
menjalankan fardhu ‘ain seperti shalat, dan lain-lain adalah hukumnya
wajib.” Kemudian dalam point kelima disebutkan: “Politik Uang dan atau memberikan sesuatu untuk kemenangan kandidat
tertentu hukumnya adalah haram.” Dan juga point keenam ada pemjelasan berikut
ini: “Pemberian sesuatu baik langsung atau tidak langsung yang berkaitan dengan
politik adalah perilaku yang tidak terpuji, baik yang memberi atau yang
menerima.”
Keterangan-keterangan di atas memberi
pemahaman kepada kita sebagai berikut :
1. Pemangku kewenangan yang diberikan oleh
pemerintah seperti qadhi dan lainnya wajib menetapkan/memilih sesuatu dengan
kebenaran dan wajib menolak kedhaliman
2. Memilih pemimpin dan
wakil rakyat yang bertaqwa kepada Allah SWT hukumnya wajib
3. Kewajiban menetapkan/memilih sesuatu dengan
kebenaran dan menolak kedhaliman tersebut menjadi alasan hukum haram menerima
imbalan apapun dari pihak yang tidak berwenang memberinya. Ini dapat
dikatagorikan sebagai risywah yang diharamkan.
4. Namun demikian, apabila sipemberi imbalan
tersebut bertujuan untuk mengambil haknya yang terdhalimi serta tidak ada jalan
lain selain dengan cara memberikan imbalan, maka tidak dianggap sebagai
risywah. Artinya tidak haram dari sisi pemberi tetapi tetap haram dari sisi
penerima
Sesuai dengan uraian di atas, jika kita
terapkan untuk penomena yang sudah kita paparkan di awal tulisan ini, yaitu
penomena sumbangan terhadap lembaga-lembaga keagamaan dan pendidikan dan
lainnya ataupun pemberian secara individual dalam rangka mengubah pilihan
sipenerima dalam pemilihan legislatif maupun pemilhan calon pemimpin, maka
tindakan tersebut merupakan risywah yang diharamkan baik dari sisi pemberi
maupun penerimanya. Kesimpulan ini berdasarkan pemahaman kita berikut ini:
1. Risywah tidak hanya dalam konteks putusan hukum
saja, tapi lebih luas dari itu sebagaimana penjelasan pengarang kitab Asnaa
al-Mathalib di atas. Pemilih calon legislatif dan pemilih calon pemimpin
merupakan individu yang diberikan kewenangan oleh pemerintah dalam memilih. Karena itu, individu pemilih
dalam hal ini sama hukumnya seperti qadhi dan pemangku kewenangan lainnya.
2. Pemilih wajib memilih calon legislatif dan
calon pemimpin yang sesuai dengan keyakinannya. Karena itu, apabila menerima
imbalan harta dari pihak calon legislatif atau calon pemimpin apakah itu mengubah
pilihannya ataupun tidak, hukumnya haram, karena pemilih wajib memilih sesuai
keyakinannya meskipun tanpa imbalan apa-apapun. Ini akan bertambah haram lagi
apabila si pemilih mempunyai niat menipu dengan jalan menerima uang tetapi
pilihannya tidak berubah sesuai keinginan sipemberi.
3. Apabila pemberian tersebut bertujuan melakukan
suatu perbuatan yang diharamkan berupa upaya mengubah pilihan masyarakat dalam
memilih pemimpin atau wakilnya dalam pemerintahan dengan jalan pemberian
imbalan sejumlah harta. Ini merupakan tindakan kedhaliman merebut hak orang
lain tanpa haq yang diharamkan, baik dari sisi pemberi maupun penerima
4. Namun demikian, apabila sipemberi imbalan
tersebut bertujuan untuk mengambil haknya yang terdhalimi dan tidak ada jalan
lain selain dengan cara memberikan imbalan, maka tidak dianggap sebagai
risywah. Artinya tidak haram dari sisi pemberi tetapi tetap haram dari sisi
penerima
Wallahua’lam bisshawab
Tidak ada komentar:
Posting Komentar