Minggu, 06 November 2011

Ghayatul Wushul (terjemahan & penjelasannya), pengertian Sah, hal.13-15

( وَالصِّحَّةُ ) الشاملة لصحة العبادة وصحة غيرها من عقد وغيره ( مُوَافَقَة ) الفعل ( ذِيْ الْوَجْهَيْنِ ) وقوعا ( الشَّرْعَ فِيْ الأَصَحِّ ) والوجهان موافقة الشرع ومخالفته أى الفعل الذى يقع تارة موافقا للشرع وتارة مخالفا له عبادة كان كصلاة أوغيرها كبيع صحته موافقته الشرع بخلاف ما لايقع الا موافقا له كمعرفة الله تعالى اذ لو وقعت مخالفة له ايضا لكان الواقع جهلا لامعرفة فلايسمى الموافق له صحيحا فصحة العبادة اخذا مما ذكر موافقة العبادة ذات الوجهين وقوعا الشرع وان لم يسقط قضائها وهذا منسوب للمتكلمين وقيل صحتها سقوط قضائها وهذا منسوب للفقهاء فما وافق منها الشرع ولم يسقط القضاء كصلاة من ظن انه متطهر ثم تبين له حدثه يسمى صحيحا على الأول نظرا الى ظن المكلف دون الثانى نظرا الى ما فى نفس الأمر قال ابن دقيق العيد وفى هذا البناء نظر لأنه ان أريد بموافقة الأمر الأمر الأصلى فلم يسقط أو الأمر بالعمل بالظن فقد بان فساد الظن فيلزم ان لايكون صحيحا بالتقديرين واستظهره البرماوى ويجاب بأن تبين فساد الظن وان اقتضى عدم تسمية ذلك صحيحا بالنظر الى نفس الأمر لا يمنع تسميته صحيحا بالنظر الى الظن وللسبكى وغيره هنا كلام ذكرته فى الحاشية


(Dan sah) yang pengertiannya mencakup sah ibadah dan sah yang bukan ibadah yang berupa akad dan lainnya (adalah bersesuaian dengan syara’) perbuatan (yang mempunyai dua sisi) kejadiannya (menurut pendapat yang lebih shahih). Dua sisi tersebut adalah bersesuaian dengan syara’ dan bersalahan dengan syara’, yakni pada satu kali, suatu perbuatan terjadi sesuai dengan syara’ dan pada kali lain, bersalahan dengan syara’, baik itu dalam bentuk ibadah seperti shalat maupun bukan ibadah seperti jual beli dimana sah suatu perbuatan tersebut adalah bersesuaiannya dengan syara’. Ini berbeda dengan perbuatan yang tidak terjadi kecuali bersesuaian dengan syara’ seperti mengenal Allah. Karena seandainya terjadi mengenal Allah itu bersalahan dengan syara’ pula, maka yang terjadi itu merupakan kebodohan, bukan mengenal, karena itu tidak dinamakan mengenal Allah yang bersesuaian dengan syara’ tersebut sebagai shahih. Berdasarkan pemahaman dari yang telah disebutkan, maka sah ibadah adalah bersesuaian dengan syara’ ibadah yang mempunyai dua sisi kejadiannya, meskipun tidak gugur kewajiban qadhanya,(1) pendapat ini dinisbahkan kepada para mutakallimin. Pendapat lain mengatakan sah ibadah menggugurkan qadhanya,(2) pendapat ini dinisbahkan kepada para fuqaha. Maka ibadah yang sesuai dengan syara’ tetapi tidak gugur qadhanya seperti shalat seseorang yang menduga ia suci, kemudian ternyata ia berhadats, dapat dinamakan dengan shahih berdasarkan pendapat pertama karena tinjauan dhan mukallaf, tidak dinamakan shahih berdasarkan pendapat kedua karena tinjauan diri kejadiannya. Ibnu Daqiq al-Id mengatakan, dalam mendasarkan pendapat ini perlu tinjauan, karena seandainya yang dimaksud dengan bersesuaian dengan perkaranya adalah bersesuaian dengan perkara yang sebenarnya, maka tidak gugur qadhanya atau seandai maksudnya adalah perkara menurut amalan dengan dhan, tetapi ternyata dhan itu bathil, maka melazimkan perkara tersebut bukanlah shahih berdasarkan kedua-dua pengandaian tersebut dan al-Barmawi juga telah menerangkan hal itu. Pendapat Ibnu Daqiq al-Id di atas dijawab bahwa nyata bathil dugaan tidak menghalangi penamaannya sebagai shahih dengan tinjauan kepada dhan, meskipun dikehendaki tidak dinamakannya sebagai shahih dengan tinjuan kepada diri kejadian. Bagi Subki dan lainnya di sini ada pembahasan yang aku sebut dalam al-Hasyiah.


Penjelasannya

(1). Pengertian sah ibadah sebagaimana dijelaskan adalah bersesuaian dengan syara’ ibadah yang mempunyai dua sisi kejadiannya. Ini tentunya harus berhimpun pada ibadah itu syarat-syarat yang dii’tibar pada syara’. Dan berdasarkan hal ini, tentunya gugurnya qadha merupakan suatu kenisyayaan. Lalu bagaimana dikatakan “Meskipun tidak gugur kewajiban qadhanya ?” Al-Banany menjawab kritikan ini :

“Bahwa maksud dari berhimpun pada ibadah itu syarat-syarat yang dii’tibar pada syara’ lebih umum dari sekedar berhimpun dengan tinjauan diri sesuatu perkara dan lebih umum dari sekedar berhimpun dengan tinjauan dhan seseorang, seperti shalat seseorang yang di-dhan bahwa dirinya suci, lalu kemudian nyata bahwa dia berhadats. Maka orang ini diperintah untuk qadha, sedangkan shalatnya adalah shahih karena berhimpun padanya syarat-syarat yang dii’tibar pada syara’ menurut tinjauan dhan orang tersebut.”1

(2). Tidak membutuhkan lagi mengerjakannya pada kali kedua, meskipun masih dalam waktu. 2



1 Al-Banani, Hasyiah al-Banani ‘ala Syarah Jam’u al-Jawami’, Dar Ihya al-Kutub al-Arabiyah, Indonesia, Juz. I, Hal. 100

2 Dr. Sahal Mahfudh, Thariqat al-Hushul ‘ala Ghayatul Wushul, Hal. 34

1 komentar: