Kamis, 31 Maret 2011

Abu Ahmad Perti (1938 - 1999 M)

Tgk H. Muhammad Zamzamy, yang lebih dikenal dengan nama Tgk Ahmad Perti atau Tgk Ahmad Mamplam Golek atau Abu Lam-Ateuk lahir di Kutabaro Aceh besar dari keluarga yang terkenal ta’at beragama. Setelah belajar agama di tanah kelahiran beliau, Tgk H. Muhammad Zamzamy melanjutkan pendidikan di sebuah dayah di Kecamatan Sawang Aceh Selatan di bawah bimbingan Tgk Ishaq (Tgk Jeunib). Tidak lama di sini, beliau melanjutkan pendidikannya di Dayah Darussalam Labuhan Haji yang masih satu kabupaten dengan dayah tempat belajar beliau sebelumnya. Dayah Darussalam pada` ketika itu masih di bawah pimpinan Ulama terkenal di Aceh, Abuya Syekh Muda Waly.
Setelah merasa kemampuan ilmu agama memadai, pada penghujung tahun enam puluhan, beliau pulang kekampung halaman dengan mendirikan sebuah dayah dengan nama Darul Mu’arrif. Nama dayah ini kemudian ditambah dengan embel-embel “Istiqamatuddin” dengan harapan dayah tersebut tetap istiqamah dan terhindar dari godaan politik pemerintahan Orde Baru pada` ketika itu. Darul Mua’rrif muncul sebagai sebuah dayah yang disegani di Aceh dan sekitarnya. Para pelajarnya disamping berasal dari Aceh, juga ada yang berasal dari luar Aceh, seperti Riau, Padang, Palembang, Bengkulu. Bahkan banyak juga yang berasal dari negara tetangga, Malaysia. Alumni-Alumni Dayah Darul Muarrif banyak yang muncul sebagai ulama yang berpengaruh di Aceh. Penulis yang dha’if ini sendiri merupakan alumni Dayah Darul Mu’arrif ini dan pernah berguru langsung dari beliau membaca kitab al-Mahalli, Ihya Ulumuddin, Ghayatul Wushul, Syarah al-Jauhar al-Maknun, Ibu ‘Aqil dan lain-lain. Semoga Allah membalas segala amalan beliau dengan rahmat dan syurga jannatunna’im.
Diantara ulama-ulama alumni Dayah Darul Mu’arrif yang penulis ketahui, antara lain :
1. Tgk Ramli, pimpinan dayah di Krueng Mane Aceh Utara
2. Tgk H.Martunis Zamzamy, pimpinan Dayah Darul Huda Sawang Aceh Selatan
3. Tgk Thaharuddin, Pimpinan Dayah Raudhah Kuala Batee Abdya (almarhum)
4. Tgk Din Tsany, pimpinan Dayah di Aceh Utara
5. Tgk H.Munir Jangkabuya, pimpinan dayah di Pidie Jaya (almarhum)
6. Tgk H.Thantawy Jauhari, pimpinan Dayah Darul Shabri Kutabaro Aceh Besar
7. Tgk H. Mahmuddin MBO, pimpinan Dayah Serambi Aceh, Aceh Barat
8. Tgk Arifin MBO, pimpinan dayah di Aceh Barat
9. Tgk Syarifuddin, pimpinan dayah di Bidok-Uliem, Pidie Jaya
10. Tgk Mahdi, pimpinan Dayah Darul Mu’arrif sekarang (menantu beliau sendiri)
11. Abu Don Lamno, pimpinan dayah di Alue Lhok-Aceh Timur
12. Tgk Manan, pimpinan Dayah di Alue Lhok-Aceh Timur (almarhum)
13. Tgk Husnon, pimpinan Dayah di Meulum Samalanga
14. dan lain-lain
Tgk Muhammad Zamzamy terkenal sebagai orator ulung dan tajam ulasannya. Dalam setiap orasinya, beliau muncul dengan bersemangat dan berapi-api. Sebagai penganut kuat Mazhab Syafi'i, beliau sangat anti terhadap paham tidak bermazhab yang dianut sebagian kecil rakyat Aceh ketika itu. Dalam politik, beliau bergabung dalam Partai politik PPP dan merupakan salah seorang juru kampanye PPP yang andal dan disegani.

 Keluarga
  Beliau beristerikan Mariani bin Musa dengan meninggalkan anak-anak :
- Mukramati (isteri Tgk Mahdi, pimpinan Dayah Darul Muarrif sekarang)
- Tgk H. Mufazzhal
- Tgk Muhaffazh
- Tgk Muhammaddun
- Tgk Muhammaddan
- Tgk Muhammaddin
- Tgk Ahmada

semua anak-anak beliau diasuh dalam pendidikan dayah Aceh


Rabu, 30 Maret 2011

KH.Sirajuddin Abbas

KH.Sirajuddin Abbas lahir di kampung Bengkawas, Kabupaten Agam, Bukit tinggi, Sumatra barat, pada tanggal 20 Mei 1905. Sebagai anak laki-laki sulung Syekh Abbas bin Abdi Wahab bin Abdul Hakim Ladang lawas, seorang qadhi, ibu beliau bernama Ramalat binti Jai Bengkawas. Beliau dibesarkan dalam lingkungan agama yang taat. Pada mulanya beliau belajar Al quran pada ibu hingga berusia 13 tahun. Setelah itu beliau belajar kitab-kitab arab pada ayah beliau selama tiga tahun.
Selama enam tahun berikutnya, beliau belajar kepada para ulama di Bukittinggi dan sekitarnya. Seperti syekh Husen Pekan Senayan Kabupaten Agam, Tuanku Imran limbukan Payakumbuh limapuluh kota, Syekh H.Qasem Simabur Batu Sangkar Tanah Datar, Syekh Muhammad Zein di Simabua, Batu Sangkar, Syekh H.Abdul Malik di Gobah, ladang Laweh.
Tahun 1927 beliau belajar di tanah suci. Disana beliau berguru kepada beberapa ulama di Masjidil haram seperti :
1. Syekh Muhammad Said Yamani (mufti Mazhab Syafii) mempelajari ilmu fiqh dalam mazhab Syafii dari kitab Al Mahally
2. Syekh Husen Al Hanafi (mufti mazhab Hanafi) mempelajari ilmu hadis dari kitab Shahih Bukhary.

3. Syekh Ali Al maliki (mufti mazhab maliki) mempelajari ilmu usul fiqh dari kitab Al furuq
4. Syekh Umar hamdan, darinya beliau mempelajari kitab Al Muwatha` karangan Imam Malik.
Beliau tinggal disana sampai tahun 1933. Tahun 1930 beliau diangkat menjadi staf sekretariat pada konsultan Nedherland di Arab Saudi.
Pengetahuan agamanya yang sangat luas dan penguasaannya terhadap bahasa arab yang fasih mengantarkannya kejenjang nasional dan internasional di ranah politik perjuangan bangsa Indonesia.
Sekembali dari Makkah tahun 1933 beliau mengambil dan menerima macam-macam ilmu pengetahuan agama dari syekh Sulaiman Ar rasuli Cadung Bukit tinggi.
Selain itu beliau juga belajar bahasa inggris kepada seorang guru yang berasal dari Tapanuli yaitu Ali Basya. Tiga tahun pertama di kampung ia dikenal sebagai muballigh muda yang potensial sehingga menarik minat para ulama senior yang bergabung dalam persatuan Tarbiyah Indonesia, organisasi keagamaan satu satunya yang ada di Bukitinggi. Ketika berlangsung kongres ketiga organisasi tersebut di Bukit tinggi tahun 1936 tak ayal lagi beliau pun terpilih sebagai ketua umum Tarbiyah. Ternyata pilihan itu tidak salah, ditangan beliau Tarbiyah kian berkembang. Dan yang lebih penting mulai merambah bidang politik.
Tahun 1940 Tarbiyah mulai mengajukan usul kepada pemerintah colonial agar Indonesia bisa berparlemen. Usul tersebut diajukan melalui komisi Visman yang dibuka pemerintah kolonial untuk menjaring suara-suara kalangan bawah.
Sepak terjang beliau mulai didengar oleh Bung karno. Pada saat ia ditahan oleh pemerintah Kolonial di Bengkulu dan dipersiapkan untuk dibuang ke Australia (1942). Namun entah mengapa, kapal yang digunakan untuk membawa Bung Karno terbakar. Bung Karno memanfaatkan sistuasi tersebut untuk melarikan diri hingga sampai ke Muko-muko. Dari Muko-muko ia melarikan diri ke Bukit tinggi dengan menggunakan sepeda motor yang diberikan seorang penduduk yang simpati padanya. Di Bukit tinggi ia segera menemui KH.Sirajuddin Abbas. Tentu saja KH.Sirajuddin kaget, tidak menduga akan kedatangan tokoh yang namanya sedang meroket ditengah tengah masyarakat kala itu. Bung Karno berpesan pada KH Sirajuddin Abbas agar Tarbiyah lebih berhati-hati karena Jepang akan menjajah Indonesia.” Jepang lebih berbahaya dari pada Belanda.”
12.000 personel Lasmi
Proklamasi kemerdekaan Indonesia tahun 1945 yang dibacakan Bung Karno segera sampai ketelinga KH.Sirajuddin lewat radiao bawah tanah. Segera saja ia menyebarkan berita tersebut lewat selebaran setensilan hingga ke Pekanbaru.” Indonesia sudah merdeka, kita sudah berdaulat. Mari kita berjuang mempertahankan kemerdekaan sampai titik darah penghabisan.” Tulisnya dalam selebaran itu.
Pada saat wakil presiden Mohd.Hatta mengeluarkan Maklumat No.X/1945 pada bulan November, yang isinya mendorong agar rakyat bergabung dalam partai politik dan dianjurkan membentuk partai politik demi tegaknya demokrasi. Hal ini mendorong KH.Sirajuddin untuk membuat partai yang berbasis Tarbiyah. Maka ia sebagai ketua Tarbiyah segera meminta izin kepada para pendiri dan sesepuh untuk mewujudkan niat beliau tersebut.
Gayung bersambut, mereka setuju. Dengan catatan jangan meninggalkan tugas pokok yaitu pendidikan, dakwah, kegiatan social keagamaan dan keummatan. Maka pada bulan Desember tahun 1945 ketika berlangsung kongres Tarbiyah keempat di Bungkit tinggi, diputuskan bahwa Persatuan Tarbiyah Islamiyah membuat satu partai dengan nama Partai Islam Tarbiyah Islamiyah disingkat PI Perti dan mengangkat KH.Sirajuddin sebagai ketua umumnya.
Sejak itulah kiprah beliau dibidang politik kian terbuka lebar. Badan Legislatif pun memberinya tempat. Mulai dari DPRD,DPR RIS, DPRS, dan DPR GR. Hal ini memaksa beliau hijrah ke Jakarta pada tahun 1950. Di Bukit tinggi beliau meninggalkan Lasykar Muslimin dan Muslimat Indonesia (Lasmi) yang digagasnya pada tahun 1948 guna memobilisir kekutan rakyat Sumatra barat untuk mempertahankan kesatuan Negara Republik Indonesia. Bahkan peresmianya dilakukan oleh Muhd.Nasir, seorang tokoh nasional yang berasal dari Sumatra barat yang kala itu menjabat sebagai mentri penerangan.
Maka pada ketika Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) dibentuk oleh Syafruddin Prawiranegara di Padang lantaran presiden dan wakil presiden telah ditangkap, Perti pun ikut mendukung dengan mengerahkan kekuatan Lasmi yang beranggotakan 12.000 personel, untuk mengamankan dan melindungi kegiatan PDRI yang harus mobile karena kejaran Belanda. Ketika Komite Nasional Indonesia Pusat dibentuk, maka beliau pun tercatat sebagai salah satu anggotanya.
Isu palestina
Tahun 1951 tersebar isu bahwa kaum Zionis yahudi mengusir raykyat Palestina dari negerinya. KH.Sirajuddin Abbas sebagi anggota mengangkat isu tersebut kepermukaan, karena sejauh itu pemerintah tidak mengeluarkan statemen atau komentar apapun.
“Partai Islam Perti mendukung perjuangan rakyat palestina”. Orasinya di depan sidang parlemen. “rakyat Indonesia dan pemerintah Indonesia sebaiknya juga mendukung perjuangan rakyat palestina”.
Esoknya, hal itu menjadi berita utama di Koran Koran ibukota. Seminggu kemudian para ulama mendatangi beliau dan menyatakan simpatinya kepada Partai Islam Perti, sehingga partai yang belum lama hijrah keibukota ini menjadi dikenal oleh masyarakat luas.
Sekian lama hidup di tanah Arab memberi wawasan tentang palestina dan perjuangan rakyatnya dari ancaman kaum yahudi. Maka begitu terbetik berita pengusiran penduduk palestina oleh kaum yahudi, beliau memanfaatkan moment tersebut untuk membuka mata bangsa Indonesia terhadap perjuangan rakyat palestina. Sejak pidato itu ia mendapat simpati dari kalangan para ulama dan media selalu menyediakan halamannya untuk menampung berita tentang Palestina.
Berkahnya, PI Perti berkembang pesat di pulau jawa. Sehingga pada pemilu tahun 1955 PI Perti menduduki tempat kedelapan dari seluruh partai yang ikut pemilu. Sebelumnya, pada tahun 1954 KH.sirajuddin diangkat menjadi mentri kesejahteraan rakyat kabinet Ali sastroamijojo I.
Beliaulah yang menyampaikan gagasan kepada presiden Soekarno untuk menggelar Organisasi setiakawan rakyat Asia Afrika (OSRA). Bung Karno yang ketika itu sedang bersemangat dengan ide-ide menjungkalkan imperialisme dan kolonialisme menyambut baik ide tersebut dan memberikan fasilitas.
Sebagai pemakarsa beliau ditugasi untuk menghubungi dan mencari dukungan Negara-negara di Afrika. Pada kesempatan inilah beliau berkenalan dengan Anwar sadat yang pada saat itu menjabat sebagai ketua organisasi buruh Mesir. Maka pada bulan September tahun 1954 diadakanlah Konferensi OSRAA di Bandung dan terpilih sebagai ketua umum utusan dari Mesir.
Pada tahun 1958 beliau kembali meraih peluang emas. Kala itu, karena kehadiran Pemerintah revosional republic Indonesia (PRRI) yang dideklarasikan oleh Ahmad Husen di Padang. Menyadari bahwa PRRI menempatkan dirinya bersebrangan dengan pemerintah maka beliaupun menegaskan kepada presiden bahwa PI perti tidak setuju dengan PRRI.
Ketika Ahmad Yani ditunjuk untuk menumpas PRRI ia meminta nasehat Kh.Sirajuddin agar sesampainya di Padang supaya menemui Buya Sulaiman Ar Rasuli, ulama yang sangat dihormati masyarakat Sumatra barat. Berbekal saran dari ulama senior tersebut Ahmad Yani berhasil melaksanakan tugasnya.

Tahun 1959 tersiar berita bahwa belanda mengirim kapal induk karel Doorman keindonesia untuk membantu mempertahankan Irian barat. untuk bisa mencapai Indonesia dalam waktu singkat kapal itu harus melewati terusan suez di Mesir. Untuk mengantisipasi hal itu Presiden Sukarno mengutus KH Sirajuddin Abbas ke Mesir untuk membicarakan hal itu dengan presiden Gamal Abdul Naser agar melarang Belanda melewati terusan Suez.
Setibanya di Mesir beliau langsung menemui kawan lamanya Anwar sadat yang menjadi pemimpin organisasi buruh. Namun Anwar Sadat tidak dapat memberikan jalan. Namun ian mempersilahkan KH Sirajuddin untuk membicarakannya dengan Presiden Gamal Abdul Naser, untuk menemui sang kepala Negara Annwar dapat mengusahakannya.
Namun ternyata presiden Gamal Abdul Naser juga tidak dapat memberikan solusi. Masalahnya,kata presiden, terusan Suez berada dalam zone internasional. Yang bisa melarang kapal asing untuyk melewati terusan tersebut hanyalah para buruh di Suez yang bermarkas di Port Said. Dengan nada pesimis KH Sirajuddin mengutarakan hal tersebut kepada Anwar Sadat.
Ternyata Anwar justru melihat celah yang sangat baik dengan ide presidennya itu. Ia mendukung saran tersebut dan ikut menbantu merealisasikannya. Singkat cerita KH.Sirajuddin dapat bertemu dengan pemimpin organisasi buruh pelabuhan dan terusan itu dan dapat menyampaikan tugas yang beliau emban. Dihadapan buruh Terusan Suez beliau berpidato meminta dukungan agar mereka melarang lewatnya kapal induk Kareel Doorman yang akan berlayar menuju Indonesia melalui terusan tersebut.
‘’Indonesia sedang berjuang mengembalikan Irian Barat dari tangan penjajah belanda “ kata KH.Sirajuddin deang bahasa arab nyang fasih. “apalagi Karel Doorman bisa sampai ke Indonesia dalam waktu singkat, perjuangan bangsa Indonesia menjadi berat.
“Sebagai Negara yang bersahabat, apalagi Mesir merupakan Negara yang pertama yang mengakui kemerdekaan Indonesia, bantuan yang diharapakan kali ini akan bermakna positif bagi perjuangan bangsa Indonesia”. Demikian orasi kiai asal Bukit Tinggi itu dengan semangat tinggi.
Ternyata sambutan mereka sangat positif, maka Karel Doorman pun dilarang melewati terusan tersebut. Dengan adanya sikap kaum buruh terusan suez itu, Presiden Gamal Abdul Naser tanpa berpikir panjang lagi segera memberikan dukungan.

Tahun penuh fitnah.
Semakin tinggi satu pohon semakin kencang angina yang menerpanya. Ibarat itulah yang tepat untuk menggambarkan kondisi KH.Sirajuddin Abbas pada sekitar tahun 1965.
Ketika dewan revolusi yang memotori kudeta G 30 S, memperkenalkan diri melalui corong RRI, nama KH.Sirajuddin tercantum sebagai anggota. Padahal kala itu beliau sedang berobat dirumah sakit Soci, ditepi laut Hitam yang masuk dalam wilayah Uni Sovyet. Kehadiran beliau di negri tersebut adalah atas bantuan Anwar Sadat. Kala itu persahabatan Mesir dengan Uni Sovyet sedang erat-eratnya, begitu pula dengan Indonesia. Alhasil beliaupun dicap sebagi PKI.
Bantahan yang dikeluarkan oleh Gerakan Mahasiswa Islam Indonesia (Germahi) yang merupakan organisasi sayap mahasiswa PERTI, bahwa KH.Sirajuddin Abbas tidak tahu menahu tentang hal tersebut nyaris tidak berfaedah, karena tertelan oleh hiruk piruk Nasakom yang sedang dikibarkan oleh Bung Karno.
Fitnah berikutnya adalah adanya “Dokumen Cianjur” yang menyebutkan bahwa bila terjadi clash antara ABRI dengan PKI maka seluruh jajaran PERTI harus membantu PKI. Akibatnya KH.Sirajuddin diciduk dan ditahan di markas Kodam V Jaya selama 40 hari.
Tidak hanya itu juga ditemukan seribu setel pakaian loreng dan uang sekian puluh juta rupiah dirumah Sofyan siraj (anak sulung KH.Sirajuddin) di Jln.Dempo, Matraman. Sama seperti yang ditemukan di rumah D.N Aidit, ketua umum PKI. Penemuan ini dianggap sebagai petunjuk adanya kerjasama antara KH.Sirajuddin dengan Aidit.
Meski kemudian dapat dibuktiakn bahwa dokumen Cianjur itu palsu dan nama baik KH.Sirajuddin direhabilitasi oleh pemerintah yang ditandatangani oleh Amir Mahmud (Laksuda Jaya), kurang begitu berpengaruh, karena koran-koran tidak ada yang bersedia memuatnya. Tudingan miring itu melekat pada beliau hingga ketika buku beliau yang berjudul I`tiqad Ahlussunnah wal jama`ah terbit muncul komentar “ ini orang PKI kok menulis buku agama”.
Dalam kasus Dokumen Cianjur, dua orang pengurus PERTI cabang Cianjur Zainuddin dan Yaqub juga kena getahnya. Kepada interrogator Laksusda setempat kedua bersikukuh bahwa dokumen itu palsu dan bersedia ditembak untuk mempertahankan pendiriannya. Mereka minta agar sebelum dieksekusi mereka diizinkan mengumandangkan azan dan tembakan itu tepat dilepaskan ketika sampai pada kalimat “Hayya `alal falah”. Namun ketika azan selesai mereka berdua mersakan suasana yang hening dan sunyi. Beberapa detik kemudian ketika mereka memberanikan diri mereka membuka penutup mata, ternyata para penembvak itu telah pingsan, SubhanALLAH
Mereka kemudian melarikan diri kearah Cianjur dan ketika sampai dikantor PERTI, hal itu mereka utarakan kepada KH.Sirajuddin. “ Masya ALLAh, semoga Allah memberkahi kalian berdua”, Komentar KH.Sirajuddin.

Tahun 1965 merupakan batas kiprah beliau memimpin PERI. Atas saran anak – anak muda PERTI, Buya Siraj, begitu beliau akrab dipanggil, lebih mencurahkan perhatian beliau dalam penulisan-penulisan buku agama. Anak-anak muda Perti yang merasa kuarang memahami soal Ahlussunnah waljamaah meminta beliau untu menulis sebuah buku yang bias menjadi pegangan bagi mereka. KH. Sirajuddin Abbas yang kala itu sudah berumur 60 tahun memenuhi permintaan itu. Dua tahun kemudian terbitlah buku I`tiqad Ahlussunnah wal jama`ah dan sejarah Keagungan Mazhab Imam Syafii. Untuk modal menerbitkan buku tersebut beliau rela menjual rumahnya di Jln.Dempo, dan pindah ke Jln.Tebet Barat kecil.
Ternyata buklu tersebut laris manis. Departemen agama pun memesan untuk keperluan IAIN. Walau demikian sebagian besar justru beliau bagikan secara gratis. NU menjadikan buku itu senbagi pedoman.
Beberapa tahun kemudian terbitlah buku 40 masalah agama sebanyak 4 jilid besar. Untuk kali ini beliau pun rela menjual rumahnya untuk modal penerbitan buku tersebut. Retakhir beliau menempati rumah di Jln.Melati Utara (kini Tebet Barat).
Buya Siraj wafat tanggal 23 ramadhan 1400 H atau 5 agustus 1980 setelah beberapa hari dirawat di RS Cipto Mangunkusumo lantaran serangan jantung. Saat pemakaman tampak perhatian warga Tarbiyah begitu besar. Jasad beliau dimakamkan dipemakman Tanah Kusir Jakarta Selatan Hadir pula wakil presiden Adam Malik. Beliau meninggalkan seorang istri dan dua anak Sofyan (almarhum) dan Fuadi.
Selain sebagi kutua umum Tarbiyah beliau juga merupakan pendiri organisasi politi “Liga Muslim Indonesia” bersama sama KH.Wahid Hasyem (wakil dari NU), Abikusno Cokrosuyono (wakil dari PSII).

Beliau banyak meninggalkan tulisan diantaranya:
1. I`tiqad Ahlussunnah wal jamaah.
Sebuah buku yang berisi tentang faham Ahlussunnah dan beberapa firqah-firqah lainnya.
2. 40 Masalah Agama
Sebuah buku yang terdiri dari empat jilid menjelaskan 40 macam masalah agama yang sedang berkembang dewasa itu. Dalam buku ini beliau juga menerangkan tentang gerakan modernisasi agama oleh orang-orang yang ingin memperbarui Islam dengan paham mereka. Beberapa tokoh yang beliau masukkan kedalam golongan ini antara lain Ibnu Taymiyah, Muhammad Abduh, Muhammad bin Abdul Wahab (pendiri wahaby), Mirza Ghulam Ahmad, Mustafa kemal At Taruk dan juga presiden RI pertama Soekarno.
3. Kumpulan soal-jawab keaagamaan (sebuah buku berisi jawaban-jawaban dari beberapa pertanyaan seputar agama)
4. Thabaqatusy Syafi`iyah (Ulama Syafii dan kitabnya dari abad kea bad)
5. kitab fiqh ringkas
6. Sorotan atas terjemahan Al Quran oleh HB.Jassin
7. Sirajur Munir (Fiqh 2 jilid)
8. Bidayatul Balaghah (Bayan)
9. Khulasah Tarikh Islam
10. Ilmul Insya` 1jilid
11. Sirajul bayan fi Fahrasatil Ayatil Al quran
12. Ilmun Nafs 1 jilid
Tulisan beliau no 7-12 adalah karangan beliau dalam bahasa arab.

Ditulis oleh Mursyid A.Rahman Aly Langsa dikutip dari majalah Al kisah No.19/tahunVI/8-21 september 2008 dan sumber lainnya.
(Sumber : http://mursyidali.blogspot.com/2009/12/profil-khsirajuddin-abbas.html)

Tgk Abdul Aziz Samalanga

Almarhum Tgk Abdul Aziz Bin M Shaleh, merupakan tokoh yang cukup berpengaruh bagi masyarakat Aceh. Salah satu perannya adalah, Dayah Ma’hadal Ulum Diniyah Islamiyah Mesjid Raya (MUDI Mesra) Samalanga, kabupaten Bireun, sehingga mencapai kemajuan yang amat pesat.

Kemajuan kini diteruskan oleh pengurus sesudah dayah beliau. Pimpinan MUDI Mesra yang baru mengembangkan pendidikan dayah menjadi Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) tanpa meninggalkan pola pendidikan dayah yang kini memiliki santri sekitar 3.000-an.

Majunya LPI MUDI Mesra Samalanga, tidak terlepas profil kepemimpinan Tgk. H. Abdul Aziz Bin M. Shaleh. Beliau adalah salah seorang ulama kharismatik Aceh yang sering disapa dengan Abon Samalanga atau beliau lebih dikenal dengan panggilan Abon ‘Aziz Samalanga atau Abon Mesjid Raya Samalanga. Beliau lahir di desa kandang Samalanga Kabupaten Aceh Utara (Kini-Kabupaten Bireuen) pada bulan ramadhan tahun 1351 H / 1930 M.

Abon diasuh dan dibesarkan di Jeunieb bersama kedua orang tuanya, ayahandanya pernah menjabat kepala kantor Agama (KUA) Jeuniub dan juga merupakan salah seorang pendiri Dayah ‘Atiq Jeuniub sehingga Abon dari masa kecilnya sudah mulai belajar ilmu pendidikan agama di dayah tersebut dan Abon pada waktu itu tinggal di Jeuniub.

Ketika usia Abon telah matang, Abon menikahi seorang gadis di desa Mideun Jok Samalanga yang merupakan putri gurunya sendiri yang merupakan pimpinan Dayah Lembaga Pendidikan Islam (LPI) Dayah Ma’hadal Ulum Diniyah Islamiyah Mesjid Raya (MUDI Mesra) Samalanga pada waktu itu sehingga Abon dikaruniai 4 anak, yaitu Alm. Hj. suaibah, hj shalihah, Tgk H Thaillah dan Hj Masyitah.

Abon memulai belajar pada pendidikan formal pada tahun 1937, Abon memasuki sekolah Rakyat (SR) dan menamatkan pendidikan dasarnya pada tahun 1944. Dari tahun 1944 beliau belajar pada orang tuanya selama 2 tahun, kemudian pada tahun 1946 beliau pindah belajar ke Dayah LPI MUDI Mesjid Raya Samalanga yang pada waktu itu dipimpin oleh Tgk Haji Hanafiah (Tengku Abi) lebih kurang selama 2 tahun.

Pada tahun 1948 Abon melanjutkan pendidikannya ke salah satu dayah yang dipimpin oleh Teungku Ben (Teungku Tanjongan) di Matangkuli Kabupaten Aceh Utara. Di dayah ini Abon belajar pada tengku Idris Tanjongan sampa dengan tahun 1949 dan pada tahun tersebut beliau kembali ke Dayah LPI MUDI Mesjid Raya Samalanga untuk mengabdikan diri menjadi guru di dayah tersebut.

Setelah Tgk. H. Abdul Aziz Bin M. Shaleh mengabdi menjadi guru. Beberapa tahun kemudian, tepatnya 1951 Abon melanjutkan pendidikannya ke Dayah Darussalam Labuhan Haji Kabupaten Aceh Selatan yang dipimpin oleh Alm. Teungku Syeikh Muhammad Wali Al-Khalidi yang lebih di kenal dengan panggilan Abuya Mudawali.

Abon belajar di Dayah Darusalam lebih kurang selama tujuh tahun, dan pada pada tahun 1958 Abon kembali lagi ke Dayah LPI MUDI Mesjid Raya Samalanga untuk mengembangkan ilmunya. Pada tahun tersebut pimpinan Dayah LPI MUDI Mesjid Raya Samalanga meninggal dunia, sehingga Abon diangkat menjadi pimpinan Dayah tersebut.

Abon Aziz Samalanga memulai karirnya sebagai pimpinan dayah dari tahun 1958 sampai dengan tahun 1989. Semenjak dayah LPI MUDI Mesjid Raya berada dibawah pimpinannya, banyak perubahan terjadi didalamnya, terutama menyangkut tentang kurikulum pendidikan yang semula tidak terlalu fokus pada ilmu-ilmu alat (bantu) ilmu manthiq, ushul, bayan, ma’ani dan lain-lain.

Akan tetapi kurikulum pendidikan pada masa kepemimpinannya lebih sangat menonjol adalah dalam bidang ilmu manthiq sehingga Abon di gelar dengan Al-manthiqi.

Abon sangat disiplin dan punya semangat yang luar biasa dalam mengajar, sehingga kadang-kadang dalam keadaan beliau sakit merasa sehat untuk mengajar, dan selalu meamanahkan kepada murid-muridnya untuk belajar-mengajar (beut-seumubeut). Dalam pengajarannya, Abon sangat membenci faham wahabiyah sehingga beliau tidak pernah bosan dalam mengurai kesesatan faham tersebut.

Kemajuan Pesat

Pada masa kepemimpinan Abon, kemajuan dayah MUDI Mesra semakin meningkat pesat, jumlah santri dari ratusan menjadi ribuan, bangunan fisik dayah pun juga berkembang sesuai dengan perkembangan zaman yang terus maju. Selain dari aktifitas Abon di dayah, Abon juga membuka pengajian mingguan di Jeunieb (lebih dikenal dengan Balee Hameh) setiap seminggu sekali.

Di samping aktivitas dakwah melalui majelis pengajian, Abon juga ikut pembangunan fisik, seperti membangun jalan ke kebun di Desa Gle Mendong Samalanga dan menggarap sawah yang telah terlantar bertahun-tahun bersama-sama dengan murid-muridnya serta membantu masyarakat sekitar. Semuanya, ia lakukan untuk hidupnya perekonomian masyarakat.

Abon juga pernah memberi dukungan kepada partai politik, partai PERTI, Abon memilih partai tersebut karena di latar belakangi atas faham ahlussunnah waljama’ah.

Ada satu pesan yang sangat sering diamanahkan kepada murid-muridnya yaitu belajar-mengajar (beut-seumubeut) dimana pun berada dan dalam kondisi bagaimana pun ketika telah pulang dari dayah nantinya, walaupun dengan sebuah balai di depan rumahnya. Pesan tersebut telah menjiwai dalam pemikiran murid-murid beliau, sehingga sekarang ini dapat terlihat dengan banyaknya dayah dan balai pengajian yang dipimpin oleh alumni Dayah LPI MUDI Mesjid Raya.

Akhirnya, Abon dipanggil kembali kehadharat-Nya pada tanggal 9 Jumadil Akhir 1409/17 Januari 1989 dengan tutup usia 58 tahun di Samalanga, dan jasad beliau dikebumikan di komplek putra dayah LPI MUDI Mesjid Raya Samalanga Kabupaten Bireuen.

Semoga Allah memberi pengampunan kepada beliau, menempatkan beliau dalam satu kebun daripada kebun syurga sesuai dengan amal baik yang telah beliau lakukan. Amiin !!

(Sumber : http://mursyidali.blogspot.com)

Syekh Nawawi al-Bantany al-Jawy

Nama lengkap tokoh kita ini adalah Muhammad Nawawi ibn ‘Umar ibn Arbi al-Bantani al-Jawi. Lahir tahun 1230 H-1813 M di Tanara Serang Banten [1]. Di kalangan keluarganya beliau di kenal dengan nama Abu Abd al-Mu’thi. Ayahnya, KH. ‘Umar ibn Arbi, adalah salah seorang ulama terkemuka di daerah Tanara. Dari garis nasab, Syekh Nawawi adalah keturunan ke-12 dari Maulana Syarif Hidayatullah, atau lebih dikenal dengan Sunan Gunung Jati, Cirebon. Dengan demikian dari garis keturunan ayah, syekh Nawawi berasal dari keturunan Rasulullah. Sedangkan ibunya bernama Zubaidah, berasal dari garis keturunan Muhammad Singaraja. Syekh Nawawi merupakan anak pertama dari tujuh orang bersaudara. Enam orang saudaranya adalah Ahmad Syihabuddin, Tamim, Sa’id, Abdullah, Tsaqilah dan Sariyah.

Saat Syekh Nawawi lahir, kesultanan Banten sedang berada di ambang keruntuhan. Raja yang memerintah saat itu Sultan Rafi’uddin (1813 M), diturunkan secara paksa oleh Gubernur Rafles untuk diserahkan kepada Sultan Mahmud Syafi’uddin, dengan alasan tidak dapat mengamankan negara. Pada tahun peralihan kesultanan tersebut (1816 H) di Banten sudah terdapat Bupati yang di angkat oleh Pemerintah Belanda. Bupati pertama bernama Aria Adisenta. Namun, setahun kemudian diadakan pula jabatan Residen yang dijabat oleh orang belanda sendiri. Akibatnya, pada tahun 1832 M, Istana Banten dipindahkan ke Serang oleh Pemerintah Belanda. Inilah akhir kesultanan Banten yang didirikan oleh Sunan Gunung Jati pada tahun 1527 M. Kondisi sosial politik semacam inilah yang melingkupi kehidupan Syekh Nawawi.

Syekh Nawawi tumbuh dalam lingkungan agamis. Sejak umur lima tahun, Ayahnya yang seorang tokoh ulama Tanara, langsung memberikan pelajaran-pelajaran agama dasar kepada beliau. Di samping kecerdasan yang dimiliki, Syekh Nawawi sejak kecil, juga dikenal sebagai sosok yang tekun dan rajin. Beliau juga dikenal sebagai orang yang tawadlu’, zuhud, bertaqwa kepada Allah, di samping keberanian dan ketegasannya.

Pada masa remaja, Syekh Nawawi bersama saudaranya; Tamim dan Ahmad, pernah berguru kepada KH Sahal, salah seorang ulama Banten sangat terkenal saat itu, kemudian belajar pula kepada Raden Yusuf Purwakarta Jawa Barat. Ketika menginjak umur 13 tahun, Syekh Nawawi bersaudara ditinggal wafat ayahnya, hingga walau usia Syekh Nawawi terbilang muda, pucuk pimpinan pondok pesantren sepeninggalan ayahnya digantikan olehnya. Lewat dua tahun kemudian, saat usianya menginjak 15 tahun, tepatnya tahun 1828 M, Syekh Nawawi menunaikan ibadah haji, sekaligus untuk tujuan menuntut ilmu di Mekah.

Tiga tahun menuntut ilmu di Mekah, Syekh Nawawi kemudian pulang ke Indonesia. Namun, tujuan mengembangkan ilmu di kampung halaman tidak semulus perkiraannya. Setiap gerak gerik umat Islam di Indonesia saat itu dibatasi secara ketat oleh kolonial Belanda. Keadaan yang tidak kondusif ini memaksa Syekh Nawawi untuk kembali ke Mekah. Akhirnya pada tahun 1855 H, beliau kembali ke Mekah, di sana beliau kembali belajar sekaligus mengobarkan semangat juang melawan kolonial Belanda.

Di Mekah, di satu tempat yang dikenal dengan “Kampung Jawa” Syekh Nawawi belajar kepada beberapa ulama besar yang berasal dari Indonesia. Di antaranya; Syaikh Khatib Sambas (berasal dari Kalimantan Barat) dan Syaikh Abd al-Ghani (berasal dari Bima NTB). Tentunya beliau juga belajar kepada para ulama besar Mekah di masanya, seperti; Syaikh Ahmad Zaini Dahlan (Mufti Madzhab syafi’i di Mekah), Syaikh Ahmad Dimyathi, Syaikh Abd al-Hamid ad-Daghestani, Syaikh Nahrawi dan lainnya.

Pada gilirannya, hasil tempaan ilmiah “Kampung Jawa” tampil ke permukaan. Di antara yang populer saat itu Syaikh Nawawi al-Jawi dan Syekh Ahmad Khathib al-Minangkabawi. Setelah kurang lebih 30 tahun, Syekh Nawawi tampil menjadi salah seorang ulama terkemuka di Mekah. Kedalaman ilmu beliau menjadikannya sebagai guru besar di Masjid al-Haram. Bahkan beliau memiliki tiga gelar kehormatan prestisius; “Sayyid ‘Ulama al-Hijaz” yang dianugerahkan olah para ulama Mesir, “Ahad Fuqaha Wa Hukama al-Muta’akhirin” dan “Imam ‘Ulama al-Haramain”. Layaknya seorang Syekh dan ulama besar, Syekh Nawawi sangat menguasai berbagai disiplin ilmu agama. Seperti Tauhid, Fikih, Tafsir, Tasawwuf (akhlak), Tarikh, Tata Bahasa dan lainnya. Hal ini dapat dilihat dari karya-karya yang dihasilkan beliau yang mencakup berbagai disiplin ilmu tersebut.

Dari hasil perjalanan ilmiahnya, Syekh Nawawi di kemudian hari menjadi sosok laksana lautan ilmu. Tidak mengherankan kemudian banyak ulama besar yang lahir dari tangan beliau, baik para ulama nusantara maupun luar Indonesia. Di antara ulama Indonesia yang kemudian menjadi tokoh-tokoh ulama besar, bahkan menjadi para pejuang bagi kemerdekaan Indonesia adalah; asy-Syaikh al-Akbar, pencetus organisasi gerakan sosial [2] “Nahdlatul Ulama”; KH Hasyim Asy’ari Tebuireng, Jawa Timur, Syaikh Kholil Bangkalan Madura, KH Asy’ari Bawean, Jawa Timur, yang kemudian dinikahkan dengan puterinya sendiri yang bernama Maryam, KH Najihun Gunung Mauk Tangerang, yang juga dinikahkan dengan cucunya; Salmah binti Ruqayyah, KH Asnawi Caringin Banten, KH Ilyas Kragilan Banten, KH ‘Abdul Gaffar Tirtayasa Banten, dan KH Tubagus Ahmad Bakri Sempur Purwakarta, Jawa Barat. Di antara muridnya yang berasal dari Malaysia adalah K. H. Dawud, Perak.

Tentang jumlah karya-karya Syekh Nawawi terdapat perbedaan pendapat. Satu pendapat menyatakan berjumlah 99 buah karya. Pendapat lain menyatakan 115 buah karya. Terlepas pendapat mana yang lebih kuat, kita dapat mengambil kesimpulan bahwa Syekh Nawawi adalah seorang ulama besar yang sangat produktif.

Karya-karya beliau dapat kita klasifikasi dalam masing-masing disiplin ilmu. Di antaranya sebagai berikut; dalam bidang akidah, dan akhlak di antaranya; Kasyifat as-Saja Syarh Safinat an-Naja ditulis pada tahun 1292 H, Bahjat al-Wasa’il ditulis pada tahun 1292 H, Fath al-Majid Syarh ad-Durr al-Fari fi at-Tauhid ditulis pada tahun 1298 H, Tijan ad-Durari ditulis pada tahun 1301 H, Qami’ at-thughyan Syarh Manzhumat Syu’ab al-Iman, Nur az-Zhalam Syarh Manzhumat ‘Aqidat al-‘Awam, Nasha’ih al-‘Ibad Syarh al-Munabbihat ‘Ala al-Isti’dad li Yaum al-Ma’ad, Salalim al-Fudlala Syarh Manzhumat Hidayat al-Adzkiya, dan lain-lain. Dalam bidang fikih di antaranya; Fath al-Mujib ditulis pada tahun 1276 H, Mirqat Shu’ud at-Tashdiq Syarh Sullam at-Taufiq, Nihayat az-Zain ditulis tahun 1297 H, ‘Uqud al-Lujjain Fi Bayan Huquq az-Zaujain ditulis pada tahun 1297 H, at-Tausyih ‘Ala Ibn Qasim, dan lainnya. Dalam bidang Ilmu Bahasa dan Kesusasteraan, di antaranya; Lubab al-Bayan, Fath al-Gafir al-Khatiyyah Syarh al-Kaukab al-Jaliyyah, Al-Fushush al-Yaqutiyyah Syarh ar-Raudlah al-Bahiyyah fi al-Abwab at-Tashrifiyyah, dan lain-lain Dalam bidang Sejarah di antaranya; Targhib al-Mustaqim tentang maulid nabi, al-Ibriz ad-Dani tentang sejarah hidup Rasulullah, Fath as-Shamad tentang maulid nabi, dan lain-lain

(Sumber :http://kiyaimanguntapa.wordpress.com/)

Selasa, 29 Maret 2011

Syekh Abdul Ghani Batu Basurek-Kampar (1811-1961) , Oleh: Apria Putra

Di belahan aliran Sungai Kampar, di sebelah negeri seribu rumah Suluk, semasa dulu kala terkemuka dengan ulama-ulamanya yang masyhur terbilang. Di antara ulama-ulama yang terkemuka keberadaannya itu, tersebutlah orang tokoh yang paling masyhur terutama ketika membicarakan persebaran Tarikat Ahli Sufiyah, terutama Tarikat Naqsyabandiyah. Dua ulama besar itu ialah Maulana Syekh Abdul Wahab Rokan al-Khalidi dan Syekh Abdul Ghani Batu Basurek Kampar. Syekh Abdul Wahab terkenal murid-muridnya yang berasal dari orang awam hingga pejabat-pejabat pemerintahan, sedang Syekh Abdul Ghani Batu Basurek terkenal dengan murid-muridnya yang berasal dari ulama-ulama belaka. Dua ulama besar Naqsyabandiyah inilah yang terkemuka di pantai Timur Sumatera.
Syekh Abdul Ghani itulah nama Beliau yang masyhur, sedangkan Batu Basurek ialah nisbah negeri beliua bermukim yang Batu Bersurat di Kampar, yang sekarang termasuk wilayah Riau, semasa dulu Kampar merupakan bagian rantau dari Luak Limapuluh Kota, ranah Minangkabau sejati. Jika disebut-sebut ulama penyebar Naqsyabandiyah di Kampar ini, ada satu tokoh lagi yang tak mungkin tidak disebut, yaitu Syekh Ja’far Pulau Gadang, alim pula, guru dari seorang Ulama Besar Minangkabau Syekh Zakaria Labai Sati Malalo. Namun soal kemasyhuran, dan ketersebutan dalam sejarah, tetap Syekh Abdul Ghani yang terbilang.
Mengenai tahun lahir belum ditemui cacatan pasti, namun dari usia Syekh Abdul Ghani yang mencapai umur 150 tahun dan tahun wafatnya 1961, niscaya kita jumpai tahun lahirnya 1811. Bagi orang-orang dulu, apatah lagi dia merupakan Syekh-syekh terkemuka memang dikenal berumur panjang. Begitupula pendidikan awalnya, dimasa kecil-kecil tentunya, masih pula kabur dalam kabut sejarah. Namun dapat dipastikan bahwa Beliau merupakan ulama hasil didikan surau-surau yang menjamur seantero Minangkabau kala itu. Setelah menahun mengaji ala surau itu, Beliau melanjutkan pertualangan intelektualnya ke Haramain (Mekah dan Madinah), pusat Ibadah sekaligus ilmu pengetahuan kala itu. Dan menurut sumber Belanda, van Bruinessen, di Mekkahlah tepatnya di Jabal Abi Qubais-lah Syekh Abdul Ghani menerima ijazah atas jalan Tarikat Naqsyabandiyah, sebagai petanda bahwa beliau telah diangkat menjadi khalifah Naqsyabandi dan berhak mengajarkan ilmu Tarikat kepada orang banyak secara mandiri. Adapun syekh Naqsyabandi yang memberinya ijazah itu ialah Syekh Sulaiman Zuhdi, yang pada abad 19 banyak mengangkat khalifah-khalifah dari tanah “Jawi” (baca: Melayu) ini, beliau juga dikenal dengan nama Syekh Sulaiman Afandi.
Setelah mengaji ilmu agama beberapa tahun lamanya dan telah pula di-khatam kaji itu dengan amalan Rohani Suluk Tarikat Naqsyabandiyah, kemudian menerima ijazah dalam Tarikat Sufi itulah Syekh Abdul Ghani memapankan karir ke-ulama-annya di Kampar, tepatnya di Batu Basurek. Di sanalah beliau mendirikan surau sekaligus rumah Suluk untuk mengajar agama dan melatih rohani dengan melaksanakan Suluk Naqsyabandi. Tak perlu menunggu waktu lama, surau beliau itu kemudian ramai sekali dikunjungi oleh orang-orang siak dari berbagai penjuru daerah. Nama Beliau selaku ulama terkemuka dalam kedalaman ilmu dan kedalaman faham masyhur kemana-mana. Melalui lembaga pendidikan itulah beliau mendidik murid-murid yang banyak, sehingga tak sedikit murid-murid beliau itu nantinya yang menjadi alim pula, kemudian pulang ke kampung halaman masing-masing selaku ulama dan mengajarkan ilmu pula di tanah kelahirannya. Tak jarang pula ada murid-muridnya yang telah ulama mengambil ilmu lagi kehadarat Syekh Abdul Ghani ini.
Diantara murid-murid Beliau yang terkemuka dan dapat dicatat pada kesempatan kali ini ialah:
1. Maulana Syekh Muda Wali al-Khalidi Naqsyabandi Aceh (w. 1964). Ulama besar kharismatik di Aceh abad ke-XX, tercatat sebagai pengibar bendera Tarikat Naqsyabandiyah di Aceh, juga termasuk sesepuh Perti yang sangat disegani. Syekh Wali ini pada mula belajar ilmu agama di berbagai Dayah di Aceh. Kemudian disarankan seorang tokoh di Aceh untuk menyambung pelajar ke Padang yaitu ke Normal Islam, yang saat itu dipimpin Mahmud Yunus (Prof.). Namun Syekh Wali hanya 3 bulan di Normal Islam Padang, sebab tak sesuai dengan cita-cita beliau untuk memperdalam agama, sedang di Normal Islam hanya pelajaran umum yang banyak diberikan. setelah berhenti dari Normal Islam, beliau berkenalan dengan salah seorang tokoh besar Syekh Khatib Muhammad Ali al-Fadani Parak Gadang (w. 1939). Dari hubungan dengan ulama-ulama itu beliau menjadi masyhur pula di Minangkabau, hingga Beliau digelari dengan “Angku Aceh”. Syekh Wali juga berkenalan dengan Syekh Jamil Jaho. Karena ketertarikannya dengan pemuda yang alim itu, Syekh Jamil Jaho mengambilnya menjadi menantu. Banyak usaha keagamaan yang dilakukan oleh Syekh Wali di Minangkabau sampai-sampai beliau mendirikan madrasah di Lubuk Alung bersama-sama dengan rekannya Syekh Zakaria Labai Sati Malalo (madrasah itu tidak ada lagi sekarang). Setelah itu Syekh Wali berangkat ke Mekkah untuk berhaji dan menambah ilmu pengetahuan, di Mekkah beliau seangkatan dengan ulama masyhur dari Padang Syekh Muhammad Yasin al-Fadani al-Makki (w. 1990) dan Syekh Alwi al-Husaini Mekkah. Sekembali dari Mekkah beliau pulang ke Minangkabau. Di saat itulah beliau merasakan haus dahaga ilmu. Obat satu-satunya kali itu ialah mengisi batin dengan air Ma’rifat. Maka Beliau carilah seorang mursyid yang kamal, sehingga bersuluklah Beliau kepada Syekh Abdul Ghani ini, hingga memperoleh maqam khalifah dan mendapat ijazah.
2. Syekh Muhammad Yunus Tuanku Sasak di Sasak, Pasaman. Juga merupakan ulama besar, termasuk sederet tokoh-tokoh sepuh Perti. Beliau mengajar banyak murid di suraunya di Kapar Pasaman Barat.
3. Syekh Muhammad Djamil Sa’adi (w. 1971), anak dari yang mulia Syekh Muhammad Sa’ad bin Tinta’ al-Khalidi Mungka Tuo Payakumbuh. Informasi beliau merupakan murid Batu Basurek ialah dari beberapa murid kepercayaan beliau di Mungka.
4. Syekh Adimin ar-Radji Taram (w. 1970), terbilang murid tertua Syekh Sulaiman ar-Rasuli. Ulama terkemuka atas Jalur Tasawwuf Tarikat Naqsyabandiyah yang diterimanya dari Syekh Batu Basurek.
5. Tuanku Alaydrus Ghani (w. ?), anak kandung dari Syekh Abdul Ghani Batu Basurek. Beliau yang melanjutkan surau ayahnya dan mendirikan pula Madrasah Tarbiyah Islamiyah di Kampar. Menerima Tharikat dari Syekh Muda Wali Aceh.
6. Prof. DR. Syekh Muhibbin Wali, Ph. D., salah seorang Ahli hukum Islam dan Tasawwuf Indonesia, S3 Kairo Mesir. Anak kandung Syekh Muda Wali, menerima Tharikat dari Syekh Abdul Ghani Batu Basurek
7. dan Banyak lagi lainnya.
Selain itu Syekh Abdul Ghani termasuk tokh sepuh Perti yang sangat dihormati. Pada tahun 1954 terjadi kofrensi Tarikat Naqsyabandiyah di Bukittinggi atas prakarsa Perti, dan salah seorang tokoh utama yang hadir ialah Syekh Abdul Ghani (waktu itu usia nya telah sepuh). Hasil-hasil konfrensi itu dibukukan dengan judul Risalah Tablighul Amanah fi Izalati Khurafat wa syubhah (KAHAMY, 1954).
Syekh Abdul Ghani wafat tahun 1961 dalam usia yang sangat tua, 150 tahun, setelah berkhitmat lama menegakkan agama di Minangkabau umumnya. Usaha beliau dilanjutkan oleh anaknya yang juga alim yaitu Tengku ‘Aidrus Ghani.

(Sumber : http://surautuo.blogspot.com/2011/03/syekh-abdul-ghani-batu-basurek-kampar.html)

Syeikh Muda Wali (wafat 1380H)

Syeikh Haji Muda Wali bin Syeikh H. Muhammad
Salim, Asy-Syafil AI-Khalidi . Beliau lahir di Labuhan Haji,
Acheh Selatan, pada sekitar tahun 1907M. dan wafat 28
Mac 1961, bersamaan dengan 10 Sya`aban 1380H.
Pada waktu remaja belajar agama kepada :
1. Syeikh H.M. Salim Acheh Selatan, ayah beliau
sendiri.
2. Syeikh M. Idris Acheh Selatan.
3. Syeikh M. ‘Ali Lampisang, Acheh Besar.
4. Syeikh Mahmud Blang Pidi .
5. Syeikh H. Hasan Kureng Kale, Acheh Besar.
6. Syeikh Hasbullah Indrapuri, Acheh Besar.
7. Syeikh ‘Abdul Ghani Al-Khalidi Batu Basurek,
Bangkinang Sumbar.
8. Dan lain-lain Ulama’-ulama’ Besar.
Beliau naik haji ke Makkah, dan setibanya kembali di
Indonesia lantas mendirikan Madrasah Tarbiyah Islamiyah
di Labuhan Haji. Tidak lama kemudian memperkembangkan
perguruannya dengan mendirikan Dayah (pesantren) di
Blang Proh Labuhan Haji Acheh Barat, yang luas
kompleknya 1 Km. persegi dengan nama "Darussalam fi
Manbail ilmi wal Hikam". Bahagian yang tertinggi dari
madrasah beliau diberi nama "Bustanul Muhaqiqiin" (Kebun
orang-orang yang memperdalam ilmu-ilmu pengetahuan).
Beliau adalah seorang yang sangat kukuh dan kuat
menyebarkan, mempertahankan Agama atas dasar
Mazhab Syafi’i dan juga menyebarkan faham
Ahlussunnah wal Jama`ah dalam i’tiqad. Bukan
beratus, tetapi beribu-ribu murid beliau yang diasuh
dan dididik dalam Ibadat Islamiyah menurut dasar
Mazhab Syafi'i, tasawuf menurut dasar Tariqat
Naqsyabandi Al-Khalidi. Acapkali beliau menuliskan
namanya dengan Tuanku Muda Wali Asy-Syafi’i, Al-
Asy`ari, Al-Khalidi (Syeikh Muda Wali penganut Mazhab
Syafi`i dan faham Ahlussunnah wal Jama`ah dengan
Tasawuf Tariqat Al-Khalidi An-Naqsyabandi).
Sesudah beliau wafat pada tahun 1380 (1961M.)
maka perguruan beliau dipimpin oleh anak beliau
Muhibbuddin Wal i, Jamaluddin Wal i dan murid beliau,H. Imam
Syamsuddin Blang Poroh.
Murid-murid beliau yang telah menjadi kader--
kader Islam Syafi’iyah yang sekarang menjadi guruguru
agama di pelusuk-pelusuk Acheh sudah banyak
sekali di antaranya :
1. Tengku Syeikh Adnan Mahmud Bakongan Acheh.
2. Tengku Syeikh Qamaruddin Taunon Acheh Barat.
3. Tengku Syeikh ‘Utsman Al-Fauzi Cot Iri Acheh
Besar.
4. Tuanku Idrus Batu Basurek Bangkinang.
5. Tuanku Labai Sati Malalo Padang Panjang,
Sumbar.
6. Tengku Mohd. Daud Zamzamy, Acheh Besar.
7. Tengku Syeikh ‘Abdul ‘Aziz Saleh, Samalanga
Acheh Utara.
8. Tengku Syeikh Mohd. ‘Isa Pudada Acheh Utara.
9. Tengku Mohd. Amin Blang Bladeh Acheh Utara.
10. Tengku Syeikh Syahbuddin Syah Keumala, Acheh
Utara.
11. Tengku Syeikh Jamaluddin Teupin Puiti Lho Sukum.
12. Tengku Syeikh Ahmad Blang Nibong Acheh Utara.
13. Tengku Syeikh Nawawi Harahap Tapanuli.
14. Tengku Ja` far Siddi k Kota Cane.
15. Tengku Amin ‘Umar Panton Labu Acheh Utara.
16. Tengku ‘Abbas Parembeu Acheh Barat.
17. Tengku Syeikh Mohd. Daud Gayo Acheh Pidi.
18. Tengku Syeikh Ahmad Lam Lawi Acheh Pidie.
19. Tengku Abu Bakar Sabil Alu Tampak Acheh Barat.
20. Tengku ‘Abdul lah Tanoh Mirah Biereu.
21. Dan l ain- lain ba ny ak lag i .

Pendeknya dapat dikatakan bahawa Tengku Syeikh
Muda Wali adalah seorang Ulama’ Syafi’iyah yang
besar, yang membentuk banyak ulama’-ulama’
Syafi`iyah yang siap sedia selalu menegakkan faham
Mazhab Syafi`i di Acheh dan di seluruh Indonesia.
Pada masa hidup beliau, Tengku Muda Wal i
menggabungkan diri dengan Parti Islam Perti
bersama-sama Tengku H. Hasan Kureng Kalee.

Sumber : SEJARAH DAN KEAGUNGAN MAZHAB SYAFI’I, Oleh: K.H Sirajuddin Abbas

Tgk Syik Hasan Krueng Kalee

Syaikh Teungku Hasan bin Teungku Muhammad Hanafiyyah bin Teungku Syaikh 'Abbas bin Teungku Muhammad Fadhli rahimahumUllah yang lebih dikenali sebagai Syaikh Hasan Krueng Kalee atau Abu Krueng Kalee adalah salah seorang ulama besar Ahlus Sunnah wal Jama`ah kelahiran Aceh. Beliau dilahirkan pada tanggal 13 Rejab 1303 (17 April 1886) di Kampung Meunasah Ketembu, Kabupaten Pidie, Aceh. Untuk pengetahuan, "teungku" adalah gelaran hormat masyarakat Aceh yang diberi kepada ulama, sebagaimana "teuku" pula diberikan kepada pahlawan atau pemimpin. Jangan dikelirukan istilah tersebut dengan "tengku" yang biasa digunakan di negara kita sebagai keturunan diraja.

Syaikh Hasan Krueng Kalee berketurunan ulama, dikatakan bahawa ayahanda beliau dan datuk-datuk beliau sehingga yang ke-7 semuanya ulama-ulama besar. Ayahanda beliau, Tengku Muhammad Hanafiyyah, terkenal dengan gelaran Teungku Chik Krueng Kalee I atau Teungku Haji Muda, adalah seorang ulama besar yang memimpin Dayah (Pondok) Krueng Kalee yang terletak di Kabupaten Aceh Besar. Beliau juga adalah sahabat karib pahlawan nasional Indonesia, Teungku Syaikh Muhammad Saman Tiro @ Teungku Chik Di Tiro.

Syaikh Hasan menerima didikan awal agama daripada ayahandanya sendiri di samping bondanya yang juga seorang yang alim keturunan ulama juga iaitu Nyak Hafsah binti Teungku Syaikh Ismail @ Teungku Chik Krueng Kalee II. Setelah meningkat ke usia remaja, beliau dihantar ke Kedah, Malaysia untuk berguru dengan Tok Syaikh Muhammad Arsyad rahimahUllah, Pondok Yan, Kedah. Tok Syaikh Muhammad Arsyad adalah ulama Aceh yang telah membuka pondok di Yan, Kedah sekitar tahun 1900, beliau dikenali sebagai Teungku Di Balai.

Syaikh Hasan duduk mengaji di Pondok Yan, Kedah selama beberapa tahun dan pada 1910 beliau dengan restu gurunya berangkat ke Makkah untuk menunaikan fardhu haji dan melanjutkan pengajian di sana. Beliau bermukim sekitar 6 tahun di Makkah dan meneguk kemanisan ilmu daripada para ulama di sana. Antara yang menjadi guru beliau adalah Syaikh Ahmad Syatha ad-Dimyathi, Syaikh Sa`id Sunbul (Mufti Syafi`i Makkah), Syaikh 'Abdullah Ismail, Syaikh Hasan Zamzami, Syaikh Utsman bin Muhammad Fadhil Aceh, Syaikh Yusuf bin Ismail an-Nabhani dan lain-lain lagi. Selain mengaji pelajaran fiqh, tawhid, tasawwuf dan yang seumpamanya, Syaikh Hasan turut mendalami bidang falak dan berjaya menguasainya sehingga sejak di Makkah lagi beliau dikenali sebagai Syaikh Muhammad Hasan al-Aasyie al-Falaki.

Pada tahun 1916, Syaikh Hasan pulang ke Kedah dan mengabdikan dirinya mengajar di Pondok Yan, Kedah. Kemudian beliau diminta oleh pamannya untuk kembali ke Aceh untuk menerajui Dayah Krueng Kalee. Di bawah asuhannya, Dayah Krueng Kalee bertambah terkenal dan menjadi sebuah pusat pendidikan agama yang masyhur melahirkan ramai ulama dan pendakwah di serata Nusantara. Di antara murid-murid beliau yang berhasil menjadi ulama adalah:-

1. Teungku Ahmad Pante, ulama dan imam masjid Baitur Rahman Banda Aceh.
2. Teungku Hasan Keubok, ulama dan qadhi Aceh Besar.
3. Teungku Muhammad Saleh Lambhouk, ulama dan imam masjid Baitur Rahman Banda Aceh.
4. Teungku Abdul Jalil Bayu, ulama dan pemimpin Dayah Al-Huda Aceh Utara.
5. Teungku Sulaiman Lhoksukon, ulama dan pendiri Dayah Lhoksukon, Aceh Utara.
6. Teungku Yusuf Peureulak, ulama dan ketua majlis ulama Aceh Timur.
7. Teungku Mahmud Simpang Ulim, ulama dan pendiri Dayah Simpang Ulim, Aceh Timur.
8. Teungku Haji Muda Waly Labuhan Haji, ulama dan pendiri Dayah Darussalam, Labuhan Haji, Aceh Selatan.
9. Teungku Syaikh Mud Blang Pidie, ulama dan pendiri Dayah Blang Pidie, Aceh Selatan.
10. Syaikh Syihabuddin, ulama dan pendiri Dayah Darussalam Medan, Sumatera Utara.
11. Kolonel Nurdin, bekas Bupati Aceh Timur.
12. Teungku Ishaq Lambaro Kaphee, ulama dan pendiri Dayah Ulee Titie.

Syaikh Hasan juga dikenali sebagai seorang ulama sufi yang mengikut Thariqah Ba 'Alawi berpaksikan kepada ajaran dan amalan Quthbul Irsyad wad Dakwah al-Habib 'Abdullah bin 'Alawi bin Muhammad al-Haddad RA. Beliau telah menyusun sebuah kitab yang berjodol " Risalah Lathifah fi Adaabidz Dzikri" yang menerangkan adab dan kaedah bertahlil dan berzikir menurut jalan Imam al-Haddad. Penguasaan beliau terhadap amalan - amalan kerohanian telah diakui ramai sehingga pada 7 Mei 2007 dalam satu forum yang dihadiri oleh ratusan ulama besar Aceh di Masjid Baitur Rahman, Banda Aceh telah menyimpulkan bahawa ada empat ulama Aceh yang telah sampai ke darjat ma'rifatUllah, mereka adalah Syaikh Abdur Rauf as-Sinkili, Syaikh Hamzah al-Fansuri, Syaikh Teungku Muhammad Hasan Krueng Kalee dan Teungku Haji Muda Waly al-Khalidi rahimahumUllah.

Syaikh Hasan juga terlibat terus dalam perjuangan menentang Belanda dan perjuangan kemerdekaan Indonesia. Pada 15 Oktober 1945, beliau telah menandatangani "Dekrit Perang Sabil" untuk menentang penjajah Belanda yang kembali menjajah Belanda. Setelah kemerdekaan, beliau turut aktif dalam Partai Islam PERTI dan telah terpilih menjadi anggota konstituante dalam pemilu pertama di Indonesia.

Pada 14 DzulHijjah 1392 (19 Januari 1973), Syaikh Hasan rahimahUllah telah kembali ke rahmatUllah dengan tenang. Beliau dimakamkan di Kampung Krueng Kalee, Aceh Besar. Mudah-mudahan Allah sentiasa mencucurkan rahmat dan kasih-sayangNya kepada beliau.... al-Fatihah.

(Sumber dari : http://bahrusshofa.blogspot.com/)

Senin, 28 Maret 2011

Hadits “man ‘arafa nafsahu ‘arafa rabbahu”

Keterangan ulama mengenai hadits di atas, yaitu :
1. Ditanyai Ibnu Hajar al-Haitamy r.a. mengenai hadits :
من عرف نفسه عرف ربه
Siapakah yang meriwayatnya ?. Beliau r.h.m., menjawab dengan perkataannya :

“Hadits tersebut tidak ada asal baginya. Perkataan tersebut hanya dihikayah dari perkataan Yahya bin Mu’az al-Razy, seorang sufi. Maknanya adalah barang siapa yang mengenal dirinya dengan sifat lemah, membutuhkan, lalai, hina dan tidak tercapai maksud, maka akan mengenal tuhannya dengan sifat-sifat jalal dan jamal atas yang patut bagi kedua sifat itu, maka seorang hamba selalu melakukan muraqabah sehingga dibukakan kepadanya pintu musyahadahnya.1

2. Didalam al-Fatawa an-Nawawi disebutkan :
“Masalah pada hadits dari Nabi SAW :

من عرف نفسه فقد عرف ربه ومن عرف ربه كل لسانه
Apakah hadits ini tsabit atau tidak ? dan apa maknanya?”. Jawab : “Hadits itu tidak tsabit. Seandaipun tsabit, maknanya adalah barang siapa yang mengenal dirinya dengan sifat dha’if, berhajad kepada Allah Ta’ala dan ber’ubudiyah kepada-Nya, maka akan mengenal tuhannya dengan sifat Kuasa, Perkasa, Rububiyah, Sempurna Mutlaq dan sifat-sifat yang tinggi. Dan barang siapa yang mengenal tuhan dengan demikian, maka kelu lidahnya dari sampai kepada hakikat syukur dan puji kepada tuhannya, sebagaimana tersebut dalam hadits Shahih Muslim dan lainnya, sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda : “Maha Suci Engkau Ya Allah, tidak dapat aku hitung pujian atas-Mu sebagaimana pujian-Mu atas diri-Mu”.2

DAFTAR PUSTAKA
1.Ibnu Hajar al-Haitamy, al-Fatawa al-Haditsah, Darul Fikri, Beirut, Hal. 206
2.An-Nawawi, al-Fatawa, Hal. 136

Ghayatul Wushul (terjemahan & penjelasannya), Muqaddimah, Hal. 4-5

( المقدمات )
أى مبحثها افتتحتها كالأصل بتعريف أصول الفقه ليتصوره طالبه بما يضبط مسائله الكثيرة ليكون على بصيرة فى تطلبها اذ لو تطلبها قبل ضبطها لم يأمن فوات ما يرجيه وصرف الهمة الى ما لايعنيه فقلت ( أُصُوْلُ الْفِقْه ) أى الفن المسمى بهذا اللقب المشعر بمدحه بابتناء الفقه عليه اذ الأصل ما يبنى عليه غيره ( أَدِلَّةُ الْفِقْهِ الإِجْمَالِيَّةُ ) أى غير المعينة كمطلق الأمر والإجماع من حيث انه يبحث عن أولهما بأنه للوجوب حقيقة وعن ثانيهما بأنه حجة ( وَطُرُقُ اسْتِفَادَةِ جُزْئِيَّاتِهَا ) التى هى أدلة الفقه التفصيلية المستفاد هو منها والمراد بالطرق المرجحات الآتى أكثرها فى الكتاب السادس ( وَحَالُ مُسْتَفِيْدِهَا ) أى وصفات مستفيد جزئيات ادلة الفقه الإجمالية وهو المجتهد لأنه الذى يستفيدها بالمرجحات عند تعارضها دون المقلد والمراد بصفاته شرائطه الآتية فى الكتاب السابع ويعبرعنها بشروط الإجتهاد وخرج بأدلة الفقه غير الأدلة كالفقه وأدلة غير الفقه كأدلة الكلام وبعض أدلة الفقه وبالإجمالية التفصيلية وان لم يتغايرا الا بالإعتبار كأقيموا الصلاة ولاتقربوا الزنا وصلاته صلى الله عليه وسلم فى الكعبة فليست أصول الفقه وانما يذكر بعضها فى كتبه للتمثيل
Muqaddimah
Yaitu pembahasannya, yang saya mulai sebagaimana asal, dengan devinisi ushul fiqh, supaya yang mempelajarinya dapat menggambarkannya dengan hal-hal yang dapat mengukur masalah-masalahnya yang banyak, agar dapat dimengerti dalam mempelajarinya. Karena seandai mempelajarinya sebelum ada pengukurannya, maka tidak akan aman dari hilang hal-hal yang diharapkannya dan menggunakan kemauan kepada sesuatu yang tidak diinginkan. Maka saya berkata (Ushul fiqh) yaitu pelajaran yang dinamakan dengan nama ini mengindikasikasi terpujinya karena dibangun fiqh atasnya, karena ashal merupakan sesuatu yang dibangun yang lain di atasnya(1) (adalah dalil-dalil fiqh secara global,) yaitu tidak secara mendetil. Misalnya mutlaq amar dan ijmak, dimana pembahasan untuk yang pertama pada hakikatnya adalah wajib dan pembahasan untuk yang kedua bahwa ia merupakan hujjah(2).(metode-metode istimbath satuan-satuannya) yaitu dalil-dalil fiqh yang detil yang diistinbath fiqh darinya. Yang dimaksudkan dengan metode-metode adalah murajjahah yang kebanyakannya ada dalam kitab ke-enam. (dan keadaan orang yang mengistinbathkannya(3)) yaitu sifat-sifat orang yang mengistinbath satuan-satuan dalil-dalil fiqh secara global, yaitu mujtahid, karena mujtahid merupakan orang yang melakukan istinbath dalil-dalil fiqh dengan murajjahah (4) pada ketika terjadi pertentangan dalil, bukan muqallid.(5) Yang dimaksud dengan sifat-sifatnya adalah syarat-syaratnya yang akan disebut dalam kitab ke-tujuh. Disebut untuknya dengan nama syarat-syarat ijtihad. Dengan perkataan “dalil-dalil fiqh”, keluarlah yang bukan dalil seperti fiqh dan dalil bukan fiqh seperti dalil ilmu kalam dan sebagian dalil fiqh. Dengan perkataan “secara global” keluarlah dalil yang detil, meskipun keduanya tidak berbeda kecuali dengan i’tibar, seperti “aqimu al-shalah” dan “la taqribuu al-zina” serta shalat Nabi SAW dalam ka’bah, maka itu bukanlah ushul fiqh.(6) Disebut sebagiannya dalam kitab-kitab ushul fiqh hanya sebagai contoh.
Penjelasan
(1). Lawannya adalah furu’, yaitu sesuatu yang dibangun atas lainnya. 1 Seperti ranting kayu yang berada atas pohon kayu. Pohon merupakan asal dan rantingnya sebagai furu’. Dalam ushul fiqh, fiqh merupakan furu’ dan ushul fiqh adalah asal, karena fiqh dibangun dengan berpedoman kepada ushul fiqh dan berdasarkan devinisi di atas, maka fiqh tergantung atas tiga perkara, yaitu dalil-dalil secara global, al-murajjahah dan sifat-sifat mujtahid. 2
(2). Yang menjadi pembahasan Ushul fiqh hanya sekitar masalah seperti makna amar, makna nahi dan lainnya. Sedangkan kegiatan menyimpulkan bahwa shalat adalah wajib berdasarkan misalnya ayat “aqimuu al-shalah”, maka ini sudah keluar dari ruang lingkup pembahasan Ushul fiqh.
(3). Istinbath adalah mengeluarkan makna-makna dari nash-nash dengan membuka pikiran dan kemampuan kecerdasannya. 3 Sehingga dengan demikian, dapat menghasilkan sebuah kesimpulan hukum.
(4). Akar kata murajjahah adalah tarjih dengan makna lebih mengutamakan. Al-Jarjani mendevinisikannya dengan “penetapan suatu nilai lebih kepada salah satu dalil dengan meninggalkan yang lainnya.” 4 Maka yang dimaksud dengan murajjahah di sini adalah dalil-dalil yang lebih diutamakan atau yang diberikan nilai-nilai lebih, seperti terjadi pertentangan antara dalil yang banyak perawi dengan yang sedikit perawinya, maka tentunya diutama dalil yang banyak perawi, 5 misalnya kabar yang menyatakan jumlah raka’at shalat Tarawih pada masa Umar bin Khatab. Hanya Malik yang meriwayat sebelas raka’at. Sedangkan kebanyakan ahli hadits mengatakan dua puluh raka’at. 6
(5). Akar kata muqallid adalah taqlid. Taqlid adalah mengikuti pendapat orang lain tanpa mengetahui dalilnya. 7 Jadi, muqallid adalah orang yang mengikuti pendapat orang lain tanpa mengetahui dalilnya
(6). Contohnya “aqimu al-shalah”, “la taqribuu al-zina” dan shalat Nabi SAW dalam ka’bah, ditinjau dari sisi bahwa ia merupakan contoh amar, nahi dan perbuatan Rasulullah SAW, maka termasuk dalam katagori ushul fiqh dan ditinjau dari sisi bahwa ia adalah dalil diwajibkan shalat, haram berzina dan dibolehkan shalat dalam ka’bah, maka tidak termasuk dalam ushul fiqh.

DAFTAR PUSTAKA
1.Jalaluddin al-Mahalli, Syarah al-Warqat, dicetak pada hamisy Hasyiah al-Dimyathi, Raja Murah, Pekalongan, Hal. 3
2.Al-Banany, Hasyiah al-Banany ‘ala Syarah Jam’u al-Jawami’, Dar Ihya al-Kutub al-Arabiyah, Indonesia, Juz. I, Hal. 36
3.Al-Jarjany, al-Ta’rifat, Maktabah Misykah al-Islamiyah, Hal. 13
4.Al-Jarjany, al-Ta’rifat, Maktabah Misykah al-Islamiyah, Hal. 40
5.Zakariya al-Anshary, Ghayatul Wushul, Usaha Keluarga, Semarang, Hal. 142
6.Ibnu Abd al-Bar, al-Istizkar, Dar al-Qatibah, Damsyiq-Beirut , Juz. V, Hal. 154
7.Zakariya al-Anshary, Ghayatul Wushul, Usaha Keluarga, Semarang, Hal. 150

Minggu, 27 Maret 2011

Tabarruk (Mencari Berkah) Merupakan Amalan Terpuji dalam Islam

Pengertian Tabarruk
Akar kata “tabarruk” adalah barakah yang secara bahasa mempunyai pengertian lebih dan bertambah. 1 Dalam Kamus Arab-Indonesia karangan Mahmud Yunus disebutkan, pengertian barakah adalah berkat, bahagia dan untung. 2 Sedangkan tabarruk adalah mencari berkah, yaitu nilai tambah atau kebahagian. 3 Diantara firman Allah yang menyebut perkataan barkah adalah Q.S. al-Isra’ : 1, yang berbunyi :
سُبْحَانَ الَّذِي أَسْرَى بِعَبْدِهِ لَيْلًا مِنَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ إِلَى الْمَسْجِدِ الْأَقْصَى الَّذِي بَارَكْنَا حَوْلَهُ لِنُرِيَهُ مِنْ آيَاتِنَا إِنَّهُ هُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ
Artinya : Maha Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha yang telah kami berkahi sekelilingnya agar kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha mendengar lagi Maha Mengetahui.(Q.S. al-Isra’ : 1)

Tabarruk pada umat terdahulu yang tersebut dalam al-Qur’an
1. Tabarruk Nabi Ya’kub a.s. dengan baju qamis anaknya, Nabi Yusuf untuk kesembuhan matanya, sebagaimana diceritakan Allah dalam firman-Nya, Q.S. Yusuf : 93
اذْهَبُوا بِقَمِيصِي هَذَا فَأَلْقُوهُ عَلَى وَجْهِ أَبِي يَأْتِ بَصِيرًا وَأْتُونِي بِأَهْلِكُمْ أَجْمَعِينَ
Artinya : Pergilah kamu dengan membawa baju gamisku ini, lalu letakkanlah dia kewajah ayahku, nanti ia akan melihat kembali dan bawalah keluargamu semuanya kepadaku (Q.S. Yusuf : 93)

Mata Nabi Ya’kub sembuh seketika, pada saat wajah beliau menyentuh qamis Nabi Yusuf , sebagaimana kisah selanjutnya dalam firman Allah :
فَلَمَّا أَنْ جَاءَ الْبَشِيرُ أَلْقَاهُ عَلَى وَجْهِهِ فَارْتَدَّ بَصِيرًا قَالَ أَلَمْ أَقُلْ لَكُمْ إِنِّي أَعْلَمُ مِنَ اللَّهِ مَا لَا تَعْلَمُونَ
Artinya : Tatkala telah tiba pembawa kabar gembira itu, maka diletakkannya baju gamis itu ke wajah Ya'qub, lalu kembalilah dia dapat melihat. Berkata Ya'qub: "Tidakkah aku katakan kepadamu, bahwa aku mengetahui tentang Allah apa yang kamu tidak mengetahuinya. (Q.S. Yusuf : 96)

2. Tabarruk Bani Israil dengan tabut (peti tempat menyimpan kitab Taurat) sebagaimana disebut dalam firman Allah Q.S. al-Baqarah : 248,
وَقَالَ لَهُمْ نَبِيُّهُمْ إِنَّ آيَةَ مُلْكِهِ أَنْ يَأْتِيَكُمُ التَّابُوتُ فِيهِ سَكِينَةٌ مِنْ رَبِّكُمْ وَبَقِيَّةٌ مِمَّا تَرَكَ آلُ مُوسَى وَآلُ هَارُونَ تَحْمِلُهُ الْمَلَائِكَةُ إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآيَةً لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ
Artinya : Dan Nabi mereka mengatakan kepada mereka: "Sesungguhnya tanda ia akan menjadi raja, ialah kembalinya tabut kepadamu, di dalamnya terdapat ketenangan dari Tuhanmu dan sisa dari peninggalan keluarga Musa dan keluarga Harun; tabut itu dibawa malaikat. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda bagimu, jika kamu orang yang beriman.(Q.S. al-Baqarah : 248)

Al-Baidhawy berkata :
“Apabila berperang, Musa a.s. membawa tabut, maka jiwa orang Bani Israil menjadi tenteram dan tidak akan lari dari peperangan”. 4

Tabarruk dengan Nabi SAW
1. Nabi SAW memberkati anak-anak baru lahir dengan melakukan tahnik (menyuapi makanan yang sudah lebih dahulu dikunyah kepada anak-anak). Hadits Muslim menyebutkan :
أن رسول الله صلى الله عليه وسلم كان يؤتى بالصبيان فيبرك عليهم ويحنكهم

Artinya : Sesungguhnya Rasulullah SAW sering dibawa kepada beliau anak-anak yang baru lahir, maka beliau memberkati dan melakukan tahnik kepada anak-anak itu. (H.R. Muslim) 5
2. Nabi SAW memberkati orang sakit dengan mengusap kepala dan meminumkan air sisa wudhu’ beliau kepada sisakit. Tersebut dalam Shahih Bukhari :
السائب بن يزيد يقول ذهبت بي خالتي إلى النبي صلى الله عليه وسلم فقالت: يا رسول الله، إن ابن أختي وجع، فمسح رأسي ودعا لي بالبركة، ثم توضأ، فشربت من وضوئه

Artinya : Al-Sa-ib bin Yazid berkata : “ Bibiku pergi bersamaku kepada Rasulullah”. Bibiku berkata : “Ya Rasulullah, sesungguhnya anak saudaraku sakit”. Lalu Rasulullah SAW mengusap kepalaku dan berdo’a keberkahan untukku. Kemudian beliau berwudhu’, maka aku minum dari air sisa wudhu’nya. (H.R. Bukhari) 6

3. Nabi SAW memberkati dengan air yang telah disentuhnya. Imam Bukhari meriwayatkan hadits sebagai berikut :

َقَالَ أَبُو مُوسَى دَعَا النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِقَدَحٍ فِيهِ مَاءٌ فَغَسَلَ يَدَيْهِ وَوَجْهَهُ فِيهِ وَمَجَّ فِيهِ ثُمَّ قَالَ لَهُمَا اشْرَبَا مِنْهُ وَأَفْرِغَا عَلَى وُجُوهِكُمَا وَنُحُورِكُمَا
Artinya : Berkata Abu Musa : “Nabi Muhammad SAW meminta semangkok air, lalu beliau mencuci kedua tangannya dan membasuh wajahnya di dalamnya, dan mengeluarkan air dari mulutnya, kemudian bersabda kepada mereka berdua (dua orang sahabat yang ada di sisi beliau, “Minumlah dari air itu dan semburlah pada wajah dan lehermu”(H.R. Bukahri)7

4. Mengharap barakah dengan keringat Rasululah SAW

عن أنس بن مالك قال كان النبي صلى الله عليه و سلم يدخل بيت أم سليم فينام على فراشها وليست فيه قال فجاء ذات يوم فنام على فراشها فأتيت فقيل لها هذا النبي صلى الله عليه و سلم نام في بيتك على فراشك قال فجاءت وقد عرق واستنقع عرقه على قطعة أديم على الفراش ففتحت عتيدتها فجعلت تنشف ذلك العرق فتعصره في قواريرها ففزع النبي صلى الله عليه و سلم فقال ما تصنعين ؟ يا أم سليم فقالت يا رسول الله نرجو بركته لصبياننا قال أصبت
Artinya : Dari Anas bin Malik, Nabi SAW biasa memasuki rumah Ummu Sulaim dan tidur di atas kasurnya sedangkan Ummu Sulaim sedang pergi. Anas berkata: “Pada suatu hari Rasulullah SAW datang dan tidur di atas kasur Ummu Sulaim, kemudian Ummu Sulaim dipanggil dan dikatakan padanya: Ini adalah Nabi SAW tidur di rumahmu dan di atas kasurmu. Anas berkata : Ummu Sulaim datang dan Nabi sedang berkeringat, lalu keringatnya tersebut dikumpulkan di atas sepotong kulit yang ada di atas tikar. Kemudian Ummu Sulaim membuka talinya dan mulai meyerap keringat tersebut lalu memerasnya ke dalam botol, maka Nabi kaget dan berkata: Apa yang kamu lakukan Ummu Sulaim ? Ummu Sulaim berkata: Wahai Rasulullah kami mengharapkan berkahnya bagi anak-anak kami” Beliau berkata: Engkau benar (H.R. Muslim) 8

Tabarruk dengan orang-orang pilihan dan orang shaleh
1. Imam Nawawi dalam kitab al-Majmu’ 9 mengatakan :
“Dido’akan minta hujan dengan perantaraan orang-orang pilihan dari kerabat Rasulullah SAW, karena Umar r.a. telah berdoa meminta hujan dengan perantaraan Abbas. Umar Berkata :

اللهم إنا كنا إذا قحطنا توسلنا إليك بنبينا فتسقينا ، وإنا نتوسل بعم نبينا فاسقنا
Artinya : Ya Allah, sesungguhnya apabila kami dalam keadaan musim kemarau, kami tawasul dengan Nabi kami, maka Engkau memberikan hujan untuk kami. Sekarang kami tawasul dengan paman Nabi kami, maka berikanlah hujan untuk kami.

Lafazh hadits ini dalam Shahih Bukhari berbunyi :
أَنَّ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ كَانَ إِذَا قَحَطُوا اسْتَسْقَى بِالْعَبَّاسِ بْنِ عَبْدِ الْمُطَّلِبِ فَقَالَ اللَّهُمَّ إِنَّا كُنَّا نَتَوَسَّلُ إِلَيْكَ بِنَبِيِّنَا فَتَسْقِينَا وَإِنَّا نَتَوَسَّلُ إِلَيْكَ بِعَمِّ نَبِيِّنَا فَاسْقِنَا
Artinya : Sesungguhnya Umar bin Khatab r.a. apabila musim kemarau tiba, beliau berdo’a minta hujan dengan perantaraan Abbas bin Abdul Muthallib. Umar berkata : “Ya Allah, sesungguhnya kami bertawasul kepada-Mu dengan Nabi-Mu, maka Engkau memberi hujan kepada kami. Sekarang kami tawasul dengan paman Nabi kami, maka berikanlah hujan untuk kami (H.R. Bukhari) 10

Selanjutnya Imam Nawawi dalam kitab yang sama pada halaman yang sama juga menyebutkan :
“Dido’akan minta hujan dengan perantaraan orang shaleh, karena ada riwayat bahwa Mua’wiyah berdo’a minta hujan dengan perantaraan Yazid bin al-Aswad, Mu’awiyah berkata :

اللهم إنا نستسقى بخيرنا وأفضلنا ، اللهم إنا نستسقى بيزيد بن الأسود
Artinya : Ya Allah, sesungguhnya kami berdo’a minta hujan dengan perantaraan orang yang baik dan utama dari kami. Ya Allah, sesungguhnya kami berdo’a minta hujan dengan perantaraan Yazid bin Aswad.

2. Tawasul Umar dengan Abbas dalam berdo’a minta hujan, oleh Ibnu Hajar al-Asqalany dijadikan sebagai dalil kebolehan tabarruk dengan orang pilihan dan orang shaleh. Ibnu Hajar al-Asqalany berkata :
“Dipahami dari kisah Abbas (sebagaimana tersebut dalam hadits riwayat Bukhari di atas) bahwa dianjurkan meminta syafa’at dengan perantaraan ahli kebajikan, orang shaleh dan keluarga Nabi.” 11

3. Tabarruk Nabi SAW dengan sesuatu yang disentuh oleh tangan orang muslimin. Thabrany meriwayatkan dari Ibnu Umar, beliau berkata :
قلت يا رسول الله الوضوء من جر جديد مخمر أحب إليك أم من المطاهر ؟ قال لا بل من المطاهر إن دين الله يسر الحنيفية السمحة قال وكان رسول الله صلى الله عليه و سلم يبعث إلى المطاهر فيؤتى بالماء فيشربه يرجو بركة أيدي المسلمين.
Artinya : Aku mengatakan, Ya Rasulullah, Apakah berwudhu’ dengan bejana baru yang tertutup ataukah tempat bersuci ? Rasulullah menjawab : “tidak”, tetapi dengan tempat bersuci saja, karena agama Allah itu mudah, lembut dan toleran. Ibnu Umar berkata : “Rasulullah bangkit menuju tempat bersuci mendatangi air dan beliau meminumnya mengharapkan berkah tangan-tangan kaum muslimin.(Hadits ini diriwayat oleh Thabrany dalam al-Ausath dengan perawinya terpercaya) 12

4. Tabarruk dengan peninggalan orang shaleh
Dalam Tanwirul Qulub disebutkan :
“Apa yang dilakukan oleh orang-orang awam, yaitu mencium peninggalan para wali dan tabut (semacam kotak) yang diletakkan di atas maqam mereka, demikian itu tidak apa-apa jika mereka bermaksud tabarruk dengan perbuatan tersebut. Seyogyanya mereka tidak ditentang, karena mereka berkeyakinan bahwa yang memberi berkah adalah Allah. Mereka melakukan itu hanyalah karena mencintai orang-orang yang dicintai oleh Allah SWT”. 13

Kesimpulan
Kegiatan tabarruk (meminta barakah) sebagaimana sering dilakukan oleh kaum muslimin adalah tidak bertentangan dengan akidah Islam, bahkan merupakan sunnah dan sering dilakukan oleh ummat muslimin yang bertauhid dan berakidah yang lurus, sebagaimana dalam kisah Yusuf dengan ayahnya, kisah Bani Israil dengan tabutnya, kisah Nabi Muhammmad SAW dengan berbagai macam amalan tabarruk yang diminta Sahabat kepada beliau, amalan tabarruk yang dilakukan para sahabat dan lain-lain.

DAFTAR pUSTAKA
1.Imam al-Razi, Mukhtar al-Shihah, Darul Fikri, Beirut, Hal. 60
2.Mahmud Yunus, Kamus Arab Indonesia, Hidakarya Agung, Jakarta, Hal. 63
3.Al-Ust. Shibah al-Bayati, Tabarruk bi al-Shalihin wa al-Akhyar wa al-Musyahid al-Muqaddisah, Maktabah al-‘Ammah, Hal. 12
4.Al-Baidhawy, Tafsir al-Baidhawy, Muassasah Sya’ban, Beirut, Juz. I, Hal. 253
5.Imam Muslim, Shahih Muslim, Maktabah Dahlan, Indonesia, Juz. I, Hal. 237, No. Hadits : 286
6.Bukhari, Shahih Bukhari, Dar Thauq an-Najh, Juz. I, Hal. 49, No. Hadits : 190
7.Bukhari, Shahih Bukhari, Dar Thauq an-Najh, Juz. I, Hal. 49, No. Hadits : 188
8.Imam Muslim, Shahih Muslim, Maktabah Dahlan, Indonesia, Juz. IV, Hal.1815-1816, No. Hadits : 2331
9.An-Nawawi, al-Majmu’ Syarah al-Muhazzab, Darul Fikri, Beirut, Juz. V, Hal. 68
10.Bukhari, Shahih Bukhari, Dar Thauq an-Najh, Juz. II, Hal. 27, No. Hadits : 1010
11.Ibnu Hajar al-Asqalany, Fathul Barry, Darul Fikri, Beirut, Juz. II, Hal. 497
12.Al-Haitsamy, Mujma’ al-Zawaid, Darul Fikri, Beirut, Juz. I, Hal. 502, No. Hadits : 1071
13,Tanwirul Qulub, Hal. 551

Berpuasa dalam keadaan berjunub

Berpuasa dalam keadaan berjunub

Orang yang dalam kondisi berjunub, baik karena hubungan suami istri atau karena mimpi, sehingga kesiangan bangun tidur hingga telah masuk waktu shalat subuh, tetap wajib melaksanakan puasa Ramadhan. Meskipun dia masih dalam keadaan junub. Keadaannya itu tidak menghalanginya dari berpuasa. Sebab ibadah puasa itu pada hakikatnya tidak mensyaratkan kesucian seseorang dari hadats besar dan hadats kecil. Berbeda dengan shalat, tawaf dan lainnya yang mensyaratkan pelakunya harus suci dari hadats besar dan kecil. Khatib Syarbaini mengatakan :
“Dan jika suci perempuan yang berhaidh atau yang bernifas pada malam hari dan berniat puasa, seterusnya berpuasa atau berpuasa orang yang berjunub dengan tidak mandi terlebih dahulu, maka sah puasanya".1

Dalil fatwa ini adalah sebagai berikut :
1. Firman Allah Ta’ala :
أُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ الصِّيَامِ الرَّفَثُ إِلَى نِسَائِكُمْ
Artinya : Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan puasa bercampur dengan isteri-isteri kamu (Q.S. al-Baqarah : 187)

Ayat ini menjelaskan halalnya bersetubuh pada malam Ramadhan, termasuk ujung malam hampir memasuki subuh. Sebagaimana dimaklumi, persetubuhan pada ujung malam hampir memasuki Subuh menempatkan seseorang dengan pasti berada pada waktu subuh dalam keadaan berjunub. Jadi, kalau bersetubuh pada waktu ujung malam hampir memasuki Subuh di bolehkan berdasarkan ayat di atas, maka keadaan seseorang berjunub pada waktu subuh juga dapat di benarkan. Dalam pembahasan dalalah lafazh, ini disebut dalalah isyarah sebagaimana penjelasan Zakariya Anshari dalam Ghayatul Wushul.2
2. Hadits Nabi SAW :
عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ أَشْهَدُ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنْ كَانَ لَيُصْبِحُ جُنُبًا مِنْ جِمَاعٍ غَيْرِ احْتِلَامٍ ثُمَّ يَصُومُهُ
Artinya : Aisyah r.a. berkata : “Aku bersaksi bahwa Rasulullah SAW jika beliau bangun subuh dalam keadaan berjunub karena bersetubuh, bukan karena mimpi, maka kemudian beliau meneruskan puasanya. (H.R. Bukhari)3
3. Hadits Nabi SAW :
قد كان رسول الله صلى الله عليه وسلم يدركه الفجر في رمضان وهو جنب من غيرحلم فيغتسل ويصوم
Artinya : Rasulullah SAW pernah mendapati fajar pada bulan Ramadhan, sedangkan beliau dalam keadaan berjunub bukan karena mimpi, lalu beliau mandi dan kemudian melaksanakan puasa”.(H. R. Muslim)4

Wanita yang berhaid dan bernifas diqiyaskan kepada orang yang berjunub. Adapun hadits Nabi SAW , yaitu :
من أصبح جنبا فلا صوم له
Artinya : Barangsiapa yang bangun subuh dalam keadaan berjunub, maka tidak ada puasa baginya.(H.R. Ahmad)5

menurut keterangan Khatib Syarbaini diposisikan pada orang pada waktu subuh masih dalam keadaan bersetubuh. Sebagian ulama mengatakan, hadits ini sudah mansukh.6

DAFTAR PUSTAKA
1.Khatib Syarbaini, Mughni al- Muhtaj, Darul Fikri, Beirut, Juz. I, Hal. 436
2.Zakariya Anshary, Ghayatul Wushul, Usaha Keluarga, Semarang, Hal. 37
3.Bukhari, Shahih Bukhari, Dar Thauq an-Najh, Juz. III, Hal. 31, No. Hadits : 1931
4.Imam Muslim, Shahih Muslim, Maktabah Dahlan, Indonesia, Juz. II, Hal. 780, No. Hadits : 1109
5.Ahmad bin Hanbal, Musnad Ahmad bin Hanbal, Muassasah Qurthubah, Kairo, Juz. VI, Hal. 184, No. Hadits : 25548
6.Khatib Syarbaini, Mughnil Muhtaj, Darul Fikri, Beirut, Juz. I, Hal. 436

Sabtu, 26 Maret 2011

Tafsir Qur’an Surat ar-Ra’d : 11 tentang nasib

Banyak para da’i dalam dakwah mereka kepada umat untuk mau bekerja keras meraih kesuksesan hidup dengan mengutip ayat 11 Surat ar-Ra’d, sebagai dasar dakwah mereka, yaitu :
إنَّ اللَّهَ لَا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّى يُغَيِّرُوا مَا بِأَنْفُسِهِمْ
Dengan mengartikan مَا pada perkataan مَا بِقَوْمٍ dan مَا pada perkataan مَا بِأَنْفُسِهِمْ dengan makna nasib, sehingga makna lengkap ayat di atas adalah :

"Sesungguhnya Allah tidak merobah nasib sesuatu kaum sehingga mereka merobah nasib mereka sendiri ".

مَا dalam ayat di atas secara bahasa adalah isim mausul yang berarti sesuatu, apa
saja. Secara mufradat tidak ada bermakna nasib. Apalagi kalau kita terjemahkan seperti di atas, sungguh bertentangan dengan kenyataannya. Ada terjadi dalam kehidupan kita sehari-hari, misalnya orang tidak berusaha untuk kaya tetapi tiba-tiba dia menjadi kaya, tanpa diduga-duga, dia mendapat warisan berlimpah dan sebaliknya, ada orang yang berusaha siang dan malam dengan kerja keras tetapi Allah tidak menghendakinya kaya. dan lagi pula itu bertentangan dengan rukun iman yang ke-enam, percaya kepada qadha dan qadar datang dari Allah.
Lalu apa makna مَا pada ayat di atas ?
Ayat al-Qur’an adakalanya menafsirkan ayat lainnya yang kurang jelas, demikian dijelaskan dalam Ulumul Qur’an. Oleh karena itu, mari kita perhatikan ayat yang lain yang mirip dengan ayat ini, yaitu dalam Surat al-Anfal : 53
ذَلِكَ بِأَنَّ اللَّهَ لَمْ يَكُ مُغَيِّرًا نِعْمَةً أَنْعَمَهَا عَلَى قَوْمٍ حَتَّى يُغَيِّرُوا مَا بِأَنْفُسِهِمْ وَأَنَّ اللَّهَ سَمِيعٌ عَلِيمٌ
Artinya : Yang demikian itu (siksaan Allah) adalah karena sesungguhnya Allah sekali-kali tidak akan merubah sesuatu nikmat yang telah dianugerahkan-Nya kepada suatu kaum, hingga kaum itu merubah apa-apa yang ada pada diri mereka sendiri (dengan berbuat maksiat) dan sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.(Q.S. al-Anfal : 53)

Apabila kita sesuaikan dengan maksud ayat 53 Surat al-Anfal di atas, maka jelaslah bagi kita bahwa makna مَا pada perkataan مَا بِقَوْم adalah bermakna nikmat, bukan nasib. Ini akan lebih jelas lagi apabila kita perhatikan ayat 11 Surat ar-Ra’d di atas secara lengkap, yaitu :
لَهُ مُعَقِّبَاتٌ مِنْ بَيْنِ يَدَيْهِ وَمِنْ خَلْفِهِ يَحْفَظُونَهُ مِنْ أَمْرِ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ لَا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتَّى يُغَيِّرُوا مَا بِأَنْفُسِهِمْ وَإِذَا أَرَادَ اللَّهُ بِقَوْمٍ سُوءًا فَلَا مَرَدَّ لَهُ وَمَا لَهُمْ مِنْ دُونِهِ مِنْ وَالٍ
Artinya : Bagi manusia ada malaikat-malaikat yang selalu mengikutinya bergiliran, di muka dan di belakangnya, mereka menjaganya atas perintah Allah. Sesungguhnya Allah tidak merobah nikmat sesuatu kaum sehingga mereka merobah apa-apa yang ada pada diri mereka sendiri. dan apabila Allah menghendaki keburukan terhadap sesuatu kaum, maka tak ada yang dapat menolaknya; dan sekali-kali tak ada pelindung bagi mereka selain Dia.

Dengan demikian, maksud ayat ayat 11 Surat ar-Ra’d dan ayat 53 Surat al-Anfal adalah pada adatnya, Allah tidak mencabut nikmat yang telah dilimpahkan-Nya kepada sesuatu kaum, selama kaum itu tidak merubah ketaatan dan bersyukur kepada Allah kepada perbuatan maksiat. Penafsiran seperti ini telah disebut oleh pengarang Tafsir Jalalain,1 Tafsir Shawy,2 Tafsir Baidhawy 3 dan lain-lain dari kalangan ahli tafsir yang muktabar.

DAFTAR PUSTAKA
1.Al-Jalalain, Tafsir al-Jalalain, dicetak dalam Tasir al-Shawy, Dar Ihya al-Kutub al-Arabiyah, Indonesia, Juz. II, Hal. 267
2.Ahmad al-Shawy, Tasir al-Shawy, Dar Ihya al-Kutub al-Arabiyah, Indonesia, Juz. II, Hal. 267
3. Al-Baidhawy, Tafsir al-Baidhawy, Muassasah Sya’ban, Beirut, Juz. III, Hal. 148

Air Musta'mal

Yang di maksud dengan air musta’mal adalah air yang sudah pernah dipakai membasuh anggota tubuh yang wajib dibasuh untuk menghilangkan hadats atau najis. Al-Bakri ad-Damyathi menyebut empat kriteria air musta’mal : yaitu :
1. sedikit air (tidak sampai dua qulah)
2. air yang sudah digunakan pada anggota tubuh yang wajib dibasuh
3. air sudah terpisah dari anggota tubuh
4. tidak ada niat menciduk air pada tempat niat menciduk, yaitu dalam hal mandi adalah setelah niat mandi dan bersentuhan air dengan anggota tubuh dan dalam hal wudhu’ adalah setelah membasuh muka dan merencanakan basuh dua tangan 1
Hukum memakai air musta’mal
1. Berkata Imam an-Nawawi :
“Air Musta’mal dari fardhu bersuci dari hadats tidak menyucikan menurut qaul jadid. Ada yang mengatakan termasuk juga air sunat bersuci”.

Jalaluddin al-Mahalli dalam melakukan pendalilian terhadap pendapat an-Nawawi di atas berkata :
“ Karena para Sahabat r.a. tidak pernah mengumpulkan air musta’mal untuk bersuci dengannya, dalam perjalanan musafir dimana mereka dalam keadaan sedikit air, bahkan mereka berpaling kepada tayamum”. 2

2. Berkata Taqiyuddin ad-Damsyiqi :
“Air musta’mal tidak menyucikan, karena sahabat r.a., tidak mengumpulkan air musta’mal untuk berwudhu’ pada kali kedua, padahal mereka adalah orang-orang yang sangat peduli dengan urusan agama. Kalau yang demikian itu dibolehkan, maka sungguh mereka akan melakukannya. Terjadi khilaf di kalangan ashab Syafi’i tentang ‘illah terlarang memakai air musta’mal pada kali kedua, yang sahih adalah karena telah digunakan untuk fardhu”. 3

Dalil lain air musta’mal tidak menyucikan antara lain Hadits Nabi SAW :
أَنَّ النبي صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى أَنْ يَتَوَضَّأَ الرَّجُلُ بِفَضْلِ طَهُوري المرأة أو قال بسؤرها؛ قال ابو عيسى هذا حديث حسن
Artinya : Rasulullah SAW melarang laki-laki berwudhu dengan bekas air yang dipakai bersuci perempuan dan Abu Isa (Tirmidzi) mengatakan Hadits ini hasan (H.R. at-Turmidzi) 4

Golongan yang mengatakan bahwa air musta’mal tetap dapat menyucikan, mengemukakan dalil, antara lain :
1. Firman Allah :
وَأَنْزَلْنَا مِنَ السَّمَاءِ مَاءً طَهُورًا
Artinya : kami turunkan dari langit air yang amat bersih (Q.S. al-Furqan : 48)

Air suci dan menyucikan pada ayat ini di sebut dengan lafazh طهور, berarti berulang-ulang menyucikan, karena lafazh timbangan فعول bermakna berulang-ulang. Imam Nawawi dalam mengomentari pendalilian ini berkata :
“Tidak dapat kita terima timbangan فعول bermakna berulang-ulang secara mutlaq, tetapi yang benar adalah sebagian benar seperti itu dan sebagian yang lain tidak demikian. Ini masyhur di kalangan ahli Bahasa Arab”. 5

2. Hadits Nabi SAW :
ومسح رأسه بما بقي من وضوء في يديه .......اسناده ضعيف
Artinya : Dan beliau mengusap kepalanya dengan air bekas tangannya…, sanadnya dh’aif (H.R. Ahmad) 6
Hadits ini dha’if, jadi tidak dapat menjadi hujjah.
3. Hadits Nabi SAW dari ‘Abdullah bin ‘Abbas r.a., beliau berkata :
اغتسل بعض أزواج النبي صلى الله عليه وسلم في جفنة فجاء النبي صلى الله عليه وسلم ليغتسل أو يتوضأ فقالت يا رسول الله إني كنت جنبا فقال الماء لا يجنب
Artinya : Salah seorang istri Nabi SAW mandi dalam sebuah bejana. Kemudian Nabi SAW datang hendak mandi atau wudhu’ (dalam bejana yang sama). Maka ia (istri Nabi) berkata : “Wahai Rasulullah, sesungguhnya aku tadi junub”. Maka beliau bersabda : “Sesungguhnya air itu tidak bisa membuat junub” (H.R. Ibnu Majah) 7

Memang benar air dalam kisah tersebut pada hadits di atas tetap dapat dipakai untuk mandi, karena air tersebut kemungkinan besar sampai dua qulah. Air apabila sampai dua qulah meskipun sudah dipakai untuk mandi janabah tetap suci menyucikan. Penafsiran seperti ini supaya hadits ini tidak bertentangan (mentaufiqkan) dengan dalil-dalil yang menunjukkan bahwa air musta’mal tidak menyucikan. Al-Abady Abu al-Thaib mengatakan :
“Dijadikan hujjah dengan hadits ini atas menyucikan air musta’mal. Hal tersebut dijawab bahwa Nabi SAW dan isteri beliau hanya menciduk air dari bejana tersebut dan tidak masuk membenam dirinya dalamnya, karena jauh kemungkinan mandi dalam bejana pada kebiasaan. Dan ”fi” bermakna ”min”. 8

DAFTAR PUSTAKA
1.Al-Bakry ad-Damyathi, I’anah at-Thalibin, Thaha Putra, Semarang, Juz. I, Hal. 28
2.Jalaluddin al-Mahalli, al-Mahalli (Syarah Minhaj), dicetak pada hamisy Hasyiah Qalyubi wa Umairah, Dar Ihya al-Kutub al-Arabiyah, Indonesia, Juz. I, Hal.20
3.Taqiyuddin ad-Damsyiqi, Kifayatul Akhyar, Darul Khair, Damsyiq, Juz. I, Hal. 14
4.At-Turmidzi, Sunan at-Turmidzi, Thaha Putra, Semarang, Juz. I, Hal. 44, No. Hadits : 47
5.Imam an-Nawawi, Majmu’ Syarah al-Muhazzab, Darul Fikri, Beirut, Juz. I, Hal. 212
6.Ahmad bin Hanbal, Musnad Ahmad bin Hanbal, Muassasah Qurthubah, Kairo, Juz. VI, Hal. 358, No. Hadits : 27061
7.Ibnu Majah, Sunan Ibnu Majah, Maktabah Abu-al-Ma’athy, Juz. I, Hal. 241, No. Hadits : 370
8.Al-Abady Abu al-Thaib, ‘Aun al-Ma’bud, Maktabah Syamilah, Juz. I, Hal. 84

Kamis, 24 Maret 2011

Qurban pada ‘Aidul Adha dalam Bentuk Uang

Menyalurkan qurban dalam bentuk uang tidak sah sebagai kurban karena kurban adalah suatu bentuk ibadah yang dikhususkan dengan penyembelihan binatang ternak . Berikut pernyataan ulama yang menyatakan qurban itu khusus pada binatang ternak.
1. Imam an-Nawawi :
“tidak sah qurban kecuali unta, kerbau/lembu dan kambing/biri-biri”.1
2. Zakaria al-Anshary :
“Syarat qurban adalah binatang ternak, yaitu unta, kerbau/lembu dan kambing/biri-biri, baik betina, khuntsa atau jantan, meskipun yang sudah dikebiri berdasarkan firman Allah Ta’ala :

وَلِكُلِّ أُمَّةٍ جَعَلْنَا مَنْسَكًا لِيَذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ عَلَى مَا رَزَقَهُمْ مِنْ بَهِيمَةِ اْلأَنْعَامِ
Artinya : Dan bagi tiap-tiap umat telah Kami syariatkan penyembelihan (kurban), supaya mereka menyebut nama Allah atas binatang ternak yang telah dirizkikan oleh Allah kepada mereka. (Al-Hajj : 34)2

Ibnu Katsir dalam menafsirkan ayat di atas, berkata :
“Allah Ta’ala mengabarkan, senantiasa penyembelihan qurban dan ihraqah dam (mengalirkan darah) atas nama Allah menjadi syari’at pada semua agama Allah”.3

Bertolak dari ayat di atas dengan penafsiran Ibnu Katsir tersebut, dapat dipahami bahwa kurban adalah ibadah yang aspeknya adalah iraqah ad-dam (penyembelihan) yang berarti tidak boleh digantikan dengan benda lain termasuk dalam bentuk uang. Kesimpulan ini lebih tegas lagi apabila kita memperhatikan hadits di bawah ini :
ما عمل ادمي من عمل يوم النهر أحب الى الله من إهراق الدم إنه ليأتي يوم القيامهة بقرونها وأشعارها و أظلافها

Artinya : Tidak ada sebuah amalan pada hari raya dari pada amalan anak Adam yang terlebih cinta kepada Allah melebihi menumpah darah (saat sembelihan), karena sesungguhnya sembelihan itu akan datang pada hari kiamat dengan tanduk, bulu dan kukunya. (H.R. at-Turmidzi)4
Ulama Hanafiyyah yang membolehkan membayar dalam bentuk uang untuk zakat apa pun, ternyata secara tegas tidak membolehkannya untuk qurban. Dalam hal ini, Muhammad bin Abi Sahl As-Sarkhasy salah seorang ulama besar Hanafiyah dalam Al-Mabsuth, menyatakan, bahwa zakat bagi para mustahiq berdimensi kemaslahatan untuk memenuhi kebutuhan mereka sehingga bolehlah diberikan berupa harganya. Sedangkan kurban adalah suatu ibadah dalam bentuk ihraqah dam (mengalirkan darah/penyembelihan). Sehingga seandainya setelah dilakukan penyembelihan dan sebelum dibagikan, ternyata hewan qurban itu hilang atau dicuri orang misalnya, tetaplah ibadah kurban itu sah. Hal ini karena ihraqah dam adalah tidak dapat diukur dengan dihargakan dan bukan sesuatu yang ma’qul makna.5
Fatwa ulama-ulama kita di atas, sesuai pula dengan i’tiqad kaum muslim bahwa syari’at penyembelihan qurban adalah karena mengikuti sunnah Nabi Ibrahim yang menyembelih kurban sebagai ganti penyembelihan Nabi Ismail yang diperintah Allah kepadanya, sesuai dengan hadits riwayat Ahmad bin Hanbal, yaitu :
قالو يا رسول الله ، ما هذه الأضاحي ؟ قال : "سنة أبيكم إبراهيم".
Artinya : Para sahabat bertanya : “ya Rasulullah, apa qurban ini ?”, jawab Rasulullah : “dia adalah sunnah bapakku, Ibrahim.”(H.R. Ahmad)6

Kalau kita mengikuti perkataan orang yang membolehkan qurban dalam bentuk uang, tentunya pada ujungnya kaum muslimin ini dikuatirkan akan lupa sejarah kenapa disyari’atkan qurban itu sendiri. Untuk menutup kemungkinan itu maka sudah sepatutnya tidak dibenarkan qurban dalam bentuk uang. Ini sesuai dengan salah satu sumber hukum dalam Islam, yaitu saad al-zara-i’.7

DAFTAR PUSTAKA
1.An-Nawawi, Minhaj at-Thalibin, dicetak pada Hamisy Hasyiah Qalyubi wa Umairah, Dar Ihya al-Kutub al-Arabiyah, Indonesia, Juz. IV, Hal. 250
2.Zakaria al-Anshary, Fath al-Wahab, dicetak pada hamisy Hasyiah Bujairumy, Darul Fikri, Beirut, Juz. Iv, Hal. 295
3.Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu Katsir, Darul Thaibah, Juz. V, Hal. 424
4.At-Turmidzi, Shahih at-Turmidzi, Maktabah Dahlan, Indonesia, Juz. III, Hal. 26, No. Hadits 1526
5.Muhammad As-Sarkhasy Al-Mabsuth; Darul Ma’rifah, Beirut, Juz II, Hal. 157
6.Ibnu Katsir, Tafsir Ibnu Katsir, Darul Thaibah, Juz. V, Hal. 424
7.Lihat Prof. Dr Tgk Muhibuddin Waly, Penggalian Hukum dari Masa ke-Masa, Hal. 48-49

Makan bersama pada rumah kematian

Sudah menjadi tradisi di Indonesia dan di Aceh khususnya bahwa setelah satu hari atau tiga hari kematian, ahli bait membuat kenduri makan bersama sekedar sebagai sedekah diiringi dengan pembacaan tahlilan dan pembacaan doa untuk orang yang sudah meninggal. Kenduri dan baca tahlilan ini biasanya sampai tujuh hari atau sepuluh hari. Kemudian ada kenduri dan baca tahlilan pada hari empat belas, empat puluh dan seratus. Pertanyaannya, apakah hukum makan bersama tersebut ?
Berikut pandangan ulama mengenai hukumnya
1. Berkata Abu Bakar ad-Damyathi :
“ makruh bagi ahli mayat duduk untuk ta’ziah dan membuat makanan supaya berkumpul manusia dengan sebabnya, karena ada riwayat dari Ahmad dari jarir bin Abdullah al-Bajlii, beliau berkata : “kami menganggap bahwa berkumpul kepada ahli mayat dan menghidangkan makanan setelah menguburkannya termasuki meratap” 1

2. Berkata Ibnu Hajar dalam Tuhfatul Muhtaj li Syarah al-Minhaj :
“ Kebiasaan ahli mayat menyediakan makanan untuk mengundang manusia berkumpul kepadanya adalah termasuk bid’ah makruhah sama halnya juga memenuhi undangan itu karena hadits shahih dari Jarir r.a. :

كنا نعد الإجتماع إلى أهل الميت وصنعهم الطعام بعد دفنه من النياحة
Artinya : Kami menganggap bahwa berkumpul kepada ahli mayat dan menghidangkan makanan setelah menguburkannya termasuki meratap.(H.R. Ibnu Majah 2 dan Ahmad 3)

Jalan anggapan sebagai ratapan adalah unsur didalamnya sangat menonjol dengan urusan duka cita. Oleh karena itu, makruh berkumpul ahli mayat dengan qashad untuk dita’ziah tetapi seyoqyanya ahli mayat menggunakan waktunya untuk keperluannya, oleh karena itu, siapa yang dapat menjumpainya, maka dia menta’ziahkannya”. 4

3. “ Ditanyai Ibnu Hajar dari ta’ziah yang dilakukan di negeri Yaman yang kadang-kadang dilakukannya oleh yang bukan ahli warisnya, kemudian dia menuntut rujuk kepada ahli warisnya dan kadang-kadang dilakukan oleh ahli waris kemudian dia merujuk kepada ahli waris lainnya. Apa hukumnya ?. Beliau menjawab dengan katanya : “menyediakan makanan untuk orang ta’ziah jika mengarah kepada maksiat seperti meratap adalah haram secara mutlak dan jika tidak ada yang demikian itu, maka jika dilakukan oleh yang bukan ahli waris tanpa izin ahli waris maka boleh dilakukannya dan tidak dapat merujuk kepada ahli waris karena yang dia itu melakukannya secara sukarela (tabaru’), demikian pula apabila dilakukan oleh sebagian ahli waris tanpa izin yang lain, maka tidak dapat merujuk sesuatupun kepada lainnya”5

Dengan memperhatikan keterangan Ibnu Hajar al-Haitamy dalam dalam al-Fatawa al-Kubra al-Fiqhiyah di atas, maka memasukkan amalan menyuguhkan makanan untuk orang yang melakukan ta’ziah pada rumah kematian dalam amalan bid’ah makruhah sebagaimana telah disebut oleh Abu Bakar ad-Dimyathy dan Ibnu Hajar al-Haitamy dalam Tuhfah al-Muhtaj adalah apabila terdapat unsur-unsur ratapan dalam amalan itu dan menyebabkan kembali duka cita yang berlebihan. Karena itu, Apabila tidak terdapat unsur ratapan dan duka cita yang berlebihan, maka ini termasuk perbuatan yang diredhai Allah. Hal ini karena termasuk perbuatan pemberian sadaqah yang merupakan sunnah dalam agama. Dilihat dari sisi sedekah, bahwa dalam bentuk apapun sedekah merupakan sesuatu yang sangat dianjurkan. Memberikan makanan kepada orang lain dalah perbuatan yang sangat terpuji. Sabda Nabi Muhammad SAW:
اعبدوا الرحمن وأطعيموا الطعام وافشوا السلام تدخلوا الجنة بسلام
Artinya : Beribadahlah kepada Tuhan yang bersifat Ar-Rahman, sadaqahkanlah makanan dan berikanlah salam, maka kamu ahan masuk syurga dengan selamat. (H.R. Turmidzi dan Ibnu Majah) 6

Kaitannya dengan sedekah untuk mayit, pada masa Rasulullah SAW, jangankan makanan, kebun pun (harta yang sangat berharga) disedekahkan dan pahalanya diberikan kepada si mayit. Dalam sebuah hadits shahih disebutkan:
عَنْ بْنِ عَبَّاسٍ أنَّ رَجُلا قَالَ يَا رَسُوْلَ اللهِ إنَّ أمِّي تُوُفِّيَتْ أَفَيَنْفَعُهَا إنْ تَصَدَّقْتُ عَنْهَا قَالَ نَعَمْ قَالَ فَإنَّ لِيْ مَخْزَفًا فَُأشْهِدُكَ أَنِّي قَدْ تَصَدَّقْتُ بَهَ عَنْهَا.
Artinya : Dari Ibnu Abbas, sesungguhnya ada seorang laki-laki bertanya, "Wahai Rasulullah SAW, Sesungguhnya ibuku telah meninggal dunia, apakah ada mamfaatnya jika akan bersedekah untuknya?" Rasulullah menjawab, "Ya”. Laki-laki itu berkata, “Aku memiliki sebidang kebun, maka aku mempersaksikan kepadamu bahwa aku akan menyedekahkan kebun tersebut atas nama ibuku.” (H.R. Turmidzi) 7
Selanjutnya pada halaman ini juga, At-Turmidzi berkata :
“Abu Isa berkata : “Hadits ini adalah hadits hasan dan seperti ini dikatakan oleh ahli ilmu”.

Imam Nawawi dalam al-Fatawa menyebutkan :
“Pahala do’a dan shadaqah sampai kepada mayat dengan ijmak ulama.” 8

Jika kemudian perbuatan tersebut dikaitkan dengan usaha untuk memberikan penghormatan kepada para tamu, maka itu merupakan perbuatan yang dianjurkan dalam Islam. Sabda Rasulullah SAW:
عن أبي هريرة قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم مَنْ كَانَ يُؤمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ فَلَا يُؤْذِ جَارَهُ مَنْ كَانَ يُؤمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ فَالْيُكْرِمْ جَارَهُ وَ مَنْ كَانَ يُؤمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْرًا أوْ لِيَسكت .
Artinya : Dari Abi Hurairah, ia berkata, Rasulullah bersabda, "Barangsiapa yang beriman kepada Allah SWT dan hari akhir, maka janganlah menyakiti tetangganya. Barangsiapa yang beriman kepada Allah SWT dan hari akhir, maka hormatilah tamunya. Barangsiapa yang beriman kepada Allah SWT dan hari akhir, hendaklah ia berkata dengan kebaikan atau (jika tidak bisa), diam.(H.R. Muslim) 9

Hadits di bawah ini menjelaskan kepada kita secara gamblang bahwa Rasulullah pernah disediakan makanan oleh isteri orang yang baru saja meninggal. Rasulullah dan para sahabat menerima dan memakannya. Namun kemudian tiba-tiba Rasulullah mengeluarkan dari mulut beliau, karena beliau tahu bahwa makanan tersebut berasal dari akad jual beli yang haram. Hadits tersebut adalah :
وعن عاصم بن كليب عن أبيه عن رجل من الأنصار قال خرجنا مع رسول الله صلى الله عليه وسلم في جنازة فرأيت رسول الله صلى الله عليه وسلم وهو على القبر يوصي الحافرأوسع من قبل رجليه أوسع من قبل رأسه. فلما رجع استقبله داعي امرأته فأجاب ونحن معه فجيء بالطعام فوضع يده ثم وضع القوم فأكلوا فنظرنا الى رسول الله صلى الله عليه وسلم يلوك لقمة في فيه ثم قال أجد لحم شاة أخذت بغير إذن أهلها. فأرسلت المرأة تقول يا رسول الله إني أرسلت إلى النقيع وهو موضع يباع فيه الغنم ليشتري لي شاة فلم توجد فأرسلت إلى جارٍ لي قد اشترى شاة أن يرسل إليّ بثمنها فلم يوجد فأرسلت إلى امرأته فأرسلت إلي بها. فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم أطعمي هذا الطعام الأسرى.
Artinya : Dari “Ashim bin Kulaib bin dari ayahnya dari salah seorang Ansar, beliau berkata : Kami pergi dengan Rasul Allah SAW pada suatu pemakaman dan aku melihat Rasulullah SAW di makam itu sedang memberi instruksi kepada penggali kuburan : “Buatlah lebar di sisi kakinya dan juga di sisi kepalanya”. Ketika beliau kembali, beliau dihadap oleh orang yang menyampaikan sebuah undangan dari seorang wanita. Rasulullahpun memenuhi undangan itu dan kami menyertainya. Kami disuguhi makanan, maka Rasulullah SAW meletakkan tangannya (yaitu mengambil sepotong di tangannya) dan orang-orangpun mengikuti beliau memakannya. Kami melihat bahwa Rasulullah SAW mengeluarkan suapan yang ada dalam mulutnya. Rasulullah kemudian berkata: “Saya menemukan daging domba yang telah diambil tanpa izin pemiliknya. Wanita itu mengirim pesan dengan mengatakan: Ya Rasulullah, aku mengirim (seseorang) ke-Naqi' yaitu tempat jual beli ternak, untuk beli kambing untukku, tapi tak ada, jadi saya mengirim (pesan) untuk tetangga saya yang telah membeli domba , memintanya untuk mengirimkannya untuk saya dengan harganya (yang telah dia bayar), tetapi juga tidak dapat ditemukannya. Oleh karena itu, aku kirim (pesan) kepada istrinya dan ia mengirimkannya untukku. Lalu Rasulullah SAW berkata: “Berikan makanan ini untuk para tahanan”. (H.R. Baihaqi dan Abu Daud, dan Abu Daud berkata : “Hadits tersebut adalah shahih”) 10

Dalam Sunan Abu Daud, imratihi disebut dengan kata : “imraatin” dengan nakirah. Abady Abu Thaib, dalam mengomentari masalah ini, beliau mengatakan dalam Syarah Sunan Abu Daud, ‘Aun al-Ma’bud :
“Hanya demikianlah naskah yang ada. Dalam Kitab al-Misykah dengan kata : “da’i imratihi” dengan idhafah kepada dhamir. Al-Qary berkata : “Maksudnya : isteri orang yang telah meninggal.” 11

Penjelasan seperti ini juga telah dijelaskan oleh Syaikh Ismail Usman Zain al-Yamany al-Makky dalam Kitab beliau, Raf’u al-Isykal wa Ibthal al-Mughalaat. 12
Berdasarkan hadits ini semakin jelas bagi kita bahwa makan bersama dirumah kematian, tidak benar dikatakan sebagai amalan bid’ah, bahkan hal itu merupakan sunnah yang pernah dilakukan sendiri oleh Nabi SAW.
Adapun sunnah pelaksanaan kenduri makan bersama tersebut tidak dikaidkan dengan hari tertentu setelah kematian, seperti hari ketujuh, dua puluh, empat puluh, seratus dan sebagainya, tetapi hanyalah merupakan kebiasaan yang menjadi adat suatu negeri. Hal ini pernah dikemukan oleh Nawawi al-Jawi mengikuti fatwa Sayyed Ahmad Zaini Dahlan, beliau mengatakan :
“Bersadaqah untuk mayat dengan jalan syara’ merupakan perbuatan yang dituntut dan ia tidak dikaidkan dengan tujuh hari, lebih banyak atau kurang dari tujuh hari. Sedangkan dikaidkan dengan sebagian hari hanya merupakan kebiasaan saja.” 13

Kesimpulan
1. Menyediakan kenduri berupa makanan dirumah duka kepada orang ta’ziah dengan niat sadaqah dibolehkan, bahkan sunat hukumnya dengan syarat tidak mengarah kepada perbuatan maksiat seperti perbuatan meratap
2. Maksud perkataan sahabat Nabi bahwa tradisi menyediakan makanan untuk orang ta’ziah termasuk meratap adalah apabila perbuatan tersebut mengarah kepada perbuatan meratap
3. Dikaidkan dengan hari ketujuh, empat puluh, seratus setelah kematian hanyalah merupakan kebiasaan yang menjadi adat suatu negeri.

DAFTAR PUSTAKA
1.Abu Bakar ad-Damyathi, I’anah at-Thalibin, Thaha Putra, Semarang, Juz. II, Hal. 145
2.Ibnu Majah, Sunan Ibnu Majah, Maktabah Abi al-Ma’athy, Juz. II, Hal. 538, No. Hadits : 1612
3.Ahmad bin Hanbal, Musnad Ahmad bin Hanbal, Muassasah Qurthubah, Juz. II, Hal. 204, No. Hadits : 6905
4.Abu Bakar ad-Damyathi, I’anah at-Thalibin, Thaha Putra, Semarang, Juz. II, Hal. 146
5.Ibnu Hajar Haitami, al-Fatawa al-Kubra al-Fiqhiah, Darul Fikri, Beirut, Juz. II, Hal. 32
6.Al-Khathib al-Tabrizy, Misykah al-Mashabih, al-Maktabah al-Islamy, Beirut, Juz. I, Hal. 596
7.At-Turmidzi, Sunan At-Turmidzi, Thaha Putra, Semarang, Juz. II, Hal. 90
8.An-Nawawi, al-Fatawa, Hal. 47
9.Imam Muslim, Shahih Muslim, Maktabah Dahlan, Indonesia, Juz. I, Hal. 68
10.Al-Khathib al-Tabrizy, Misykah al-Mashabih, Maktabah al-Islamy, Beirut, Juz. III, Hal. 1671, No. Hadits : 5942. Dapat juga dilihat dalam Sunan Abu Daud, Darul Fikri, Beirut, Juz. II, Hal. 263, No. Hadits : 3332 dan dalam Dalail al-Nubuwah, karangan al-Baihaqy, Dar al-Kutub al-Ilmiyah, Beirut, Juz. VI, Hal. 310
11.Abady Abu Thaib, ‘Aun al-Ma’bud, Dar al-Kutub al-Ilmiyah, Beirut, Juz. IX, Hal. 130
12.Syaikh Ismail Usman Zain al-Yamany al-Makky, Raf’u al-Isykal wa Ibthal al-Mughalaat, Hal. 6
13.Nawawi al-Jawi, Nihayah al-Zain, Dar al-Kutub al-Ilmiyah, Beirut, Hal. 320

Rabu, 23 Maret 2011

Jin ada yang masuk Islam

Ada tokoh Islam yang menyatakan bahwa masuk Islamnya seorang jin oleh seorang manusia bertentangan dengan firman Allah Ta'ala tentang Nabi Sulaiman a.s :
وَهَبْ لِي مُلْكًا لاَ يَنْبَغِي لأَََحَدٍ مِنْ بَعْدِي
Artinya : Dan anugerahkanlah kepadaku kerajaan yang tidak dimiliki seorang pun sesudahku. (Q. S. Shad: 35)

Tidak diragukan lagi, pernyataan di atas merupakan kesalahan dan pemahaman yang keliru. Masuk Islamnya seorang jin oleh manusia tidaklah menyelisihi doa Nabi Sulaiman di atas. Karena sungguh telah banyak jin yang masuk Islam dalam jumlah besar melalui Nabi Muhammad SAW. Hal ini telah dijelaskan oleh Allah Ta'ala antara lain dalam Surat al-Jin : 1-2
قُلْ أُوحِيَ إِلَيَّ أَنَّهُ اسْتَمَعَ نَفَرٌ مِنَ الْجِنِّ فَقَالُوا إِنَّا سَمِعْنَا قُرْآَنًا عَجَبًا (1) يَهْدِي إِلَى الرُّشْدِ فَآَمَنَّا بِهِ وَلَنْ نُشْرِكَ بِرَبِّنَا أَحَدًا (2)
Artinya : Katakanlah (hai Muhammad): "telah diwahyukan kepadamu bahwasanya: telah mendengarkan sekumpulan jin (akan al-Quran), lalu mereka berkata: Sesungguhnya kami telah mendengarkan al-Quran yang menakjubkan. (yang) memberi petunjuk kapada jalan yang benar, lalu kami beriman kepadanya. dan kami sekali-kali tidak akan mempersekutukan seseorangpun dengan tuhan kami (Q.S. al-Jin : 1-2)

dan Surat Al-Ahqaf : 29

وَإِذْ صَرَفْنَا إِلَيْكَ نَفَرًا مِنَ الْجِنِّ يَسْتَمِعُونَ الْقُرْآَنَ فَلَمَّا حَضَرُوهُ قَالُوا أَنْصِتُوا فَلَمَّا قُضِيَ وَلَّوْا إِلَى قَوْمِهِمْ مُنْذِرِينَ
Artinya : Dan (ingatlah) ketika Kami hadapkan serombongan jin kepadamu yang mendengarkan al-Quran, maka tatkala mereka menghadiri pembacaan (nya) lalu mereka berkata: "Diamlah kamu (untuk mendengarkannya)". ketika pembacaan telah selesai mereka kembali kepada kaumnya (untuk) memberi peringatan.(Q.S. al-Ahqaf : 29)

Dan firman Allah Q.S. al-Jin : 11 menghikayahkan perkataan jin bahwa diantara mereka ada yang kafir dan ada juga yang muslim, yaitu :
وَأَنَّا مِنَّا الصَّالِحُونَ وَمِنَّا دُونَ ذَلِكَ كُنَّا طَرَائِقَ قِدَدًا
Artinya : Dan Sesungguhnya di antara kami ada orang-orang yang saleh dan di antara kami ada (pula) yang tidak demikian halnya. adalah kami menempuh jalan yang berbeda-beda.(Q.S. al-Jin : 11)
Ibnu Hamid mentakhrij dari Mujahid tentang tafsir “tharaiq qidada” pada ayat di atas, beliau berkata : “muslim dan kafir” 1

DAFTAR PUSTAKA
1. As-Suyuthi, Laqth al-Marjan fi Ahkam al-Jan, Maktabah al-Qur’an, Kairo, Hal. 62