A.
Asal Usul Salek Buta di Aceh
Pada zaman kejayaan Kerajaan Aceh, banyak ulama-ulama yang
berasal dari luar berdatangan ke Aceh dengan missi dakwah dan menyebarkan
paham-paham keagamaan. Pada masa Sulthan Alaiddin Mansur Syah datanglah dua orang ulama dari Makkah, yaitu Syaikh Abu
al-Khair, pengarang kitab Saif al-Qathi’ yang membahas masalah a’yan
tsabitah. Beliau ini mengajarkan orang Aceh ilmu fiqh. Seorang lagi bernama
Syaikh Muhammad Yamin, seorang yang alim ilmu Ushul. Kedua-duanya ini sering
terjadi perdebatan pembahasan mengenai a’yan
tsabitah, namun perdebatan keduanya tersebut tidak terselesaikan sehingga
kedua ulama tersebut kembali ke negeri asalnya. Setelah beberapa lama kemudian
datanglah Syaikh Nuruddin al-Raniry dari Gujarat, India menyelesaikan
perdebatan kedua ulama di atas dengan menempatkan pembahasan a’yan tsabitah
tersebut pada pemahaman yang benar. Selain ketiga ulama di atas, kerajaan Aceh
banyak juga dikunjungi oleh ulama-ulama baik itu dari Arab maupun dari bukan
Arab, sehingga kemajuan ilmu agama di Aceh berkembang pesat. Namun penomena ini
tidaklah berlangsung lama. Seiring dengan perjalanan waktu, para ulama-ulama
tersebut banyak yang dipanggil Allah, seiring dengan itu pula ilmu-ilmu
Allahpun mulai berkurang di negeri Aceh, maka kebodohan dan kesesatanpun datang
secara beriringan. Sebagian dari keturunan atau murid mereka ada yang
mempusakai ilmu dari ulama-ulama tersebut melalui kitab yang ditinggalkannya,
lalu mencoba memberikan penjelasan kepada orang-orang yang datang kepadanya
meskipun dia tidak mengerti apa yang dibacanya, tetapi penjelasan tersebut
terus diberikan karena mengikuti hawa nafsunya, apalagi hal tersebut
kadang-kadang mendatangkan keuntungan pribadi bagi dirinya, baik dalam bentuk
kemuliaan ataupun dalam bentuk harta. Pemahaman yang pertama pada awalnya
merupakan suatu kebenaran, maka akibat hawa nafsu akan kemulian dan harta,
kemudian kebenaran itu sedikit demi sedikit berubah menjadi kesesatan, sehingga
muncullah apa yang disebut hari ini sebagai salek buta. Sebagian dari mereka
membawa muridnya kepada tempat yang sunyi lalu dibisikkannya segala i’tiqad
yang sesat dan diwasiatkan supaya tidak menceritakan kepada siapapun, bahkan
kepada ulama fiqh, karena ulama dhahir
itu adalah ulama syari’at. Setelah itu, diberikan kepada muridnya itu rabithah
yaitu isi cubek (alat penumbuk sirih di Aceh, pen.) yang telah dicampur dengan benda yang
memabukan atau air buah serban nabi
(delima) yang telah peras dengan benda yang memabukkan pula. Disaat mabuknya
itu, lalu sang guru memberikan wejangan-wejangan yang menyesatkan seperti
sebenar-benar tuhan adalah diri kita sendiri, nauzubillah min dzalik dan
lainnya. Maka dari ini, bermunculanlah ilmu sesat ini di mana-mana di negeri
Aceh ini. Demikian rangkuman dari penjelasan yang dikemukakan oleh Teungku Haji
Abdullah Ujong Rimba, seorang ulama Aceh yang hidup pada awal-awal kemerdekaan
Negara Republik Indonesia dalam kitab beliau yang ditulis dalam huruf Arab Jawi
dengan judul Pedoman Penulak Salek Buta.[1]
B.
Pengertian Salek Buta
Salek berasal dari perkataan “salik” dari Bahasa Arab, yang
berarti orang yang berjalan. Kemudian perkataan “salik” ini dalam Bahasa Aceh
sering diucapkan dengan “salek”. Dikalangan ahli sufi, salik ini diartikan
sebagai orang yang sedang berjalan atas beberapa maqam/martabat, yang membawa
mereka kepada keadaan mendekatkan diri kepada Allah Ta’ala seperti maqam
taubat, qanaah, zuhud, sabar, faqir, syukur, khauf, rija’, tawakal dan ridha
sehingga mereka sampai kepada apa yang disebut sebagai orang ‘arif.[2]
Ibnu Hajar al-Asqalany menjelaskan bahwa berkenaan dengan sebab, orang yang bertawakal terbagi kepada dua kelompok, pertama washil
dan kedua salik. Washil adalah orang yang tidak mengerling sama sekali sebab
itu, meskipun dia menjalaninya. Sedangkan salik adalah orang yang kadang-kadang
mengerlingnya, tetapi dia berusaha menghilangkan dari dirinya dengan jalan
ilmiyah dan zuq sehingga dia sampai kepada derajat washil.[3]
Sedangkan perkataan “buta” dalam Bahasa Aceh bermakna tidak dapat melihat
dengan mata. Tetapi buta di sini dimaksudkan dengan sesat dan menyimpang dari ajaran
yang haq.
Berdasarkan uraian di atas, dapat dipahami bahwa salek buta
adalah sebuah aliran keagamaan yang berkembang di Aceh yang banyak membahas masalah
jalan menyatukan diri manusia dengan Allah, mencari hakikat diri dan lainnya, dimana
paham akidahnya menyimpang dari garis yang benar yang sesuai dengan al-Qur’an
dan Hadits serta paham kebanyakan umat Islam yaitu faham Ahlussunnah wal
Jama’ah.
C.
Ciri-Ciri Pengajian Salek Buta
Menurut penelusuran penulis terhadap kebanyakan pengajian
salek buta yang ada di Aceh dan dari tulisan-tulisan mengenai salek buta, pada umumnya pengajian salek buta ini
mempunyai cirri-ciri yang jauh berbeda dengan pengajian-pengajian Islam pada
umumnya. Ciri-ciri ini perlu diperhatikan supaya kita mudah mendeteksi kajian-kajian
salek buta ini. Ciri-ciri tersebut antara lain :
1.
Pengajiannya bersifat rahasia.
Dalam setiap pengajian mereka selalu diwasiatkan kepada muridnya supaya semua
ilmu yang telah ijazahkannya itu tidak boleh disampaikan kepada siapapun,
lebih-lebih lagi kepada ulama fiqh. Karena ulama fiqh tersebut menurut mereka
adalah ulama dhahir yang tidak mengerti ilmu hakikat seperti yang mereka
pahami. Biasanya wasiat tersebut diiringi dengan sumpah.
2.
Umumnya kelompok ini tidak
mementingkan amalan syari’at, bahkan diantara mereka ada yang menghilangkan
kewajiban amalan dhahir syari’at. Alasan mereka, kalau seseorang sudah sampai
pada maqam hakikat, maka orang tersebut tidak perlu lagi melakukan syari’at.
3.
Umumnya guru-guru salek buta adalah
orang-orang yang tidak menguasai ilmu Bahasa Arab, Ushul, tafsir, ilmu hadits
dan ilmu-ilmu lainnya yang menjadi syarat dalam memahami al-Qur’an dan
al-Sunnah. Mereka hanya menerima ilmu salek buta tersebut dari gurunya hanya
dengan taqlid buta, bahkan banyak diantara mereka hanya mengahafal-hafal saja
ungkapan-ungkapan yang mengandung pemahaman-pemahaman salek buta tanpa
mengetahui maksudnya. Yang lebih parah lagi, guru yang di atas gurunya lagi
juga merupakan orang-orang yang tidak punya kapasitas untuk memahami al-Qur’an
dan al-Sunnah.
4.
Tidak mempunyai rujukan kitab yang
mu’tabar. Mereka hanya merujuk kepada gurunya dan menerima apa saja yang
menjadi ajaran gurunya itu. Kalaupun ada rujukan, itu hanyalah tulisan-tulisan
gurunya yang ditulis dalam sebuah buku tulis. Itupun hanya berupa gambar-gambar,
skema-skema dan isyarat-isyarat tulisan yang biasanya tidak disertai dengan
penjelasannya sama sekali, sehingga tidak heran, kalau kajian salek buta ini
satu sama lain jauh berbeda, karena penjelasannya banyak menurut selera dan
pemahaman masing-masing dan tidak ada jaminan bahwa pemahaman mereka tersebut
sesuai dengan ajaran yang pernah diturunkan oleh guru mereka. Mereka tidak mempunyai kitab seperti halnya kitab
dalam Mazhab Ahlussunnah wal Jama’ah seperti Hasyiah al-Dusuqi, Kifayatul Awam,
Tijan Darari, Matan Sanusi dan lain-lain.
5.
Di Aceh, kajian mereka banyak
diungkapkan melalui sya’ir Aceh dengan menggunakan kiasan-kiasan. Berikut ini
salah satu sya’ir Aceh yang mengandung ajaran salek buta, yaitu :
Ghalib Muhammad kekal zat Allah, dhahir nuqthah qadim baqa
Hapus syuhud di dalam qudus zat, alif musyahadah teudong
dalam haa
‘Asyiq alif lam nur wahdah, suara nuqthah alif dalam haa
‘Asyiq ma’syuq Allah Muhammad, alif musyahadah dalam suara
Syahadah nuqthah tan meusyadu, kalam ana hu suara haa
Syahadah nuqthah syahid Allah, laa ana illa huwa qadim baqa
‘Asyaq Ahdiyah ngon wahdah, lam nuqthah kekal baqa
‘Asyiq ma’syuq Allah Muhammad,
kaleuh musyahadah alif dengon baa
Baa ngon alif kaleuh musyahadah, ka
meusapat tuboh ngon nyawa
Teubit pih han tamong pih than,
‘Arif pandang alif dengon baa
Iman ka meuhoe syahadah ka sudah,
kalimah thaibah alif dalam haa
Tauhid ka keumah ma’rifat ka sudah,
Nabi ngon Allah kekal baqa[4]
6.
Suka mengungkapkan ajarannya dengan
isyarat-isyarat tulisan. Di bawah ini contoh isyarat tulisan yang mengandung
ajaran salek buta, yaitu :
--------- ----ث ---------
اليف با تا
احدية وحدة واحدية
ألله محمد أدم
Maksudnya, Alif
artinya Allah, baa artinya Muhammad, taa artinya Adam. Maka yang tiga ini
adalah tsaa, artinya satu seperti alif, baa, taa, tsaa.[5]
7.
Mereka tidak mau diajak dialoq
dengan menggunakan argumentasi al-Qur’an dan al-Sunnah atau dengan merujuk
kepada pendapat ulama-ulama mu’tabar dari kalangan kaum sufi seperti Imam
al-Ghazali, Junaid al-Baghdadi, Abdulqadir Jailany dan lain-lain. Biasanya
mereka hanya mengatakan, “Anda adalah orang syari’at, tidak mengerti ilmu
hakikat. Ilmu yang anda belajar tidak sama dengan ilmu ini, yakni ilmu
hakikat.” Kadang-kadang mereka mengatakan, “Kamu belum sampai kepada ilmu
hakikat, sebab itu, kamu mengingkarinya.” Padahal perkataan ini, mereka gunakan
hanya untuk menutupi kebodohan dan kesesatan mereka. Diantara mereka, ada juga yang suka mengutip
sya’ir-syair Aceh yang mengandung ajaran-ajaran mereka secara kiasan dan susah
dipahami maksudnya. Seandainya lawan bicaranya mengatakan tidak mengerti
maksudnya, maka dengan sikap seperti mendapat kemenangan, mengatakan, “Ini ilmu
hakikat, kamu belum sampai kepada maqam ini.” Padahal mereka sendiri juga tidak
mengerti apa yang diucapkannya itu.
8.
Di Aceh, guru-guru pengajian salek
buta ini banyak ditemui pada orang-orang yang mempunyai ilmu kebal dan yang
berprofesi sebagai dukun. Orang-orang yang ingin sembuh dari penyakit dengan
pengobatan sang dukun ini menjadi lahan empuk memprogandakan ajarannya.
Disamping itu, dengan ada pengajian yang bersentuhan dengan agama ini akan
menjadi daya tarik sendiri bagi pasien-pasien untuk mempercayainya sebagai
seorang yang dapat menyembuh penyakitnya.
D. Akidah
Ahlussunnah wal Jama’ah
Ahlussunnah wal Jama’ah merupakan nama
akidah yang disemat kepada kelompok yang haq, yang mengikuti al-Qur’an dan
al-Sunnah sesuai dengan pemahaman para sahabat Nabi SAW dan para salaful saleh.
Kelompok ini merupakan kelompok terbesar di kalangan umat Islam. Rumusan
mengenai akidah Ahlussunnah wal Jama’ah ini dibahas dalam ilmu akidah. Ilmu
akidah disebut juga dengan ushuluddin, yaitu pokok-pokok agama seperti
kepercayaan yang menyangkut dengan ketuhanan (ilahiyyat), kepercayaan
yang menyangkut dengan kenabian (nubuwwat) dan kepercayaan yang
menyangkut dengan hal-hal yang ghaib seperti mengenai hari akhirat, surga,
neraka dan lain-lain.
Perkataan
“Ahlusunnah wal Jama’ah” tersusun dari tiga kata, yaitu :
1.
Ahl, yang berarti keluarga,
pengikut atau golongan
2.
Al-Sunnah, yang berarti jalan dan
prilaku. Secara istilah, berarti jalan yang ditempuh oleh Rasulullah SAW dan
para sahabatnya.
3.
Al-Jama’ah, yang berarti kelompok
mayoritas
Dalam ushuluddin, istilah Ahlusunnah wal
Jama’ah berarti aliran yang dianut oleh kelompok mayoritas umat Islam dengan
mengikuti jalan-jalan yang ditempuh oleh Rasulullah SAW dan para sahabatnya.
Ini sesuai dengan hadits Nabi SAW berbunyi :
تفترق
أمتي على ثلاث وسبعين ملة كلهم في النار إلا ملة واحدة فقالوا من هي يا رسول الله
قال ما أنا عليه وأصحابي
Artinya : Umatku terpecah menjadi
tujuh puluh tiga golongan, semuanya masuk dalam neraka kecuali satu golongan.
Mereka mengatakan, “Siapakah yang satu golongan itu, Ya Rasulullah?”,
Rasulullah SAW bersabda : “yang satu golongan itu adalah orang yang berpedoman
sebagaimana pedomanku dan para sahabatku.” (H.R. Turmidzi).
Zainuddin
al-Iraqi menjelaskan, hadits di atas telah diriwayat oleh Turmidzi dengan
kualiatas hasan dan dalam riwayat Abu Daud dari hadits Mu’awiyah dan Ibnu Majah
dari hadits Anas dan Auf bin Malik : “Yang satu itu adalah al-jama’ah”
dengan sanadnya bernilai jaid (baik).[6]
Dalam
perkembangan sejarah perjalanan pemahaman umat terhadap agamanya dalam bidang
akidah, kelompok Ahlusunnah wal Jama’ah sebagaimana dijelaskan oleh Ibnu Subki,
terbagi dalam tiga golongan, yaitu :
1.
Ahli Hadits, pegangan mereka adalah
dalil al-sam’iyah, yakni al-Kitab, al-Sunnah dan ijmak
2.
Ahli al-Nadhar al-Aqliyah, kelompok
ini sepakat menggunakan akal dalam hal-hal dimana al-sam’iyah
membutuhkan al-nadhar al-aqliyah padanya dan menggunakan dalil al-sam’iyah
pada hal-hal dimana akal hanya mampu menetapkan jawaz (berkemungkinan)
saja serta sepakat menggunakan al-aqliyah dan al-sam’iyah dalam
masalah lainnya. Imam dari golongan ini adalah Imam al-Asy’ari dan al-Maturidy
3.
Ahli Wajdan dan Kasyaf, mereka ini
adalah para ahli sufi. Pegangan mereka ini adalah al-nadhar dan hadits
pada al-bidayah (awal perjalanan rohaninya) dan kasyaf dan ilham pada al-nihayah
(puncak perjalanan rohaninya)[7]
Golongan sufi, sebagaimana dijelaskan oleh
Ibnu Subki di atas, meskipun dalam hal-hal tertentu berpegang dengan ksyaf dan
ilham, namun tetap merujuk kepada al-Qur’an, al-Sunnah dan ijmak. Sehingga seandainya
kasyaf dan ilhamnya itu bertentangan dengan al-Qur’an, al-Sunnah dan ijmak,
maka kasyaf dan ilham tersebut tidak dapat diterima, karena tidak ada jaminan
kasyaf dan ilham tersebut bukan datang dari bisikan syaithan. Karena itu,
Zakariya al-Anshari mengatakan dalam kitab ushul fiqh karya beliau, Ghayatul
Wushul :
“Ilham yang terjadi pada manusia
yang tidak ma’shum tidak dapat dijadikan sebagai hujjah, karena tidak aman dari
tipu daya syaithan” [8]
[1]
Teungku Haji Abdullah Hasyim Ujong Rimba, Pedoman Penulak Salek Buta,
Syarikat Tapanuli, Medan, Hal. 67-68
[2]
Teungku Haji Abdullah Hasyim Ujong Rimba, Pedoman Penulak Salek Buta,
Syarikat Tapanuli, Medan, Hal. 17
[3]
Ibnu Hajar al-Asqalany, Fathul Barri, Maktabah Syamilah, Juz. XI,
Hal. 410
[4]
Teungku Haji Abdullah Hasyim Ujong Rimba, Pedoman Penulak Salek Buta,
Syarikat Tapanuli, Medan, Hal. 19-20
[5]
Teungku Haji Abdullah Hasyim Ujong Rimba, Pedoman Penulak Salek Buta,
Syarikat Tapanuli, Medan, Hal. 39
[6]
Zainuddin al-Iraqi, Tarij Ihya Ulumuddin, dicetak dibawah Ihya
Ulumuddin, Thaha Putra, Semarang, Juz. III, Hal. 225
[7]
Al-Zabidy, Ittihaf Saddul Muttaqin
bi Syarh Ihya Ulumuddin, Darul Fikri, Beirut, Juz. II, Hal. 6-7
[8] Zakariya al-Anshary, Ghayatul Wushul Syarah
Labbul Ushul, Usaha Keluarga, Semarang, Hal 140 dan
Al-Banany, Hasyiah Albanany ‘ala Syarah Jam’ul Jawami’, Darul Ihya al-Kutub al-Arabiyah, Juzu’ II,
Hal. 356
“Ilham yang terjadi pada manusia
yang tidak ma’shum tidak dapat dijadikan sebagai hujjah, karena tidak aman dari
tipu daya syaithan” [8]
[1]
Teungku Haji Abdullah Hasyim Ujong Rimba, Pedoman Penulak Salek Buta,
Syarikat Tapanuli, Medan, Hal. 67-68
[2]
Teungku Haji Abdullah Hasyim Ujong Rimba, Pedoman Penulak Salek Buta,
Syarikat Tapanuli, Medan, Hal. 17
[3]
Ibnu Hajar al-Asqalany, Fathul Barri, Maktabah Syamilah, Juz. XI,
Hal. 410
[5]
Teungku Haji Abdullah Hasyim Ujong Rimba, Pedoman Penulak Salek Buta,
Syarikat Tapanuli, Medan, Hal. 39
[7]
Al-Zabidy, Ittihaf Saddul Muttaqin
bi Syarh Ihya Ulumuddin, Darul Fikri, Beirut, Juz. II, Hal. 6-7
Assalamu'alaikum gure
BalasHapusLong cukop brat perle petunjuk,salah sidro keluarga kamoe,bersih keras mengatakan usman peulante bukan ketua salek buta.bisakah gure berikan bukti atau referensi agar kami bisa meyakinkan beliau.
Assalamu'alaikum .. Kamoe perle petunjuk mak lon geu meu kawen ngen salik buta.. Kiban cara ta pgh krna gob nyan han geu pateh bahwa urg nyan sesat
BalasHapus1). bagaimanapun beliau itu orang tua yg harus tetap di hormati 2). nasehati aja baik baik 3). coba usahakan pertemukan dgn ulama yg beliau juga menghormatinya 4). banyak banyaklah berdoa agar beliau mendapat hidayah dari Allah. 5). tunjukkan kepada beliau bahwa tgk sangat menyayangi beliau.
BalasHapusKban solusi ta peu gadeh salek buta Tgk?? Dan kban ciri² urg KA salek buta nyan?
Hapussolusinya, 1). datangkan ulama ke tempat tsb buat pengajian /majelis taklim. (sebaiknya ulama yg didatangkan yg lembut dan dakwahnya penuh mauidhah hasanah. 2). hindari kekerasan dalam berdakwah
Hapus3) anjurkan anak anak di sekitarnya untuk belajar di dayah dayah/pesantren atau lembaga pendidikan islam lainnya. 3). terakhir banyak banyak berdoa..
kriterianya; sudah dijelaskan dlm tulisan di atas
wallahua'lam