( وَ إِلاَّ ) أى وان لم يتغير الحكم كما ذكر
بأن لم يتغير كوجوب المكتوبات أو تغير الى صعوبة كحرمة الإصطياد بالإحرام بعد
إباحته قبله أو الى سهولة
لالعذر كحل ترك الوضوء لصلاة ثانية مثلا لمن لم يحدث بعد حرمته بمعنى انه خلاف
الأولى أولعذر لامع قيام السبب للحكم الأصلى كاباحة ترك ثبات واحد منا لعشرة من
الكفار فى القتال بعد
حرمته وسببها قلتنا ولم يبق حال الإباحة لكثرتنا حينئذ وعذر الإباحة مشقة الثبات
المذكور لما كثرنا )فَعَزِيْمَةٌ )
أى فالحكم غير المتغير أوالمتغير اليه
الصعب أوالسهل المذكور آنفا يسمى عزيمة وهى لغة القصد المصمم من عزمت على
الشئ جزمت به وصممت عليه عزما وعزما
وعزيما وعزيمة لأنه عزم أمره أى قطع وحتم وصعب على المكلف أوسهل وظاهر كلام كثير
انقسامها الى الأحكام الستة وبه صرح الشمس البرماوى لكن الإمام الرازى خصها بغير
الحرمة والغزالى والآمدى وغيرهما بالوجوب والقرافى بالوجوب والندب واعترض
تعريفا الرخصة والعزيمة بوجوب ترك الصلاة والصوم على الحائض
فانه عزيمة ويصدق به تعريف الرخصة واجيب بمنع الصدق فإن الحيض وان كان عذرا
فى الترك مانع من الفعل ومن مانعيته
نشأ وجوب الترك وتقسيم الحكم الى الرخصة
والعزيمة كما ذكر اقرب الى اللغة من تقسيم الإمام الرازى وغيره الفعل الذى هو
متعلق الحكم اليهما
(Dan jika tidak, maka adalah ‘azimah) artinya : dan jika tidak
berubah hukum sebagaimana yang telah disebutkan, yakni tidak berubah sama
sekali seperti wajib shalat lima kali sehari semalam atau berubah kepada sukar
seperti haram berburu dengan sebab ihram sesudah mubah sebelumnya ataupun
berubah kepada mudah bukan karena ‘uzur seperti halal dengan makna khilaf
al-aula meninggalkan wudhu’ untuk misalnya shalat kedua bagi orang yang tidak
berhadats sesudah haramnya ataupun berubah kepada mudah karena ‘uzur tetapi
tidak tetap lagi sebab hukum asal, seperti mubah meninggalkan tetap bertahan
satu orang dari kita kaum muslim melawan sepuluh orang kafir dalam peperangan
sesudah haramnya, sebab haramnya adalah keadaan kita yang sedikit, sedangkan
keadaan sedikit tersebut tidak kekal pada ketika mubah karena sudah banyak
jumlah kita pada ketika itu. ‘Uzur yang menyebabkan mubah adalah kesukaran
tetap bertahan tersebut karena kita sudah berjumlah banyak. Yakni, maka hukum yang
tidak berubah atau berubahnya kepada sukar atau mudah yang telah disebutkan
barusan dinamakan dengan ‘azimah. Perkataan ‘azimah secara bahasa bermakna qashad
yang tetap, diambil dari ucapan :
عزمت
على الشئ جزمت به
وصممت عليه عزما وعزما وعزيما وعزيمة(1)
Karena ‘azm perkara sesuatu artinya pasti dan tidak boleh
tidak, baik sukar atas mukallaf maupun mudah. Zhahir kalam kebanyakan ulama
terbagi ‘azimah kepada hukum yang enam. Dengan pendapat ini, Al-Syamsul Barmawy telah
menerangkannya, tetapi Imam al-Razy mengkhususkannya kepada selain haram.
Al-Ghazali, al-Amadi dan lainnya mengkhususkannya dengan wajib, sedangkan
al-Qurafi mengkhususkan dengan wajib dan mandub. Ada yang mengkritik devinisi
rukhshah dan ‘azimah dengan persoalan
kewajiban meninggalkan shalat dan puasa atas perempuan yang berhaid,
sesungguhnya kewajiban tersebut merupakan ‘azimah, sedangkan devinisi rukhshah
juga terbenar atasnya. Dijawab : tidak terbenar devinisi rukhshah padanya,
sesungguhnya haid, meskipun yang menjadikan ‘uzur pada meninggalkan shalat, ia
merupakan al-maani’ /penghalang melakukannya dan dari sisi ia merupakan
penghalang, maka terjadi kewajiban meninggalkannya.(2) Pembagian hukum kepada
rukhshah dan ‘azimah sebagaimana yang telah disebutkan lebih dekat kepada
lughat dari pada pembagian perbuatan yang merupakan objek hukum kepada keduanya(3)
oleh Imam al-Razi dan lainnya.
Penjelasannya
(1).
Terjemahannya : “Aku cita-cita atas sesuatu dengan pasti, yakni aku pastikan
dan tetapkan atasnya.” Mashdarnya adalah ; ‘azman, uzman, ‘aziiman dan
‘azimah.
(2). Dengan
demikian, meninggalkan shalat dan puasa pada perempuan berhaid bukanlah
rukhshah, karena meninggalkan puasa tersebut karena ada al-manii’ bukan
karena ‘uzur.
(3). Rukhshah
dan ‘azimah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar