Berikut
ini merupakan masalah-masalah yang
mu’tamad menurut pengarang Minhaj al-Thalibin yang difatwa dha’if oleh fuqaha
Syafi’iyah sesudahnya, yakni :
1.
Mengekalkan
niat mulai dari memindahkan tanah sehingga sampai menyapu sesuatu dari wajah
dalam bab tayamum.
Imam al-Nawawi mengatakan dalam al-Minhaj :
“Wajib menyertai niat pada ketika memindah tanah dan demikian juga
mengekalkannya sehingga sampai kepada menyapu sesuatu dari muka berdasarkan
pendapat yang shahih.”[1]
Argumentasi
pendapat ini karena rukun pertama dari tayamum, yakni memindahkan tanah bukan
yang diqashad pada dirinya, tetapi hanya diqashad untuk lainnya. Maksudnya,
memindah tanah hanya sebagai wasilah menyapu wajah.
Tarjih
menurut al-Nawawi ini ditolak fuqaha sesudahnya seperti al-Ziyadi, al-Syihab al-Ramli,
al-Khatib Syarbaini, Qalyubi dan al-Bujairumi. Argumentasi mereka ini, karena
mengekalkan niat sesudah awal dari memindah tanah sampai sebelum menyapu wajah
hanyalah wasilah muqaranah niat pada ketika menyapu wajah. Karena itu, kalau wujud
niat pada ketika awal memindah tanah dan pada ketika menyapu wajah, maka itu
memadai, meskipun hilang niatnya di antara keduanya.[2] Namun
Ibnu Hajar al-Haitamy tetap menganggap pendapat al-Nawawi di atas sebagai
pendapat yang mu’tamad. Ini dipahami dari perkataan beliau dalam Tuhfah
al-Muhtaj :
“Sehinggga seandainya hilang niat sebelum menyapu sesuatu dari
wajah, maka batal niat tayamumnya.”[3]
2.
Jumlah
sebanyak-banyak raka’at shalat Dhuha.
Al-Nawawi
mengatakan :
“Minimal
raka’at shalat Dhuha dua raka’at dan sebanyak-banyaknya dua belas raka’at.”[4]
Dalil
sebanyak-banyak raka’at shalat Dhuha adalah dua belas raka’at adalah hadits
riwayat Baihaqi dari Abu Zar, sesungguhnya Nabi SAW bersabda :
وَإِنْ صَلَّيْتَهَا عَشْرًا لَمْ
يُكْتَبْ لَكَ ذَلِكَ الْيَوْمَ ذَنْبٌ ، وَإِنْ صَلَّيْتَهَا ثِنْتَىْ عَشْرَةَ
رَكْعَةً بَنَى اللَّهُ لَكَ بَيْتًا فِى الْجَنَّةِ
Artinya : Jika kamu melaksanakan shalat Dhuha
sepuluh raka’at, maka tidak ditulis pada hari tersebut dosa kamu, dan jika kamu
melaksanakannya dua belas raka’at, maka Allah akan membangun sebuah rumah untukmu
dalam syurga kelak. (H.R. Baihaqi).
Baihaqi mengomentari hadits ini
dengan mengatakan, isnadnya ada tinjauan. Imam al-Nawawi sendiri telah
mendha’ifkannya dalam kitabnya, Majmu’ Syarah al-Muhazzab dan beliau
mengatakan, sebanyak-banyak raka’at shalat Dhuha adalah dua belas raka’at di
sisi kebanyakan ulama.[5]
Khatib Syarbaini mengatakan ;
“Dalam kitab al-Majmu’, al-Nawawi
telah mengutip dari kebanyakan ulama, bahwa sebanyak-banyak raka’at shalat
Dhuha adalah delapan raka’at dan beliau telah menshahihkannya dalam al-Tahqiq.
(Khatib Syarbaini mengatakan) Ini merupakan pendapat yang mu’tamad sebagaimana
pendapat Ibnu al-Muqri. Al-Asnawi, setelah mengutip yang di atas, mengatakan,
maka nyatalah yang terdapat dalam Raudhah dan al-Minhaj adalah dha’if,
menyalahi dengan pendapat kebanyakan ulama.”[6]
Qalyubi juga mengatakan, bahwa yang mu’tamad,
jumlah raka’atnya adalah delapan sesuai dengan pendapat kebanyakan ulama.[7]
Ibnu Hajar al-Haitami tidak mempertentangkan antara pernyataan al-Nawawi dalam
al-Minhaj dan Raudhah dengan pernyataan beliau dalam al-Majmu’ dan al-Tahqiq
dengan mengkompromikan keduanya dengan menempat jumlah delapan raka’at
merupakan jumlah raka’at shalat Dhuha yang afdhal, karena shahih haditsnya,
meskipun sebanyak-banyaknya adalah sebelas raka’at, karena ada haditsnya
tentang itu, meskipun dha’if, karena
boleh mengamalkan hadits dha’if dalam masalah seperti ini.[8]
Dalil sebanayak-sebanyak raka’at shalat Dhuha
adalah delapan raka’at adalah hadits riwayat Abu Daud, Ummu al-Hani’ berkata :
صَلَّى النبي صلعم سُبْحَةَ
الضُّحَى ثَمَانِىَ رَكَعَاتٍ يُسَلِّمُ مِنْ كُلِّ رَكْعَتَيْنِ.
Artinya : Nabi SAW shalat Dhuha
delapan raka’at yang melakukan salam pada setiap dua raka’at. (H.R. Abu
Daud).
Hadits ini diriwayat oleh Abu Daud dengan
isnad atas syarat Bukhari sebagaimana disebut dalam al-Majmu’.[9]
3. Tentang qadha shalat al-khauf
(shalat dalam keadaan ketakutan) apabila seseorang dalam keadan mengharuskan memegang
senjata yang dalam keadaan berdarah
Berkata Imam al-Nawawi :
“Dibuang senjatanya apabila berdarah, dan jika
ia dalam keadaan lemah (keadaan mengharuskannya memegang senjata), maka ia
tetap mempertahankan senjatanya dan tidak qadha menurut pendapat azhhar (yang
lebih dhahir).[10]
Argumentasi pendapat ini, karena
berlumuran senjata dengan darah merupakan ‘uzur yang umum terjadi dalam
peperangan, karena itu dia serupa dengan kasus perempuan berdarah istihadhah.[11]
Menurut Qalyubi pendapat wajib
qadha merupakan nash imam Syafi’i dan naqal dari ashhabnya dan pendapat ini mu’tamad.
‘Umairah mengatakan, pendapat Nawawi di atas, bertentangan dengan yang al-manshus
dan yang dinaqal dari ashhab.[12]
Hal senada juga dikemukakan oleh Khatib Syarbaini.[13]
Ibnu Hajar al-Haitami juga menolak pendapat al-Nawawi di atas, beliau
mengatakan :
“Yang mu’tamad dalam Syarhaini,
Raudhah, al-Majmu’ yang dinaqal dari ashhab, wajib qadha. Al-Asnawi dan lainnya
juga mengatakan ini yang mu’tamad.”[14]
Imam
al-Ramli juga mengatakan pendapat wajib qadha merupakan pendapat yang mu’tamad.[15]
[1] Al-Nawawi, Minhaj
al-Thalibin, dicetak pada hamisy Qalyubi wa ‘Umairah, Dar Ihya al-Kutub
al-Arabiyah, Indonesia, Juz. I, Hal. 89
[2]
Lihat Qalyubi, Hasyiah
Qalyubi, Dar Ihya al-Kutub al-Arabiyah, Indonesia, Juz. I, Hal. 89 dan
Khatib Syarbaini, Mughni al-Muhtaj, Darul Ma’rifah, Beirut, Juz.
I, Hal. 156, Sayyed al-Bakri, I’anah al-Thalibin, Thaha Putra,
Semarang, Juz. I, Hal. 57, Bujairumi, Hasyiah al-Bujairumi ‘ala al-Khatib, Dar al-Kutub al-Ilmiyah, Beirut, Juz. I, Hal.
424
[3] Ibnu Hajar
al-Haitamy, Tuhfah al-Muhtaj, Mathba’ah Mustafa Muhammad, Mesir,
Juz. I, Hal. 359
[4]
Al-Nawawi, Minhaj
al-Thalibin, dicetak pada hamisy Qalyubi wa ‘Umairah, Dar Ihya al-Kutub
al-Arabiyah, Indonesia, Juz. I, Hal. 214
[5]
Jalaluddin
al-Mahalli, Syarah al-Mahalli ‘ala al-Minhaj, dicetak pada hamisy
Qalyubi wa ‘Umairah, Dar Ihya al-Kutub al-Arabiyah, Indonesia, Juz. I, Hal. 214
[6] Khatib
Syarbaini, Mughni al-Muhtaj, Darul Ma’rifah, Beirut, Juz. I, Hal.
340
[7]
Qalyubi, Hasyiah
Qalyubi, Dar Ihya al-Kutub
al-Arabiyah, Indonesia, Juz. I, Hal. 214
[8]
Ibnu Hajar
al-Haitamy, Tuhfah al-Muhtaj, Mathba’ah Mustafa Muhammad, Mesir,
Juz. II, Hal. 232
[9]
Khatib
Syarbaini, Mughni al-Muhtaj, Darul Ma’rifah, Beirut, Juz. I, Hal.
340
[10]
Al-Nawawi, Minhaj
al-Thalibin, dicetak pada hamisy Qalyubi wa ‘Umairah, Dar Ihya al-Kutub
al-Arabiyah, Indonesia, Juz. I, Hal. 300
[11]
Khatib
Syarbaini, Mughni al-Muhtaj, Darul Ma’rifah, Beirut, Juz. I, Hal.
455
[12]
Qalyubi dan ‘Umairah,
Hasyiah Qalyubi wa ‘Umairah, Dar Ihya al-Kutub al-Arabiyah, Indonesia, Juz.
I, Hal. 300-301
[13]
Khatib
Syarbaini, Mughni al-Muhtaj, Darul Ma’rifah, Beirut, Juz. I, Hal.
455
[14]
Ibnu Hajar
al-Haitamy, Tuhfah al-Muhtaj, Mathba’ah Mustafa Muhammad, Mesir,
Juz. III, Hal. 14
[15] Al-Ramli, Nihayah
al-Muhtaj, dicetak bersama Hasyiahnya ,karya Ali Syibran al-Malusi, Juz.
II, Hal. 92-93
Tidak ada komentar:
Posting Komentar