A.
Perbedaan pendapat sebab penamaan malam lailatul qadar
1.
Dinamakan
dengan malam lailatul qadar, karena Allah Ta’ala mentaqdirkan rezeki, ajal dan
kejadian alam semuanya pada malam tersebut. Maksudnya nyata taqdir tersebut
kepada malaikat pada malam lailatul qadar, karena taqdir Allah, sifatnya qadim.
Diriwayat pendapat ini dari Ibnu Abbas, Qatadah dan selainnya. Al-Nawawi
menisbahkannya kepada pendapat ulama.
2.
Karena
malam lailatul qadar malam yang mempunyai qadar (mulia)
3. Karena
pada malam ini, manusia yang menghidupkannya mengusahakan qadar yang mulia yang
tidak ada sebelumnya dan berusaha menambah kemuliaan di sisi Allah
4. Karena
beramal pada malam ini mendapat pahala yang besar (qadar), karena itu, Allah
mengkhususkan umat ini dengan malam lailatul qadar
B.
Sebab dikhususkan umat Muhammad dengan malam lailatul qadar
Para
ulama berbeda pendapat mengenai ini :
1.
Riwayat
Malik bin Anas dalam al-Muwatha’ :
إنَّ رَسُولَ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أُرِيَ أَعْمَارَ النَّاسِ قَبْلَهُ أَوْ مَا
شَاءَ اللَّهُ مِنْ ذَلِكَ فَكَأَنَّهُ تَقَاصَرَ أَعْمَارَ أُمَّتِهِ أَنْ لَا
يَبْلُغُوا مِنْ الْعَمَلِ مِثْلَ الَّذِي بَلَغَ غَيْرُهُمْ فِيْ طُولِ الْعُمْرِ
فَأَعْطَاهُ اللَّهُ لَيْلَةَ الْقَدْرِ خَيْرٌ مِنْ أَلْفِ شَهْرٍ
Artinya :
Sesungguhnya Rasulullah SAW diperlihatkan umur-umur manusia sebelum beliau atau
sesuatu yang Allah kehendaki dari hal tersebut. Beliau menganggap bahwa umur
umatnya pendek tidak mencapai amalan yang telah dicapai oleh selain umat beliau
yang berumur panjang. Maka, kepada beliau, Allah memberikan lailatul qadr yang
lebih baik daripada seribu bulan.
2. Diriwayat oleh Turmidzi dalam Jami’nya dari Yusuf bin Sa’ad,
beliau berkata, “Seorang lelaki berdiri kepada Al-Hasan bin Ali setelah (Al-Hasan)
membaiat Muawiyah. (Orang tersebut) berkata, ‘Engkau telah mencoreng wajah kaum
mukminin (atau dia berkata, ‘Wahai orang yang mencoreng wajah kaum mukminin’),’
maka (Al-Hasan) berkata,
لاَ تُؤَنِّبْنِيْ رَحِمَكَ اللَّهُ فَإِنَّ النَّبِىَّ
-صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- أُرِىَ بَنِى أُمَيَّةَ عَلَى مِنْبَرِهِ
فَسَاءَهُ ذَلِكَ فَنَزَلَتْ إِنَّا أَعْطَيْنَاكَ الْكَوْثَرَ يَا مُحَمَّدُ
يَعْنِى نَهْرًا فِي الْجَنَّةِ وَنَزَلَتْ إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ فِي لَيْلَةِ
الْقَدْرِ. وَمَا أَدْرَاكَ مَا لَيْلَةُ الْقَدْرِ. لَيْلَةُ الْقَدْرِ خَيْرٌ
مِنْ أَلْفِ شَهْرٍ يَمْلِكُهَا بَعْدَكَ بَنُو أُمَيَّةَ يَا مُحَمَّدُ
Artinya : Janganlah engkau mencela
saya - semoga Allah merahmatimu -sSesungguhnya Bani Umayyah diperlihatkan
kepada beliau, sedang beliau berada di atas mimbar, maka hal tersebut tidak
menyenangkan beliau. Kemudian, turunlah “innâ a’thainâkal kautsar”. Wahai Muhammad, yakni
sebuah sungai di surga. Turun pula “innâ anzalnâhu fî lailatil qadr. Wa mâ
adrâka mâ lailatul qadr. Lailatul qadri khairun min alfi syahr”. Wahai
Muhammad, hal tersebut dimiliki oleh Bani Umayyah setelahmu.’.
Berkata Abu Qasiim bin Fadhal, salah
seorang perawinya, kami telah menghitungnya yaitu seribu bulan tidak kurang dan
tidak lebih. Aku katakan : Ya, mulai tahun jama’ah (tahun Hasan membai’at
Mu’awiyah) sampai terbunuhnya Marwan al-Ja’dy raja terakhir Bani Umayah adalah
qadar ini, yaitu seribu bulan, yakni delapan puluh tiga sepertiga tahun.
Turmidzi mengatakan, hadits ini
gharib.
C.
Turun Malaikat dan Ruh
Dalam surat al-Qadr disebutkan turun
Malaikat dan ruh pada malam lailatul qadar memberkan salam kesejahteraan
(al-tahyah) atas orang-orang yang beriman. Terjadi perbedaan pendapat apa yang
dimaksud dengan ruh di sini, pendapat pertama : Jibril a.s., kedua : sekelompok
malaikat, ketiga : sekelompok makhluq langit yang lebih tinggi derajatnya
dibandingkan malaikat.
D.
Malam lailatul qadar kekal sepanjang
masa
Telah terjadi ijmak ulama bahwa malam
lailatul qadar itu ada sepanjang masa. Malam tersebut tidak akan hilang, tetapi
cuma tidak tertentu waktunya. Abu Hanifah mengatakan pendapat yang mengatakan
malam lailatul qadar hilang merupakan pendapat yang tertolak.
E.
Terjadi khilaf ulama dalam menentukan
malam lailatul qadar
Terjadi
perbedaan pendapat ulama dalam menentukan malam lailatul qadar dalam dua puluh empat
pendapat, yaitu :
1. Wujud pada satu malam tertentu dan itu dapat terjadi
dalam sepanjang tahun. Ini merupakan pendapat yang masyhur dari Abu Hanifah.
Pendapat ini didukung oleh pernyataan Ibnu Mas’ud, berbunyi :
من
يقم الحول يصيبها
Artinya : Barangsiapa yang mendirikan
malam sepanjang tahun, maka dia akan mendapatkan malam lailatul qadar
Namun dalam
Shahih Muslim dari Zar ibn al-Jaisy, mengatakan :
“Aku bertanya kepada Ubay bin Ka’ab
sesungguhnya saudaramu Ibnu Mas’ud mengatakan :
من
يقم الحول يصيب ليلة القدر
Maka Ubay mengatakan : “Ibnu Mas’ud memaksudkan supaya
manusia tidak lalai, padahal beliau
mengetahui bahwa malam lailatul qadar terjadi pada bulan Ramadhan, sepuluh yang
akhir dan malam kedua puluh tujuh.”
Pemahaman Ubay
bin Ka’ab ini didukung oleh riwayat Abu ‘Aqrab dalam Musnad Ahmad, beliau
mengatakan :
“Suatu pagi pada bulan Ramadhan, aku
pergi menemui Ibnu Mas’ud di atas rumahnya dalam keadaan duduk, aku mendengar
suaranya mengatakan, “Maha Benar Allah dan telah menyampaikannya oleh rasul-Nya”.
Maka aku katakan : “Aku telah mendengar engkau mengatakan : “Maha Benar Allah
dan telah menyampaikannya oleh rasul-Nya”, lalu Ibnu Mas’ud mengatakan ,
sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda : “Lailatul qadar adalah malam tujuh yang
akhir yang terbit matahari pada paginya yang bersih tanpa sinarnya (yang terik),
aku melihat dan mendapatinya.”
Riwayat
yang serupa dengan ini juga diriwayat oleh al-Bazar dalam Musnadnya.
2. Pendapat Ibnu Umar dan satu jama’ah sahabat : terjadi malam
lailatul qadar sepanjang bulan Ramadhan. Dalam sunan Abu Daud dari Ibnu Umar
mengatakan :
“Ditanyai Rasulullah SAW mengenai
malam lailatul qadar, pada waktu itu, aku
mendengarnya Rasulullah bersabda : “Lailatul qadar terjadi pada semua
bulan Ramadhan.”
Hadits
ini boleh jadi bermakna berulang-ulang pada setiap tahun pada bulan Ramadhan.
3. Malam lailatul qadar terjadi pada malam pertama bulan
Ramadhan. Ini merupakan pendapat Abu Raziin al-‘Aqiily, salah seorang sahabat
Nabi SAW.
4. Terjadi pada sepuluh pertengahan dan sepuluh akhir
bulan Ramadhan. Dalil yang digunakan adalah perkataan Jibril kepada Nabi SAW
manakala beliau beri’tikaf pada sepuluh pertengahan : “Sesungguhnya yang
engkau cari ada dihadapanmu.”
5.
Terjadi pada sepuluh yang akhir saja, karena hadits Nabi
SAW :
“Carilah pada sepuluh yang akhir.”
6.
Khusus terjadi pada malam ganjil dari sepuluh yang akhir.
Hadits yang mendukungnya adalah sabda Nabi SAW “Carilah pada sepuluh yang
akhir.pada ganjil.” Hadits yang serupa dengan ini ada dalam Musnad Ahmad
dan Mu’jam al-Thabrani.
7.
Khusus pada malam genap sepuluh yang akhir. Ini
didasarkan kepada perkataan Abu Sa’id al-Khudri :
“Ditanyai kepada Abu Sa’id al-Khudry
apa yang dimaksud dengan malam ke sembilan, ketujuh dan kelima?" beliau
menjawab, "Jika malam kedua puluh satu telah lewat, maka yang berikutnya
adalah malam ke dua puluh dua, dan itulah yang dimaksud dengan malam ke
sembilan. Dan apabila malam ke dua puluh tiga telah berlalu, maka berikutnya
adalah malam ke tujuh, dan jika malam ke dua puluh lima telah berlalu, maka
berikutnya adalah malam ke lima."
8. Terjadi pada malam ketujuh belas. Pendapat ini diriwayat
dari Zaid bin Arqam dan juga dari Ibnu Mas’ud serta Hasan Basri.
9.
Terjadi pada malam kesembilan belas
10.
Dicari pada malam ketujuh belas, dua puluh satu atau
malam kedua puluh tiga. Dihikayah pendapat ini dari Ali dan Ibnu Mas’ud juga.
11.
Terjadi pada malam kedua puluh satu, berdasarkan riwayat
shahih dari Abu Sa’id al-Khudry, Rasulullah SAW bersabda :
وَإِنِّى رِيتُهَا
لَيْلَةَ وِتْرٍ وَأَنِّى أَسْجُدُ صَبِيحَتَهَا فِى طِينٍ وَمَاءٍ ». فَأَصْبَحَ
مِنْ لَيْلَةِ إِحْدَى وَعِشْرِينَ وَقَدْ قَامَ إِلَى الصُّبْحِ فَمَطَرَتِ
السَّمَاءُ فَوَكَفَ الْمَسْجِدُ فَأَبْصَرْتُ الطِّينَ وَالْمَاءَ فَخَرَجَ حِينَ
فَرَغَ مِنْ صَلاَةِ الصُّبْحِ وَجَبِينُهُ وَرَوْثَةُ أَنْفِهِ فِيهِمَا الطِّينُ
وَالْمَاءُ وَإِذَا هِىَ لَيْلَةُ إِحْدَى وَعِشْرِينَ مِنَ الْعَشْرِ
الأَوَاخِرِ.
Artinya : Aku pernah melihat lailatul
qadar pada malam ganjil, yang pada pagi harinya aku bersujud pada tanah yang
basah, - memang pagi-pagi malam kedua puluh satu beliau shalat Shubuh,
sedangkan hari hujan sehingga masjid tergenang air, aku melihat tanah dan air –
Setelah selesai shalat Shubuh, Rasulullah SAW keluar, sedangkan dikening dan
hidungnya ada tanah yang basah. Malam itu adalah malam kedua puluh satu dari
sepuluh yang akhir.
12. Terjadi pada
malam kedua puluh tiga, yakni pendapat sekelompok banyak para sahabat dan
selain mereka. Dalilnya hadits shahih Muslim riwayat Abdullah bin Unais,
Rasulullah SAW bersabda :
أُرِيتُ لَيْلَةَ الْقَدْرِ ثُمَّ أُنْسِيتُهَا وَاذا في صبيْحَتهَا
أَسْجُدُ فِى مَاءٍ وَطِينٍ ». قَالَ فَمُطِرْنَا لَيْلَةَ ثَلاَثٍ وَعِشْرِينَ
Artinya : Aku diperlihatkan malam lailatul qadar, kemudian aku
lupa dan pada waktu Shubuh, aku bersujud atas tanah yang basah. Abdullah bin
Unais berkata : “Pada malam kedua puluh tiga itu terjadi hujan”.
13. Terjadi pada malam kedua puluh empat. Pendapat ini
diriwayat dari Bilal, Ibnu Abbas, al-Hasan dan Qatadah.
14.
Terjadi pada kedua puluh tiga atau kedua puluh tujuh.
Pendapat ini dihikayah dari Ibnu Abbas.
15.
Terjadi pada malam kedua puluh tujuh. Ini merupakan
pendapat sekelompok yang banyak dari sahabat Nabi dan selain mereka. Ubay bin
Ka’ab r.a. bersumpah tidak mengecualikan sesungguhnya malam lailatul qadar
terjadi pada malam kedua puluh tujuh sebagaimana yang telah tsabit dalam
al-Shahih.
16.
Terjadi pada akhir bulan.
17.
Terjadi pada malam kedua puluh dua atau kedua puluh tiga
18.
Terjadi pada malam kedua puluh satu, kedua puluh tiga,
kedua puluh lima, kedua puluh tujuh atau malam terakhir.
19.
Terjadi pada malam kedua puluh satu, kedua puluh tiga
atau kedua puluh lima
20.
Terjadi pada malam kedua puluh tiga atau kedua puluh
lima.
21.
Terjadi pada malam kedua puluh tujuh atau kedua puluh
sembilan
22.
Terjadi pada malam ganjil sepuluh yang akhir, malam
ketujuh belas atau kesembilan belas.
Perbedaan
pendapat di atas didasarkan kepada bahwa malam lailatul qadar itu wujud pada
malam tertentu sebagaimana mazhab Syafi’i. Menurut pendapat yang shahih dalam
mazhab Syafi’i, malam lailatul qadar khusus pada sepuluh yang akhir dan malam
ganjil lebih diharapkan daripada malam genap dan malam kedua puluh satu dan dua
puluh tiga lebih diharapkan muncul dibandingkan malam lainnya. Pendapat ini
merupakan pendapat yang bagus dianggap sebagai pendapat yang kedua puluh tiga
(ke-23). Sebelumnya ada pendapat yang mengatakan bahwa malam lailatul qadar
sudah hilang, maka pendapat yang terakhir ini merupakan pendapat yang kedua
puluh empat (ke-24)
F.
Apakah malam lailatul qadar berpindah
dari satu malam kepada malam lainnya.
Satu jama’ah
para ulama berpendapat bahwa malam lailatul qadar berpindah-pindah, sehingga
malam lailatul qadar dalam suatu tahun berbeda dengan malam lailatul qadar
tahun yang lain dan seterusnya. Ini merupakan pendapat Malik, Sufyan al-Tsury,
Ahmad bin Hanbal, Ishaq bin Rahawaih, Abu Tsur dan lainnya. Ibnu Abd al-Bar
menisbahkan pendapat ini kepada Syafi’i. Pendapat ini juga diikuti oleh
al-Muzani dan Ibnu Khuzaimah dan pilihan al-Nawawi dan lainnya karena
mengkompromikan di antara hadits-hadits yang datang mengenai malam lailatul
qadar. Zhahir hadits-hadits tersebut saling pertentangan yang tidak mungkin
dikompromikan kecuali dengan jalan tersebut (malam lailatul qadar
berpindah-pindah).
Ibnu Hazm
al-Zhahiri berpendapat bahwa malam lailatul qadar berkisar pada malam kedua
puluh satu dan malam ganjil sesudahnya apabila bulan genap tiga puluh hari dan
malam kedua puluh dan malam genap sesudahnya apabila bulan kurang dari tiga
puluh.
G.
Tanda-tanda malam lailatul qadar
Dalam Musnad
Ahmad dengan isnad yang baik dari ‘Ubadah bin al-Shamid r.a. berkata,
Rasulullah SAW bersabda :
إِنَّ أَمَارَةَ لَيْلَةِ الْقَدْرِ أَنَّهَا صَافِيَةٌ بَلْجَةٌ كَأَنَّ فِيْهَا قَمَراً سَاطِعاً سَاكِنَةٌ سَاجِيَةٌ, لاَ بَرْدَ فِيْهَا
وَلاَ حَرَّ, َلاَ محِلُّ لِكَوْكَبٍ يُرْمَى بِهِا حَتَّى يصْبِحَ, وَإِنَّ من أَمَارَتَهَا أَنَّ الشَّمْسَ صَبِيْحَتَهَا
تَخْرُجُ مُسْتَوِيَةً, لَيْسَ لَهَا شُعَاعٌ مِثْلَ الْقَمَرِ لَيْلَةَ الْبَدْرِ, وَلاَ يَحِلُّ لِلشَّيْطَانِ أَنْ يَخْرُجَ
مَعَهَا يَوْمَئِذٍ
Artinya : Sesungguhnya tanda-tanda Lailatul Qadr adalah malam cerah, terang,
seolah-olah ada bulan, malam yang tenang dan tentram, tidak dingin dan tidak pula panas.
Pada malam itu tidak dihalalkan dilemparnya bintang, sampai pagi harinya.
Dan sesungguhnya, setengah dari tanda Lailatul Qadr adalah, matahari di pagi harinya
terbit dengan indah, tidak bersinar kuat, seperti bulan purnama, dan tidak pula
dihalalkan bagi setan untuk keluar bersama matahari pagi itu
Qadhi Ibnu ‘Iyadh mengatakan dua pendapat kenapa pada pagi lailatul qadar, matahari
terbit tidak ada terik panasnya, yaitu : pertama, itu sebagai tanda malam lailatul qadar yang
dijadikan Allah SAW, kedua, hal itu terjadi karena banyak hilir mudik, turun kebumi dan naik
malaikat yang dapat menutup panas matahari dengan sayapnya dan tubuhnya yang lembut.
(Tgk Alizar Usman )
Assalamu'alaikum Teungku ..
BalasHapussaya mau bertanya:
kapan kita berhari raya, apakah hari minggu atau hari senin ??
email: enjellsan@gmail.com
hp : 0853 613 92248
kalau boleh, saya minta no. hp Teungku.. krn saya berminat mengikuti pengajian Teungku di dayah Teungku Hasbi Al-Bayuni..
kalau tidak memungkinkan membalas di forum ini, Teungku boleh mengirim balasannya melalui email atau no. hp saja...
terima kasih Teungku
Wassalam