Minggu, 11 Agustus 2013

Mengulangi Surat al-Ikhlash pada Shalat Tarawih


1.        Zainuddin al-Malibary dalam Fathul Mu’in mengatakan :
“Mengulang-ulangi lafazh Qulhuwallahu ahad dalam raka’at-raka’at yang akhir dari setiap raka’at Tarawih adalah bid’ah ghairu hasanah (bid’ah tidak baik), karena hal itu mencederakan sunnah sebagaimana diifta’ oleh Syeikhuna (Ibnu Hajar al-Haitamy)[1]

Pemahaman Zainuddin al-Malibary ini sebagaimana tulisan beliau di atas, disandarkan kepada fatwa Ibnu Hajar al-Haitamy. Namun ini disanggah oleh al-Bakri al-Damyathi dalam Hasyiah beliau atas kitab Fathul Mu’in karangan Zainuddin al-Malibary tersebut dengan mengatakan bahwa Ibnu Hajar al-Haitamy tidak menyebutkan hal itu sebagai bid’ah ghairu hasanah, tetapi beliau hanya mengatakan bahwa pengulangan tersebut merupakan tindakan yang tidak disunnahkan, bahkan beliau menambahkan bahwa hal itu tidak dimakruhkan berdasarkan qawaid kita (Mazhab Syafi’i), karena tidak ada larangan khusus tentang itu.[2] Keterangan Ibnu Hajar al-Haitamy yang dimaksud oleh al-Bakri al-Damyathi tersebut disebut dalam kitab beliau, al-Fatawa al-Kubra al-Fiqhiyah sebagaimana dikutip pada point kedua di bawah ini.

2.        Dalam Fatawa al-Kubra al-Fiqhiah karangan Ibnu Hajar al-Haitamy disebutkan :
(وَسُئِلَ) نَفَعَ اللَّهُ تَعَالَى بِهِ عَنْ تَكْرِيرِ سُورَةِ الْإِخْلَاصِ فِي التَّرَاوِيحِ هَلْ يُسَنُّ وَإِذَا قُلْتُمْ لَا فَهَلْ يُكْرَهُ أَمْ لَا وَقَدْ رَأَيْت فِي الْمُعْلِمَاتِ لِابْنِ شُهْبَةَ أَنَّ تَكْرِيرَ سُورَةِ الْإِخْلَاصِ فِي التَّرَاوِيحِ ثَلَاثًا كَرِهَهَا بَعْضُ السَّلَفِ قَالَ: لِمُخَالَفَتِهَا الْمَعْهُودَ عَمَّنْ تَقَدَّمَ؛ وَلِأَنَّهَا فِي الْمُصْحَفِ مَرَّةً فَلْتَكُنْ فِي التِّلَاوَةِ مَرَّةً اهـ فَهَلْ كَلَامُهُ مُقَرَّرٌ مُعْتَمَدٌ أَمْ لَا بَيِّنُوا ذَلِكَ وَأَوْضِحُوهُ لَا عَدِمَكُمْ الْمُسْلِمُونَ (فَأَجَابَ) فَسَّحَ اللَّهُ فِي مُدَّتِهِ بِقَوْلِهِ: تَكْرِيرُ قِرَاءَةِ سُورَةِ الْإِخْلَاصِ أَوْ غَيْرِهَا فِي رَكْعَةٍ أَوْ كُلِّ رَكْعَةٍ مِنْ التَّرَاوِيحِ لَيْسَ بِسُنَّةٍ، وَلَا يُقَالُ: مَكْرُوهٌ عَلَى قَوَاعِدِنَا. لِأَنَّهُ لَمْ يَرِدْ فِيهِ نَهْيٌ مَخْصُوصٌ
Artinya : Ibnu Hajar al-Haitamy-semoga Allah memamfaatkannya-ditanyai mengenai mengulang-ulangi Surat al-Ikhlash pada Tarawih apakah disunnahkan? Apabila kamu mengatakan tidak, apakah dimakruhkan atau tidak ? Saya pernah melihat dalam kitab al-Mu’limaat karya Ibnu Syubhah bahwa mengulangi Surat al-Ikhlash pada Tarawih sebanyak tiga kali telah dimakruhkan oleh sebagian salaf. Sebagian salaf tersebut mengatakan, “Karena pengulangan tersebut berselisihan dengan yang maklum dari orang-orang terdahulu dan karena Surat al-Ikhlash dalam mashaf hanya satu kali, maka hendaklah dibaca satu kali juga.” Maka apakah kalamnya itu dapat dipegang dan mu’tamad atau tidak ? Jelaskan dan terangkan ! semoga kaum muslimin tidak menganggapmu tidak ada.
                     Ibnu Hajar –semoga Allah melapangkannya dalam kehidupannya- menjawab dengan perkataan beliau : Bahwa mengulang-ulangi Surat al-Ikhlash atau lainnya dalam satu raka’at atau setiap raka’at shalat Tarawih tidaklah sunnah dan tidak dikatakan makruh berdasarkan qawaid kita, karena tidak datang larangan khusus tentangnya. [3]

Selanjutnya, Ibnu Hajar dalam halaman yang sama mengutip fatwa Ibnu Abdussalam, Ibnu Shilah dan lainnya, yaitu membaca al-Qur’an menurut qadar yang telah ber’adat pada tarawih, yaitu jumlah juzu’ yang ma’ruf dengan ukuran dalam satu bulan dapat mengkhatam seluruh isi Al-qur’an adalah lebih baik dari pada membaca surat-surat pendek. ‘Illat-nya karena sunat qiyaam pada tarawih dengan seluruh al-Qur’an.

3.        Al-Bakri al-Damyathi, sesudah menyanggah tulisan Zainuddin al-Malibary dalam Fathul Mu’in sebagaimana disebut pada point pertama dan mengutip pernyataan Ibnu Hajar al-Haitamy sebagaimana disebut pada point kedua di atas, mengatakan :
“Walhasil, menurut yang dhahir dari kalam mereka, sesungguhnya yang warid  adalah membaca semua al-Qur’an dengan juzu’-juzu’ yang maklum, itu lebih aula dan utama. Selain itu adalah khilaf aula dan utama, baik dibaca Surat al-Ikhlash atau lainnya pada setiap raka’at atau pada sebagiannya yang akhir dari rakaat atau yang pertama, baik diulangi tiga kali atau bukan. Karena itu yang menjadi kebiasaan ahli Makkah membaca Qul huwallahu ahad pada raka’at-raka’at yang akhir dan alhakum sampai al-masad pada rakaat pertama merupakan khilaf afdhal.”[4]


[1] Zainuddin al-Malibary, Fathul Mu’in, dicetak pada hamisy I’anah al-Thalibin, Thaha Putra, Semarang, Juz. I, Hal. 266
[2] al-Bakri al-Damyathi, I’anah al-Thalibin, Thaha Putra, Semarang, Juz. I, Hal. 266
[3] Ibnu Hajar Haitamy, al-Fatawa al-Kubra al-Fiqhiah, Darul Fikri, Beirut, Juz I, Hal. 184
[4] al-Bakri al-Damyathi, I’anah al-Thalibin, Thaha Putra, Semarang, Juz. I, Hal. 266

8 komentar:

  1. Sy mo tanya tgk..
    Haram adalah di beri pahala bagi yg meninggalkannya & di siksa bg yg mengerjakannya...
    Skrang kita lagi santai dan tdk berbuat zina.. Apa kita akan mendpt pahala jg krn meninggalkan yg haram?

    BalasHapus
    Balasan
    1. dapat pahala apabila ada disertai qashad atau niat menyanjung perintah Allah menjauhi larangan-Nya. adapun kalau tdk berbuat zina hanya karena belum ada kesempatan atau karena faktor 2 lain yang bukan karena menyanjung perintah Allah menjauhui larangan-Nya, maka tidak dapat pahala, meskipun dia tidak berdosa.

      Hapus
  2. Trims tgk..
    Tgk, gmn hukumnya bila pembagian warisan menurut ilmu faraidh tdk dilakukan.. Tp ditunjuk2 saja, misalnya kamu dapat ini,dia dpt itu dan semuanya ridha & setuju..
    Atau smua ahli waris kaya2, & harta itu di serah sj buat salah satu adiknya yg miskin?
    Gmn tgk?

    BalasHapus
    Balasan
    1. menurut hemat kami, kalau semua ahli waris setuju, maka itu boleh saja, karena bagian harta warisan merupakan hak,bukan kewajiban, karena itu ahli waris boleh saja tidak menggunakan haknya.
      wassalam

      Hapus
  3. Slm tgk..
    Sy ingin tanya mengenai syech bal'am dan barsisha.. Siapa beliau2 nie?
    Apa yg mnyebabkan mereka mati dalam kafir? Mhon penjelasanya..

    BalasHapus
    Balasan
    1. 1. untuk kisah barsisa dapat dilihat pada :

      http://taushiyahonline.blogspot.com/2010_04_01_archive.html

      2. kisah bal'am, dapat dilihat pada :
      http://tarekatqodiriyah.wordpress.com/tag/balam-dan-wabah-thoun/

      wassalam

      Hapus
  4. Assalamualaikum Tgk Alizar,

    Mohon Tgk membantu dalam soal qadha solat fardhu yang tertinggal dgn sengaja (tanpa uzur syar'i).
    Saya difahamkan: 1) Ijmak Ulama WAJIB SEGERAKAN QADHA'
    2) Qaul Muktamad Mazhab Syafie juga WAJIB SEGERAKAN QADHA'
    Seperti di ibaratkan dalam kitab-kitab besar dan kecil Mazhab Syafie' maupun bahasa Arab atau Melayu seperti: Syarah Manhaj at-Thulab, Ia'nah Tholibin,Majmu', Sabilal Muhtadin dan sebagainya.

    Soalnya: Apakah ada dalam Mazhad Syafie Qaul Dhaif yang SUNAT SAHAJA DISEGERAKAN QADHA'? Yang boleh dipegangi oleh orang-orang awam yang lemah?

    Terimakasih..

    BalasHapus
    Balasan
    1. alaikum salam wr wb
      Dalam Majmu’ Syarh al-Muhazzab disebutkan, dalam hal qadha shalat yang ditinggalkan secara sengaja terdapat dua pendapat ulama syafi’iyah :
      Pertama : sunnat diqadha secara segera dan boleh ditunda qadhanya. Ini merupakan pendapat yang dianggap lebih shahih di sisi ulama syafi’iyah di Iraq.
      Kedua : wajib qadha secara segera. Ini merupakan pendapat ulama syafi’iyah di Khurasan. Namun kebanyakan ulama syafi’iyah Khurasan mengatakan, tidak ada pendapat dalam mazhab syafi’i kecuali pendapat ini, bahkan Imam al-Haramain telah mengutip adanya kesepakatan para tokoh-tokoh ulama syafi’iyah terhadap pendapat kedua ini. Kemudian Imam al-Nawawi dalam kitab al-Majmu’ ini mengatakan, pendapat Imam Haramain ini merupakan pendapat shahih, karena sikap sengaja meninggalkan shalat dan lagi pula orang meninggalkan shalat secara sengaja hukumannya adalah bunuh, jadi kalau qadhanya boleh ditunda, maka tentu tidak dapat dijatuhi hukumannya.
      (al-Nawawi, Majmu’ Syarh al-Muhazzab, Juz. III, Hal. 74)
      Berdasarkan penjelasan al-Nawawi di atas, maka pendapat sunnat qadha secara segera, bukan wajib bagi orang yang meninggalkan shalat secara sengaja, merupakan pendapat muqabil shahih (lawan pendapat shahih). Dengan demikian pendapat sunnat qadha secara segera tersebut sangatlah dha’if. karenanya tidak boleh diamalkan berdasarkan tarjih al-Nawawi di atas.

      wassalam

      Hapus