Pertanyaan
dari : T. masykur:
dan satu masalah
lagi yaitu tentang kita angget/linggik zike maulid di dayah dimana tersebut
matan yang jelas supaya mudah kita beri argumat terhadap orang kampung
Jawab :
Sudah menjadi kebiasaan di Aceh dalam memperingati Maulid Nabi besar
Muhammad SAW didakan zikir barzanji yang berisi puji-pujian kepada Nabi SAW.
Sebagian mereka ada yang menggoyangkan tubuh dengan mengikuti irama semacam
tarian (orang Aceh menyebutnya lingik likee). Lingik likee ini
dilakukan baik pada waktu duduk maupun waktu berdiri.
Pada prinsipnya lingik likee
ini boleh-boleh saja dilakukan asalkan dilakukan memperhatikan adab-adab
berzikir dan tidak ada unsur perbuatan maksiat di dalamnya, karena sejauh pengetahuan kami, tidak tidak ada
dalil syara’ yang melarangnya. Karena itu berlaku qaidah fiqh berbunyi :
الاصل في الاشياء الاباحة حتى يدل الدليل على التحريم
“Asal sesuatu adalah mubah sehingga ada dalil yang menunjuki
kepada haram.”[1]
Menurut hemat kami, adab-adab yang
harus diperhatikan waktu lingik likee, antara lain :
1.
Lingik likee tersebut tidak
menyebabkan kesalahan mengucapkan zikir. Hal ini sangat penting diperhatikan,
karena kesibukan dengan goyang tubuh (lingik likee) kadang-kadang
melalaikan pengucapkan zikir yang benar. Kalau lingik likee dapat
menyebabkan kesalahan pengucapan zikir sehingga dapat merobah maknanya, maka
ini tidak jauh kalau kita katakan bahwa lingik likee macam ini adalah
haram.
2.
Lingik likee tersebut
tidak menyerupai perbuatan orang fasid. Misalnya Lingik likee yang
dilakukan seperti tarian yang yang biasanya dilakukan penyanyi-penyanyi rock
dan penyanyi dangdut. Seandainya dilakukan lingik likee seperti ini
dengan qashad menyerupai mereka, maka haram hukumnya berdasarkan hadits Nabi SAW berbunyi :
من تشبه بقوم فهومنهم
Artinya : Barangsiapa yang menyerupai
suatu kaum, maka ia termasuk dalam kaum itu.
Al-Sakhawy mengatakan, hadits ini diriwayat oleh Ahmad, Abu
Daud dan al-Thabrany dalam al-Kabir dari hadits Muniib al-Jarsyi dari Ibnu Umar
secara marfu’ dengan sanad dha’if, namun hadits ini telah disokong oleh hadits
Huzaifah dan Abu Hurairah di sisi al-Bazar, di sisi Abu Na’im dalam Tarikh
Ashbahan dari Anas dan di sisi al-Qadha’i dari hadits Thawus secara mursal.[2]
Dengan demikian, hadits ini meskipun sanadnya dhaif, kualitasnya naik
menjadi hasan karena ada sokongan dari
jalur-jalur lain sebagaimana terlihat dari uraian di atas. Kesimpulan ini
sesuai dengan pernyataan Ibnu Hajar al-Asqalani berikut :
”Hadits ini dikeluarkan Abu
Daud dengan sanad hasan.[3]
Ibnu Hajar Haitamy r.h. ditanya apakah
halal main dengan panah kecil yang tidak bermanfaat dan tidak dapat membunuh
binatang buruan tetapi hanya disediakan untuk permainan bagi orang-orang kafir,
makan pisang yang banyak yang dimasak dengan mencampurkan gula, memakaikan
anak-anak dengan pakaian berwarna kuning karena mengikuti anggapan penting ini
oleh orang kafir pada sebagian hari raya mereka atau memberikan pakaian dan
kebutuhan bagi mereka karena orang itu dan mereka ada hubungan dimana salah
satunya adalah penyewa bagi lainnya karena menghormati hari Nairuz (hari awal
tahun orang Qubthi) atau lainya ?. Sesungguhnya orang-orang kafir, anak-anak
dan dewasa, orang biasa/kecil dan tokoh-tokoh bahkan hamba sahaya dari kalangan
mereka, sangat mementingkan panah kecil dan permainannya dan makan pisang yang
banyak yang dimasak dengan gula. Demikian juga memakaikan anak-anak dengan
pakaian berwarna kuning dan memberikan pakaian dan kebutuhan-kebutuhan kepada
orang-orang yang berhubungan dengan mereka. Sedangkan pada hari itu, pada
mereka tidak ada ibadah menyembah patung atau lainnya. Hari itu adalah apabila
bulan pada hari keberuntungan penyembelih, yaitu pada buruj Singa.
Sekelompok orang muslimin, pada saat melihat perbuatan kafir tersebut, juga
melakukannya seperti mereka, maka apakah itu menjadi kafir atau berdosa orang
muslim apabila melakukannya seperti perbuatan mereka dengan tanpa mengi’tiqad
menghormati hari raya mereka dan tanpa karena mengikuti mereka atau tidak ?. Beliau
menjawab :
“Tidak menjadi kafir dengan sebab melakukan
sesuatu dari itu semua. Sesungguhnya Ashabina (sahabat kita) telah menjelaskan
bahwa kalau seseorang mengikat zinar pada pinggangnya atau meletak atas
kepalanya peci Majusi, tidak menjadi kafir dengan semata-mata demikian. Oleh
karena itu, tidak menjadi kafir dengan sebab yang tersebut pada pertanyaan di
atas lebih aula (lebih patut) dan itu dhahir, bahkan melakukan sesuatu yang
disebutkan itu tidak haram apabila diqashadkan menyerupai dengan kafir yang
bukan dari aspek kekafirannya. Jika tidak (jika dari aspek kekafirannya), maka kafir secara qatha’.
Kesimpulannya kalau dilakukannya dengan qashad menyerupai kafir pada syi’ar
kufur, maka kafir secara qatha’ atau pada syi’ar hari raya mereka dengan qatha’
nadhar (mengesampingkan) dari kekufuran,
maka tidak menjadi kafir, tetapi berdosa dan apabila tidak mengqashadkan menyerupai
sama sekali orang kafir, maka tidak ada
sesuatupun atasnya. [4]
Adapun apabila tidak
mengqashad menyerupai mereka, maka minimal ini, hukumnya makruh, karena kita
dianjurkan menyelisih perbuatan orang-orang fasid sebagaimana dianjurkan
menyelisih perbuatan orang-orang kafir sebagaimana contoh-contoh di bawah ini,
yaitu :
a. Perintah makan sahur
untuk menyelisih Ahlul Kitab ketika puasa, berdasarkan hadits
dari Amr bin ‘Ash, sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda :
فَصْلُ مَا بَيْنَ صِيَامِنَا وَصِيَامِ أَهْلِ الْكِتَابِ أَكْلَةُ
السَّحَرِ
“Perbedaan
antara puasa kita dengan puasa ahl al-Kitab adalah makan sahur” (H.R.
Muslim)[5]
Telah terjadi ijmak ulama bahwa hukum makan
sahur pada malam hari puasa adalah sunnah, tidak wajib.[6]
b.
Perintah merubah uban untuk menyelisih kaum
Yahudi dan Nashrani, berdasarkan hadits dari Abu Hurairah, Rasulullah SAW
bersabda :
إِنَّ
الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى لَا يَصْبُغُونَ فَخَالِفُوهُمْ
“Sesungguhnya
orang-orang Yahudi dan Nashrani tidak menyemir uban mereka, maka selisihlah mereka.” (HR.
Bukhari [7] dan
Muslim[8] )
dan hadits Jabir :
عن جابر بن عبد الله قال أتي بأبي قحافة يوم فتح
مكة ورأسه ولحيته كالثغامة بياضا فقال رسول الله صلعم غَيِّرُوا هَذَا بِشَيْءٍ
وَاجْتَنِبُوا السَّوَادَ
“Dari
Jabir bin Abdullah, beliau berkata : “Abu Qahafah muncul pada hari penaklukan
Makkah dengan kepala dan jenggot sudah beruban seperti serbuk sari, maka
bersabda Rasulullah SAW : “Ubahlah uban ini dengan sesuatu, tetapi hindarilah
warna hitam”.(HR. Muslim)[9]
Telah datang riwayat dari Nabi yang
memerintahkan merobah uban rambut sebagaimana datang hadits yang melarang
merobah uban. Datang riwayat yang berbeda ini mengakibatkan muncul perbedaan
pendapat para Sahabat dan Tabi’in sesudah mereka, sebagiam mereka mengatakan
merobahnya lebih afdhal dan sebagian lain berpendapat membiarkannya tanpa
dirobah lebih afdhal, namun mereka ijmak bahwa merobah atau membiarkan tanpa
dirobah tidaklah wajib. Al-Thabrani mengatakan :
“Yang
benar, atsar yang diriwayat dari Nabi SAW merobah uban dan melarang merobahnya adalah
semuanya shahih dan tidak ada pertentangan padanya, tetapi perintah merobahnya
adalah untuk orang-orang yang ubannya seperti uban Abi Quhafah dan larangannya
bagi orang-orang yang ubannya masih bercampur (bercampur dengan rambut hitam)
Karena itu, perbedaan para Salaf dalam melaksanakan dua hal tersebut adalah
berdasarkan perbedaan keadaan uban mereka. Namun yang pasti perintah dan
larangan tentang merobah uban tersebut bukanlah wajib secara ijmak, karenanya
sebagian mereka tidak saling mengingkari sebagian yang lain.”[10]
c.
Perintah memakai sandal dan sepatu dalam shalat
berdasarkan hadits Nabi SAW dari Syaddad bin Aus, berbunyi :
خَالِفُوا الْيَهُودَ
فَإِنَّهُمْ لَا يُصَلُّونَ فِي نِعَالِهِمْ وَلَا خِفَافِهِمْ
“Sesunguhnya
Yahudi tidak shalat memakai sandal, maka berselisihlah mereka.” (H.R. Abu
Daud dan al-Hakim).[11]
Perintah berselisih di atas bukanlah perintah
bermakna wajib, karena Nabi SAW sendiri pernah shalat tanpa menggunakan sandal
berdasarkan Hadis dari Amr bin Syu’ib dari bapaknya
dari kakeknya, beliau menyatakan :
رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّي حَافِيًا وَمُنْتَعِلًا
“Saya pernah melihat Rasulullah SAW terkadang shalat dengan tidak
beralas kaki dan kadang shalat dengan memakai sandal. (HR. Abu Daud).[12]
Memakai
sandal dalam shalat menurut Ibnu Daqiq al-‘Id merupakan rukshah, bukan suatu
yang sunnah dalam shalat, namun menurut Ibnu Hajar al-Asqalany apabila
memakainya dengan niat menyelesih kaum Yahudi sebagaimana kandungan hadits
Syaddad bin Aus di atas, maka hukum memakainya menjadi dianjurkan.[13]
Alhasil perintah memakai sandal dan sepatu dalam shalat untuk menyelisih kaum
Yahudi di atas bukanlah perintah bermakna wajib.
d.
Perintah puasa Tasu’a (sembilan Muharram)
untuk menyelisih puasa kaum Yahudi dan Nashrani yang berpuasa ’Ayuraa
sebagaimana kandungan hadits Ibnu Abbas beliau berkata :
حِينَ صَامَ رَسُولُ اللهِ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمَ عَاشُورَاءَ وَأَمَرَ بِصِيَامِهِ
قَالُوا: يَا رَسُولَ اللهِ إِنَّهُ يَوْمٌ تُعَظِّمُهُ الْيَهُودُ وَالنَّصَارَى
فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ: فَإِذَا كَانَ الْعَامُ الْمُقْبِلُ إِنْ شَاءَ اللهُ صُمْنَا الْيَوْمَ
التَّاسِعَ قَالَ: فَلَمْ
يَأْتِ الْعَامُ الْمُقْبِلُ، حَتَّى تُوُفِّيَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
”Rasulullah SAW
melaksanakan dan memerintah berpuasa pada Hari ’Asyuraa, ketika itu para
sahabat berkata : ”Ya Rasulullah sesungguhnya hari Asyura itu merupakan hari
yang dihormati oleh Yahudi dan Nashrani.”
Rasulullah SAW menjawab : ”Apabila datang tahun depan, insya Allah kami
berpuasa pada hari kesembilannya. Ibnu Abbas mengatakan : ”Tidak sempat datang
tahun depan itu, karena Rasulullah SAW duluan wafat.” (H.R. Muslim)[14]
Keinginan Rasulullah SAW berpuasa hari kesembilan
Muharram (Tasu’a) untuk menyelisih kaum Yahudi dan Nashrani dan sepakat para
ulama hukum puasa Tasu’a tersebut adalah sunnah, tidak wajib.
[1]
Al-Suyuthi, al-Asybah wal-Nadhair, al-Haramain, Singapura, Hal.
43
[2] Al-Sakhawy, al-Maqashid
al-Hasanah, Maktabah Syamilah, Juz. I, Hal. 639
[3] Ibnu Hajar al-Asqalany, Fath
al-Barry, Maktabah Syamilah, Juz. X, Hal. 271
[4]
. Ibnu Hajar Haitamy, al-Fatawa al-Kubra
al-Fiqhiyah, Darul Fikri, Beirut, Juz. IV, Hal. 238-239)
[5] Imam
Muslim, Shahih Muslim, Maktabah Syamilah, Juz. III, hal. 130, No.
hadits : 2604
[6] Ibnu
Munzir, al-Ijmak, Dar al-Kutub al-Ilmiyah, Hal. 15
[7] Bukhari, Shahih Bikhari, Dar
Thauq an-Najh, Juz. IV, Hal. 170, No. Hadits : 3462
[8] Imam Muslim, Shahih Muslim, Maktabah
Dahlan, Indonesia, Juz. III, Hal. 1663, No. Hadits : 2103
[9] Imam Muslim, Shahih Muslim, Maktabah
Dahlan, Indonesia, Juz. III, Hal. 1663, No. Hadits : 2102
[10] Al-Nawawi,
Syarah Muslim, Maktabah Syamilah,
Juz. XIV, Hal. 80
[11] Ibnu
Hajar al-Asqalany, Fathul Barii, al-Maktabah al-Salafiyah, Juz.
I, Hal. 494
[12] Abu
Daud, Sunan Abu Daud, Maktabah Syamilah, Juz. I, Hal. 176, No.
Hadits : 653
[13] Ibnu
Hajar al-Asqalany, Fathul Barii, al-Maktabah al-Salafiyah, Juz.
I, Hal. 494
[14] Imam
Muslim, Shahih Muslim, Maktabah Syamilah, Juz. II, Hal. 797, No.
Hadits : 1134
kepada pembaca yang mempunyai pandangan berbeda dgn kami atau ada masukan lain mengenai masalah di atas, kami mohon komentarnya
BalasHapuswassalam
Assalamualaikum tgk. Saya mau tanyay apa hukum berzikir sambil bergoyang tubuh.tdk di kira waktu maulid atau seumpamanya.. Seperti zikir kaum Sufi.apa kah ada larangan dari Nabi Muhammad صلى الله عليه وسلم zikir goyang tubuh.. Mohon tgk bagi referensi dari Ulama muktabar.dan Hadist Nabi.mohon maaf klo saya coment blogy Tgk.
BalasHapusAssalamualaikum. maaf ikhwan syarawi, setau ana, tentang tata cara dzikir dan doa sudah ada di jelaskan di Alquran, silahkan buka tafsir QS Al A'raf : 55 & 205.
BalasHapusWallahualam.