1.
Dari Amir bin Abdullah bin al-Zubir dari bapaknya :
أَنَّ رَسُولَ اَللَّهِ
صلى الله عليه وسلم قَالَ : أَعْلِنُوا اَلنِّكَاحَ
Artinya : Bahwa Rasulullah SAW bersabda: Sebarkanlah
berita pernikahan. (H.R.Ahmad dan
shahih menurut al-Hakim)[1]
2.
Hadits dari Aisyah r.a. berbunyi :
أَن النَّبِي صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ قَالَ لَا نِكَاح إِلَّا ولِي وشاهدي عدل وَمَا كَانَ
من نِكَاح عَلَى غير ذَلِك فَهُوَ بَاطِل فَإِن تشاجروا فالسلطان ولي من لَا ولي لَهُ
رَوَاهُ ابْن حبَان فِي صَحِيحه وَقَالَ لَا يَصح فِي ذكر الشَّاهِدين غَيره
Artinya : Sesungguhnya Nabi SAW bersabda : Tidak pernikahan kecuali
dengan wali dan dua saksi yang adil. Pernikahan yang bukan atas jalan demikian,
maka batil. Seandainya mereka berbantahan, maka sulthan yang menjadi wali
orang-orang yang tidak mempunyai wali. (H.R. Ibnu Hibban dalam Shahihnya.
Beliau mengatakan, tidak ada hadits yang shahih dalam penyebutan dua orang
saksi kecuali hadits ini.)[2]
3.
Dari
Amran bin Hushain r.a., sesungguhnya Rasulullah SAW bersabda :
لاَنِكَاحَ إِلاَّ بِوَلِيٍّ
وَشَاهِدَيْنِ
Artinya : Tidak pernikahan
kecuali dengan wali dan dua orang saksi.
Hadits ini telah diriwayat oleh Ahmad dalam musnadnya,
Baihaqi, al-Thabrani, Darulquthni dan Imam Syafi’i. Imam Syafi’i mengatakan, hadits
ini meskipun munqathi’, tetapi kebanyakan ahli ilmu berpendapat dengan
kandungan hadits tersebut.[3]
Para ulama sepakat bahwa
pernikahan tidak boleh disembunyikan berdasarkan hadits pertama di atas. Cuma
mereka berbeda pendapat apakah pernikahan yang disaksikan hanya dua orang
termasuk pernikahan tersebunyi atau tidak. Malik mengatakan pernikahan itu
tersembunyi. Karena itu, menurut Malik meskipun pernikahan itu sah, namun wajib
di beritahukan kemudian kepada masyarakat seperti dengan mengadakan pesta atau
lainnya, namun apabila kedua belah pihak mewasiatkan menyembunyikan akad
pernikahan tersebut, maka nikahnya tidak sah. Syafi’i dan Abu Hanifah
berpendapat pernikahan dengan dengan disaksikan dua saksi bukan pernikahan
tersembunyi. Karena itu memadai dengan kesaksian dua orang saksi dan tidak
wajib diberitahukan kepada masyarakat. Namun Abu Hanifah tidak mensyaratkan dua
orang saksi harus adil, sebaliknya Syafi’i, mewajibkannya. Abu Hanifah
menganggap kesaksian hanya untuk pemberitahuan, maka tidak disyaratkan adil,
sedangkan Syafi’i disamping untuk pemberitahuan, juga menganggapnya sebagai
penerimaan pernikahan (qabul), karena itu saksi wajib adil.[4]
[1]. Ibnu Hajar
al-Asqalany, Bulugul Maram, (Tahqiq Samiir bin Amin al-Zahiry),
Hal. 296
[2] Ibnu
al-Mulaqqan, Tuhfah al-Muhtaj ‘ala Adallah al-Minhaj, Darul
Hira’, Makkah, Hal. 363-364, No. Hadits : 1427
[3] Ibnu
al-Mulaqqan, Badrul Munir, Maktabah Syamilah, Juz. VII, Hal. 542.
[4] Ibnu Rusyd, Bidayatul
Mujtahid, Usaha Keluarga, Semarang, Juz II, Hal. 13
Tidak ada komentar:
Posting Komentar