Sahur merupakan anjuran bagi orang yang berpuasa dimana waktunya
mulai masuk pertengahan malam sampai dengan terbit fajar. Imam al-Nawawi
mengatakan :
وَقْتُ السَّحُورِ
بَيْنَ نِصْفِ اللَّيْلِ وَطُلُوعِ الْفَجْرِ
Waktu sahur
adalah antara pertengahan malam dan terbit fajar.[1]
Menurut
al-Kaasaaniy al-Hanafi makan sahur dilakukan sesudah pertengahan malam. Ini
karena sahur berasal dari akar kata “sahar”, sedangkan waktu sahar
adalah sesudah pertengahan malam.[2]
Berdasarkan
ini, maka orang yang makan sebelum pertengahan malam dengan niat sahur tidak
sah menjadi sahur. Abubakar Syathaa dalam I’anah al-Thalibin mengatakan,
والحاصل أن السحور
يدخل وقته بنصف الليل، فالأكل قبله ليس بسحور، فلا يحصل به السنة،
Alhasil, sesungguhnya
sahur masuk waktunya dengan masuk pertengahan malam. Karena itu, makan
sebelumnya bukanlah sahur dan tidak mendapat sunnah karenanya.[3]
Meskipun waktu bersahur sebagaimana
dikemukakan di atas antara pertengahan malam dan terbit fajar, akan tetapi
waktu utama bersahur adalah di akhir malam. Hal ini dikarena makan sahur di
akhir malam lebih meringankan orang berpuasa menahan lapar dan haus pada waktu
siangnya. Ini juga sesuai riwayat Zaid bin Tsabit berbunyi :
تَسَحَّرْنَا مَعَ
رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، ثُمَّ قُمْنَا إِلَى الصَّلَاةِ
قُلْتُ: كَمْ كَانَ قَدْرُ مَا بَيْنَهُمَا؟ قَالَ: خَمْسِينَ آيَةً
Kami makan
sahur bersama Rasulullah SAW, kemudian kami mendirikan shalat. Aku (perawi)
bertanya : “berapa ukuran antara keduanya”. Zaid bin Tsabit menjawab : “ukuran
lima puluh ayat” (H.R. Muslim)[4]
Dalam sebuah
hadits, Nabi SAW bersabda :
عَجَّلُوا الإِفْطَارَ وَأَخَّرُوا السُّحُورَ
Segerakanlah berbuka dan akhirkan bersahur (H.R.
al-Thabraniy)[5]
Ibnu Abd al-Bar mengatakan, hadits-hadits
menyegerakan berbuka puasa dan mengakhirkan bersahur adalah shahih dan
mutawatir. Di sisi Abdurrazaq dan lainnya dengan isnad shahih dari ‘Amr bin
Maimun al-Audiy berkata :
قَالَ كَانَ
أَصْحَابُ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَسْرَعَ النَّاسِ
إِفْطَارًا وَأَبْطَأَهُمْ سُحُورًا
Para sahabat
Muhammad SAW memerintahkan manusia menyegerakan berbuka dan memperlambatkan
sahur[6]
Fadhilah Sahur
Selain mengikuti sunnah Rasulullah SAW
dan bisa menguatkan orang berpuasa, sahur juga mempunyai fadhilah-fadhilah lain
sebagaimana tersebut dalam hadits berikut ini, antara lain :
1. Sahur merupakan pembeda bagi orang muslim dan
ahlul kitab. Walaupun ahlul kitab juga melaksanakan puasa sesuai keyakinan
mereka, tetapi mereka tidak makan sahur sebagaimana hadits yang diriwayatkan
oleh Amr bin ‘Ash sesungguhnya Rasulullah SAW. bersabda :
فَصْلَ مَا بَيْنَ صِيَامِنَا وَصِيَامِ
أَهْلِ الْكِتَابِ أَكْلَةُ السُّحُورِ
Pembeda antara puasa kita dan puasa ahlul kitab
adalah makan sahur (H.R. Muslim dan lainnya)[7]
2. Dari Ibnu Umar, Rasulullah SAW bersabda :
إِنَّ اللَّهَ
وَمَلَائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى الْمُتَسَحِّرِينَ
Sesungguhnya Allah dan malaikat-Nya
bershalawat kepada orang-orang yang bersahur
(H.R. al-Thabraniy)[8]
3. Dari al-Saaib bin Yazid, Rasulullah SAW
bersabda :
نِعْمَ
السَّحُورُ التَّمْرُ وَقَالَ يَرْحَمُ اللَّهُ الْمُتَسَحِّرِينَ
Sebaik-baik hidangan sahur adalah kurma. Rasulullah SAW lalu
berdoa, “Semoga Allah menurunkan
rahmat-Nya bagi mereka yang bersahur”, (H.R. al-Thabaraniy)[9]
4.
Dari Ibnu
Abbas, sesungguhnya Nabi SAW bersabda :
ثَلَاثٌ لَيْسَ عَلَيْهِمْ حِسَابٌ فِيمَا
طَعِمُوا إِنْ شَاءَ اللَّهُ إِذَا كَانَ حَلَالًا: الصَّائِمُ، وَالْمُتَسَحِّرُ،
وَالْمُرَابِطُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ
Ada tiga
orang yang insya Allah tidak akan dihisab apa yang mereka makan apabila makanan
itu halal, yaitu orang yang berpuasa (ketika berbuka). orang yang sahur dan orang
yang sedang berjuang di jalan Allah. (H.R. al-Bazaar dan al-Thabaraniy)[10]
5. Nabi SAW bersabda :
عَلَيْكُمْ
بِهَذَا السَّحُورِ فَإِنَّهُ هُوَ الْغِذَاءُ الْمُبَارَكُ
Hendaklah kamu bersahur, karena
sahur itu makanan yang berkah (H.R. al-Nisa’i dengan isnad baik)[11]
6. Dalam riwayat
lain, Nabi SAW bersabda :
تَسَحَّرُوا
فَإِنَّ فِي السَّحُورِ بَرَكَةً
Bersahurlah, karena pada sahur itu berkah.
(H.R. Bukhari [12]dan
Muslim[13])
Dalam mengomentari hadits ini, Imam al-Nawawi menjelaskan kepada
kita, telah terjadi ijmak para ulama
atas anjuran bersahur dan tidak wajib bersahur. Adapun berkah sahur itu nyata,
karena dengan sahur dapat menguatkan dan menyungguhkan orang berpuasa.
Disamping itu, menambahkan motivasi dalam berpuasa karena ringan kesukaran
puasa pada orang yang makan sahur. Menurut beliau, ini merupakan makna yang
benar dan menjadi pegangan dalam memaknai hadits ini.[14]
Berbeda dengan al-Nawawi di atas, Ibnu Hajar al-Asqalaniy menyebut
lebih banyak berkah sahur. Beliau mengatakan, berkah sahur didapati dari banyak
aspek, yaitu :
1. mengikuti sunnah dan menyalahi ahlul kitab
2. kuat dan menambah motivasi dalam ibadah
3. terhindar dari keburukan akhlaq karena pengaruh
lapar
4. menjadi sebab bersadaqah kepada peminta-minta
atau makan bersamanya
5. menjadi sebab berzikir dan berdoa pada waktu
ijabah doa
6. mendapat kesempatan niat puasa bagi orang yang
sering lalai niatnya[15]
Menurut Daqiq al-‘Aid, berkah sahur ini dimungkinkan kembali kepada
perkara ukhrawi seperti menegakkan sunnah yang mendapat pahala di akhirat dan
dimungkinkan juga kembali kepada duniawi seperti kuat tubuh pada orang puasa
serta ringan dalam berpuasa dan tidak mendatangkan mudharat.[16]
[1]
Al-Nawawi, Majmu’ Syarah al-Muhazzab, Maktabah Syamilah, Juz. VI,
Hal. 360
[2] al-Kaasaaniy al-Hanafi, Badai’
al-Shanai’fi tartib al-Syarai’, Maktabah Syamilah, Juz. II, Hal. 69
[3] Abubakar
Syathaa, I’anah al-Thalibin, Maktabah Syamilah, juz. II, Hal. 277
[4]
Imam Muslim, Shahih Muslim, Maktabah Syamilah, Juz. II, Hal. 771
[5] Al-Haitsamiy,
Majma’ al-Zawaid, Maktabah Syamilah, Juz. III, Hal. 155
[6] Ibnu
Hajar al-Asqalaniy, Fathul Barri, Maktabah Syamilah, Juz. IV,
Hal. 199
[7]
Ibnu Atsir, Jami’ Ushul, Maktabah Syamilah, Juz. VI, Hal. 362
[8]
Al-Haitsamiy, Majma’ al-Zawaid, Maktabah Syamilah, Juz. III, Hal.
150
[9]
Al-Haitsamiy, Majma’ al-Zawaid, Maktabah Syamilah, Juz. III, Hal.
151
[10]
Al-Haitsamiy, Majma’ al-Zawaid, Maktabah Syamilah, Juz. III, Hal.
151
[11]
Al-Nawawi, Majmu’ Syarah al-Muhazzab, Maktabah Syamilah, Juz. VI,
Hal. 361
[12]
Imam al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, Maktabah Syamilah, Juz. III,
Hal. 29
[13]
Imam Muslim, Shahih Muslim, Maktabah Syamilah, Juz. II, Hal. 770
[14]
Al-Nawawi, Syarah Muslim, Maktabah Syamilah, Juz. VII, Hal. 206
[15]
Ibnu Hajar al-Asqalaniy, Fathul Barri, Maktabah Syamilah, Juz.
IV, Hal. 140
[16]
Ibnu Hajar al-Asqalaniy, Fathul Barri, Maktabah Syamilah, Juz.
IV, Hal. 140
Tidak ada komentar:
Posting Komentar