Senin, 04 April 2022

Tafsir Hadits Qiyam Ramadhan

 Dari Abu Hurairah r.a., Rasulullah SAW bersabda :

من ‌قامَ ‌رمضانَ إيمانًا واحتسابًا غُفِرَ لَهُ ما تقدَّمَ من ذنْبه

Barangsiapa yang mendirikan Ramadhan dengan iman dan ikhlas, maka diampuni dosanya yang sudah berlalu. (Muttafaqun ‘alaihi)[1]


Imam al-Bukhari menempatkan hadits ini dalam “Bab tathawu’ mendirikan Ramadhan dengan keimanan” dan “Bab fadhilah orang yang mendirikan Ramadhan”. Adapun Imam Muslim menempatkan hadits ini dalam “Bab menggemar mendirikan Ramadhan, yaitu tarawih”.

Dalam riwayat lain, hadits ini berbunyi :

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، قَالَ كَانَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُرَغِّبُ فِي قِيَامِ رَمَضَانَ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَأْمُرَهُمْ فِيهِ بِعَزِيمَةٍ، فَيَقُولُ: ‌مَنْ ‌قَامَ ‌رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا، غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ، فَتُوُفِّيَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَالْأَمْرُ عَلَى ذَلِكَ ثُمَّ كَانَ الْأَمْرُ عَلَى ذَلِكَ فِي خِلَافَةِ أَبِي بَكْرٍ، وَصَدْرًا مِنْ خِلَافَةِ عُمَرَ عَلَى ذَلِكَ

Dari Abu Hurairah, beliau berkata : “Rasulullah SAW menggemar mendirikan Ramadhan tanpa memerintahkan mereka dengan ‘azimah (kewajiban). Rasulullah bersabda : “Barangsiapa yang mendirikan Ramadhan dengan iman dan ikhlas, maka diampuni dosanya yang sudah berlalu.” (Ibnu Syihab (perawi) berkata) ; Kemudian Rasulullah SAW wafat, namun keadaan tetap seperti itu, kemudian tetap berlanjut hingga zaman kekhalifahan Abu Bakar dan awal kekhilafahan 'Umar.(H.R. Muslim)[2]

 

Tafsir hadits

1.  Menurut al-Nawawi yang dimaksud dengan qiyam Ramadhan dalam hadits ini adalah shalat tarawih.[3] Ini juga sesuai dengan penempatan Imam Muslim hadits ini dalam “Bab menggemar mendirikan Ramadhan, yaitu tarawih”. Namun Ibnu Hajar al-Asqalaniy memahami perkataan al-Nawawi tersebut bukan berarti qiyam Ramadhan tersebut identik dengan shalat Tarawih. Dalam Fathul Barri beliau mengatakan,

وَذَكَرَ النَّوَوِيُّ أَنَّ الْمُرَادَ بِقِيَامِ رَمَضَانَ صَلَاةُ التَّرَاوِيحِ يَعْنِي أَنَّهُ يَحْصُلُ بِهَا الْمَطْلُوبُ مِنَ الْقِيَامِ لَا أَنَّ قِيَامَ رَمَضَانَ لَا يَكُونُ إِلَّا بِهَا وَأَغْرَبَ الْكَرْمَانِيُّ فَقَالَ اتَّفَقُوا عَلَى أَنَّ الْمُرَادَ بِقِيَامِ رَمَضَانَ صَلَاةُ التَّرَاوِيح

Al-Nawawi menyebut bahwa yang dimaksud dengan qiyam Ramadhan adalah Tarawih, yakni terpenuhi tuntutan tersebut dengan qiyam, bukan dalam arti sesungguhnya qiyam Ramadhan tidak ada kecuali dengan shalat Tarawih. Bahkan pendapat al-Karmaniy sangat  gharib yang mengatakan, para ulama sepakat bahwa maksud qiyam Ramadhan adalah shalat Tarawih.[4]

 

2.  Iman artinya membenarkan bahwa mendirikan Ramadhan adalah haq yang diqashad  fadhilahnya. Adapun makna ihtisab hanya semata-mata qashad kepada Allah Ta’ala, tidak kepada penglihatan manusia dan tidak kepada lainnya yang menyalahi keikhlasan.[5]

3.  Al-Munawiy mengatakan, makna iman di sini adalah membenarkan janji Allah memberikan pahala dengan sebab melakukan qiyam Ramadhan. Adapun makna ihtisab adalah ikhlas. Dihimpun iman dan ihtisab dalam hadits ini. Karena seseorang yang membenarkan sesuatu kadang-kadang tidak ikhlas dalam melakukannya tetapi karena riya. Orang yang ikhlas dalam melakukan sebuah perbuatan, kadang-kadang tidak dalam posisi membenarkan adanya pahala perbuatan tersebut.[6]

4.  Dosa yang diampuni dalam hadits ini, menurut yang ma’ruf di sisi para fuqaha adalah khusus dosa kecil. Namun sebagian ulama mengatakan, mungkin juga bermakna diringankan dosa besar apabila tidak didapati dosa kecil.[7] Al-Zarkasyi mengatakan,

كل ما ورد من إطلاق غفران الذنوب كلها على فعل بعض الطاعات من غير توبة كهذا الحديث وحديث الوضوء يكفر الذنوب وحديث من صلى ركعتين لا يحدث فيهما نفسه غفر الله له فحملوه على الصغائر فإن الكبائر لا يكفرها غير التوبة

Setiap hadits yang warid dalam bentuk mutlaq ampunan semua dosa karena melakukan sebagian ketaatan tanpa taubat, seperti hadits ini dan hadits “Wudhu’ menjadi kifarat dosa-dosa” serta hadits “Barang siapa yang shalat dua rakaat dan tidak diselangi berbicara, maka Allah mengampuninya. Para ulama menempatkannya dengan makna dosa kecil. Karena dosa besar tidak ada kifarat selain taubat.[8]

5.  Para ulama sepakat bahwa qiyam Ramadhan merupakan perintah yang bersifat anjuran tidak bersifat sebuah kewajiban. Ini dipahami dari rangkaian sabda Nabi SAW di atas. Al-Nawawi mengatakan, sighat ini menunjukkan kepada menggemarkan dan anjuran, bukan kewajiban dan telah terjadi ijmak ummat atas qiyam Ramadhan tidaklah wajib, tetapi hanya bersifat anjuran.[9] Penafsiran ini juga sesuai dengan perkataan perawi (Abu Hurairah r.a.) dalam riwayat hadits kedua, “Rasulullah SAW menggemar mendirikan Ramadhan tanpa memerintahkan mereka dengan ‘azimah (kewajiban)”

6.  Terjadi khilafiyah ulama, apakah shalat Tarawih lebih baik dilakukan secara sendiri di rumah atau berjamaah di masjid. Imam Syafi’i dan jumhur pengikutnya, Abu Hanifah, Ahmad, sebagian al-Malikiyah dan lainnya berpendapat lebih baik dilakukan secara berjamaah sebagaimana yang telah dilakukan oleh Umar bin Khatab dan para sahabat Nabi lainnya serta diteruskan oleh kaum muslimin. Karena melakukannya secara berjamaah termasuk syi’ar yang nyata. Karena itu, lebih menyerupai shalat hari raya. Adapun Imam Malik, Abu Yusuf, sebagian Syafi’iyah dan lainnya berpendapat lebih baik dilakukan secara sendiri di rumah. Karena sabda Nabi SAW berbunyi :

أَفْضَلُ الصلاة صلاة المرء في بيته إلا المكتوبة

Sebaik-baik shalat adalah shalat seseorang dalam rumahnya kecuali shalat wajib.[10]

 

7.  Perkataan dalam hadits riwayat kedua di atas :

فَتُوُفِّيَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَالْأَمْرُ عَلَى ذَلِكَ ثُمَّ كَانَ الْأَمْرُ عَلَى ذَلِكَ فِي خِلَافَةِ أَبِي بَكْرٍ، وَصَدْرًا مِنْ خِلَافَةِ عُمَرَ عَلَى ذَلِكَ

merupakan perkataan perawi (Ibnu Syihab) sebagaimana terdapat dalam riwayat Imam al-Bukhari.[11] Adapun maksudnya, menurut al-Nawawi adalah keadaan masa ini berlanjut terus dengan keadaan dimana masing-masing orang melakukan qiyam Ramadhan dalam rumahnya secara sendiri-sendiri sehingga berlalu masa awal kekhalifahan Umar. Kemudian beliau mengumpulkan kaum muslimin ketika itu secara berjamaah mengikuti Ubay bin Ka’ab. Setelah ini qiyam Ramadhan terus berlangsung amalannya secara berjamaah.[12]

 



[1] Ibnu al-Mulaqqin, Tuhfah al-Muhtaj ilaa Adallah al-Minhaj, Maktabah Syamilah, Juz. I, Hal. 421

[2] Imam Muslim, Shahih Muslim, Maktabah Syamilah, Juz. I, Hal. 523

[3] Al-Nawawi, Syarah Muslim, Maktabah Syamilah, Juz. VI, Hal. 39

[4] Ibnu Hajar al-Asqalaniy, Fathul Barri, Maktabah Syamilah, Juz. IV, Hal. 251

[5] Al-Nawawi, Syarah Muslim, Maktabah Syamilah, Juz. VI, Hal. 39

[6] Al-Munawi, Faidhul Qadir, Maktabah Syamilah, Juz. VI, Hal. 191

[7] Al-Nawawi, Syarah Muslim, Maktabah Syamilah, Juz. VI, Hal. 39

[8] Al-Munawi, Faidhul Qadir, Maktabah Syamilah, Juz. VI, Hal. 191

[9] Al-Nawawi, Syarah Muslim, Maktabah Syamilah, Juz. VI, Hal. 40

[10] Al-Nawawi, Syarah Muslim, Maktabah Syamilah, Juz. VI, Hal. 39-40

[11] Imam Al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, Maktabah Syamilah, Juz. III, Hal. 44

[12] Al-Nawawi, Syarah Muslim, Maktabah Syamilah, Juz. VI, Hal. 40

Tidak ada komentar:

Posting Komentar