Selasa, 18 April 2023

Kiat-kiat berpuasa mencapai tingkatan tertinggi

 

Imam Ghazali dalam kitabnya, Ihya Ulumuddin menerangkan tingkatan dalam berpuasa, yaitu : Pertama, puasa orang awam, Puasa tingkatan pertama disebut sebagai shaumul umum atau puasanya orang awam. Praktik puasa yang dilakukan di tingkatan ini sebatas menahan haus dan lapar serta hal-hal lain yang membatalkan puasa secara fiqh.

Kedua, puasanya orang khusus atau puasanya orang-orang spesial. Puasa tingkatan kedua ini adalah puasanya orang-orang shalih. Mereka berpuasa lebih dari sekadar untuk menahan haus, lapar dan hal-hal yang membatalkan. Tapi mereka juga berpuasa untuk menahan pendengaran, penglihatan, lisan, tangan, kaki dan segala anggota badannya dari perbuatan dosa dan maksiat. Mulutnya bukan saja menahan diri dari mengunyah, tapi juga menahan diri dari menggunjing, bergosip, apalagi memfitnah. Imam al-Ghazali menuturkan bahwa puasa tingkatan ini akan sempurna dengan enam perkara, yaitu :

1.  Menghindari dari memandang sesuatu yang tercela dan makruh serta dari setiap yang melalaikan hati dari mengingat Allah Ta’ala

2.  Memelihara lidah dari berkata dusta, ghibah, ucapan yang keji dan kasar, berbantah-bantah serta berlaku riya. Disamping itu, memperbanyak diam dan menyibuk diri dengan berzikir kepada Allah dan membaca al-Qur’an.

3.  Menghindari pendengaran dari menyimak sesuatu yang dibenci syara’, karena setiap yang haram mengatakannya haram juga menyimaknya.

4.  Menghindari anggota tubuh lain dari dosa seperti dosa tangan dan kaki. Demikian juga menghindari perut dari syubhat pada waktu berbuka. Tidak ada makna puasa menahan makan makanan halal, akan tetapi kemudian berbuka dengan makanan haram. Sesungguhnya makanan halal yang banyak dapat memudharat manusia. Karena itu, puasalah yang menguranginya.

5.  Tidak memperbanyak makan yang halal pada waktu berbuka. Ruh dan rahasia puasa adalah melemahkan kekuatan yang merupakan wasilah syaithan untuk kembali  kepada kejahatan. Itu tidak akan berhasil kecuali dengan mengurangi makan.

6.  Hendaknya hati orang yang berpuasa digantung antara rasa khauf (rasa takut kepada Allah) dan rasa rija’ (berharap ridha Allah). Karena seseorang tidak mengetahui apakah puasanya itu diterima di sisi-Nya atau ditolak.

Ketiga, Puasa Orang Super-Khusus. Ini tingkatan yang paling tinggi menurut klasifikasi Imam Al-Ghazali, disebut shaumul khushusil khushus. Mereka tidak saja menahan diri dari maksiat, tapi juga menahan hatinya dari keraguan akan hal-hal keakhiratan. Menahan pikirannya dari masalah duniawiyah, serta menjaga diri dari berpikir kepada selain Allah. Standar batalnya puasa bagi mereka sangat tinggi, yaitu apabila terbersit di dalam hati dan pikirannya tentang selain Allah. Bahkan, menurut kelompok ketiga ini puasa dapat terkurangi nilainya dan bahkan dianggap batal apabila di dalam hati tersirat keraguan, meski sedikit saja, atas kekuasaan Allah. Puasa kategori tingkatan ketiga ini adalah puasanya para nabi, shiddiqin dan muqarrabin.  Puasa tingkatan ketiga inilah yang disebut oleh sebagian ulama sebagai tingkatan muntahi (tingkatan penghujung puasa).

Upaya Imam Al-Ghazali mengklasifikasi orang berpuasa ke dalam tiga tingkatan di atas, tak lain tujuannya adalah agar kita yang setiap tahun berpuasa Ramadhan bisa menapaki tangga yang lebih tinggi dalam kualitas ibadah puasanya. Karena itu, apabila seseorang menginginkan puasanya sempurna dan mencapai tingkat tertinggi, maka hendaknya menyempurnakan puasanya dimulai dari tingkatan pertama dengan memelihara puasanya dari yang membatalkan puasa secara fiqh, kemudian naik ke tingkatan kedua dengan menjaga dirinya dengan menerapkan apa yang harus dilakukannya sebagaimana dijelaskan Imam al-Ghazali di atas. Kemudian insya Allah dengan mengharap ridha Allah (dengan penuh rasa rija’ dan khauf) mudah-mudahan dianugerahkan oleh Allah mendapatkan puasa para nabi, shiddiqin dan muqarrabin. Amiin Ya Rabbal ‘Alamiin.

Kemudian, apakah seseorang berdosa kalau puasanya hanya sekedar tahan lapar dan dahaga? Jawabannya, selama puasanya itu tidak dibaringi dengan hal-hal yang membatalkan puasa secara ilmu fiqh, maka puasanya sah dan sudah dihukum sebagai orang yang melaksanakan perintah Allah. Dengan demikian, dari sisi pandang ini, orang seperti ini tidak berdosa, meskipun dia dapat dihukum berdosa misalnya karena berkata dusta dan lain-lain. Namun demikian, puasa orang ini tidak bernilai di sisi Allah Ta’ala. Karena itu, Nabi SAW bersabda :

رُبَّ صَاىِٔمٍ ليس له مِنْ صِيَامِهِ الا الْجُوْعُ

Berapa banyak orang berpuasa, yang tidak mendapatkan apa-apa kecuali menahan lapar saja. (H.R. Ibnu Majah)

 

Wallahua’lam bisshawab

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar