1. Tidak terlarang bagi umat Islam menerima
pemberian harta maupun uang dari non-muslim selama pemberian tersebut tidak terindikasi
untuk merusak keimanan seseorang atau menghancurkan umat Islam. Imam al-Nawawi
mengatakan,
وَأَنَّهُ
يَجُوزُ قَبُولُ هَدِيَّةِ الْكَافِرِ
Boleh menerima
hadiah dari seorang kafir. (Raudhah al-Thalibin
: V/369)
Kesimpulain ini sesuai dengan apa yang sudah dicontoh oleh Nabi SAW
berdasarkan riwayat Abu Humaid al-Saa’idiy beliau mengatakan,
غَزَوْنَا مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَبُوكَ،
وَأَهْدَى مَلِكُ أَيْلَةَ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَغْلَةً
بَيْضَاءَ، وَكَسَاهُ بُرْدًا، وَكَتَبَ لَهُ بِبَحْرِهِمْ.
Kami mengikuti perang Tabuk bersama Nabi SAW. Raja negeri Ailah
memberi hadiah kepada beliau berupa baghal berwarna putih dan Nabi SAW membalas
dengan menghadiahnya baju dingin. Kemudian Nabi SAW menulis surat kepadanya
tentang negeri mereka (H.R. Bukhari).
Dalam menyikapi
ada beberapa hadits Nabi SAW yang menunjukkan tidak boleh menerima hadiah dari
kaum musyrik, Ibnu Hajar al-Asqalaniy lebih cenderung kepada pendapat yang mengkompromikan bahwa hadits yang
melarang menerima pemberian non-muslim, konteksnya ditujukan kepada non-muslim
yang bertujuan dengan hadiahnya itu untuk merayu dan mencoba menguasai umat
Islam. Sedang hadits yang menerima pemberian non-muslim, konteksnya ditujukan
kepada tujuan menghibur dan mendekatkan non-muslim tersebut kepada Islam.(Fathubarri
: V/231)
2. Seseorang tidak sah dan haram menikahi ibu tiri yang sudah diceraikan oleh ayah kandungnya, baik yang pernah disetubuhi oleh ayahnya maupun tidak. Allah Ta’ala berfirman:
وَلَا تَنكِحُواْ مَا نَكَحَ ءَابَآؤُكُم
مِّنَ ٱلنِّسَآءِ إِلَّا مَا قَدۡ سَلَفَۚ إِنَّهُۥ كَانَ فَٰحِشَةٗ وَمَقۡتٗا
وَسَآءَ سَبِيلًا
Dan janganlah
kalian menikahi perempuan-perempuan yang telah dinikahi oleh bapak-bapak kalian
kecuali yang telah berlalu. Sesungguhnya hal itu sangat keji dan dibenci oleh
Allah dan seburuk-buruk jalan (Q.S. an-Nisa : 22)
Keharaman menikahi mantan istri ayah ini
bersifat mutlak, baik sudah pernah disetubuhi oleh ayahnya ataupun belum pernah
disetubuhi. Penafsiran ini sesuai dengan penjelasan Khathib al-Syarbaini
berikut ini :
)أَوْ) زَوْجَةُ
مَنْ (وَلَدَكَ) بِوَاسِطَةٍ أَوْ غَيْرِهَا أَبًا أَوْ جَدًّا مِنْ قِبَلِ
الْأَبِ أَوْ الْأُمِّ وَإِنْ لَمْ يَدْخُلْ وَالِدُك بِهَا لِإِطْلَاقِ قَوْلِهِ )وَلا
تَنْكِحُوا مَا نَكَحَ آبَاؤُكُمْ مِنَ النِّسَاءِ إِلا مَا قَدْ سَلَفَ(
Dan haram menikahi istri ayah yang
melahirkanmu dengan perantaraan ataupun tanpa perantaraan baik berupa ayah
kandung ataupun kakek, dari pihak ayah maupun ibu, meskipun belum pernah
disetubuhinya karena mutlaq firman Allah Ta’ala “Janganlah kamu nikahi
perempuan-perempuan yang pernah dinikahi ayah-ayahmu, kecuali apa yang telah
terjadi di masa lalu.(Mughni al-Muhtaj : IV/290)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar