Mengucapkan dan menjawab salam adalah
kebiasaan baik yang seyogyanya dilakukan setiap muslim setiap kali bertemu
dengan saudaranya. Sebagai seorang muslim, mengucapkan salam adalah hal yang
sunnah dilakukan setiap hari dalam berbagai aktifitas, seperti bertemu dengan
sesama muslim, masuk dalam suatu ruangan/rumah dan berbagai aktifitas lainnya.
Adapun lafazh salam yang dianjurkan minimal :
السَّلَامُ عَلَيْكُمْ
atau
سَلَامِي
عَلَيْكُمْ
ataupun
سَلَامٌ عَلَيْكُمْ
(Hasyiah
Qalyubi : IV/216)
Lantas
bagaimana hukumnya seandainya seseorang hanya mengangkat tangan sebagai ganti
salam ? Pada dasarnya hanya mengangkat tangan sebagai ganti salam, hukumnya
kurang baik, meskipun tidak sampai
kepada haram. Para ulama kita ada yang mengatakan makruh dan ada juga yang
mengatakan hanya khilaf aula (kurang baik). Imam al-Nawawi dalam fatawa beliau
mengatakan makruh.
الانحناء بالرأس
مكروه، والسلام بالِإشارة من غير نطق مكروه في حق الناطق، مستحب في حق الأخرس، فإن
كان الذي يسلم عليه بعيدًا جمع بين اللفظ والِإشارة.
Menunduk kepala makruh. Sedangkan salam
dengan isyarat tanpa melafazhkannya makruh atas orang yang dapat bicara dan
dianjurkan atas orang yang bisu. Karena itu, jika orang yang akan diberikan
salam adalah orang yang jauh, maka hendaknya dihimpun antara lafazh dan
isyarat.(Fatawa al-Nawawi : 70)
Demikian juga, beliau mengatakan makruh
dalam kitabnya, al-Azkar, halaman 246. Namun demikian, dalam kitab
Raudhah al-Thalibiin beliau hanya mengkatagorikan sebagai khilaf aula. Beliau
mengatakan,
وَالْإِشَارَةُ
بِالسَّلَامِ بِالْيَدِ وَنَحْوِهَا بِلَا لَفْظٍ خِلَافُ الْأُولَى، فَإِنْ
جَمَعَ بَيْنَ الْإِشَارَةِ وَاللَّفْظِ، فَحَسَنٌ
Isyarat salam dengan tangan dan
seumpamanya tanpa lafazh adalah khilaf aula. Karena itu, apabila dihimpun
antara isyarat dan lafazh, maka itu baik.(Raudhah
al-Thalibin : X/233)
Diantara ulama lain yang mengatakan
khilaf aula adalah Ibnu al-Muqri dalam kitab Raudh al-Thalib dan diamini oleh
Zakariya al-Anshari dalam syarahnya. (Asnaa al-Mathaalib fi Syarh Raudh al-Thalib :
IV/183). Demikian juga Syeikh Nawawi al-Bantaniy mengatakannya sebagai khilaf
aula. (Nihayah al-Zain : 361)
Adapun dalil makruh atau khilaf aula mengangkat tangan
sebagai ganti salam adalah sabda Nabi SAW berbunyi :
لَا تُسَلِّمُوا تَسْلِيمَ الْيَهُودِ
فَإِن تسليمهم بالرؤوس وَالْأَكُفِّ وَالْإِشَارَةِ
Janganlah memberikan salam sebagaimana salam Yahudi. Sesungguhnya salam mereka itu
dengan kepala atau telapak tangan ataupun dengan isyarat.(H.R. al-Nisa-i)
Ibnu Hajar al-Asqalaniy
mengatakan, sanadnya jaid (baik) (Fathulbarri : XI/14). Disamping itu ada sabda
Nabi SAW berbunyi :
لَا تَشَبَّهُوا بِالْيَهُودِ وَالنَّصَارَى فَإِنَّ تَسْلِيمَ
الْيَهُودِ الْإِشَارَةُ بِالْإِصْبَعِ وَتَسْلِيمُ النَّصَارَى بِالْأَكُفِّ
Janganlah kalian menyerupai dengan
Yahudi dan Nashara. Sesungguhnya salam Yahudi itu isyarat dengan jari dan salam
Nashara isyarat dengan telapak tangan.(H.R. Turmidzi)
Namun menurut
Turmidzi hadits ini gharib. Ibnu Hajar al-Asqalaniy mengatakan, dalam sanadnya
dhaif.(Fathulbarri : XI/14).
Adapun hadits
dari Asmaa bin Yaziid r.a. beliau berkata :
مَرَّ رَسُولِ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي الْمَسْجِدِ يَوْمًا وَعُصْبَةٌ
مِنْ النِّسَاءِ قُعُودٌ فَأَلْوَى بِيَدِهِ لِلتَّسْلِيمِ
Suatu hari Rasulullah SAW melewati
masjid, sementara sekelompok perempuan sedang duduk, maka beliau mengisyaratkan
salam dengan tangannya. (H.R. Turmidzi).
Hadits ini
telah diriwayat oleh Turmidzi dan beliau mengatakan hadits ini hasan. Juga
telah diriwayat oleh Abu Daud dengan redaksi :
فَسَلَّمَ
عَلَيْنَا
Maka Rasulullah SAW memberikan
salam kepada kami.
Dengan
demikian, hadits riwayat Turmidzi di atas bermakna, Rasulullah SAW memberikan
salam dengan menghimpun lafazh dan isyarat, bukan dengan isyarat saja
sebagaimana dhahir makna hadits Turmidzi. (al-Majmu’ Syarah al-Muhazzab :
IV/595)
Catatan
Dalam hal
larangan mengangkat tangan sebagai ganti salam, Ibnu Hajar al-Asqalaniy mengecualikan salam
kepada orang-orang dalam kesibukannya dapat menghalanginya melafazhkan jawab
salam, misalnya orang yang sedang shalat, orang yang keberadaannya jauh dan
orang bisu. Maka memberikan salam kepada orang ini dapat dilakukan dengan
isyarat saja. Demikian juga salam kepada orang tuli. Dalam Fathulbarri, beliau
mengatakan,
وَالنَّهْيُ
عَنِ السَّلَامِ بِالْإِشَارَةِ مَخْصُوصٌ بِمَنْ قَدَرَ عَلَى اللَّفْظِ حِسًّا
وَشَرْعًا وَإِلَّا فَهِيَ مَشْرُوعَةٌ لِمَنْ يَكُونُ فِي شُغْلٍ يَمْنَعُهُ مِنَ
التَّلَفُّظِ بِجَوَابِ السَّلَامِ كَالْمُصَلِّي وَالْبَعِيدِ وَالْأَخْرَسِ
وَكَذَا السَّلَامُ عَلَى الْأَصَمِّ
Larangan salam dengan isyarat dikhususkan
kepada orang yang mampu melafazhkan, baik secara hissi mau secara syara’. Jika
bukan, maka tetap disyariatkan salam dengan isyarat kepada orang yang dalam
kesibukannya dapat menghalanginya melafazhkan jawab salam, misalnya orang yang
sedang shalat, orang yang keberadaannya jauh dan orang bisu. Demikian juga
salam kepada orang tuli. (Fathulbarri
: XI/14).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar