Selasa, 23 Mei 2023

Mashlahah menurut Imam al-Ghazali dalam Kitab al-Mustashfaa

 

Imam al-Ghazali menyebut makna asal mashlahah sebagai berikut  :

أما المصلحة فهي عبارة فى الأصل عن جلب منفعة او دفع مضرة

Adapun mashlahah pada dasarnya adalah ungkapan dari menarik manfaat dan menolak mudharat

 

Adapun makna yang beliau maksudkan dalam kajian ushul fiqh adalah :

المصلحة المحافظة على مقصود الشرع

Mashlahah adalah memelihara tujuan syara’.

 

Beliau menolak makna yang pertama dengan alasan menarik manfaat dan menolak mudharat merupakan tujuan makhluk (manusia) dan kebaikan dalam meraih tujuan-tujuan mereka. Karena itu, bukanlah tujuan syara’. Adapun tujuan syara’ pada makhluk itu ada lima, yaitu memelihara agama, jiwa, akal, keturunan dan harta mereka. Setiap yang mengandung upaya memelihara kelima hal prinsip ini disebut mashlahah, dan setiap yang menghilangkan kelima prinsip ini disebut mafsadah. (Hal. 174)

Pada awal bab pembahasan ini, Imam al-Ghazali membagi mashlahah dari aspek kekuatan substansinya kepada tiga katagori, yaitu :

1.  Mashlahah yang dibenarkan syara’.

Mashlahah yang dibenarkan syara’ dapat dijadikan hujjah karena kesimpulannya kembali kepada qiyas, yaitu mengambil hukum dari makna rasional nash dan ijmak. Contohnya kita menghukumi bahwa setiap minuman dan makanan yang memabukkan adalah haram diqiyaskan kepada khamar, karena khamar itu diharamkan untuk memelihara akal yang menjadi tempat bergantungnya pembebanan hukum. Hukum haram yang ditetapkan syara’ terhadap khamar itu sebagai bukti diperhatikannya kemaslahatan ini.

2.  Mashlahah yang dibatalkan syara’.

Contohnya seperti fatwa sebagian ulama kepada salah seorang raja ketika melakukan hubungan suami istri di siang hari Ramadhan, dengan menyuruh puasa dua bulan berturut-turut. Kenapa tidak menyuruh raja itu untuk memerdekakan hamba sahaya, padahal ia kaya. Ulama ini beralasan, kalau raja itu disuruh memerdekakan hamba sahaya, sangatlah mudah baginya, dan ia dengan ringan akan memerdekakan hamba sahaya untuk memenuhi kebutuhan syahwatnya. Maka maslahatnya, wajib ia berpuasa dua bulan berturut-turut, agar ia jera. Imam al-Ghazali mengatakan, ini adalah fatwa yang batal dan menyalahi nash syara’ dengan beralasan mashlahah. Karena seandainya dibuka pintu ini akan merobah semua ketentuan-ketentuan hukum Islam dan nash-nash-nya disebabkan perubahan kondisi dan situasi.

3.  Mashlahah yang tidak dibenarkan dan juga tidak dibatalkan syara’ (mashlahah mursalah) (Hal. 173-174)

Untuk membahas lebih lanjut katagori ketiga ini (mashlahah mursalah), Imam al-Ghazali membagi mashlahah kepada tiga tingkatan, yaitu :

1.  Tingkatan dharuriyat (kebutuhan primer)

Sebagaimana disebut di atas bahwa maksud syara’ pada makhluk ada lima, yaitu memelihara agama, jiwa, akal, keturunan dan harta mereka. Kelima prinsip ini berada pada posisi tingkatan dharuriyat. Contohnya :

a.  penetapan syara’ untuk membunuh orang kafir yang menyesatkan dan memberi hukuman kepada pembuat bid’ah yang mengajak orang lain untuk mengikuti bid’ahnya, sebab hal ini (bila dibiarkan) akan melenyapkan agama umat.

b.  penetapan syara’ mewajibkan qisas (hukuman yang sama dengan kejahatannya), sebab dengan hukuman ini jiwa manusia akan terpelihara.

c.  kewajiban hadd karena minum minuman keras, karena dengan sanksi ini akal akan terpelihara

d.  kewajiban hadd karena berzina, sebab dengan sanksi ini ketu­runan dan nasab akan terpelihara.

e.  kewajiban memberi hukuman kepada para perampok dan pencuri, sebab dengan sanksi ini harta benda yang menjadi sumber kehi­dupan manusia itu akan terpelihara.

2.  Tingkatan hajat (kebutuhan sekunder)

Contohnya pemberian kekuasaan kepada wali untuk mengawinkan anaknya yang masih kecil. Hal ini tidak sampai pada batas dharuriyat (sangat mendesak), tetapi diperlukan untuk memperoleh kemaslahatan dan mencari kesetaraan (kafa’ah).

3.    Tingkatan tahsinat (mempercantik), tazyinat (memperindah).

Tingkatan ketiga ini adalah mashlahah yang tidak kembali kepada dharuriyat dan tidak pula ke hajat, tetapi menempati posisi tahsin (mempercantik), tazyin (memperindah), dan taisir (mempermudah) untuk mendapatkan beberapa keistimewaan, nilai tambah, dan memelihara sebaik­-baik sikap dalam kehidupan sehari-hari dan muamalat/pergaulan. Contohnya seperti status ketidaklayakan hamba sahaya sebagai saksi, padahal fatwa dan periwayatannya bisa diterima.(174-175)

Setelah membagi  mashlahah kepada tiga pembagian di atas, Imam  Al-Ghazali menjelaskan sebagai berikut :

الْوَاقِعُ فِي الرُّتْبَتَيْنِ الْأَخِيرَتَيْنِ لَا يَجُوزُ الْحُكْمُ بِمُجَرَّدِهِ إنْ لَمْ يَعْتَضِدْ بِشَهَادَةِ أَصْلٍ إلَّا أَنَّهُ يَجْرِي مَجْرَى وَضْعِ الضَّرُورَاتِ، فَلَا بُعْدَ فِي أَنْ يُؤَدِّيَ إلَيْهِ اجْتِهَادُ مُجْتَهِدٍ، وَإِنْ لَمْ يَشْهَدْ الشَّرْعُ بِالرَّأْيِ، فَهُوَ كَالِاسْتِحْسَانِ. فَإِنْ اعْتَضَدَ بِأَصْلٍ فَذَاكَ قِيَاسٌ وَسَيَأْتِي أَمَّا الْوَاقِعُ فِي رُتْبَةِ الضَّرُورَاتِ فَلَا بُعْدَ فِي أَنْ يُؤَدِّيَ إلَيْهِ اجْتِهَادُ مُجْتَهِدٍ، وَإِنْ لَمْ يَشْهَدْ لَهُ أَصْلٌ مُعَيَّنٌ

 Maslahat yang berada pada dua tingkatan terakhir (hajiyat dan tahsiniyat) tidak boleh berhukum semata-mata dengannya apabila tidak diperkuat dengan dalil tertentu kecuali yang berlaku sebagaimana dharuriyat, maka tidak jauh bila ijtihad mujtahid sampai kepadanya. Adapun maslahat yang berada pada tingkatan dharuriyat maka tidak jauh ijtihad mujtahid untuk melakukannya, sekalipun tidak ada dalil tertentu yang memperkuatnya

Menurut ucapan Imam al-Ghazali di atas, bisa dipahami bahwa beliau berpendapat tiga tingkatan mashlahah di atas tidak dapat dijadikan pertimbangan dalam penetapan hukum Islam, kecuali  tingkatan dharuriyat atau yang menempati level dharuriyat

Imam al-Ghazali kemudian menyebut contoh penetapan hukum dengan mempertimbangkan mashlahah tingkat dharuriyat, meskipun tanpa merujuk kepada dalil tertentu, yaitu orang-orang kafir yang menjadikan sekelompok tawanan muslimin sebagai perisai hidup. Bila kita tidak menyerang mereka, justru mereka akan menyerang kita, akan masuk ke negeri kita, dan akan membunuh semua kaum muslimin serta juga akan membunuh para tawanan itu. Kalau kita memanah tawanan yang menjadi perisai hidup itu (agar bisa menembus musuh), berarti kita membunuh muslim yang terpelihara darahnya yang tidak berdosa. Maka mujtahid boleh ber­pendapat, tawanan muslim itu, dalam keadaan apapun, pasti terbunuh. Dengan demikian, memanah kumpulan para tawanan tersebut dapat dibenarkan demi memelihara semua umat Islam. Itu lebih mendekati kepada tujuan syara’. Karena secara pasti kita mengetahui bahwa tujuan syara’ adalah memperkecil angka pembunuhan sebagaimana tujuan syara’ menutup semua jalan terjadi pembunuhan pada ketika memungkinkan. Apabila kita tidak mampu menutup semua jalannya, maka kita harus berupaya memperkecilkannya. Hal ini dilakukan berdasarkan pertimbangan maslahat yang diketahui secara pasti bahwa maslahat itu menjadi tujuan syara’.

Menurut Imam al-Ghazali, penggunaan tingkatan dharuriyat sebagai pertimbangan hukum dapat dibe­narkan dengan syarat terpenuhi tiga sifat, yakni mashlahah itu statusnya dharurat, qat’iyat (bersifat pasti), dan kulliyat (menyeluruh). Karena itu, berikut ini beberapa kasus-kasus yang tidak terpenuhi persyaratan ini apabila :

1.  Orang-orang kafir yang menjadikan satu tawanan muslimin sebagai perisai hidup dalam benteng mereka. Maka tidak halal memanah tawanan itu demi dapat merebut benteng musuh. Karena tidak ada dharurat yang mengharuskan merebut benteng. Juga tidak dapat dipastikan mendapat kemenangan peperangan dengan sebab dapat merebut benteng tersebut, karena bukan merupakan perkiraan yang pasti, hanya dhanniyah (dugaan) belaka

2.  Sekelompok orang berada dalam kapal yang melebihi kafasitasnya, keadaannya diambang tenggelam, maka tidak boleh melempar salah satu dari mereka dalam laut demi menghindari tenggelam kapal yang menyebabkan semua mati. Ketidakbolehan ini karena dharuratnya demi jumlah yang terbatas, bukan menyeluruh (kulliyat) kaum muslimin.

3.  Sekelompok orang berada dalam kelaparan yang sudah berada pada kondisi dapat menyebabkan kematian. Seandainya mereka memakan salah satu dari mereka, maka kematian dapat dihindari. Memakan salah satu dari mereka ini tidak dibenarkan, karena kemaslahatannya hanya untuk sekelompok orang yang terbatas, tidak bersifat menyeluruh (kulliyat). (175-176)

 

Akhirnya dalam pembahasan mashlahah, Imam al-Ghazali menutup dengan ucapan beliau :

فَبِهَذِهِ الشُّرُوطِ الَّتِي ذَكَرْنَاهَا يَجُوزُ اتِّبَاعُ الْمَصَالِحِ، وَتَبَيَّنَ أَنَّ الِاسْتِصْلَاحَ لَيْسَ أَصْلًا خَامِسًا بِرَأْسِهِ بَلْ مَنْ اسْتَصْلَحَ فَقَدْ شَرَّعَ كَمَا أَنَّ مَنْ اسْتَحْسَنَ فَقَدْ شَرَّعَ

Dengan syarat-syarat ini yang telah kami sebutkan, maka boleh mengikuti maslahah. Akan tetapi ia bukanlah dalil kelima yang berdiri sendiri. Bahkan barang siapa yang mengikuti mashlahah, maka dia telah membuat-buat hukum sebagaimana yang mengikuti istihsan, maka dia juga telah membuat-buat hukum. (Hal. 180)

 Wallahua’lam bisshawab

 

 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar