Kamis, 11 Mei 2023

Meninggalkan amal karena kuatir riya adalah riya

 

Salah seorang ulama yang menyebut ungkapan ini dalam kitabnya adalah Imam al-Subkiy dalam Fatawa beliau :

وَتَرْكَ الْعَمَلِ خَوْفَ الرِّيَاءِ رِيَاءٌ

Meninggalkan amal karena takut riya adalah riya (Fatawa al-Subkiy : I/62)

 

Senada dengan ungkapan di atas perkataan al-Fudhail bin ‘Iyadh yang kerap dikutip dalam kitab-kitab para ulama, yaitu :

ترك العمل لأجل الناس رياء والعمل لأجل الناس شرك، والإِخلاصُ أن يعافيَك الله منهما

Meninggalkan amal karena manusia adalah riya dan beramal karena manusia adalah syirik. Dengan keikhlasan, Allah akan memeliharamu dari keduanya.

 

Ungkapan ini begitu populer dan sering disampaikan dalam nasihat, kajian, dan ceramah. Banyak para ulama yang mengutip perkataan beliau ini dalam kitabnya, antara lain Imam al-Nawawi  dalam al-Azkar : 33 dan al-Majmu’ Syarah al-Muhazzab : I/17. Mullaa al-Qari juga telah mengutipnya dalam kitabnya, Mirqaah al-Mafaatih : IV/1553, namun dengan redaksi lebih panjang, yakni :

وَقَدْ نُقِلَ عَنِ الْفُضَيْلِ: ‌تَرْكُ ‌الْعَمَلِ ‌لِأَجْلِ ‌النَّاسِ رِيَاءٌ، وَالْعَمَلُ لِأَجْلِ النَّاسِ شِرْكٌ. وَالْإِخْلَاصُ أَنْ يُخَلِّصَكَ اللَّهُ مِنْهُمَا، لَكِنْ لَوْ فَتَحَ الْإِنْسَانُ عَلَى نَفْسِهِ بَابَ مُلَاحَظَةِ النَّاسِ وَالِاحْتِرَازِ عَنْ طُرُقِ ظُنُونِهِمُ الْبَاطِلَةِ لَانْسَدَّ عَلَيْهِ أَكْثَرُ أَبْوَابِ الْخَيْرِ اهـ

Sesungguhnya telah dikutip dari al-Fudhail bin ‘Iyadh : Meninggalkan amal karena manusia adalah riya dan beramal karena manusia adalah syirik. Dengan keikhlasan, Allah akan membersihkanmu dari keduanya. Akan tetapi seandainya manusia membuka pintu perhatian manusia atas dirinya dan menghindari dari jalan prasangka mereka yang batil, sungguh tertutup atasnya kebanyakan pintu kebaikan.

 

Dalam memahami ungkapan ini, diantara penafsiran yang benar berdasarkan pemahaman dari penjelasan para ulama adalah meninggalkan amal karena kuatir riya dilihat manusia dihukum sebagai riya, apabila meninggalkan sebuah amal, meninggalkannya dengan qashad pamer kepada manusia. Ismail Haqqi seorang ulama bermazhab Hanafi mengatakan :

معنى كلامه ان من عزم على عبادة الله تعالى ثم تركها مخافة ان يطلع الناس عليه فهو مرائ لانه لو كان عمله لله تعالى لم يضره اطلاع الناس عليه

Makna kalamnya adalah sesungguhnya seseorang yang merencanakan ibadah kepada Allah Ta’ala, kemudian meninggalkannya karena kuatir dilihat manusia, maka termasuk berperilaku riya. Karena seandainya amalnya karena Allah Ta’ala, maka penglihatan manusia tidak menjadi mudharat baginya. (Ruh al-Bayan : IV/109)

 

Karena itu, apabila terjadi kekuatian riya dengan sebab dilihat manusia, maka yang dilakukan adalah tetap melakukan amal tersebut sembari berusaha menghilangkan kekuatiran riya serta berdoa kepada Allah menghadirkan hati yang ikhlas hanya kepada Allah Ta’ala. Imam al-Ramli berkata :

)فان تخف وُقُوعه) أَي الْمَأْمُور بِهِ (مِنْك على منهى وصف مثل إعجاب) أَو رِيَاء (فَلَا) يكون ذَلِك مَانِعا لَك من الْمُبَادرَة إِلَيْهِ بل أتم الْأَمر وَاحْترز عَن المنهى عَنهُ وَخرج بقوله وُقُوعه إِيقَاعه بِأَن أوقعته عَلَيْهِ قَاصِدا لَهُ فَإِن ذَلِك محبط للْعَمَل مُوجب للاثم

Maka jika kamu kuatir terjadi pelaksanaan perintah darimu dibaringi dengan sifat telarang seperti ‘ujub atau riya, maka janganlah itu menjadi penghalang bagimu untuk menyegerakan pelaksanaan perintah tersebut, bahkan hendaknya menyempurnakannya seraya memelihara diri dari yang terlarang. Tidak termasuk dalam katagori di atas, sengaja melakukannya dengan qashad ‘ujub atau riya, maka ini menyia-nyiakan amal dan mewajibkan dosa. (Ghayah al-Bayan : 340)

 

Ini berbeda seandainya beramal karena faktor manusia dimana amal tersebut memang dengan qashad pamer kepada manusia. Maka ini hukumnya adalah haram dan dapat menyia-nyiakan amal sebagaimana dijelaskan oleh Imam al-Ramli di atas. Setelah mengutip ungkapan al-Fudhail bin ‘Iyadh di atas, Mullaa al-Qari mengatakan,

وَرُوِيَ أَنَّ بَعْضَ الْمُرِيدِينَ قَالَ لِشَيْخِهِ: أَنَا أَذْكُرُ اللَّهَ وَقَلْبِي غَافِلٌ. فَقَالَ لَهُ: اذْكُرْ وَاشْكُرْ أَنْ شَغَلَ عُضْوًا مِنْكَ بِذِكْرِهِ، وَاسْأَلْهُ أَنْ يُحْضِرَ قَلْبَكَ

Diriwayatkan bahwa sebagian murid pernah mengatakan kepada gurunya, “Aku berzikir kepada Allah, tetapi hatiku lalai”. Kemudian gurunya mengatakan kepadanya : “Berzikirlah dan hendaknya kamu bersyukur karena satu anggota tubuhmu menyibuk diri dengan berzikir kepada Allah dan mintalah kepada-Nya menghadirkan hatimu.” (Mirqaah al-Mafaatih : IV/1553)

 

Kadang-kadang kekuatiran riya sebab dilihat manusia hanya berupa was-was dan waham belaka hasil bisikan syaithan terkutuk. Berkata Imam al-Subkiy :

وَأَنْ لَا يُتْرَكَ الْعَمَلُ خَوْفَ الرِّيَاءِ أَصْلًا لِأَنَّهُ تَرْكُ مَصْلَحَةٍ مُحَقَّقَةٍ لِمَفْسَدَةٍ مَوْهُومَةٍ

Pada dasarnya, seseorang tidak meninggalkan amal karena kuatir riya. karena hal itu meninggalakan kemashalatan yang pasti karena mafsadah yang bersifat waham. (Fatawa al-Subkiy : I/162)

 

Pada akhir tulisan ini, mari kita perhatikan kutipan Ismail Haqqi berikut ini :

وقال فى شرح الطريقة من مكايد الشيطان ان الرجل قد يكون ذاورد كصلاة الضحى والتهجد وتلاوة القرآن والادعية المأثورة فيقع فى قوم لا يفعلونه فيتركه خوفا من الرياء وهذا غلط منه إذ مداومته السابقة دليل الإخلاص فوقوع خاطر الرياء فى قلبه بلا اختيار ولا قبول لا يضر ولا يخل بالإخلاص فترك العمل لاجله موافقة للشيطان وتحصيل لغرضه نعم عليه ان لا يزيد على معتاده ان لم يجد باعثا

Pengarang Syarah al-Thariqah mengatakan, Sebagian dari tipu daya syaithan adalah seseorang kadang mempunyai kebiasaan seperti shalat dhuha, tahajjud, membaca al-Qur’an dan zikir yang ma’tsur. Kemudian dia berada dalam lingkungan suatu kaum yang tidak melakukannya. Maka dia meninggalkan kebiasaan itu karena kuatir riya. Ini merupakan tindakan yang salah. Karena kebiasaannya yang sudah-sudah merupakan dalil bahwa dia ikhlas. Karena itu, muncul goresan hati dalam bentuk riya dalam hatinya tanpa ikhtiyar dan penerimaan hatinya tidak memudharatkan dan tidak mencederai keikhlasan. Maka meninggalkan amal karenanya merupakan amenyesuaikan dan menghasilkan tipu daya syaithan. Namun demikian, wajib atasnya tidak melebihi amalnya atas kebiasaannya itu apabila dia tidak mendapatkan motivasi

 

Kemudian Pengarang Syarah al-Thariqah melanjutkan :

وقد يترك لا خوفا من الرياء بل خوفا من ان ينسب اليه ويقال انه مرائ وهذا عين الرياء لانه تركه خوفا من سقوط منزلته عند الناس وفيه ايضا سوء الظن بالمسلمين وقد يقع فى خاطره ان تركه لاجل صيانتهم من الغيبة لا لاجل الفرار من المذمة وسقوط المنزلة وهذا ايضا سوء الظن بهم إذ صيانة الغير من المعصية انما يكون فى ترك المباحات دون السنن والمستحبات

Kadang orang meninggalkan sebuah amalan bukan karena kuatir riya akan tetapi karena kuatir ada orang yang menyebutnya riya dan mengatakannya sebagai orang yang berperilaku riya. Inilah sejatinya riya. Karena dia meninggalkan amalan karena kuatir jatuh harga dirinya di sisi manusia. Di sini juga dia telah berburuk sangka kepada kaum muslimin. Ada juga kadang orang muncul dalam pikirannya bahwa meninggalkan sebuah amalan karena ingin memelihara kaum muslimin dari ghibah, bukan karena menghindari dari hal yang tercela dan jatuh harga diri. Ini juga berburuk sangka kepada kaum muslimin. Karena memelihara orang lain dari maksiat hanya dalam perkara meninggalkan mubah, bukan dalam perkara sunnah dan amalan yang dianjurkan. (Ruh al-Bayan : IV/109)

 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar