Jelang
tahun politik 2024, sebaran informasi hoax diperkirakan meningkat. Bagi kita
ummat Islam, kisah Ummul Mukminin Aisyah r.a. yang pernah diterpa hoax,
sepulang dari perjalanan sebuah peperangan mendekati kota Madinah pada tahun
ke-5 Hijriyah patut menjadi pembelajaran yang baik dalam menghadapi
berita-berita yang tidak jelas kebenarannya. Ummul Mukminin Aisyah r.a. dituduh
berselingkuh dengan seorang sahabat Nabi, Shafwan bin Mu’aththal. Hoax ini
diproduksi oleh pemimpin kaum munafik, Abdullah bin Ubay, kemudian disebarkan
oleh beberapa orang, di antaranya Hamnah binti Jahys., Misthah bin Atsatsah dan
Hassan bin Tsabit. Fitnah tersebut dengan cepat beredar ke seluruh penjuru di Madinah
sehingga menimbulkan kegoncangan di kalangan kaum Muslim. Merespon isu
perselingkuhan ini, masyarakat pada masa Nabi SAW terbelah ke dalam pro dan
kontra, sehingga nyaris terjadi pertumpahan darah sesama mereka seandainya Nabi
SAW tidak segera turun tangan melerainya.
Pada awalnya, Nabi SAW hanya mendiamkan kabar itu. Namun
karena wahyu tidak kunjung turun dan keadaan semakin riuh, maka beliau kemudian
meminta pendapat dari beberapa sahabat seperti Usamah bin Zaid, Ali bin Abi
Thalib, dan Burairah. Di sisi lain, Sayyidah Aisyah sangat terpukul usai
mengetahui isu dirinya berselingkuh tersebar di seluruh Kota Madinah, beliau jatuh
sakit. Sejak saat ini, Aisyah kemudian tinggal di rumah orang tuanya setelah
mendapatkan izin dari Nabi SAW. Nabi tidak menyalahkan dan juga tidak
membenarkan kabar itu, Nabi masih menunggu wahyu dari Allah.
Suatu ketika Rasulullah SAW mengatakan kepada Aisyah, “Sesungguhnya
telah sampai berita kepadaku, bahwa kamu telah melakukan demikian dan demikian.
Seandainya kamu memang tidak bersalah, niscaya Allah akan membersihkanmu.
Bilamana kamu telah melakukan suatu dosa, mohonlah keampunanan kepada Allah dan
bertaubat kepada-Nya. Sesungguhnya seorang hamba itu apabila mengakui perbuatan
dosanya, kemudian bertaubat, maka Allah pasti akan mengampuninya.” Mendengar
pernyataan Rasulullah SAW ini, Aisyah berkata, “Sesungguhnya demi Allah aku telah
mengetahui bahwa engkau mendengar berita tersebut sehingga engkau terpengaruh
olehnya atau mau mempercayainya. Seandainya aku katakan kepadamu bahwa aku
tidak bersalah, niscaya engkau tidak mempercayainya. Seandainya aku mengakui
kepadamu bahwa aku telah melakukan suatu perkara, sedangkan Allah mengetahui
bahwa aku tidak bersalah, niscaya engkau percaya. Demi Allah aku tidak
menemukan suatu perumpamaan yang aku katakan kepadamu kecuali sebagaimana Ayah
Nabi Yusuf ketika mengatakan,
Maka kesabaran yang baik itulah (kesabaranku). Dan Allah
sajalah yang dimohon pertolongan-Nya terhadap apa yang kamu ceritakan.(Q.S.
Yusuf : 18)
Setelah berselang waktu, Nabi Muhammad menerima wahyu
tentang pembebasan Aisyah dari tuduhan keji itu, yaitu Surat Al-Nur ayat 11 dan
beberapa ayat setelahnya :
Sesungguhnya orang-orang yang membawa
berita bohong itu adalah dari golongan kamu juga. Janganlah kamu kira bahwa
berita bohong itu buruk bagi kamu bahkan ia adalah baik bagi kamu. Tiap-tiap
seseorang dari mereka mendapat balasan dari dosa yang dikerjakannya. Dan siapa
di antara mereka yang mengambil bahagian yang terbesar dalam penyiaran berita
bohong itu baginya azab yang besar.(Q.S. al-Nur : 11)
(Al-Huzhariy Bek dalam Nurul al-Yaqin : 155-158)
Berita hoax ini adalah kasus yang sangat menyakitkan,
khususnya bagi Aisyah dan Nabi dan umumnya bagi umat Islam. Namun demikian, ada
enam pelajaran yang bisa diambil dari kasus ini berkenaan dengan merespon
berita-berita yang belum jelas kebenarannya :
Pertama, Tawaqquf adalah suatu sikap atau
perbuatan menahan diri untuk tidak langsung mempercayai atau menolak suatu
berita sebagaimana sikap Nabi SAW menghadapi isu tersebut. Nabi tidak langsung
mempercayai rumor tersebut, tidak memarahi Aisyah, dan tidak langsung
menceraikannya. Sambil menunggu wahyu, beliau meminta pendapat dari beberapa
orang. Allah Berfirman :
Dan janganlah kamu mengikuti apa yang
kamu tidak miliki pengetahuan tentangnya.Sesungguhnya pendengaran, penglihatan,
dan hati, semua itu akan dimintai pertanggungjawaban. (Q.S. al-Isra’ : 36)
Kedua, tidak terburu-buru dan emosi merespon gossip yang
tidak benar apabila menimpa diri kita, akan tetapi bersikap tenang dan bijak
seraya berusaha membuktikan kita tidak bersalah sebagaimana sikap Aisyah yang tidak
marah dan hanya menyampaikan keluhannya, sambil menunggu pembelaan dari
Allah.
Ketiga, tabayyun. Pentingnya tabayyun merupakan sebuah proses
apakah semua informasi yang kita terima benar atau hoax. Jika ada
berita atau informasi yang simpang-siur, apalagi menghina, memfitnah, melakukan
ujaran kebencian terhadap seseorang atau lembaga, maka bertabayunlah kepada
orang/lembaga tersebut untuk mencari dan meneliti akan kebenaran informasi yang
beredar. Allah Ta’ala berfirman :
Wahai orang-orang yang beriman, jika
orang fasik datang kepada kalian membawa suatu berita, maka periksalah supaya
kalian tidak menimpakan musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadannya,
sehingga jadilah kalian menyesal atas apa yang telah kalian lakukan itu.(Q.S.
al-Hujuraat : 6)
Keempat, Jangan asal sebar ke group ke berbagai
media sosial tanpa melakukan tabayyun dahulu kebenaran informasi yang diterima. Ayat-ayat yang
turun berkaitan dengan hadits al-ifki mengajarkan bagaimana kita menghadapi
rumor, yaitu tidak menyebarluaskannya.
Kelima, tajannub al-dhann adalah sikap menjauhi
asumsi atau prasangka. Kita berkewajiban memelihara nama baik sesama dan keharusan
menyanggah isu-isu negatif terhadap siapapun. Allah SWT berfirman :
Hai orang-orang yang beriman, jauhilah
kebanyakan purba-sangka (kecurigaan), karena sebagian dari purba-sangka itu
dosa. Dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan
satu sama lain.(Q.S. Al-Hujurat : 12)
keenam, melawan hoax. Allah memerintahkan
untuk memerangi dan melawan hoax. Dampak hoax sudah meresahkan masyarakat, apalagi
dalam kontenstasi politik, berita hoax‘digoreng di jagat media sosial. Sehingga
antar umat saling tuduh, saling fitnah, saling menghina dan sebagainya. Allah
SWT berfirman :
Dan perangilah mereka itu sampai tidak ada lagi
fitnah dan agama hanya bagi Allah semata. Jika mereka berhenti (dari
kekafiran), maka sesungguhnya Allah Maha Melihat apa yang mereka kerjakan.(Q.S.
al-Anfal : 39)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar