Pengertian Ghibah
Ghibah atau menggunjing adalah tindakan
menceritakan keburukan seseorang kepada orang lain, yang jika orang itu
mendengarnya tidak merasa senang. Dalam ghibah keburukan yang diceritakan
itu adalah kondisi yang benar. Jika cerita keburukan itu tidak benar, maka
termasuk fitnah atau bohong. Pengertian
seperti sebagaimana ditegaskan Hadits Nabi SAW bersabda :
أَتَدْرُونَ
مَا الْغِيبَةُ؟ قالوا: اللهُ وَرَسُولُهُ أعْلَمُ، قَالَ: ذِكْرُكَ أخَاكَ بِما
يَكْرَهُ قِيلَ: أفَرَأيْتَ إنْ كَانَ في أخِي مَا أقُولُ؟ قَالَ: إنْ كَانَ فِيهِ
مَا تَقُولُ، فقد اغْتَبْتَهُ، وإنْ لَمْ يَكُنْ فِيهِ مَا تَقُولُ فَقَدْ
بَهَتَّهُ
Apakah kalian mengetahui apa itu
ghibah?, Mereka menjawab, “Allah dan Rasul-Nya yang lebih mengetahui”. Rasulullah
bersabda, “Membicarakan saudaramu dengan apa yang dibencinya”. Ada yang
menimpali, “Apa pendapatmu ya Rasulullah, jika aku mengatakan sesuatu yang
benar pada saudaraku”. Rasulullah menjawab, “Jika benar apa yang kamu katakan,
maka kamu sudah melakukan ghibah dan jika tidak benar apa yang kamu katakan,
maka kamu sudah melakukan kebohongan”. (H.R. Muslim)
Point penting
yang perlu dipahami, bahwa kandungan pembicaraan dalam ghibah ini adalah suatu
yang benar dengan kenyataan. Karena jika tidak benar, maka termasuk dalam
katagori menyebar berita bohong. Berdasarkan ini, keliru anggapan sebagian
orang awam bahwa membicarakan suatu kekurangan apa adanya (yang sebenarnya)
yang ada pada seseorang bukanlah ghibah. Dalam merespon anggapan awam ini,
Ibrahim al-Bajuri mengatakan,
ومن الضلال قول
بعض العامة ليس هذا غيبة انما هو اخبار بالواقع
Termasuk salah satu kesesatan
adalah perkataan sebagian awam, “Ini bukanlah ghibah, tetapi hanya menyampaikan
yang sebenarnya.” (Tuhfah al-Murid ‘ala Jauharah al-Tauhid serta Ta’liq ‘Ali
Jum’ah : 331)
Imam al-Ghazali menjelaskan pengertian
ghibah sebagai berikut :
اعْلَمْ أَنَّ
حَدَّ الْغِيبَةِ أَنْ تَذْكُرَ أَخَاكَ بِمَا يَكْرَهُهُ لَوْ بلغه سواء
ذَكَرْتَهُ بِنَقْصٍ فِي بَدَنِهِ أَوْ نَسَبِهِ أَوْ فِي خُلُقِهِ أَوْ فِي
فِعْلِهِ أَوْ فِي قَوْلِهِ أَوْ فِي دِينِهِ أَوْ فِي دُنْيَاهُ حَتَّى فِي
ثَوْبِهِ وَدَارِهِ وَدَابَّتِهِ
Ketahuilah, sesungguhnya devinisi ghibah adalah membicarakan
saudaramu dengan apa yang dibencinya bila sampai perkataanmu itu kepadanya,
baik kamu menyebut kekurangan pada badan, nasab, kejadian, perbuatan,
perkataan, agama dan dunianya sehingga perihal pakaian, rumah dan kenderaannya.
(Ihya Ulumuddin : III/143)
Ibnu Hajar al-Asqalaniy yang hidup
setelah al-Ghazali menjelaskan,
الْغَيْبَة هُوَ ذكر الرجل بِمَا يكره
ذكره مِمَّا هُوَ فِيهِ
Ghibah adalah membicarakan seseorang dengan apa yang dibencinya, yaitu kekurangan yang ada padanya. (Fathulbarri : I/164)
Ghibah tidak hanya dengan lisan
Yang dihukum sebagai ghibah tidaklah
hanya melalui ucapan yang keluar dari lisan seseorang, akan tetapi bisa saja
dalam bentuk tulisan atau isyarah ataupun dalam bentuk lainnya asal dapat
dipahami sebagai pengungkapan kekurangan orang lain. Ibrahim al-Bajuri
mengatakan,
وليس الغيبة مختصة بالذكر بل ضابطها كل
ما افهمت به غيرك نقصان مسلم بلفظك او كتابتك او أشرت اليه بعينك او يدك او رأسك
او نحو ذالك
Ghibah itu tidak khusus dengan lisan saja, akan tetapi
ketentuannya adalah setiap yang dapat memberi pemahaman kepada selainmu
kekurangan seorang muslim, baik dengan lisan, tulisan atau isyarat dengan
matamu kepadanya, tangan, kepala atau lainnya. (Tuhfah al-Murid ‘ala Jauharah al-Tauhid serta
Ta’liq ‘Ali Jum’ah : 331)
Dalam rangka
berargumentasi bahwa ghibah tidak hanya dengan lisan, Imam al-Ghazali mengatakan,
اعلم أن الذكر
باللسان إنما حرم لأن فيه تفهيم الغير نقصان أخيك وتعريفه بما يكرهه فالتعريض بِهِ
كَالتَّصْرِيحِ وَالْفِعْلُ فِيهِ كَالْقَوْلِ وَالْإِشَارَةِ وَالْإِيمَاءِ
وَالْغَمْزِ وَالْهَمْزِ وَالْكِتَابَةِ وَالْحَرَكَةِ وَكُلُّ مَا يُفْهِمُ
الْمَقْصُودَ فَهُوَ دَاخِلٌ فِي الْغِيبَةِ وَهُوَ حَرَامٌ فمن ذلك قول عائشة رضي
الله عنها دخلت علينا امرأة فلما ولت أومأت بيدي أنها قصيرة فقال صلعم اغتبتيها
ومن
ذلك المحاكاة يمشي متعارجاً أو كما يمشي فهو غيبة بل هو أشد من الغيبة لأنه أعظم
في التصوير والتفهيم
Ketahuilah, sesungguhnya membicarakan secara lisan, hukumnya
haram karena padanya ada memberikan pemahaman kepada orang lain ada kekurangan
saudaramu dan memperkenalkan saudaramu dengan kekurangan yang dibencinya.
Karena itu, menyindir sama seperti penegasan, perbuatan sama seperti perkataan.
Demikian juga isyarah, penunjukan dengan tangan, kedipan mata, penunjukan
dengan kaki, tulisan, gerakan dan setiap yang dipahami maksudnya. Maka semua
itu masuk dalam ghibah yang diharamkan. Termasuk dalam katagori ghibah
perkataan ‘Aisyah r.a., “Masuk menemui kami, seorang perempuan. Manaakala ia
berpaling, aku isyaratkan dengan tanganku bahwa ia pendek. Lalu Nabi SAW
bersabda. “Kamu telah melakukan ghibah kepadanya”. Termasuk ghibah meniru berjalan
pincang sebagaimana halnya seseorang berjalan. Maka itu ghibah, bahkan lebih
berat dari ghibah, karena lebih kuat kesannya dalam menggambarkannya dan
memberikan pemahaman. (Ihya Ulumuddin : III/144-145)
Al-‘Iraqi mengatakan, hadits ‘Aisyah
r.a. ini telah ditakhrij oleh Ibnu Abi Dun’ya dan Ibnu Mardawiih dari riwayat
Hisaan bin Makhariq. Ibnu Hiban menghukumnya terpercaya. Adapun perawi lainnya
terpercaya. (Takhrij Ahadits Ihya Ulumuddin karya al-Zabidiy : IV/1753)
Hukum ghibah
Tidak diragukan lagi dalam Islam,
ghibah merupakan perbuatan tercela dan diharamkan. Dalam
al-Qur’an, Allah Ta’ala mencela ghibah dengan firman-Nya :
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوا اجْتَنِبُوْا
كَثِيْرًا مِّنَ الظَّنِّۖ اِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ اِثْمٌ وَّلَا تَجَسَّسُوْا
وَلَا يَغْتَبْ بَّعْضُكُمْ بَعْضًاۗ اَيُحِبُّ اَحَدُكُمْ اَنْ يَّأْكُلَ لَحْمَ
اَخِيْهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوْهُۗ وَاتَّقُوا اللّٰهَ ۗاِنَّ اللّٰهَ تَوَّابٌ
رَّحِيْمٌ
Wahai orang-orang yang beriman, jauhilah
banyak prasangka. Sesungguhnya sebagian prasangka itu dosa. Janganlah
mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah ada di antara kamu yang
menggunjing sebagian yang lain. Apakah ada di antara kamu yang suka memakan
daging saudaranya yang sudah mati? Tentu kamu merasa jijik. Bertakwalah kepada
Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima Tobat lagi Maha Penyayang. (Q. S.
al-Hujurat : 12)
Dalam hadits Nabi SAW dijelaskan,
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ مَرَّ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ بِقَبْرَيْنِ فَقَالَ إِنَّهُمَا لَيُعَذَّبَانِ وَمَا يُعَذَّبَانِ فِي
كَبِيرٍ أَمَّا أَحَدُهُمَا فَكَانَ لَا يَسْتَتِرُ مِنْ الْبَوْلِ وَأَمَّا
الْآخَرُ فَكَانَ يَمْشِي بِالنَّمِيمَةِ ثُمَّ أَخَذَ جَرِيدَةً رَطْبَةً
فَشَقَّهَا نِصْفَيْنِ فَغَرَزَ فِي كُلِّ قَبْرٍ وَاحِدَةً قَالُوا يَا رَسُولَ
اللَّهِ لِمَ صنعت هَذَا فقَالَ لَعَلَّهُ يُخَفِّفُ عَنْهُمَا مَا لَمْ يَيْبَسَا
Dari
Ibnu Abbas r.a, ia berkata: Rasulullah SAW melewati dua buah kuburan. Lalu beliau
bersabda, ”Sungguh keduanya sedang disiksa. Mereka disiksa bukan karena perkara
besar (dalam pandangan keduanya). Salah satu dari dua orang ini, (semasa
hidupnya) tidak menjaga diri dari kencing. Sedangkan yang satunya lagi, dia
keliling menebar namiimah (menebar berita untuk menciptakan permusuhan).”
Kemudian Beliau mengambil pelepah basah. Beliau belah menjadi dua, lalu Beliau
tancapkan di atas masing-masing kubur satu potong. Para sahabat
bertanya,”Wahai, Rasulullah. Mengapa Rasul melakukan ini?” Beliau menjawab,”Semoga
mereka diringankan siksaannya, selama keduanya belum kering” (Muttafaqun
‘alaihi)
Imam al-Nawawi dalam pembahasan keharaman
ghibah dan namimah dalam kitabnya, al-Azkar mengatakan sebagai berikut :
اعلم أن هاتين
الخصلتين من أقبح القبائح وأكثرها انتشاراً في الناس، حتى ما يسلمُ
منهما
إلا القليل من الناس
Ketahuilah bahwa dua perkara ini (ghibah
dan namimah) termasuk sejahat-jahat dari perilaku yang jahat. Kebanyakannya
bertebarakan pada manusia sehingga tidak ada yang selamat darinya kecuali
sedikit manusia. (Al-Azkar : 336)
Kemudian Imam al-Nawawi menegaskan :
وأما حكمهما،
فهما محرّمتان بإجماع المسلمين
Adapun hukum keduanya (ghibah dan
namimah) haram dengan ijmak kaum muslimin. (Al-Azkar : 336)
Ibrahim al-Bajuri mengatakan,
حكم الغيبة التجريم بالاجماع
Hukum ghibah adalah haram dengan ijmak ulama. (Tuhfah al-Murid ‘ala Jauharah al-Tauhid
serta Ta’liq ‘Ali Jum’ah : 331)
Kemudian pada
halaman berikutnya, Ibrahim al-Bajuri menjelaskan telah terjadi khilaf ulama
dalam hal apakah ghibah termasuk dosa besar atau bukan?. Al-Quthubi salah
seorang ulama Malikiyah berpendapat ghibah merupakan dosa besar tanpa khilaf
dalam mazhabnya. Pendapat ini merupakan pendapat kebanyakan ulama Syafi’iyah. Pendapat
lain mengatakan, ghibah merupakan dosa kecil. Pendapat ini adalah pendapat pengarang
Kitab al-Iddah dan ulama-ulama yang mengikutinya. Alasanya, karena sudah sangat
umum dan sedikit orang yang selamat dari ghibah. Adapun pendapat yang
ditegaskan oleh Ibnu Hajar al-Haitamiy dalam Kitab Syarah al-Syamail, bahwa
ghibah yang dilakukan orang yang berilmu dan orang yang mendalami al-Qur’an
adalah dosa besar. Adapun ghibah yang dilakukan selainnya adalah dosa kecil.
Menurut Ibrahim al-Bajuri, pendapat ini merupakan yang mu’tamad (yang kuat
dalam mazhab). Selanjutnya beliau menegaskan, sebagaimana haram melakukan
ghibah maka haram juga atas orang yang mendengarnya menyimak dan mengiyakan
ghibah tersebut. Karena itu, wajib atas orang yang mendengar ghibah yang
diharamkan melarangnya apabila tidak ada kekuatiran yang nyata. (Tuhfah
al-Murid ‘ala Jauharah al-Tauhid serta Ta’liq ‘Ali Jum’ah : 332)
Ghibah yang dibolehkan
Sebelumnya, sudah dijelaskan bahwa ijmak
ulama ghibah adalah haram. Namun
demikian dalam kondisi tertentu, ghibah dapat dibenarkan dalam agama dengan
sebab beberapa pertimbangan. Imam al-Ghazali mengatakan,
اعلم أن المرخص في ذكر مساوي الغير هو
غرض صحيح في الشرع لا يمكن التوصل إليه إلا به فيدفع ذلك إثم الغيبة وهي ستة أمور
Ketahuilah, hal yang membolehkan menyebut
keburukan orang adalah sebuah tujuan yang dibenarkan menurut syar’i di mana tujuan
tidak tercapai tanpa penyebutan tersebut. Hal itu adalah enam perkara.
Kemudian Imam al-Ghazali merincikan
beberapa faktor yang menyebabkan ghibah dibenarkan syara’, yaitu :
1. Ghibah dalam rangka mengadukan kedhaliman. Orang
yang didhalimi boleh mengadukan kedhaliman yang diterimanya kepada penguasa,
hakim, dan lainnya yang memiliki kekuasaan atau kemampuan untuk memberikan
keadilan dari orang yang mendhaliminya.
2. Ghibah dalam rangka minta pertolongan mengubah
kemungkaran. Seseorang mengatakan kepada orang yang diharap bisa mengubah
kemungkaran itu, “Fulan melakukan ini, maka cegahlah darinya”, dan sejenisnya.
3. Ghibah dalam rangka meminta Fatwa. Seseorang
mengatakan kepada mufti, “Bapakku, atau saudaraku, atau suamiku telah
menzalimiku. Bolehkah dia melakukan itu? Bagaimana cara saya agar bisa terlepas
dari kezaliman tersebut?,” Namun Perkataan seperti ini dibolehkan hanya ukuran
seperlunya saja.
4. Ghibah dalam rangka mengingatkan dari sebuah
keburukan dan menasehati. Ini bisa terjadi dengan beberapa bentuk. Di
antaranya, keburukan seorang ahli fiqh yang berbuat bid’ah atau kefasikan, dimana
dikuatirkan bid’ah dan kefasikannya itu dapat menular kepada orang lain. Contohnya
lain menceritakan aib barang jual beli, karena diamnya dapat merugikan si
pembeli.
5. Ghibah dalam rangka mengenalkan. Jika seseorang
dikenal dengan julukan tertentu, maka boleh mengenalkan dengan julukan itu.
Seperti si fulan yang buta matanya, si fulan yang pincang kakinya. Tapi,
penyebutan itu tidak dboleh dilakukan dalam rangka menghina, hanya sekedar
untuk mudah mengenali. Yang lebih baik adalah mengenalinya dengan sebutan-sebutan
yang baik.
6. Ghibah dengan membicarakan perbuatan fasik seseorang
yang dilakukan secara terang-terangan. Misalnya, orang yang secara
terang-terangan minum khamar dan melakukan tindakan-tindakan bathil lainya,
orang berperilaku seperti ini boleh digunjing tentang keburukan yang dia kerjakan
secara terang-terangan. al-Hasan berkata :
ثلاثة لا غيبة لهم صاحب الهوى والفاسق
المعلن بفسقه والإمام الجائر
Ada tiga orang yang tidak mengapa menghibahinya, yaitu pelaku bid’ah (yang
terang-terangan bid’ahnya), orang fasik yang terang-terangan fasiknya dan
pemimpin yang dhalim.
Selanjutnya, Imam al-Ghazali menjelaskan,
فهؤلاء الثلاثة
يجمعهم أنهم يتظاهرون به وربما يتفاخرون به فكيف يكرهون ذلك وهم يقصدون إظهاره
Golongan tiga orang ini secara terang-terangan melakukan keburukannya,
bahkan barangkali mereka bangga dengan keburukannya itu. Bagaimana mungkin
mereka membencinya, sedangkan mereka sendiri mempunyai niat menampakkannya.
Namun
demikian, tidak boleh menggunjing aib-aibnya yang lain kecuali jika ada sebab
lain yang membolehkannya. (Ihya Ulumuddin : III/152-153)
Sebab-sebab yang memotivasi ghibah
Dalam kitab Ihya ‘Ulumuddin, Imam
al-Ghazali merangkum sebelas penyebab seseorang melakukan ghibah. Tujuh di
antaranya berlaku secara umum, sedangkan sisanya tiga lagi berlaku pada ahli agama. Adapun tujuh yang
berlaku umum adalah sebagai berikut :
1. Memuaskan rasa marah. Marah terhadap orang lain
membuat seseorang ingin membeberkan aibnya kepada saudaranya yang lain. Jika
kemarahan yang luar biasa, atau sebab kemarahan yang lama dipendam di dalam
benaknya lalu ditumpahkan, biasanya seseorang mengeskpresikannya dengan
membongkar aib orang yang ia jadikan objek kemarahan.
2. Agar diterima dalam pergaulan Salah satu cara
agar bisa diterima dalam suatu kelompok adalah mengikuti kebiasaan mereka.
Secara tak sadar, sering kita masuk di suatu percakapan yang ternyata di
dalamnya sedang membicarakan orang lain. Tentu tidak mudah untuk menghentikan
obrolan itu karena kitia pasti dianggap berlebihan, kita justru turut larut
dalam percakapan membahas aib orang lain.
3. Merasa terhakimi Bila seseorang hendak
menyerang atau membicarakan keburukan, langkah antisipasi biasanya balik menyerang
duluan. Hal ini dilakukan agar seseorang yang hendak menyerangnya sudah jatuh
terlebih dahulu derajat dan posisinya di mata publik. Agar publik tak
mempercayai ucapan dan informasi yang disampaikannya tentang keburukan
tersebut.
4. Merasa tersudut dengan suatu tuduhan. Untuk
melepaskan dirinya, melemparkan tuduhan tersebut kepada orang lain yang telah
melakukannya. Sebenarnya upaya melepaskan dirinya bisa saja dilakukan tanpa
perlu membawa serta nama orang lain. Atau membawa serta nama orang lain yang
sama-sama ikut serta melakukannya, dengan harapan kesalahan yang dilakukan
dapat dimaafkan.
5. Keinginan untuk meninggikan dirinya. Keinginan
tersebut dijelmakan dengan menyebut kekurangan orang lain. Seperti mengatakan, sipulan
bodoh, pemahamannya kacau atau kalamnya lemah. Maksud ucapannya ini tidak lain
untuk menunjukkan bahwa dia lebih hebat atau lebih berilmu dari sipulan atau
dia lebih berhak untuk dihormati.
6. Rasa dengki atau iri. Biasanya rasa dengki atau
iri ini yang tersimpan tertuju pada orang yang populer dan dicintai oleh banyak
orang. Rasa iri tersebut akan berdampak pada keinginan untuk menjatuhkan objek
atau orang yang populer tersebut. Salah satu cara menurunkan reputasinya adalah
dengan membuka aib-aibnya.
7. Bercanda, bercengkrama dan menghabiskan waktu untuk
tertawa. Salah satu cara membuat orang di depannya tertawa adalah dengan
membicarakan keburukan orang lain. Sumbernya adalah ‘ujub dan takabbur.
8. Meremehkan dan menghina Kadang-kadang seseorang
meremehkan orang lain atau merendahkannya bisa dilakukan di depan orang
tersebut atau juga di belakangnya. Jika melakukannya di belakang, maka caranya
adalah dengan menyebutkan keburukan-keburukannya.
Selanjutnya tiga sebab yang hanya berlaku
pada ahli agama, sebab-sebab ini sangat samar dan tersembunyi. Karena itu,
kejahatan-kejahatannya disembunyikan setan dalam bingkai kebaikan. Di dalamnya
ada kebaikan, akan tetapi setan mencampurinya dengan kejahatan. Adapun
sebab-sebab tersebut adalah sebagai berikut :
1. Digerak dari agama oleh faktor keheranan dalam
mengingkari kemungkaran dan kesalahan dalam agama. Lalu dia mengatakan, “Aku
heran apa yang aku lihat kemungkaran yang dilakukan si pulan”. Kadang dia benar
dengan ucapannya itu. Adalah haknya merasa heran, akan tetapi itu dapat
dilakukan tanpa menyebut nama. Namun dia dilalaikan setan, sehingga dia telah
melakukan ghibah dan perbuatan dosa tanpa disadarinya. Termasuk dalam katagori
ini perkataan seseorang, “Aku heran, bagaimana mungkin dia mencintai hamba
sahayanya, padahal ia itu jelek” atau “Bagaimana mungkin dia sering menemui si
pulan, padahal si pulan itu bodoh”.
2. Rasa kasih sayang. Berduka cita dengan
keburukan yang menimpa seseorang. Lalu ia mengatakan, “Kasian, sungguh melarat
hidup si pulan, aku turut berduka cita dengan musibah yang menimpanya”. Dia
benar dengan duka citanya, namun dia dilalaikan dari akibat buruk menyebut nama
si pulan itu. Dengan sebabnya menjadikan dia sebagai orang yang melakukan
ghibah tanpa disadarinya. Maka hilanglah pahala duka citanya.
3. Marah karena Allah. Kadang-kadang seseorang
marah atas kemungkaran yang dilihat atau didengarnya yang dilakukan manusia.
Pada saat memuncak kemarahannya, dia menyebut nama pelaku kemungkaran tersebut.
Semestinya yang wajib atasnya hanyalah memarahinya dalam rangka amar ma’ruf dan
nahi mungkar, tidak perlu membicarakannya kepada orang lain atau dapat saja membicarakannya
dengan menyembunyikan namanya dan tidak menyebut keburukannya itu. (Ihya Ulumuddin : III/146-147)
Tips menghindari ghibah
Imam al-Ghazali dalam menguraikan tips-tips menghindari
ghibah, melakukan pendekatannya dengan dua cara, yaitu bersifat umum dan
spesifik. Adapun yang bersifat umum adalah dengan menyadari bahwa jika melakukan ghibah akan menimbulkan murkanya Allah dan juga bahwa ghibah akan
menghapus amal-amal kebaikan manusia. Kebaikan orang yang melakukan ghibah akan
dipindahkan kepada orang yang dighibahinya dan keburukannya akan dipindahkan
kepada orang yang melakukan ghibah sebagaimana banyak hadits yang
menjelaskannya. Disamping itu, sering-seringlah memikirkan kekurangan
diri sendiri. Dengan demikian, akan menyibuk dirinya memperbaiki
kekurangan-kekurangan diri sendiri. Nabi SAW bersabda :
طُوبَى لِمَنْ شَغَلَهُ عَيْبَهُ عَنْ عُيُوبِ اَلنَّاسِ
Beruntunglah seseorang yang sibuk akan
kekurangannya sendiri daripada menyibuk dirinya dengan aib orang lain.(H.R.
al-Bazar)
Hal lain yang dapat dilakukan adalah
dengan memahami bahwa orang yang dighibah akan merasakan tersakiti dengan sebab
ghibahnya itu. Maka hal yang sama akan terjadi juga apabila ghibah itu menimpa
diri kita sendiri. Apabila kita tidak ridha dighibah, maka seharusnya kita juga
tidak ridha melakukan ghibah kepada orang lain.
Adapun tips-tips menghindari ghibah
secara spesifik
adalah dengan memperhatikan sebab-sebab yang menggerakkan ghibah yang telah
disebutkan sebelum ini, kemudian menghilangkan sebab-sebab tersebut.
Selanjutnya Imam al-Ghazali menjelaskan rinciannya sebagai berikut :
1. Menghentikan marah. Biasanya saat marah dan
tidak bisa melampiaskannya secara langsung, maka yang terjadi adalah menjelek-jelekkannya
dari belakang sebagai ekspresi kemarahan. Kita harus sering mensugesti diri
kita agar mengendalikan amarah. Hendaknya banyak memikirkan risiko jika
mengeskspresikan marah dengan ghibah. Salah satu risikonya adalah mendapat
murka di hari pembalasan.
2. Menyadari bahwa Allah akan murka jika kita mencari
ridha teman dengan turut mengghibahi seseorang. Seorang budak tentu lebih
mendahulukan ridha tuannya daripada temannya. Sebagaimana kita sebagai seorang
hamba jika benar-benar beriman pasti mendahulukan ridha Allah.
3. Menyadari bahwa merasa lebih baik tidak perlu
membicarakan orang lain. Karena sungguh, Allah akan murka jika kita melakukan
ghibah. Lalu betul-betul menyadari bahwa murka Allah lebih berat dari
murka makhluq. Kesadaran itulah yang akan membuat kita hati-hati untuk
membicarakan keburukan orang lain.
4. Merenungkan perbuatan yang boleh diikuti dan
tidak. Terlebih jika kita mengikuti perbuatan yang dilarang oleh Allah, salah
satunya adalah ghibah hanya karena ikut-ikutan, sungguh itu merupakan tindakan
bodoh. Apabila seseorang mengatakan, “Jika aku makan haram, itu karena dia juga
makan haram” atau “Jika aku terima hadiah Sultan yang dhalim, itu karena dia
juga menerimanya”, maka ini sungguh tindakan yang bodoh. karena sudah mengikuti
orang yang tidak seharusnya diikuti.
5. Menyadari dan memikirkan jika membicarakan
orang lain justru akan merendahkan diri sendiri dan menghilangkan kelebihan diri
sendiri di sisi Allah Ta’ala, Malaikat dan para Anbiya ‘alaihimussalam .
Sedangkan diri kita seringkali lebih yakin kalau menjelekkan orang lain akan
membuat kita terlihat unggul di mata orang lain. Padahal belum tentu orang lain
akan menganggap kita unggul dengan mencela orang lain.
6. Menyadari bahwa ghibah karena iri dan dengki,
sesungguh telah mengumpulkan dua kerugian, yaitu merasa tersiksa dengan
perasaan iri dan dengki di dunia dan juga mendapat siksaan di hari akhirat
kelak.
7. Memikirkan kerugian jika kamu melakukan ghibah
hanya dengan tujuan ingin merendahkan orang lain. Kamu rela merendahkan orang
lain dengan imbalan justru hina di sisi Allah Ta’ala.
8. Mengendalikan diri saat merasa kasihan ketika
seseorang melakukan dosa. Memang bagus saat kita merasa kasihan dan peduli
melihat orang lain melakukan dosa. Tapi bukan berarti kita bebas menghakimi dan
mengurai-urai kesalahannya yang lain yang justru menghilangkan pahala kebaikan
diri sendiri. Pada saat seperti ini, lalu siapa yang pantas dikasihani, apakah
diri kita sendiri yang hilang pahala kebaikan ataukah orang yang kita ghibah
yang mendapat transfer pahala kebaikan dari kita, karena kita melakukan ghibah
kepadanya?.
9. Marah karena melihat kemungkaran seharusnya
tidak seharusnya disertai tindakan ghibah. Ketahuilah, setan menggerakkan
dirimu untuk ghibah dengan harapan hilang pahala memarahi kemungkaran yang
dianugerah Allah Ta’ala.
10. Apabila keheranan atas kemungkaran yang
dilakukan orang lain membuat diri kita melakukan ghibah, maka itu termasuk tindakan
membinasakan diri sendiri dengan sebab agama dan dunia orang lain. Padahal kita
sendiri juga belum aman dari kerugian. Bisa saja Allah membuka aib kita sendiri
sebagaimana kita membuka aib orang lain. (Ihya Ulumuddin : III/149-150)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar