Qiyas ma’a al-Faariq
Qiyas adalah satu dari empat sumber hukum Islam yang
disepakati para ulama. Dalam hal ini, qiyas menempati posisi keempat, setelah
al-Quran, Hadits, dan Ijma. Menurut istilah, qiyas adalah menyamakan sesuatu
yang tidak memiliki nash hukum dengan sesuatu yang ada nash hukum berdasarkan
kesamaan illat hukum Qiyas juga dapat diartikan sebagai kegiatan melakukan
padanan suatu hukum terhadap hukum lain.
Syeikh Zakariya al-Anshari mendevinisi qiyas dengan :
حمل معلوم على معلوم لمساواته في علة حكمه عند الحامل
Menyamakan sesuatu yang maklum kepada sesuatu
yang maklum lainnya karena ada kesamaannya pada ‘illat hukumnya di sisi
mujtahid yang menyamakannya. (Ghayah al-Wushul : 110)
Disaat ada pembeda (al-faariq) yang
mempengaruhi perbedaan hukum antara dua perkara yang diqiyas sehingga qiyas
dinyatakan tidak sah, maka qiyas ini dinamakan qiyas ma’a al-faariq., yang
secara harfiyah bermakna qiyas yang ada pembedanya. Al-Zakariya al-Anshari
mengatakan,
(ومنها) أي من القوادح (الفرق)
بين الأصل والفرع (والأصح أنه معارضة بإبداء قيد في علية) حكم (الأصل أو) إبداء
(مانع في الفرع) يمنع من ثبوت حكم الأصل فيه (أو بهما) أي بالابداءين معا. وقيل هو
الثالث فقط
Salah satu dari perusak dalil adalah al-farq (membedakan) antara
asal dan furu’. Menurut pendapat yang lebih shahih, al-farq adalah kritikan
dengan memunculkan qaid pada ‘illat hukum asal atau dengan memunculkan maani’ (penghalang hukum) pada furu’ yang dapat menghalangi penetapan hukum asal pada furu’ ataupun dengan
memunculkan keduanya sekaligus. Pendapat lain mengatakan, al-farq adalah katagori
yang ketiga saja (memunculkan keduanya sekaligus) (Ghayah al-Wushul : 132)
Untuk lebih memahami penjelasan ini, berikut ini merupakan
contoh yang dikemukakan al-Zakariya al-Anshari, yaitu :
1. Contoh katagori pertama, yaitu kritikan dengan memunculkan qaid pada
‘illat hukum asal, Imam mazhab Syafi’i berpendapat wajib niat wudhu’ dengan
mengqiyaskan kepada tayamum. ‘Illatnya sama-sama thaharah dari hadats. Ulama
Hanafiyah mengkritisi ‘illat ini dengan menambah qaid pada ‘illat. Mereka
mengatakan, ‘illat pada tayamum bukan mutlaq thaharah, akan tetapi thaharah
dengan tanah. Dengan demikian, illat yang ada pada tayamum tidak ditemui pada
wudhu’. Maka dari sisi pandang ulama Hanafiyah, qiyas ini termasuk qiyas ma’a
al-faariq.
2. Contoh katagori kedua, yaitu kritikan dengan memunculkan maani’ (penghalang
hukum) pada furu’ yang dapat menghalangi penetapan hukum asal pada furu’, Ulama
Hanafiyah berpendapat orang muslim dapat diqishas dengan sebab membunuh kafir
zimmi dengan jalan qiyas kepada orang yang bukan muslim dengan sebab kesamaan
‘illatnya, yaitu pembunuhan sengaja dalam keadaan bermusuhan. Mazhab Syafi’i
menolak qiyas ini dengan alasan sifat Islam pada seorang muslim menjadi maani’
(penghalang) pemberlakuan qishas dengan sebab membunuh zimmi karena tidak setara. Maka dari sisi pandang Mazhab
Syafi’i, qiyas ini termasuk qiyas ma’a al-faariq.
3. Katagori ketiga dengan memunculkan dua kritikan di atas sekaligus, yaitu
dengan memunculkan qaid pada ‘illat hukum asal dan sekaligus memunculkan maani’
(penghalang hukum) pada furu’.
(Lihat : Ghayah al-Wushul : 132)
Ilgha al-Faariq
Sebuah qiyas yang dipandang sebagai qiyas al-faariq oleh
pengkritiknya dapat dibantah kembali oleh si mujtahid yang melakukan qiyas. Dalam
Bab Masaalik al-Illah, ini dinamakan dengan Ilgha al-Faariq. Al-Zakariya al-Anshari mengatakan,
(العاشر) من مسالك العلة (إلغاء الفارق) بأن يبين عدم تأثيره
في الفرق بين الأصل والفرع، فيثبت الحكم لما اشتركا فيه
Yang kesepuluh dari jalan-jalan mengetahui ‘illat adalah ilgha al-faariq,
yaitu menjelaskan tidak ada pengaruh al-faariq (pembeda) dalam membedakan
antara asal dan furu’. Karena itu dapat ditetapkan hukum pada furu’ dengan
sebab ‘illat yang ada kesamaan pada asal dan furu’ (Ghayah al-Wushul : 126)
Ilgha al-Faariq ini terbagi dalam dua katagori, yaitu :
1. Ilgha al-Faariq secara qath’i.
Contohnya qiyas menumpah air kencing dalam air yang tenang
kepada kencing dalam air yang tenang yang hukumnya makruh, yang ditetapkan
berdasarkan hadits Nabi SAW berbunyi :
لا يبولنّ أحدكم في الماء الراكد
Janganlah salah seorang kamu kencing dalam air yang tenang (H.R.
Ibnu Majah)
Yang menjadi pembeda antara asal dan furu’ (al-faariq) di sini adalah menumpah air pada
furu’ tanpa melalui kemaluan, sedangkan pada asal melalui kemaluan. Namun al-faariq ini (menumpah air
pada furu’ tanpa melalui kemaluan) tidak mempengaruhi penetapan hukum
makruhnya.
2. Ilgha al-Faariq secara dhanni
Contohnya, qiyas hamba sahaya perempuan
kepada hamba sahaya laki-laki terkait hukum membebaskan hamba sahaya yang
merupakan milik berkongsi. Dalam sebuah hadits shahih berbunyi :
مَن أَعْتَقَ شِرْكًا له في عَبْدٍ، فكان له مالٌ
يَبْلُغُ ثَمَنَ العَبْدِ: قُوِّمَ عليه قِيمَةَ عَدْلٍ ، فأعطى شُرَكَاءَهُ حِصَصَهُمْ،
وعَتَقَ عليه العَبْدُ ، وإلا فقد عَتَقَ منه ما عَتَقَ
Barangsiapa yang memerdekakan apa yang menjadi miliknya pada diri
seorang hamba sahaya dan ia masih mempunyai uang yang cukup untuk menebus
sisanya, maka hendaknya sisanya tersebut dihargai dan diberikan kepada teman
kongsinya sehingga hamba sahaya tersebut merdeka. Jika tidak ada, maka sesunggugnya
ia telah memerdekakan apa yang menjadi miliknya.(Muttafqun ‘alaihi)
Berdasarkan hadits ini, seorang hamba
sahaya laki-laki yang merupakan milik berkongsi antara beberapa orang apabila
satu orang diantara mereka memerdekakan bagiannya, sedangkan ia mempunyai
sejumlah harta yang mencukupi untuk menebus sisanya, maka ia berkewajiban
memberikan harta tersebut kepada teman kongsinya untuk menebus sisanya dan
hamba sahaya laki-laki itu merdeka karenanya. Adapun apabila tidak mempunyai
sejumlah harta tersebut, maka hamba sahaya laki-laki itu hanya merdeka
bagiannya saja. Qiyas hamba sahaya perempuan kepada hamba sahaya laki-laki
dalam kasus ini masih memunculkan al-faariq antara asal dan furu’, yaitu jenis
kelamin perempuan. Namun al-faariq ini tidak mempengaruhi penetapan hukum.
Ilgha al-faariq ini dihukum dhanni karena masih muncul
kemungkinan dalam benak seseorang i’tibar syara’ hukum merdeka pada kasus ini
khusus berlaku pada hamba sahaya laki-laki, karena kewajiban jihad, jum’at dan
yang sejenisnya khusus berlaku pada laki-laki, tidak berlaku pada perempuan,
Maka demikian juga di sini. (Lihat : Ghayah al-Wushul : 126-127)
Imam al-Ghazali dalam al-Mustashfaa menjelaskan kepada kita,
pembedaan (al-faariq) antara laki-laki
dan perempuan dalam jenis kasus ini tidak mempengaruhi perbedaan hukum
antara keduanya. Ini dapat diketahui dengan penelitiaan terhadap hukum-hukum
syara’ dan sumber-sumbernya sehingga dapat diketahui bahwa hukum perbudakan dan
memerdekakan hamba sahaya tidak berbeda hukumnya dengan sebab jenis kelamin
sebagaimana tidak berbeda dengan sebab warna kulit putih atau hitam, panjang
atau pendek, baik atau buruk. Maka semua ini tidak berlaku pada jenis hukum ini
sebagaimana berlakunya perbedaan hukum sesuai dengan jenis kelamin pada jenis
hukum seperti hak wali nikah, qadhi, kesaksian dan yang sejenisnya. (Al-Mustashfaa
:306)
Contoh lain, qiyas ternak yang matanya buta sama
sekali kepada ternak yang matanya buta sebelah saja dalam hal tidak memadai
sebagai qurban yang ketentuannya berdasarkan hadits Nabi SAW berbunyi :
أربع لا تجوز في الأضاحي العوراء البين
عورها
Empat golongan yang tidak memadai pada qurban, yaitu yang buta
sebelah matanya secara nyata. (H.R. Sunan yang Empat. Al-Turmidzi
mengatakan, hadits ini hasan shahih)
Ada perbedaan antara keduanya (al-fariiq), yaitu ternak yang buta
sama sekali digembala oleh pengembalanya kepada tempat pengembalaan yang baik
sehingga berpotensi gemuk. Adapun ternak yang matanya buta sebelah makannya masih diserahkan kepada kemampuan
melihat matanya, meskipun sudah kurang satu mata. Matanya yang sudah berkurang
ini menyebabkan berpotensia kurus. Pembedaan ini dibantah kembali, yang menjadi
titik pandang dalam hal tidak memadai sebagai qurban bukanlah kurang gemuk
(kurus), akan tetapi kurang bagus karena kurang sempurna kejadiannya. Dengan
demikian perbedaan (al-faariq) dalam hal potensi gemuk dan kurus tidak
mempengaruhi qiyas antara asal dan furu’.
Contoh
selanjutnya adalah qiyas pembunuhan dengan benda berat kepada pembunuhan dengan
benda tajam dalam penetapan hukuman qishas. Abu Hanifah berpendapat tidak wajib
qishas pembunuhan dengan benda berat. Perbedaannnya, benda tajam memang
merupakan alat yang dibuat untuk membunuh, sedangkan benda berat seperti
tongkat merupakan alat yang dibuat untuk memberi adab, bukan untuk membunuh.
Karena benda berat tidak dapat mengoyak tubuh. Pembedaan ini dibantah kembali.
Yang dimaksud dengan benda berat yang disamakan hukumnya dengan benda tajam di
sini adalah setiap benda yang pada kebiasaannya dapat membunuh seperti batu
besar. Dengan demikian perbedaan (al-faariq) di atas
tidak mempengaruhi keabsahan qiyas antara asal dan furu’.
(Lihat : Syarah Jam’u al-Jawami’ beserta
Hasyiahnya, al-Bananiy : 340)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar