Pembahasan tentang takdir adalah salah satu tema yang
tergolong rumit sebab dalil-dalil yang ada sepintas saling bertentangan satu
sama lain. Sebagian dalil al-Qur’an dan hadits menjelaskan bahwa semua kejadian
di dunia ini sudah tercatat di Lauh Mahfudz dan tidak mungkin
berubah. Sebagian dalil lain menegaskan bahwa doa manusia dapat mengubah
takdir, demikian juga silaturahim dapat memperpanjang umur dari waktu yang
telah ditentukan. Sebagian dalil lainnya memerintahkan kita untuk melakukan
aneka perbuatan baik seperti dan menyambung silaturrahim sehingga bisa meraih
kehidupan bahagia di dunia maupun akhirat, ini semua mengisyaratkan bahwa
ikhtiar manusia punya andil besar dalam menentukan jalan takdir yang akan ia
tempuh. Sebenarnya bagaimanakah takdir itu? Menjawab kerumitan
ini, para ulama membagi takdir atau qadha dalam dua katagori, yaitu : Pertama,
takdir atau qadha mubram yaitu, takdir yang tidak berganti dan berubah. Kedua,
takdir atau qadha mu’allaq, yaitu takdir yang perubahannya digantungkan kepada
wujud sebuah perbuatan. Apabila perbuatan tersebut wujud, maka wujudlah
perubahannya dan apabila tidak wujud perbuatan tersebut, maka tidak juga
perubahannya. Mulla al-Qarri seorang ulama besar dari kalangan Hanafiyah mengutip
perkataan al-Mudhhirudin al-Zaidaniy yang juga dari kalangan Hanafiyah
mengatakan,
اعْلَمْ أَنَّ
لِلَّهِ تَعَالَى فِي خَلْقِهِ قَضَاءَيْنِ مُبْرَمًا وَمُعَلَّقًا بِفِعْلٍ،
كَمَا قَالَ إِنْ فَعَلَ الشَّيْءَ الْفُلَانِيَّ كَانَ كَذَا وَكَذَا، وَإِنْ لَمْ
يَفْعَلْهُ فَلَا يَكُونُ كَذَا وَكَذَا مِنْ قَبِيلِ مَا يَتُوقُ إِلَيْهِ
الْمَحْوُ وَالْإِثْبَاتُ، كَمَا قَالَ تَعَالَى فِي مُحْكَمِ كِتَابِهِ
يَمْحُو
اللَّهُ مَا يَشَاءُ وَيُثْبِتُ وَأَمَّا الْقَضَاءُ الْمُبْرَمُ فَهُوَ عِبَارَةٌ
عَمَّا قَدَّرَهُ سُبْحَانَهُ فِي الْأَزَلِ مِنْ غَيْرِ أَنْ يُعَلِّقَهُ
بِفِعْلٍ؟ فَهُوَ فِي الْوُقُوعِ نَافِذٌ غَايَةَ النَّفَاذِ بِحَيْثُ لَا
يَتَغَيَّرُ بِحَالٍ، وَلَا يَتَوَقَّفُ عَلَى الْمَقْضِي عَلَيْهِ وَلَا
الْمُقْتَضِي لَهُ، لِأَنَّهُ مِنْ عِلْمِهِ بِمَا كَانَ وَمَا يَكُونُ وَخِلَافُ
مَعْلُومِهِ مُسْتَحِيلٌ قَطْعًا، وَهَذَا مِنْ قِبَلِ مَا لَا يَتَطَرَّقُ
إِلَيْهِ الْمَحْوُ وَالْإِثْبَاتُ. قَالَ تَعَالَى لَا مُعَقِّبَ
لِحُكْمِهِ وَقَالَ النَّبِيُّ عَلَيْهِ السَّلَامُ لَا مَرَدَّ لِقَضَائِهِ وَلَا
مَرَدَّ لِحُكْمِهِ . فَقَوْلُهُ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا قَضَيْتُ قَضَاءً فَلَا يُرَدُّ,
مِنَ الْقَبِيلِ الثَّانِي
Ketahuilah, sesungguhnya bagi Allah
Ta’ala dalam penciptaannya ada dua takdir, yaitu takdir mubram dan takdir
mu’allaq (digantung) dengan sebuah perbuatan, misalnya Allah mengatakan, jika
seseorang melakukan perbuatan tertentu, maka dia akan seperti ini dan ini dan
jika tidak melakukannya, maka tidak ada ini dan ini. Karena itu, maka takdir
mu’allaq ini termasuk dalam katagori yang datang padanya penghapusan dan
penetapan sebagaimana firman Allah Ta;ala dalam kitab-Nya yang muhkan, “Allah
menghapus apa yang dikehendaki-Nya dan menetapkan apa yang dikehendaki-Nya”. Adapun
takdir mubram adalah ungkapan dari apa yang telah ditakdirkan Allah SWT pada azali
tanpa digantungnya dengan suatu perbuatanpun. Ini dalam hal terealisasi
takdirnya, maka akan terjadi dengan sebenar-benarnya tanpa dapat berubah dengan
sebab suatu halpun dan tidak bergantung kepada suatu yang tidak mendukung
takdir itu atau yang mendukungnya. Karena hal itu sudah ada dalam ilmu Allah
Ta’ala tentang apa yang sudah terjadi dan yang akan terjadi. Menyalahi ilmu
Allah Ta’ala dipastikan mustahil adanya. Ini termasuk termasuk dalam katagori
takdir yang tidak datang padanya penghapusan dan penetapan. Allah Ta’ala
berfirman, “Tidak ada yang dapat menolak ketetapan-Nya”. Nabi SAW bersabda,
“Tidak ada penolakan atas ketetapan Allah dan hukum-Nya”. Maka sabda Nabi SAW,
“Apabila Aku telah menetapkan sesuatu ketetapan, maka tidak dapat ditolak”
adalah termasuk katagori kedua. (Mirqaah al-Mafatiih Syarah Misykaah al-Mashaabiih :
IX/3677)
Pada halaman lain,
Mulla al-Qarri mengatakan,
وَالْحَاصِلُ أَنَّ الْقَضَاءَ
الْمُعَلَّقَ يَتَغَيَّرُ، وَأَمَّا الْقَضَاءُ الْمُبْرَمُ فَلَا يُبَدَّلُ
وَلَا يُغَيَّرُ
Kesimpulannya, sesungguhnya qadha mu’allaq dapat berubah, sedangkan qadha
mubram tidak berganti dan berubah. (Mirqaah al-Mafatiih Syarah Misykaah
al-Mashaabiih : IV/1528)
Namun penjelasan ini masih tersisa
pertanyaan-pertanyaan. Al-Qur’an, hadits dan dalil-dalil rasional telah
memastikan bahwa Allah Maha Mengetahui. Sifat ilmu Allah dapat menjangkau apa
pun tanpa batas, baik yang sudah terjadi maupun yang akan terjadi. Tidak ada
satupun kejadian, bahkan yang paling kecil sekalipun semisal kejadian di inti
atom, yang tidak diketahui-Nya. Allah berfirman :
وَعِنْدَهُ مَفَاتِحُ الْغَيْبِ لَا يَعْلَمُهَا إِلَّا هُوَ
وَيَعْلَمُ مَا فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ وَمَا تَسْقُطُ مِنْ وَرَقَةٍ إِلَّا
يَعْلَمُهَا وَلَا حَبَّةٍ فِي ظُلُمَاتِ الْأَرْضِ وَلَا رَطْبٍ وَلَا يَابِسٍ
إِلَّا فِي كِتَابٍ مُبِينٍ
Dan pada sisi Allah-lah kunci-kunci semua yang
ghaib; tidak ada yang mengetahuinya kecuali Dia sendiri, dan Dia mengetahui apa
yang di daratan dan di lautan, dan tiada sehelai daun pun yang gugur melainkan
Dia mengetahuinya (pula), dan tidak jatuh sebutir bijipun di dalam kegelapan
bumi, dan tidak sesuatu yang basah atau yang kering, melainkan tertulis dalam
kitab yang nyata (Lauh Mahfudz). (Q.S. al-An’am: 59)
Berdasarkan ini, seluruh takdir (qadla’)
adalah mubram tanpa kecuali. Maka tidak mungkin adanya mengalami
perubahan sama sekali, sebab adanya perubahan di level ini sama saja dengan
adanya hal-hal yang tidak diketahui Allah. Ketidaktahuan Allah ini mustahil
adanya.Jika takdir Allah menjangkau apapun tanpa batas, lalu kenapa ada
pembagian takdir kepada yang tidak berubah (mubram) dan berubah (mu’allaq)?
Sebenarnya, semua pertanyaan-pertanyaan
ini dapat teruraikan apabila kita melihat takdir atau qadla’ dari tiga sudut
pandang yang berbeda. Tiga sudut pandang dimaksud adalah sudut pandang ilmu
Allah, sudut pandang pengetahuan malaikat, dan sudut pandang pengetahuan
manusia. Uraiannya lebih lanjut adalah sebagai berikut :
1. Takdir pada sudut pandang ilmu Allah
Sebagaimana sudah dijelaskan sebelum ini, dapat dipastikan bahwa Allah
Maha Mengetahui. Sifat ilmu Allah dapat menjangkau apa pun tanpa batas, baik
hal yang sudah terjadi maupun yang akan terjadi. Tidak ada satu pun kejadian,
bahkan yang paling kecil sekalipun semisal kejadian di inti atom, yang tidak diketahui
Allah. sebagaimana firman Allah Ta’ala Q.S. al-An’am: 59 di atas.
Pada sudut pandang ilmu Allah ini, seluruh takdir atau qadla’ adalah mubram tanpa
kecuali. Seluruhnya telah diketahui sebelumnya dan tidak akan berubah dari apa
yang ada dalam ilmu Allah. Sisi inilah yang tidak mungkin mengalami perubahan
sama sekali, sebab adanya perubahan di level ini sama saja dengan adanya
hal-hal yang tidak diketahui Allah. Ketidaktahuan Allah ini dipastikan mustahil
adanya. Syeikh Ibrahim al-Bajuri mengatakan,
وانقسام القضاء إلى
مبرم ومعلق ظاهر بحسب اللوح المحفوظ وأما بحسب العلم فجميع الأشياء مبرمة لأنه إن
علم الله حصول المعلق عليه حصل المعلق ولا بد وإن علم الله عدم حصوله لم يحصل
Pembagian qadha menjadi mubram dan muallaq itu muncul dari sudut
pandang yang terbaca pada Lauh Mahfuzh. Adapun dari sisi ilmu Allah, semua
putusan itu bersifat mubram karena ketika Allah mengetahui datangnya takdir
yang disangkutkan kepada suatu perbuatan (takdir muallaq), maka hasillah
muallaq tersebut, dan tidak boleh tidak, ketika Allah mengetahui ketiadaan
wujud muallaq, maka tiadalah muallaq tersebut. (Tuhfatul Murid ala Jauharatit
Tauhid, karangan Ibrahim al-Bajuri serta ta’liqnya oleh Syeikh Ali Jum’ah : 254).
Imam Ibnu Hajar al-Asqalani menjelaskan:
فَالْمَحْوُ وَالْإِثْبَاتُ بِالنِّسْبَةِ
لِمَا فِي عِلْمِ الْمَلَكِ وَمَا فِي أُمِّ الْكِتَابِ هُوَ الَّذِي فِي عِلْمِ
اللَّهِ تَعَالَى فَلَا مَحْوَ فِيهِ أَلْبَتَّةَ وَيُقَالُ لَهُ الْقَضَاءُ
الْمُبْرَمُ وَيُقَالُ لِلْأَوَّلِ الْقَضَاءُ الْمُعَلَّقُ
Penghapusan dan penetapan takdir itu adalah pada sudut pandang apa
yang diketahui para malaikat dan apa yang tercatat di Ummul KItab (Lauh
Mahfudz). Adapun dalam pengetahuan Allah, maka tak ada penghapusan sama sekali.
Pengetahuan Allah ini disebut takdir mubram, dan adapun yang pertama itu
disebut takdir mu’allaq. (Fath al-Bâri, karangan Ibnu Hajar al-Asqalani :
X/416)
2. Takdir pada sudut pandang pengetahuan Malaikat
Di antara tugas malaikat yang kita ketahui adalah membagi-bagi rezeki,
ada yang bertugas mencabut nyawa, ada yang bertugas mencatat amal baik dan amal
buruk dan demikian juga malaikat lainnya. Pada sudut pandang pengetahuan
malaikat inilah, takdir setiap makhluk yang tercatat di Lauh Mahfudz, ada
yang sudah mubram dan ada yang masih mu’allaq. Mereka bisa melihat
apakah rezeki Si Fulan sudah merupakan mubram yang tak bisa diganggu gugat ataukah masih
tergantung pada beberapa kondisi yang di pilih Fulan tersebut (mu’allaq), akan
tetapi mereka tidak dapat akses apa yang ada dalam ilmu Allah Ta’ala. Misalnya
apabila Fulan bekerja keras, maka takdirnya adalah kaya, sedangkan apabila
memilih bermalasan maka takdirnya menjadi orang miskin. Demikian juga dengan hidayah,
penyakit, umur atau apapun yang terjadi pada Fulan tersebut sebagaimana
dijelaskan Ibrahim al-Bajuri dan Ibnu Hajar al-Asqalaniy dalam kutipan di atas.
3. Takdir pada sudut pandang pengetahuan Manusia.
Bila malaikat bisa melihat sisi takdir
yang mubram dan mu’allaq yang tercatat pada lauh mahfuh, manusia
sepenuhnya hanya dapat mengetahui sisi takdir mu’allaq saja apabila
sudah tiba waktu kejadiannya. Dalam konteks ini, Ibnu Hajar al-Asqalaniy menjelaskan:
وَأَنَّ الَّذِي سَبَقَ فِي عِلْمِ اللَّهِ
لَا يَتَغَيَّرُ وَلَا يَتَبَدَّلُ وَأَنَّ الَّذِي يَجُوزُ عَلَيْهِ التَّغْيِيرُ
وَالتَّبْدِيلُ مَا يَبْدُو لِلنَّاسِ مِنْ عَمَلِ الْعَامِلِ وَلَا يَبْعُدُ أَنْ
يَتَعَلَّقَ ذَلِكَ بِمَا فِي عِلْمِ الْحَفَظَةِ وَالْمُوَكَّلِينَ بِالْآدَمِيِّ
فَيَقَعُ فِيهِ الْمَحْوُ وَالْإِثْبَاتُ كَالزِّيَادَةِ فِي الْعُمُرِ
وَالنَّقْصِ وَأَمَّا مَا فِي عِلْمِ اللَّهِ فَلَا مَحْوَ فِيهِ وَلَا إِثْبَاتَ
Sesungguhnya yang telah diketahui Allah, itu sama sekali tidak akan
berubah dan berganti. Yang bisa berubah dan berganti adalah sesuatu yang dhahir
(tampak) bagi manusia, yaitu berupa perbuatannya dan tentunya berkaitan dengan
itu yang tampak kepada para malaikat penjaga (Hafadhah) dan yang ditugasi
berhubungan dengan manusia (al-Muwakkilîn). Maka dalam hal inilah terjadi
penghapusan dan penetapan takdir, semisal tentang bertambahnya umur atau
berkurangnya. Adapun dalam ilmu Allah, maka tidak ada penghapusan atau
penetapan.(Fath al-Bâri, karangan Ibnu Hajar al-Asqalani : XI/488)
Manusia hanya bisa mengetahui adanya takdir mubram yang
menimpanya hanya ketika suatu hal sudah terjadi. Misalnya, hal-hal yang
berhubungan dengan kelahirannya, apa-apa yang sudah atau belum dicapai pada
usianya sekarang ini dan segala hal yang telah terjadi di masa lalu dan tidak
mungkin diubah. Manusia bisa tahu umur seseorang telah mubram hanya
ketika orang itu sudah positif meninggal dunia. Apabila orang itu masih hidup,
maka usianya masih sepenuhnya terlihat mu’allaq sehingga ia dituntut
untuk menjaga diri dan berobat bila sakit. Ia dilarang menenggak racun atau
melakukan hal yang mencelakakan jiwanya yang membuat usianya menjadi pendek.
Demikian juga, ia dituntut untuk hidup sehat dan menjaga diri sehingga usianya
bisa semakin panjang. Hal yang sama berlaku pada segala hal lainnya.
Dengan memahami ketiga sudut pandang ini, maka segala
kebingungan tentang takdir akan mudah terjawab. Seorang muslim dituntut untuk
beriman bahwa segala hal sudah diketahui Allah sejak dulu dan pasti terjadi
sesuai pengetahuan-Nya, tetapi dia tak boleh menjadikan itu sebagai alasan
untuk berdiam diri atau menjadikan takdir sebagai alasan sebab ia tidak tahu
apa takdirnya. Yang wajib dilakukan oleh manusia adalah berusaha saja menyambut
masa depannya. Dalam konteks inilah Nabi bersabda :
اعْمَلُوا فَكُلٌّ مُيَسَّرٌ
Berusahalah, semua akan dimudahkan. (H.R.
Bukhari dan Muslim).
Doa dan silaturrahim, apakah dapat memanjangkan umur ?
Di dalam al-Qur’an, Allah berfirman :
فَإِذَا جَاءَ
أَجَلُهُمْ لَا يَسْتَأْخِرُونَ سَاعَةً وَلَا يَسْتَقْدِمُونَ
Dan apabila ajalnya tiba, mereka tidak dapat
meminta penundaan atau percepatan sesaatpun (Q.S. al-A’raf : 34)
Sementara itu, ada riwayat dari Abu
Hurairah r.a, beliau berkata, Aku mendengar Rausulullah SAW bersabda :
مَنْ سَرَّهُ
أَنْ يُبْسَطَ لَهُ فِي رِزْقِهِ وَأَنْ يُنْسَأَ لَهُ فِي أَثَرِهِ، فَلْيَصِلْ رَحِمَهُ
Barangsiapa ingin dibentangkan pintu
rezeki untuknya dan dipanjangkan umurnya, hendaknya ia menyambung tali silaturrahmi. (H.R.
Bukhari).
Dalam mengkompromi kedua dalil ini yang
dhahirnya saling bertentangan, Ibnu Hajar al-Asqalani memberikan salah satu
jalan kompromi dengan gambaran sebagai berikut :
ثَانِيهمَا
أَنَّ الزِّيَادَةَ عَلَى حَقِيقَتِهَا وَذَلِكَ بِالنِّسْبَةِ إِلَى عِلْمِ
الْمَلَكِ الْمُوَكَّلِ بِالْعُمُرِ وَأَمَّا الْأَوَّلُ الَّذِي دَلَّتْ عَلَيْهِ
الْآيَةُ فَبِالنِّسْبَةِ إِلَى عِلْمِ اللَّهِ تَعَالَى وَأَمَّا
الْأَوَّلُ الَّذِي دَلَّتْ عَلَيْهِ الْآيَةُ فَبِالنِّسْبَةِ إِلَى عِلْمِ
اللَّهِ تَعَالَى كَأَنْ يُقَالَ لِلْمَلَكِ مَثَلًا إِنَّ عُمُرَ فُلَانٍ مِائَةٌ
مَثَلًا إِنْ وَصَلَ رَحِمَهُ وَسِتُّونَ إِنْ قَطَعَهَا وَقَدْ سَبَقَ فِي عِلْمِ
اللَّهِ أَنَّهُ يَصِلُ أَوْ يَقْطَعُ فَالَّذِي فِي عِلْمِ اللَّهِ لَا
يَتَقَدَّمُ وَلَا يَتَأَخَّرُ وَالَّذِي فِي عِلْمِ الْمَلَكِ هُوَ الَّذِي
يُمْكِنُ فِيهِ الزِّيَادَةُ وَالنَّقْصُ وَإِلَيْهِ الْإِشَارَةُ بِقَوْلِهِ
تَعَالَى يَمْحُو اللَّهُ مَا يَشَاءُ وَيُثْبِتُ وَعِنْدَهُ أُمُّ الْكِتَابِ
فَالْمَحْوُ وَالْإِثْبَاتُ بِالنِّسْبَةِ لِمَا فِي عِلْمِ الْمَلَكِ وَمَا فِي
أُمِّ الْكِتَابِ هُوَ الَّذِي فِي عِلْمِ اللَّهِ تَعَالَى فَلَا مَحْوَ فِيهِ
أَلْبَتَّةَ وَيُقَالُ لَهُ الْقَضَاءُ الْمُبْرَمُ وَيُقَالُ لِلْأَوَّلِ
الْقَضَاءُ الْمُعَلَّقُ
Adapun jalan kompromi kedua, penambahan
umur secara hakikat. Itu dari sudut pandang pengetahuan malaikat yang ditugasi
terkait umur seseorang. Sedangkan yang pertama yang ditunjuk kepadanya oleh
ayat al-Qur’an adalah dari sisi pandang ilmu Allah Ta’ala. Semisal dikatakan
kepada Malaikat bahwa umur si Fulan adalah seratus tahun jika ia bersilaturahim,
dan ia sampai umur enam puluh tahun jika memutus silaturahim. Dan Allah telah
lebih dulu tahu si Fulan tadi orang yang bersilaturahim atau memutus silaturahim.
Maka, dalam ilmu Allah ketentuan Fulan tersebut tidak bisa dimajukan dan tidak
bisa ditunda. Sedangkan dalam catatan ilmu Malaikat masih bisa ditambah atau
dikurangi. Inilah yang dimaksud dalam firman Allah : “Allah menghapuskan apa
yang Dia kehendaki dan menetapkan apa yang Dia kehendaki, dan di sisi-Nya-lah
terdapat Ummul-Kitab (Lauh mahfuzh).” Jadi, yang bisa dihapus dan ditetapkan
adalah ketentuan yang ada dalam pengetahuan Malaikat. Sementara dalam catatan
Allah tidak bisa diubah sama sekali, yang disebut dengan qadha’ mubram.
sedangkan yang pertama disebut dengan qadha’ mu’allaq.(Fath al-Bâri, karangan Ibnu
Hajar al-Asqalani : X/416)
Demikian juga, kita disyariatkan untuk berdoa,
karena bisa jadi doa merupakan perbuatan yang disangkutnya takdir Allah (takdir
muallaq) kepada kita. Ibrahim al-Bajuri mengatakan,
والدعاء ينفع مما نزل ومما لم ينزل وإن البلاء لينزل ويتلقاه الدعاء
فيتعالجان إلى يوم القيامة. والدعاء ينفع في القضاء المبرم والقضاء المعلق. أما
الثانى فلا استحالة في رفع ما علق رفعه منه على الدعاء ولا في نزول ما علق نزوله
منه على الدعاء
Doa bermanfaat terhadap apa yang datang
dan apa yang belum datang (dari langit). Balapun akan datang dan bertemu dengan
doa. Keduanya (bala dan doa) senantiasa saling berlomba hingga hari qiamat. Doa
bermanfaat pada qadha mubram dan qadha muallaq. Perihal yang kedua (qadha
muallaq), maka tidak mustahil menghilangkan apa yang penghilangannya
digantungkan pada doa dan tidak mustahil mendatangkan apa yang penghadirannya
digantungkan pada doa. (Tuhfatul Murid ala Jauharatit Tauhid, karangan Ibrahim
al-Bajuri serta ta’liqnya oleh Syeikh Ali Jum’ah : 254).
Sebagaimana silaturahim, doa juga bisa
jadi merupakan tempat bersangkutnya takdir umur seseorang. Misalnya, dalam
catatan yang diketahui malaikat bahwa umur si Fulan adalah seratus tahun jika
ia berdoa, dan ia sampai umur enam puluh tahun jika tidak berdoa. Dan Allah
telah lebih dulu tahu si Fulan tadi orang yang berdoa atau tidak berdoa. Maka,
dalam ilmu Allah ketentuan Fulan tersebut tidak bisa dimajukan dan tidak bisa
ditunda. Sedangkan dalam catatan ilmu Malaikat masih bisa ditambah atau
dikurangi. Karena malaikat tidak mengatahui apa yang ghaib masih dalam ilmu
Allah Ta’ala.
Kemudian Ibrahim al-Bajuri melanjutkan,
وأما الأول فالدعاء وإن لم يرفعه لكن الله تعالى ينزل لطفه بالداعى كما
إذا قضى عليه قضاء مبرما بأن ينزل عليه صخرة فإذا دعا الله تعالى حصل له اللطف بأن تصير الصخرة متفتتة كالرمل وتنزل عليه
Adapun perihal pertama (qadha mubram), doa
meskipun tidak dapat menghilangkan bala, tetapi Allah mendatangkan
kelembutan-Nya untuk mereka yang berdoa. Misalnya, ketika Allah menentukan
qadha mubram kepada seseorang, yaitu kecelakaan berupa tertimpa batu besar,
ketika seseorang berdoa kepada Allah, maka kelembutan Allah datang kepadanya,
yaitu batu besar yang jatuh menimpanya menjadi hancur berkeping sehingga
dirasakan olehnya sebagai butiran pasir saja yang jatuh menimpanya. (Tuhfatul
Murid ala Jauharatit Tauhid, karangan Ibrahim al-Bajuri serta ta’liqnya oleh
Syeikh Ali Jum’ah : 254).
Diakhir tulisan ini, catatan yang sangat
penting menjadi pedoman adalah, jika kita berkeyakinan bahwa manusia tidak
dapat berbuat apa-apa karena semua telah ditetapkan oleh Allah, maka kita
terjebak dalam aliran Jabariyah. Dan jika sampai berkeyakinan bahwa manusialah
yang menciptakan perbuatannya dan Allah tidak mengetahui apa yang diperbuat
manusia, maka kita terjebak pada aliran Qadariyah. Aliran yang benar dalam
Islam, yakni Ahlissunah wal Jamaah, berkeyakinan bahwa Allah memang telah
menetapkan ketentuan dan takdir, akan tetapi Allah memberi pertolongan kepada
hamba-Nya berupa ikhtiar, berusaha dan berdoa. Semua yang terjadi dan yang akan
terjadi merupakan taqdir Allah Ta’ala, termasuk sakit yang kita derita. Tetapi
meminum obat juga bagian dari takdir sebagai bentuk ikhtiyar dalam penyembuhan
penyakit, karena bisa saja Allah telah mentakdirkan dia untuk berobat dan bisa
saja Allah telah mentakdirkan obat tersebut sebagai penyembuh sakitnya.
Wallahua’lam bisshawab
الحمد لله
BalasHapus