Setelah mengatakan, hanya sedikit kitab
dari kalangan Syafi’iyah yang menjelaskan hukum tentang jin dan ulama
Hanafiyah, Qadhi Badruddin al-Syibliy ada mengarang sebuah kitab bernama “Aakam
al-Marjaan fi Ahkam al-Jaan”, Imam al-Suyuthi dalam kitab beliau, al-Asybah wa
al-Nadhair menjelaskan kepada kita sebagai berikut :
1. Imam al-Subkiy mengatakan dalam Fatawa beliau :
“Ibnu ‘Abdilbar mengatakan, Jin di sisi satu
jama’ah, jin adalah mukallaf dan ikut juga kewajiban mengikuti hukum Allah.
Qadhi ‘Abd al-Jabbar mengatakan, kami tidak mengetahui ada khilafiyah antara para
ulama pemikir tentang itu. Al-Qur’an membicarakan tentang itu dalam banyak
ayatnya.”
2. Setelah menyebut ada ulama yang membolehkan
menikah dengan jin, Imam As-Suyuthi memilih pendapat mengharamkan nikah dengan
bangsa jin berdasarkan dalil-dalil sebagai berikut :
a. Sebuah pernikahan harus dilaksanakan dengan
jenis manusia sehingga diharapkan dengan pernikahan menjadikan seseorang
tenteram dan terjalin cinta dan kasih sayang, berdasarkan firman Allah Qur’an
Surat an-Nahl : 72
وَاللَّهُ جَعَلَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا
Allah menjadikan bagi kamu isteri-isteri
dari jenis kamu sendiri (Q. S. an-Nahl : 72)
Dan firman Allah Qur’an Surat ar-Rum : 21
وَمِنْ آيَاتِهِ أَنْ
خَلَقَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ
بَيْنَكُمْ مَوَدَّةً وَرَحْمَةً إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآيَاتٍ لِقَوْمٍ
يَتَفَكَّرُونَ
Dan di antara
tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari
jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan
dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian
itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.(Q.S. Ar-Ruum:
21)
b. Hadits riwayat Harb al-Karmany dalam Masailnya
dari Ahmad dan Ishaq, berkata Rasulullah SAW :
ﻨﻬﻰ ﺭﺴﻭﻝ ﺍﻠﻠﻪ ﺼﻠﻌﻡ ﻋﻥﻨﻜﺎﺡ ﺍﻠﺠﻥ
Rasulullah SAW melarang nikah dengan bangsa
jin
Hadits ini meskipun mursal namun
maksud hadits tersebut disokong (‘azhid) oleh banyak qaul ulama,
diantaranya Hasan Basri, Qutadah, Hakam bin ‘Aiiyinah, Ishaq bin Rahawih.
c. Nikah disyari’atkan untuk saling mengasihi,
ketenteraman hati dan saling menyayangi. Hal tersebut tidak terdapat pada
perkawinan dengan jin, bahkan yang ada lawannya, rasa permusuhan yang tidak
hilang-hilang.
d. Firman Allah Qur’an Surat An-Nisa’ :
3
فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ
Maka kawinilah wanita-wanita yang baik
bagi kamu (Q.S. An-Nisa’ : 3)
Perkataan “al-nisa’” adalah nama khusus bagi perempuan
Bani Adam. Maka jenis yang lainnya masuk dalam katagori haram karena
beramal dengan qaidah :
أﻷﺼﻝ ﻔﻲﺍﺒﻀﺎﻉ ﺍﻠﺤﺭﻤﺔ ﺤﺘﻰ ﻴﺭﺩ ﺩﻠﻴﻝ ﻋﻠﻰ ﺍﻠﺤﻝ
Asal pada pernikahan adalah haram kecuali
datang dalil yang menunjukkan kepada halal
e.
Dalam Islam,
diharamkan nikah dengan hamba sahaya karena menghasilkan mudharat pada
keturunannya, yaitu keturunannya menjadi hamba sahaya. Sedangkan pernikahan dengan
bangsa jin mudharatnya lebih besar.
3. Seandainya jin menyetubuhi seorang perempuan,
apakah perempuan tersebut wajib mandi ?
Al-Suyuthi mengatakan, kalangan Syafi’iyah
belum ada yang membahas ini. Namun sebagian ulama Hanafiyah dan Hanabilah
mengatakan, tidak wajib mandi, karena tidak ada kepastian adanya masuk kemaluan
jin dalam faraj si perempuan dan juga tidak ada kepastian adanya orgasme.
Karena itu, disamakan hukumnya seperti mimpi tanpa orgasme. Kemudian al-Suyuthi
mengatakan, “Ini juga berlaku sesuai dengan qawaid kita (mazhab Syafi’i).”
4. Apakah sah shalat berjama’ah dengan makmumnya
hanya bangsa jin?.Al-Suyuhi cenderung berpendapat jamaahnya sah. Kemudian
beliau menyebut beberapa keterangan berikut ini :
a. Pengarang Kitab Aakam al-Marjaan mengatakan,
sah jama’ahnya. Pendapat ini juga telah diriwayat dari Ibnu al-Shairafii al-Hanbali.
Dalilnya hadits Ahmad dari Ibnu Mas’ud tentang kisah jin. Dalam hadits tersebut
disebutkan :
فَلَمَّا
قَامَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّي أَدْرَكَهُ
شَخْصَانِ مِنْهُمْ فَقَالَا يَا رَسُولَ اللَّهِ إنَّا نُحِبُّ أَنْ تَؤُمَّنَا
فِي صَلَاتِنَا. قَالَ فَصَفَفْنَا خَلْفَهُ، ثُمَّ صَلَّى بِنَا، ثُمَّ انْصَرَفَ.
Ketika Rasulullah SAW berdiri mau mendirikan shalat, beliau
menemukan dua sosok dari bangsa jin. Keduanya berkata, “Ya Rasulullah, kami
menginginkan engkau mengimani shalat kami.” Ibnu Mas’ud berkata, “Maka kami
membuat shaf di belakang beliau, kemudian beliau shalat bersama kami, kemudian
pergi.
b. Sufyan al-Tsury dalam Tafsirnya dari Ismail
al-Bajaliy dari Sa’id bin Jubair berkata :
قَالَتْ الْجِنُّ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
كَيْفَ لَنَا بِمَسْجِدِكَ أَنْ نَشْهَدَ الصَّلَاةَ مَعَك، وَنَحْنُ نَاءُونَ
عَنْكَ؟ فَنَزَلَتْ وَأَنَّ الْمَسَاجِدَ لِلَّهِ فَلَا تَدْعُوا مَعَ اللَّهِ
أَحَدًا
Jin pernah
menanyakan kepada Nabi SAW, “Bagaimana kami dapat mendatangi masjidmu melakukan
shalat bersamamu, sedangkan kami tinggal jauh darimu, maka turun firman Allah
berbunyi :”Dan sesungguhnya masjid adalah milik Allah, maka janganlah kamu
menyembah seseorangpun disamping menyembah Allah.”
c. Dalam Fatawa al-Hanaathiy dari kalangan Syafi’iyah dibahas tentang hukum
orang yang melakukan shalat sendiri tidak berjamaah dalam sebuah lapangan yang
disertai azan dan iqamah, kemudian dia bersumpah bahwa dia sudah melakukan
shalat secara berjama’ah, apakah sumpahnya itu menyalahi atau tidak?. Al-Hanathiy
menjawab, orang itu sudah benar pada sumpahnya dan tidak ada kifarat atasnya,
karena hadits yang diriwayatkan sesungguhnya Nabi SAW bersabda :
مَنْ أَذَّنَ وَأَقَامَ فِي فَضَاءٍ مِنْ الْأَرْضِ، وَصَلَّى
وَحْدَهُ، صَلَّتْ الْمَلَائِكَةُ خَلْفَهُ صُفُوفًا
Barangsiapa yang melakukan azan dan iqamah dalam sebuah lapangan
dan dia melakukan shalat sendiri tanpa berjama’ah, maka malaikat melakukan
shalaat di belakangnya dengan membentuk shaf-shaf.
Karena itu, apabila seseorang bersumpah
sesuai dengan jenis sumpah ini, maka dia tidak melanggar sumpahnya. (Jin dapat
disamakan hukumnya dengan malaikat dalam hal jamaah).
d.
al-Subkiy mengatakan, berdasarkan
pendapat ini (pendapat sah jama’ah dengan makmumnya hanya malaikat), maka
barang siapa yang meninggalkan jama’ah karena ‘uzur, sedangkan kita berpendapat
jamaah itu, hukumnya fardhu ‘ain, maka apakah wajib qadha shalat tersebut
seperti seperti shalat orang faaqid al-thuhuraini (tidak mendapatkan air dan
tanah)?. Jika benar demikian, maka shalat malaikat bersamanya menjadikan shalatnya dihukum berjamaah (Jika
kita berpendapat shalat malaikat seperti shalat manusia). Maka dari itu,
jawabannya, memadai shalatnya dan dapat menggugurkan qadha. Al-Suyuthi
mengatakan, berdasarkan pendapat ini pula, maka dianjurkan niat jamaah bagi
orang yang melakukan shalat tersebut atau niat menjadi imam.
5.
Pengarang kitab Aakam al-Marjaan
mengatakan, Ibnu al-Shairufiy telah mengutip dari gurunya, Abu al-Baqaa-i al-‘U’bariy
al-Hanbaliy (bermazhab Hanbali), beliau ditanyakan perihal keabsahan shalat
berjamaah dibelakang jin. Beliau menjawab, sah. Karena bangsa jin itu mukallaf
dan Nabi SAW juga diutus kepada mereka.
6.
Apabila jin berlalu di hadapan orang
melakukan shalat, apakah dapat memutuskan shalat?. Jawabannya, Dari Ahmad bin
Hanbal ada dua riwayat jawabannya. Adapun menurut mazhab Syafi’i, berlalu sesuatu di hadapan orang shalat tidak dapat
memutuskan shalat, akan tetapi diperangi sebagaimana diperangi manusia.
7.
Di sini, Imam al-Suyuthi mengutip penjelasan
Ibnu Taimiyah yang mengatakan, tidak boleh membunuh jin dengan tanpa hak
sebagaimana tidak boleh membunuh manusia dengan tanpa hak. Kedhaliman
diharamkan dalam setiap keadaan. Karena itu, tidak halal seseorang mendhalimi
orang lain, meskipun seorang kafir. Jin dapat menjelma dalam bentuk-bentuk yang
berbeda-beda, apabila ular ada dalam rumah bisa jadi dia adalah jin, maka
hendaknya memperingatkannya tiga kali sebagaimana dalam hadits. Jika ular itu
pergi maka memadai dengannya. Jika tidak mau pergi, maka dibunuh saja, karena jika
ular itu merupakan ular sebenarnya maka dibunuh. Akan tetapi apabila itu
merupakan jin, maka sesungguhnya ia telah menunjukkan sikap bermusuhan dengan
jalan menjelmakan dirinya kepada manusia dalam bentuk ular yang mencoba
menakuti manusia dengan cara itu. Maka lazimnya, suatu bahaya yang mendesak
boleh menolaknya sebagai upaya menolak mudharatnya meskipun itu dengan jalan
membunuh.
Kemudian
al-Suyuthi mengutip riwayat Ibnu Abi al-Dun-ya berbunyi :
أَنَّ عَائِشَةَ رَأَتْ
فِي بَيْتِهَا حَيَّةً، فَأَمَرَتْ بِقَتْلِهَا، فَقُتِلَتْ، فَأُتِيَتْ فِي
تِلْكَ اللَّيْلَةِ، فَقِيلَ لَهَا: إنَّهَا مِنْ النَّفَرِ الَّذِينَ اسْتَمَعُوا
الْوَحْيَ مِنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَرْسَلَتْ إلَى
الْيَمَنِ، فَابْتِيعَ لَهَا أَرْبَعِينَ رَأْسًا، فَأَعْتَقَتْهُمْ
Sesungguhnya ‘Aisyah r.a. pernah melihat dalam rumahnya
seekor ular, lalu beliau memerintah seseorang membunuhnya, maka dibunuhlah ular
itu. Pada malam harinya, beliau diberitahukan bahwa ular tersebut merupakan
golongan jin yang mendengar wahyu dari Nabi SAW. Mendengar itu, beliau mengutus
sseorang ke negeri Yaman membeli untuknya empat puluh orang hamba sahaya, lalu
beliau memerdekakannya.
Ibnu Abi Syaibah
telah meriwayat dalam mushannafnya dan lainnya dimana di dalamnya disebutkan :
فَلَمَّا أَصْبَحَتْ أَمَرَتْ بِاثْنَيْ
عَشَرَ أَلْفَ دِرْهَمٍ، فَفُرِّقَتْ عَلَى الْمَسَاكِينَ
Begitu tiba paginya, ‘Aisyah memerintah seseorang membagi-bagikan dua
belas ribu dirham kepada orang-orang miskin.
Adapun cara memperingatkan ular
sebagaimana dalam hadits adalah dengan mengatakan,
نَسْأَلُكِ بِعَهْدِ نُوحٍ،
وَسُلَيْمَانَ بْنِ دَاوُد: أَنْ لَا تُؤْذِينَا
Kami minta kepadamu dengan sebab janji Nuh dan Sulaiman bin Daud,
janganlah kamu menyakiti kami.
8.
Pengarang Aakam al-Marjaan telah
menyebut beberapa atsar riwayatnya dimana terindikasi pengarangnya menganggap
maqbul riwayat golongan jin. Kemudian Imam al-Suyuthi mengatakan, bahwa
pembahasan tentang periwayatan jin dapat dikatagori dalam dua kelompok. Yang
pertama, riwayat golongan jin dari manusia dan kedua, riwayat manusia dari golongan
jin. Adapun yang pertama tidak diragukan lagi bahwa jin boleh meriwayat dari
manusia apa yang mereka dengar dari manusia atau dibacakan kepada mereka,
sedangkan mereka mendengarnya, baik manusia mengetahui kehadiran mereka atau
tidak. Demikian juga apabila seorang syeikh memberikan ijazah kepada yang hadir
atau yang mendengarnya, maka golongan jin masuk dalam pemberian ijazah
tersebut, meskipun syeikhnya tidak mengetahuinya sebagaimana halnya periwayatan
manusia.
Adapun riwayat
manusia dari golongan jin, dhahirnya tidak boleh. Karena tidak ada tsiqqah (kepercayaan)
terkait ‘adil mereka. Ada riwayat hadits berbunyi :
يُوشِكُ أَنْ
تَخْرُجَ شَيَاطِينُ كَانَ أَوْثَقَهَا سُلَيْمَانُ بْنُ دَاوُد، فَيَقُولُونَ
حَدَّثَنَا وَأَخْبَرَنَا
Nyaris muncul setan-setan yang pernah diikat
oleh Sulaiman bin Daud, mereka berkata, “Telah memberikan hadits kepada kami”
dan “Telah memberi kabar kepada kami.”
Adapun atsar yang disebut dalam Aakam al-Marjaan yaitu :
a.
Riwayat yang ditakhrij
oleh al-Hafizh Abu Na’im dengan sanadnya berbunyi :
عَنْ أُبَيِّ بْنِ كَعْبٍ قَالَ خَرَجَ قَوْمٌ
يُرِيدُونَ مَكَّةَ، فَأَضَلُّوا الطَّرِيقَ، فَلَمَّا عَايَنُوا الْمَوْتَ، أَوْ
كَادُوا أَنْ يَمُوتُوا، لَبِسُوا أَكْفَانَهُمْ، وَتَضَجَّعُوا لِلْمَوْتِ،
فَخَرَجَ عَلَيْهِمْ جِنِّيٌّ يَتَخَلَّلُ الشَّجَرَ. وَقَالَ أَنَا بَقِيَّةُ
النَّفَرِ الَّذِينَ اسْتَمَعُوا عَلَى مُحَمَّدٍ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ سَمِعْتُهُ يَقُولُ الْمُؤْمِنُ أَخُو الْمُؤْمِنِ وَدَلِيلُهُ لَا
يَخْذُلُهُ هَذَا الْمَاءُ، وَهَذَا الطَّرِيقُ.
Dari Ubay bin
Ka’ab beliau berkata, “Keluar sekelompok
manusia berencana pergi ke Makkah, namun mereka tersesat di jalan. Ketika
mereka putus asa dan merasa akan menemui ajal atau ketika mereka hampir menemui
ajal, merekapun mengenakan kain kapan
lalu telentang siap untuk menghadapi kematian. Tiba-tiba muncul jin dari
sela-sela pepohonan seraya berkata, “Aku adalah jin antara jin-jin yang pernah
mendengar dari Muhammad SAW. Aku mendengar beliau bersabda, “Orang mukmin itu
saudara orang mukmin lainnya dan petunjuknya tidak akan menjerumuskannya”. Kemudian
jin tersebut mengatakan, “Itu adalah air dan itu adalah jalan kalian”.
b. Ibnu Abi Dun-ya meriwayat dengan
sanadnya dari Abdurrahman bin Bisyr, beliau berkata :
خَرَجَ قَوْمٌ حُجَّاجًا فِي إمْرَةِ
عُثْمَانَ فَأَصَابَهُمْ عَطَشٌ، فَانْتَهَوْا إلَى مَاءٍ مِلْحٍ، فَقَالَ
بَعْضُهُمْ
لَوْ تَقَدَّمْتُمْ
فَإِنَّا نَخَافُ أَنْ يُهْلِكَنَا هَذَا الْمَاءُ فَسَارُوا حَتَّى أَمْسَوْا،
فَلَمْ يُصِيبُوا مَاءً، فَأَدْلَجُوا إلَى شَجَرَةِ سَمُرٍ، فَخَرَجَ عَلَيْهِمْ
رَجُلٌ أَسْوَدُ شَدِيدُ السَّوَادِ جَسِيمٌ، فَقَالَ: يَا مَعْشَرَ الرَّكْبِ، إنِّي
سَمِعْت رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ مَنْ كَانَ
يُؤْمِنُ بِاَللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلْيُحِبَّ لِلْمُسْلِمِينَ مَا
يُحِبُّ لِنَفْسِهِ، وَيَكْرَهُ لِلْمُسْلِمِينَ مَا يَكْرَهُ لِنَفْسِهِ،
فَسِيرُوا حَتَّى تَنْتَهُوا إلَى أَكَمَةٍ، فَخُذُوا عَنْ يَسَارِهَا، فَإِنَّ
الْمَاءَ ثَمَّ
Ada sekumpulan orang pergi menunai ibadah haji. Setiba di
Imrah Usman mereka kehausan, mereka mendapatkan sumber air yang asin. Sebagian
mereka berkata, “Sekiranya kalian menghampiri air itu, kami kuatir itu dapat
mencelakakan kalian. Maka merekapun berjalan lagi sehingga sorenya, akan tetapi
juga tidak menemukan air. Merekapun berjalan ke pohon samur. Di tempat itu
mereka ditemui seorang laki-laki yang berkulit hitam dan bertubuh besar, seraya
berkata, “Hai kumpulan pengelana, sesungguhnya aku pernah mendengar Rasulullah
SAW bersabda, “Barang siapa yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, maka
hendaknya ia menyukai bagi orang muslimin sebagaimana ia menyukai bagi dirinya
sendiri dan membenci bagi orang muslimin sebagaimana ia membenci bagi dirinya
sendiri. Teruskanlah berjalan sehingga sampai kepada sebuah bukit, maka
ambillah jalan kiri, sesungguhnya di sana ada air”.
c.
Ibnu Abi Dun-ya meriwayat dengan
sanadnya, Fayazh bin Muhammad memberitakan :
أَنَّ عُمَرَ
بْنِ عَبْدِ الْعَزِيزِ بَيْنَا هُوَ يَسِيرُ عَلَى بَغْلَةٍ إذَا هُوَ بِجَانٍّ
مَيِّتٍ عَلَى قَارِعَةِ الطَّرِيقِ فَنَزَلَ فَأَمَرَ بِهِ، فَعَدَلَ عَنْ
الطَّرِيق، ثُمَّ حَفَرَ لَهُ، فَدَفْنه وَوَارَاهُ، ثُمَّ مَضَى، فَإِذَا هُوَ
بِصَوْتٍ عَالٍ، يَسْمَعُونَهُ، وَلَا يَرَوْنَ أَحَدًا لِيَهِنك الْبِشَارَة مِنْ
اللَّه يَا أَمِيرَ الْمُؤْمِنِينَ، أَنَا وَصَاحِبَيْ هَذَا الَّذِي دَفَنَتْهُ
مِنْ الْجِنّ الَّذِينَ قَالَ اللَّهُ فِيهِمْ وَإِذْ صَرَفْنَا إلَيْكَ نَفَرًا
مِنْ الْجِنِّ يَسْتَمِعُونَ الْقُرْآنَ فَلَمَّا أَسْلَمْنَا قَالَ رَسُولُ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِصَاحِبِي هَذَا سَتَمُوتُ فِي أَرْضِ
غُرْبَةٍ يَدْفِنُك فِيهِ يَوْمَئِذٍ خَيْرُ أَهْلِ الْأَرْضِ
Sesungguhnya Umar bin Abdul Aziz tatkala menunggang baghal, ketika itu ada
jin mati ditengah jalan, lalu beliau turun mengambilnya. Kemudian keluar dari
jalan dan menggali lubang untuk menguburkan dan menimbunnya. Kemudian beliaupun
melanjutkan perjalanan. Tiba-tiba ada suara yang cukup nyaring yang dapat
didengar oleh semua orang, namun tidak seorangpun dapat melihatnya,
“Mudah-mudahan datang kabar gembira dari Allah untukmu hai Amirul mukminin. Aku
dan temanku ini yang telah engkau kebumikan adalah dari golongan jin yang Allah
berfirman tentang mereka, “Dan ingatlah ketika Kami hadapkan sekelompok jin
kepadamu yang mendengar al-Qur’an”. Setelah kami masuk Islam, Rasulullah SAW
bersabda kepada temanku ini, “Kamu akan mati di tempat yang asing dan kamu akan
dikebumikan pada hari itu oleh orang yang paling baik dari penghuni bumi.”
Setelah
menyebut tiga atsar di atas, al-Suyuthi menjelaskan bahwa jawaban untuk tiga
atsar di atas bahwa sesungguhnya riwayatnya datang dari golongan jin yang
mendengar langsung dari Nabi SAW. Dhahirnya mereka ini dihukum sebagaimana
sahabat Nabi dalam hal tidak perlu pemeriksaan terkait adil mereka. Para hafizh
hadits yang mengarang kitab-kitab tentang sahabat Nabi telah menyebut golongan
jin yang beriman seperti ini masuk dalam katagori sahabat Nabi. Al-Hafizh Abu
al-Fazhl al-‘Iraqi mengatakan, sesungguhnya Ibnu al-Atsir pernah mempertanyakan
penyebutan golongan jin yang beriman dalam katagori sahabat Nabi, tetapi tidak
memasukkan para malaikat yang pernah melihat Nabi SAW. Padahal para malaikat
lebih layak dan pantas untuk dimasukkan. Menjawab ini, al-‘Iraqi mengatakan, hal
itu tidak sebagaimana dakwaan Ibnu al-Atsir. Karena jin termasuk dalam golongan
mukallaf yang mencakup kepadanya risalah kenabian dan kebangkitan Nabi. Karena
itu, maka penyebutan jin-jin yang diketahui namanya yang pernah melihat Nabi
SAW adalah baik. Ini berbeda dengan para malaikat.
9. Tidak boleh istinja’ dengan bekal jin, yaitu tulang sebagaimana dijelaskan
dalam hadits.
10. Jumhur ulama berpendapat bahwa golongan jin
tidak ada yang menjadi nabi. Adapun firman Allah Ta;ala berbunyi :
يَا مَعْشَرَ الْجِنِّ وَالْإِنْسِ
أَلَمْ يَأْتِكُمْ رُسُلٌ مِنْكُمْ
Hai golongan jin dan manusia, bukankah sudah datang kepadamu
rasul-rasul dari kalanganmu sendiri.
Jumhur ulama mentakwil ayat ini dengan makna rasul dari rasul-rasul
(utusan dari rasul-rasul) dimana mereka mendengar kalam para rasul kemudian
memberitahukan kepada kaum mereka, bukan dalam arti menerima langsung dari
Allah Ta’ala. Namun al-Zhaha’ dan Ibnu Hazm berpendapat bahwa di antara
golongan jin itu ada yang menjadi nabi. Dalilnya hadits berbunyi :
وَكَانَ النَّبِيُّ يُبْعَثُ إلَى
قَوْمِهِ خَاصَّةً
Bahwa Nabi itu diutuskan kepada khusus kaumnya
Jin bukanlah dari golongan nabi (golongan manusia). Sedangkan
mereka tidak diragukan lagi ada datang peringatan dalam bentuk ajaran agama.
Karena itu, mereka juga didatangi para nabi dari kalangan mereka sendiri.
11. Tidak terjadi khilafiyah dalam hal golongan jin
kafir masuk dalam neraka. Terjadi perbedaan pendapat, apakah jin yang beriman
masuk surga dan mendapat pahala atas ketaatannya. al-Suyuthi mengatakan,
pendapat yang aku anggap baik adalah masuk surga. Pendapat ini ada yang
menisbahkannya kepada jumhur ulama. Diantara dalilnya firman Allah Ta’ala
berbunyi :
وَلِمَنْ خَافَ مَقَامَ رَبِّهِ
جَنَّتَانِ فَبِأَيِّ آلَاءِ رَبِّكُمَا تُكَذِّبَانِ
Dan bagi siapa yang takut akan saat
menghadapi Tuhannya ada dua surga, maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu
dustakan?.
Ayat ini sampai akhir Surat merupakan
titah kepada jin dan manusia. Kepada mereka, Allah Ta’ala akan menganugerahkan surga
dan mempersiapkannya serta membuat mereka rindu kepadanya. Ini menjadi petunjuk
bahwa jin akan mendapatkan apa yang akan dianugerahkan Allah kepadanya apabila
mereka beriman. Pendapat lain mengatakan, golongan jin tidak akan masuk surga.
Adapun pahala kebaikan mereka hanya dalam bentuk terlepas dari api neraka. Ada
juga yang mengatakan, golongan jin akan ditempatkan di suatu tempat yang
bernama al-A’raf.
Al-Harits al-Muhaasibiy mengatakan, bahwa
jin yang masuk surga, kita akan melihat mereka kelak, akan tetapi mereka tidak
dapat melihat kita, kebalikan dari apa yang terjadi di dunia.
12. Ibnu Abdissalam menerangkan, bahwa malaikat di dalam
surga tidak dapat melihat Allah Ta’ala. Karena Allah Ta’ala tidak dapat
diketahui dengan pandangan mata sesuai dengan firman Allah Ta’ala berbunyi :
لَا تُدْرِكُهُ الْأَبْصَارُ
Dia (Allah) tidak dapat dicapai dengan
penglihatan mata.
Dikecualikan dari kandungan ayat ini manusia yang beriman. Maka
malaikat tetap dalam hukum keumuman ayat ini. Namun pengarang kitab Aakam
al-Marjaan mengatakan, konsekwensi pemahaman seperti ini bahwa jin juga tidak
dapat melihat Allah Ta’ala. Karena jin juga tetap dalam hukum keumuman ayat ini
(Tulisan ini merupakan rangkuman dari
Kitab al-Asybah wa al-Nadhair pada bab al-Qaul fi Ahkam al-Jaan, karangan Imam
al-Suyuthi, Hal. 161-164)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar