Kamis, 15 Januari 2015

Karamat Para Aulia Menurut Ibnu al-Subki (bag. 1)

Ibnu al-Subki (w. 771 H) yang mempunyai nama lengkap Tajuddin Abd al-Wahab bin Taqiyuddin al-Subki merupakan salah satu dari sekian banyaknya ulama  Ahlussunah wal Jama’ah yang menulis tulisan-tulisan yang mempertahankan pendapat bahwa karamat merupakan suatu hal yang mungkin terjadi pada syara’ dan pada alam nyata dan itu memang banyak terjadi pada tangan-tangan wali Allah dan orang-orang shaleh. Beliau ini seorang ulama besar Syafi’iyah dan ahli hadits yang mengikuti jejak sang ayah yang juga ulama besar dalam mazhab Syafi’i, Taqiyuddin al-Subki (w. 756 H). Berikut ini penjelasan dan argumentasi Ibnu al-Subki mengenai keberadaan karamat aulia Allah menurut syari’at Nabi Muhammad SAW dan menurut hukum akal, yang kami saring dan pahami dari kitab beliau, Thabaqat al-Syafi’iyah al-Kubra,[1] yakni :
A.      Syubhat-syubhat ‘aqliyah dan jawabannya yang dikemukakan oleh Ibnu al-Subki dalam kitabnya, Thabaqat al-Syafi’iyah al-Kubra, yakni :
1.      Kaum Qadariyah mengatakan, pembolehan adanya karamat akan mengakibatkan safsathah (istilah ilmu mantiq : argumentasi palsu seolah-olah benar), karena konsekwensinya membolehkan berubah gunung menjadi emas murni, berubah laut menjadi lautan darah dan berubah bejana-bejana yang disimpan di rumah manusia menjadi imam-imam yang mulia dan ilmuan yang cemerlang.
Ibnu al-Subki menjawab dengan argumentasi-argumentasi berikut :
1). Karamat itu tidak sampai kepada tingkatan merubah suatu benda menjadi dalam bentuk benda lain sebagaimana dipahami dari kalam al-Qusyairi.
2). Namun menurut yang dipahami dari imam-imam kita boleh karamat sampai kepada tingkatan merubah suatu benda menjadi dalam bentuk benda lain, akan tetapi ini tidak mengakibatkan terjadinya safsathah, karena contoh-contoh yang disebutkan itu juga terjadi pada masa kenabian sebagai mu’jizat,  nyatanya dhahir mu’jizat itu tidak mengakibatkan safsathah.
3). Kebolehan menurut akal bukan merupakan kesalahan dalam ilmu ‘adat (kebiasaan). Kebolehan karamat sampai kepada tingkatan merubah suatu benda menjadi dalam bentuk benda lain merupakan kebolehan menurut akal. Karena itu, ia bukan merupakan kesalahan.

2.   Kaum Qadariyah mengatakan, seandainya karamat boleh terjadi,  maka sungguh karamat itu menyerupai mu’jizat. Ini tentu mengakibatkan mu’jizat tidak menjadi petunjuk kepada adanya kenabian.
 Ibnu al-Subki menjawab dengan argumentasi-argumentasi berikut :
1). Tidak dapat dikatakan karamat menyerupai dengan mu’jizat, karena mu’jizat selalu diiringi dengan dakwa kenabian, sedangkan karamat tidak seperti itu, bahkan karamat selalu disertai dengan mengikat diri kepada Nabi dan membenarkannya serta mempedomani jalan-jalannya.
2). Penjelasan mereka, bahwa mu’jizat menunjukkan kepada kebenaran Nabi dari sisi terjadi kejadian luar biasa, karena itu menyerupai karamat merupakan penjelasan yang salah. Karena semata-mata terjadi kejadian luar biasa tidak menunjukkan adanya kenabian, karena seandainya semata-mata terjadi kejadian luar biasa menunjukkan kepada kenabian, maka sungguh tanda-tanda kiamat  wajib menunjuki atas adanya kenabian, sedangkan kita tahu bahwa tanda-tanda kiamat merusakkan tatanan kebiasaan. Lagi pula salah satu keajaiban yang luar biasa adalah penciptaan langit dan penciptaan makhluq pertama, akan tetapi keajaiban penciptaan tersebut  tidak menunjuki kepada kenabian. Karena itu, jelaslah bahwa semata-mata terjadi kejadian luar biasa tidak menunjukkan adanya kenabian.
3). Dan juga orang yang terjadi mu’jizat atasnya itu wajib menyiarkan kepada orang lain, berbeda dengan karamat. Karamat justru terbangun atas menyembunyikannya dan ia tidak nampak kecuali nadir dan khusus, bukan kepada kalayak ramai dan umum.
4). Tidak dapat dikatakan karamat menyerupai dengan mu’jizat juga karena mu’jizat boleh terjadi pada semua kejadian luar biasa, berbeda dengan karamat yang khusus pada sebagian kejadian luar biasa berdasarkan pendapat al-Qusyairi di atas.

3.         Kaum Qadariyah mengatakan, kalau boleh terjadi karamat, maka sungguh boleh menetap hukum dengan semata-semata dakwa orang karamat bahwa sesuatu benda merupakan miliknya tanpa ada saksi, karena dhahir derajatnya di sisi Allah Ta’ala yang tidak mungkin ia berdusta, tetapi ini bathil dengan ijmak kaum muslimin dan didukung pula ijmak ini oleh hadits Nabi SAW berbunyi :
البينة على المدعي واليمين على من انكر
ِArtinya : Kesaksian wajib atas orang yang mendakwa dan sumpah atas orang yang mengingkarinya.

Ibnu al-Subki menjawab :
Karamat tidak mewajibkan makshum dan benar para wali dalam setiap perkara. Pernah Syeikh al-Thariqat Abu al-Qasim al-Junaid rhm ditanyai mungkinkah seorang wali berzina ? Beliau menjawab dengan Firman Allah berbunyi :
كان امر الله قدرا مقدورا
Artinya : Dan adalah ketetapan Allah itu suatu ketetapan yang pasti berlaku (Q.S al-Ahzab : 38)

Kalaupun ada dhan (dugaan kuat) kebenaran para wali tersebut dalam hal apa yang didakwanya, namun syara’ sudah menetapkan jalan khusus dan aturan tertentu dalam menetapkan kebenaran sebuah dakwaan, yakni bukan dengan cara tanpa saksi, yang tidak boleh melangkahi dan berpaling darinya. Karena itu, banyak dhan-dhan yang tidak boleh diputuskan hukum dengan sebabnya, karena keluar dari ketentuan-ketentuan syara’.

4.         Kesimpulan dari syubhat kaum Qadariyah yang satu ini adalah, apabila berulang-ulang atau sering terjadi kejadian luar biasa pada para wali, maka kejadian luar biasa itu menjadi kejadian yang biasa bagi para wali tersebut, cuma kejadian yang biasa bagi mereka berbeda dengan kebiasaan-kebiasaan pada orang lain umumnya. Karena itu, seandainya muncul Nabi pada zaman mereka ini,  maka kejadian-kejadian yang sudah menjadi biasa bagi mereka ini akan menutup cara menganalisa kebenaran sebuah mu’jizat. Ini ditambah lagi, seandainya boleh muncul kejadian luar biasa pada seorang yang shaleh, maka tentunya juga boleh terjadi kejadian yang sama pada orang shaleh yang lain sehingga dalam jumlah yang banyak, karena tidak ada kekhususan pada jumlah tertentu. Alhasil, maka tersembunyilah berita kenabian sama sekali.
Ibnu al-Subki menjawab dengan argumentasi-argumentasi berikut :
1). Sebagian dari para imam-imam kita berpendapat tidak boleh terjadi karamat secara berulang-ulang dalam kejadian yang sama yang mengakibatkan kejadian itu dihukum sebagai kejadian yang biasa terjadi. Apabila kita memegang pendapat ini, maka tertolaklah syubhat mereka. Bahkan ada sebagian ahli tahqiq yang mengatakan, tidak boleh tergambar dalam pikiran kita ada mu’jizat yang terjadi pada para Nabi secara berulang-ulang dalam kejadian yang sama apabila ini dapat menyebabkan mu’jizat menjadi sebuah hal yang biasa terjadi.  Syubhat ini tidak menjadi dalil dalam menolak  ketetapan adanya asal karamat, tetapi hanya pada karamat-karamat yang sering atau berulang-ulang terjadi dalam kejadian yang sama sehingga dapat dianggap sebagai suatu kejadian yang biasa.
2). Sebagian dari imam-imam kita berpendapat boleh terjadi karamat secara berulang-ulang, tetapi tersembunyi dalam arti tidak dhahir dan tidak tersebar sehingga tidak dianggap orang sebagai kejadian yang biasa. Karena itu, kejadian yang berulang-ulang itu tidak mengeluarkan karamat itu sebagai karamat dalam pandangan umum manusia
3). Imam-imam tersebut mengatakan, seandainyapun karamat para wali itu terjadi secara berulang-ulang sehingga kejadian itu menjadi suatu yang biasa dan hal yang lumrah dalam pandangan manusia, maka hal itupun tidak mengakibat tidak mendapatkan jalan yang terpetunjuk dan jalan lurus untuk mengenali mu’jizat ketika muncul mu’jizat, apabila para wali itu mendapat taufiq dari Allah Ta’ala dan dengan sebab itu,  para wali itu dengan anugerah taufiq dari-Nya akan mengikat diri dengan seorang nabi dan mengikutinya apabila muncul mu’jizat pada tangannya serta akan mengatakan kepada khalayak manusia, : “Hai manusia, ini nabi Allah, maka ta’atlah dia dan sesungguhnya aku adalah orang pertama yang patuh dan beriman dengannya”. Dan apabila tidak mendapat taufiq-Nya, maka orang itu bukanlah wali berdasarkan pendapat yang tahqiq.
4). Lagi pula ada jalan lain untuk membedakan karamat yang berulang-ulang terjadi dengan mu’jizat, yakni mu’jizat muncul dan tersebar pada khlayak ramai manusia dan disertai dengan dakwa kenabian. Karena itu, apabila adanya perbedaan antara karamat dengan mu’jizat, maka tidak menutup jalan untuk mengenal seorang nabi.
5). Syubhat yang didatangkan kaum Qadariyah di atas adalah apabila karamat itu terjadi sebelum munculnya nabi penutup segala nabi. Adapun apabila karamat itu datang sesudah munculnya nabi penutup segala nabi, maka tentu tidak ada pembahasan lagi tentang kemungkinan muncul nabi sesudah nabi penutup segala nabi, sehingga syubhat tersebut tidak relevan dikemukakan dalam konteks karamat umat Nabi Muhammad SAW nabi akhir zaman.

5.         Kaum Qadariyah mengatakan, seandainya karamat itu ada dasarnya, maka sesungguhnya yang paling layak bersifat dengan karamat adalah umat Islam generasi pertama (sahabat Nabi SAW), karena mereka merupakan umat pilihan dan yang paling utama sesudah para anbiya ‘alaihissalam. Tetapinya nyatanya merupakan suatu yang populer bahwa tidak ada riwayat dari mereka adanya karamat itu.
  Ibnu al-Subki menjawab dengan argumentasi-argumentasi berikut :
1). Kalau dikatakan tidak ada sama sekali terjadi karamat pada generasi pertama, maka ini sesungguhnya merupakan perkataan yang keji dan tertolak. Tetapi kalau memang ada upaya mencari dengan sungguh-sunnguh kejadian-kejadian karamat para sahabat Nabi, maka akan kita dapati meskipun tidak sampai 1 persen.
2). Ketahuilah bahwa karamat yang terjadi pada tangan sahabat atau para wali ataupun yang terjadi sampai pada hari bertemu manusia dengan tuhannya (hari kiamat) adalah merupakan mu’jizat bagi Nabi SAW. Karena yang bersifat dengan karamat itu, mencapai karunia karamat tersebut dengan sebab mengikuti Nabi SAW dan pengakuan bahwa Nabi SAW merupakan makhluq Allah yang utama dan pilihan serta penghulu segala makhluq. Hikmah inilah yang patut menjadi sebab secara global dan umum dalam memunculkan karamat, lebih-lebih lagi pada masa sahabat Nabi SAW. Karena orang-orang kafir manakala melihat munculnya kejadian-kejadian luar biasa pada tangan para sahabat, maka orang-orang kafir itu akan segera beriman dengan Nabi mereka dan mengetahui bahwa para sahabat Nabi itu berada dalam kebenaran.
3). Untuk membuktikan ada terjadinya karamat pada generasi sahabat Nabi SAW, Ibnu al-Subki kemudian mengutip riwayat-riwayat yang menjelaskan adanya terjadi karamat pada tangan sahabat Nabi SAW, yakni antara lain beberapa kejadian karamat yang terjadi pada Abu Bakar r.a., Umar bin Khatab, Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Abbas paman Nabi, Ibnu Umar, Ali Yadd al-‘Ula bin al-Hazhrami, Salman, Abi Darda’, Imaran bin Hushain dan Khalid bin Walid.
4). Seandainya ada pertanyaan, kenapa karamat pada tangan sahabat kurang terjadi kalau dibandingkan riwayat-riwayat ada  karamat-karamat yang terjadi pada masa sesudah mereka. Ibnu al-Subki menjawab dengan beberapa argumentasi, yakni :
 `a). Ahmad bin Hanbal pernah ditanyai mengenai ini, beliau menjawab bahwa keadaan iman para sahabat nabi sangat kuat, maka mereka tidak membutuhkan karamat untuk lebih menguatkan iman mereka, sedangkan selain mereka lemah sehingga membutuhkan muncul karamat untuk menguatkannya.
 b).Hampir sama dengan ucapan Ahmad bin Hanbal adalah apa yang dikemukakan oleh Syeikh al-Suhrawardi, yakni kejadian luar biasa hanya dapat menjadi sebab terbuka hijab (kasyaf) bagi orang-orang yang lemah keyakinan kasyaf, sedangkan di atas derajat mereka ada kaum yang memang sudah mencapai terbuka hijab dari hati mereka. Karena itu, tentunya mereka tidak membutuhkan kejadian-kejadian luar biasa itu.
c). Atau penjelasan yang lain, yakni apa yang ada pada sahabat Nabi SAW berupa bertemu langsung dengan Nabi pilihan dan selalu dalam jalan istiqamah serta dibukakan kehinaan dunia bagi hati mereka adalah merupakan sebesar-besarnya karamat. Karena itu, dunia pada tangan mereka merupakan selemah-lemah karunia yang ada pada tangan ahli agama. Dengan sebab itu dipalingkan hal tersebut dari mereka. Inilah sebesar-besar karamat dan tidak ada kerinduan dalam hati mereka kecuali meninggikan kalimat Allah dan berdoa keharibaan Allah Azza wa Jalla.






[1] Ibnu al-Subki, Thabaqat al-Syafi’iyah al-Kubra, Dar Ihya al-Turatsi al-Arabiyah, Juz. II, Hal. 316-344. 

3 komentar:

  1. assalamu'alaikum
    cerita ini hanya ingin tanggapan Tgk
    Di daerah kami sering ada berita tentang kelebihan2 seorang ulama di kawasan aceh barat,yang mana katanya Tgk tersebut kalau tidur tidak boleh meluruskan kakinya karna apabila meluruskan kakinya akan ada banjir.Terus katanya lagi kalau kencing sembarangan di tempat umum,ada juga yg mengatakan Tgk tersebut kadang2 ada di banda aceh kadang2 ada di meulaboh dalam waktu dan jam yang sama. dan kelebihan2 yang lain pada Tgk tersebut.
    bagaimana tanggapan Tgk,kalau benar cerita tersebut apakah termasuk keuramat
    wassalam

    BalasHapus
    Balasan
    1. kAmi tentu tidAK bisA memAstikAn apakAh itu karAmat atAu bukAn. nAmun dpt kami jelAskAn di sini adAlAh bAhwA kArAmAt itu Adl kejAdiAn luAr biAsA yg terjAdi pAdA orAng-orAng yAng dhAhir shAleh.
      adApun kejAdiAn 2 yg sdr sebutkAn hAnyA dpt kAmi sebutkAn bAhwA itu memungkinkAn merupAkAn kArAmAt dengAn penjelAsAn sbb ;
      1. kalau tidur tidak boleh meluruskan kakinya karna apabila meluruskan kakinya akan ada banjir. ini mungkin sebagAi kArAmAt kArenA itu tidAK mustAhil terjAdi kAlAu Allah menghendAki dAn pulA tidak bertentangan dengAn syArA'

      2. kencing sembarangan di tempat umum, ini kalau memAng terjAdi pAdA yg mAsyhur shAleh, sebAiknyA kitA berbAik sAngkA sAjA, kArenA itu AllAh bisA sAjA lAgi memperlihAtkAn kepAdA orAng kArAmAt ini bAhwA mAnusiA2 disekitArnyA itu nAmpAk seperti hewAn (misAlnyA sAjA), kArenA sifAt2 mAnusiA tersebut seperti hewAn. mAkA emperlihAtkAn kepAdA orAng kArAmAt ini bAhwA mAnusiA2 disekitArnyA itu nAmpAk seperti hewAn. nAh nAMpAk kpd orAng shAleh bAhwA itu AdAlAh hewAn, tentu tidAK AdA mAsAlAh kencing di depAn hewAn.
      3. Tgk tersebut kadang2 ada di banda aceh kadang2 ada di meulaboh dalam waktu dan jam yang sama. ini mustAhil terjAdi kAlAu orAng yAng sAmA, tetApi kAlAu misAlnyA yg di melAboh orAng AslinyA, sedAngkAn yg dibAndA Aceh yAng menyerupAinyA, mAkA itu boleh secArA AkAl dAN syArA'. dAlAm kAlAngAn sufi AdA istilAh AlAm mitsAl, yAkni AlAm AntArA AlAm tubuh dAn AlAm ArwAh. sehinggA seseorAng memungkin -kArenA kArAmAtnyA- berAdA dAlam duA tempAt pd sAAt yAng sAmA dengAn mAksud, sAtu Asli , sedAngkAn yg sAtu lAgi yg menyerupAi dengAnnyA.

      dengAn demikiAn , contoh2 di AtAs boleh2 sAjA di AnggAp kArAmAt selAmA itu terjAdi pAdA orAng2 yAng dhAHir shAleh. nAMun demikiAn, kitA tentu berhukum secArA dhAhir, kAlAu dhAHirnyA itu mAksiAt, mAkA hArus kitA hukumkAn bukAn sebAgAi kArAmAt, meskipun di sisi AllAh itu kArAmAt.

      wAssAlAm

      Hapus
    2. mAksud kAmi di AtAs nAMpAk seperti hewAn AdAlAh memAng benAr2 nAmpAk sebAgAi hewAn mAnusiA2 itu kepAdA orAng shAleh tersebut. dAn orANg shAleh itu tdk tAhu bAhwA yg nAMpAk pAdAnyA Adl mAnusiA biAsA.

      Hapus