6. Al-Nawawi berpendapat dalam
al-Minhaj, apabila meninggalkan perintah-perintah dalam ibadah haji yang tidak
membatalkan haji seperti ihram pada miqaat, bermalam di Muzdalifah pada malam
al-nahr dan di Mina pada malam-malam tasyriq, melempar dan thawaf wida’, maka
wajib dam tertib dan ta’dil. Beliau mengatakan :
“Pendapat yang lebih shahih sesungguhnya dam
pada meninggalkan perintah-perintah seperti ihram pada miqaat adalah dam
tertib. Karena itu, jika tidak mampu
meyembelih dam, maka seseorang hendaklah membeli makanan dengan harga kambing
dan menyedekahkannya, dan jika juga tidak mampu, maka berpuasa untuk setiap
satu mud satu hari puasa.”[1]
Pendapat
yang telah dishahihkan oleh al-Ghazali dan Imam Juwaini ini didasarkan kepada
qiyas kepada hukum meninggalkan ihram pada miqaat pada haji tamatu’. Namun
kebanyakan ulama berpendapat apabila tidak mampu menyembelih dam, maka berpuasa
tiga hari selama di haji dan tujuh hari sesudah kembali kekampung halaman.
Qalyubi mengatakan pendapat pertama marjuh (dha’if) dan yang mu’tamad adalah
pendapat kebanyakan ulama (yang kedua).[2]
Ibnu Hajar mengatakan pendapat kedua ini
yang mu’tamad dalam al-Raudhah, al-Majmu’ dan al-Syarhaini.[3]
Khatib Syarbaini mengatakan, yang lebih shahih adalah yang terebut dalam
al-Raudhah sebagaimana disebut al-Haitamy di atas.[4]
Senada dengan Khatib Syarbaini dikemukan oleh al-Ramli dalam Nihayah al-Muhtaj.[5]
7. Al-Nawawi dalam al-Minhaj
berpendapat, yang lebih shahih tidak ada hak khiyar pada hibah yang mempunyai
imbalan, syafa’ah, sewa menyewa, akad al-masaaqaah (menyiram tanaman tua) dan
mahar. Beliau mengatakan :
“tidak ada khiyar pada al-ibra’, nikah, hibah
tanpa imbalan dan demikian juga hibah yang mempunyai imbalan, syafa’ah, sewa menyewa,
akad al-masaaqaah (menyiram tanaman tua) dan mahar menurut pendapat yang lebih
shahih.”[6]
Argumentasi
al-Nawawi karena semua akad tersebut di atas tidak disebut sebagai akad jual
beli, sedangkan hadits yang melegitimasikan hak khiyar hanya terjadi pada akad
jual beli. Namun Qalyubi dalam mengomentari pendapat al-Nawawi di atas, mengatakan
pendapat yang mengatakan pada hibah yang mempunyai imbalan ada hak khiyar
merupakan pendapat yang mu’tamad, karena ia pada makna jual beli.[7]
Ibnu Hajar al-Haitamy mengatakan, yang mu’tamad ada hak khiyar pada hibah yang
mempunyai imbalan, karena akad tersebut merupakan akad jual beli pada
hakikatnya.[8] Senada
dengan ini juga dikemukakan oleh Khatib Syarbaini dalam al-Iqna’[9]
Pendapat ini juga diikuti oleh Zainuddin al-Malibari dalam kitabnya, Fathul Mu’in.[10]
[1] Al-Nawawi, Minhaj al-Thalibin,
dicetak pada hamisy Qalyubi wa ‘Umairah, Dar Ihya al-Kutub al-Arabiyah,
Indonesia, Juz. II, Hal. 145
[2]
Qalyubi, Hasyiah
Qalyubi, Dar Ihya
al-Kutub al-Arabiyah, Indonesia, Juz. II, Hal. 145
[3]
Ibnu Hajar
al-Haitamy, Tuhfah al-Muhtaj, dicetak pada hamisy Hawasyi
Syarwani, Mathba’ah Mustafa Muhammad, Mesir, Juz. IV, Hal. 197
[4]
Khatib
Syarbaini, Mughni al-Muhtaj, Darul Ma’rifah, Beirut, Juz. I, Hal.
769
[5]
Imam Ramli, Nihayah
al-Muhtaj, dicetak bersama Hasyiahnya ,karya Ali Syibran al-Malusi,
Juz. II, Hal. 470
[6]
Al-Nawawi, Minhaj al-Thalibin, dicetak pada
hamisy Qalyubi wa ‘Umairah, Dar Ihya al-Kutub al-Arabiyah, Indonesia, Juz. II,
Hal. 190-191.
[7] Qalyubi, Hasyiah
Qalyubi, Dar Ihya
al-Kutub al-Arabiyah, Indonesia, Juz. II, Hal. 190-191
[8] Ibnu Hajar
al-Haitamy, Tuhfah al-Muhtaj, dicetak pada hamisy Hawasyi
Syarwani, Mathba’ah Mustafa Muhammad, Mesir, Juz. IV, Hal. 336
[9] Khatib
Syarbaini, al-Iqna’,
dicetak dalam Hasyiah al-Bujairumi ‘ala al-Iqna’, Dar al-Kutub al-Ilmiyah, Beirut, Juz. III,
Hal. 316
[10] Zainuddin
al-Malibary, Fathul Mu’in, dicetak pada hamisy I’anah
al-Thalibin, Thaha Putra, Semarang, Juz. III, Hal. 26
Tidak ada komentar:
Posting Komentar