Berikut ini pandangan ulama Syafi’yah terkait judul di atas, yakni :
1. Ibnu Hajar al-Haitamiy mengatakan :
وَسَيُعْلَمُ مِمَّا يَأْتِي أَنَّ شَرْطَهُمْ أَيْضًا أَنْ
يَسْمَعُوا أَرْكَانَ الْخُطْبَتَيْنِ وَأَنْ يَكُونُوا قُرَّاءً أَوْ أُمِّيِّينَ
مُتَحَدِّينَ، فِيهِمْ مَنْ يُحْسِنُ الْخُطْبَةَ فَلَوْ كَانُوا قُرَّاءً إلَّا
وَاحِدٌ مِنْهُمْ فَإِنَّهُ أُمِّيٌّ لَمْ تَنْعَقِدْ بِهِمْ الْجُمُعَةُ كَمَا
أَفْتَى بِهِ الْبَغَوِيّ؛ لِأَنَّ الْجَمَاعَةَ الْمَشْرُوطَةَ هُنَا لِلصِّحَّةِ
صَيَّرَتْ بَيْنَهُمَا ارْتِبَاطًا كَالِارْتِبَاطِ بَيْنَ صَلَاةِ الْإِمَامِ
وَالْمَأْمُومِ فَصَارَ كَاقْتِدَاءِ قَارِئٍ بِأُمِّيٍّ وَبِهِ يُعْلَمُ أَنَّهُ
لَا فَرْقَ هُنَا بَيْنَ أَنْ يُقَصِّرَ الْأُمِّيُّ فِي التَّعَلُّمِ وَأَنْ لَا،
وَأَنَّ الْفَرْقَ بَيْنَهُمَا غَيْرُ قَوِيٍّ لِمَا تَقَرَّرَ مِنْ الِارْتِبَاطِ
الْمَذْكُورِ عَلَى أَنَّ الْمُقَصِّرَ لَا يُحْسَبُ مِنْ الْعَدَدِ؛ لِأَنَّهُ
إنْ أَمْكَنَهُ التَّعَلُّمُ قَبْلَ خُرُوجِ الْوَقْتِ فَصَلَاتُهُ بَاطِلَةٌ
وَإِلَّا فَالْإِعَادَةُ لَازِمَةٌ لَهُ وَمَنْ لَزِمَتْهُ لَا يُحْسَبُ مِنْ
الْعَدَدِ كَمَا مَرَّ آنِفًا فَلَا تَصِحُّ إرَادَتُهُ هُنَا
Akan dimaklumi
dari penjelasan berikut ini bahwa syarat ahli juma’t juga bahwa mendengar rukun
khutbah dan mereka semuanya qari atau ummi yang sejenis, sementara di antara
mereka ada yang bagus khutbahnya. Karena itu, jika mereka adalah qari kecuali
seorang dari mereka ada ummi, maka tidak ter’aqad jumat mereka. Sebagaimana
fatwa al-Baghwiy. Karena jama’ah yang disyaratkan di sini supaya sah, adalah menjadi
ikatan di antara keduanya seperti ikatan antara shalat imam dan makmum, maka
menjadi hal itu seperti mengikuti si qari kepada si ummi. Karenanya, dimaklumi
bahwa tidak ada perbedaan antara si ummi tersebut taqshir atau tidak. Adapun
membedakan di antara keduanya tidaklah kuat, karena alasan yang sudah jelas,
yakni ikatan yang telah disebutkan. Lebih-lebih lagi, orang yang taqshir tidak
dihitung sebagai bilangan ahli jum’at. Karena jika memungkinkan belajar sebelum
keluar waktu jum’at, maka shalatnya batal dan jika tidak, maka i’adah wajib
baginya. Sedangkan orang yang wajib i’adah tidak dihitung sebagai bilangan ahli
jumat sebagaimana yang sudah lalu baru saja. Karena itu, tidak sah dimaksudkan
di sini. [1]
2. Mengomentari penjelasan Ibnu Hajar
al-Haitamiy di atas, al-Syarwaniy mengatakan,
)قَوْلُهُ:
أَنَّهُ لَا فَرْقَ إلَخْ) خِلَافًا لِلنِّهَايَةِ وَالْمُغْنِي وَشَيْخِ
الْإِسْلَامِ وَشَرْحِ بَافَضْلٍ وَشَرْحَيْ الْإِرْشَادِ عِبَارَةُ الْأَوَّلِ
وَظَاهِرٌ أَنَّ مَحَلَّهُ أَيْ إفْتَاءُ الْبَغَوِيّ إذَا قَصَّرَ الْأُمِّيُّ
فِي التَّعَلُّمِ وَإِلَّا فَتَصِحُّ الْجُمُعَةُ إنْ كَانَ الْإِمَامُ قَارِئًا
اهـ (قَوْلُهُ: وَإِنَّ الْفَرْقَ بَيْنَهُمَا إلَخْ) اعْتَمَدَهُ شَيْخُنَا
وَالْبُجَيْرِمِيُّ وِفَاقًا لِلنِّهَايَةِ وَالْمُغْنِي عِبَارَةُ الْأَوَّلِينَ،
وَلَوْ كَانُوا أَرْبَعِينَ فَقَطْ وَفِيهِمْ أُمِّيٌّ، فَإِنْ قَصَّرَ فِي
التَّعَلُّمِ لَمْ تَصِحَّ جُمُعَتُهُمْ لِبُطْلَانِ صَلَاتِهِ فَيَنْقُصُونَ عَنْ
الْأَرْبَعِينَ، فَإِنْ لَمْ يُقَصِّرْ فِي التَّعَلُّمِ كَمَا لَوْ كَانُوا أُمِّيِّينَ
فِي دَرَجَةٍ وَاحِدَةٍ فَشَرْطُ كُلٍّ أَنْ تَصِحَّ صَلَاتُهُ لِنَفْسِهِ كَمَا
فِي شَرْحِ الرَّمْلِيِّ، وَإِنْ لَمْ يَصِحَّ كَوْنُهُ إمَامًا لِلْقَوْمِ
فَقَوْلُ الْقَلْيُوبِيِّ أَيْ تَبَعًا لِلتُّحْفَةِ يُشْتَرَطُ فِي
الْأَرْبَعِينَ أَنْ تَصِحَّ إمَامَةُ كُلٍّ مِنْهُمْ لِلْبَقِيَّةِ ضَعِيفٌ
وَالْمُعْتَمَدُ مَا تَقَدَّمَ. اهـ
(Perkataan
pengarang sesungguhnya tidak ada perbedaan..dst), ini khilaf dengan al-Nihayah,
al-Mughniy, Syeikh Islam, Syarah Baafazhl dan dua syarah Irsyad. ‘Ibarat
pertama : Yang dhahir sesungguhnya penempatannya yakni fatwa al-Baghwiy apabila
taqshir dalam belajar dan jika tidak, maka shah jumat seandainya imamnya qarii.
(Dan perkataan pengarang sesungguhnya perbedaan antara keduanya tersebut…dst),
telah dinyatakan mu’tamad pendapat ini oleh guru kami dan al-Bujairumi karena
mengikuti pendapat al-Nihayah dan al-Mughniy. ‘Ibarat dua yang awal : Jika
mereka ada empat puluh saja, diantara mereka ada yang ummi, maka jika ummi
tersebut taqshir dalam belajar, maka tidak sah jum’at mereka karena batal
shalatnya. Karena itu kurang bilangan mereka dari empat puluh. dan jika tidak
taqshir dalam belajar sebagaimana jika mereka ummi pada derajat yang sama, maka
disyaratkan setiap mereka shah shalatnya bagi dirinya sebagaimana dalam syarah
al-Ramli, meskipun tidak sah keadaanya menjadi imam bagi kaum. Dengan demikian,
pendapat Qalyubi karena mengikuti Tuhfah yang mensyaratkan empat puluh bahwa
sah menjadi imam setiap mereka kepada yang lain adalah dhaif, sedang yang
mu’tamad adalah yang sebelumnya.[2]
3. Dalam menjelaskan salah satu syarat
ahli jumat, Qalyubi mengatakan
وَشَرْطُهُمْ صِحَّةُ إمَامَةِ كُلٍّ مِنْهُمْ لِلْبَاقِينَ
Syarat ahli jum’at adalah sah
menjadi imam setiap mereka bagi yang lain.
Kemudian pada halaman berikutnya, beliau
mengatakan,
وَمِثْلُهُمْ الْأُمِّيُّونَ بِالشَّرْطِ
الْمَذْكُورِ بِأَنْ اتَّفَقَتْ أُمِّيَّتُهُمْ وَلَا تَقْصِيرَ مِنْهُمْ فِي
التَّعْلِيمِ. وَمَا فِي شَرْحِ شَيْخِنَا مِنْ صِحَّتِهَا مِنْهُمْ وَإِنْ
اخْتَلَفَتْ أُمِّيَّتُهُمْ حَيْثُ لَا تَقْصِيرَ فِيهِ نَظَرٌ، وَلَمْ يَرْتَضِهِ
شَيْخُنَا لِمَا مَرَّ مِنْ شَرْطِ صِحَّةِ اقْتِدَائِهِمْ بِكُلِّ وَاحِدٍ
مِنْهُمْ
Yang
sama dengan mereka adalah orang-orang ummi dengan syarat yang telah disebutkaan
bahwa sepakat ummi mereka dan tidak taqshir dalam belajar. Dan apa yang
tersebut dalam syarah syeikhunaa berupa sah jum’at, meskipun berbeda ummi
mereka dalam hal tidak taqshir, ini ada tinjauan. Syeikhunaa sendiri tidak
merestuinya karena alasan yang telah lalu, yakni disyaratkan sah mengikuti
mereka dengan setiap salah satu dari mereka.[3]
4. ‘Amirah menjelaskan
قَوْلُ الْمَتْنِ: (بِأَرْبَعِينَ) لَوْ كَانَ
فِيهِمْ أُمِّيٌّ.
قَالَ
الْأَذْرَعِيُّ نَقْلًا عَنْ فَتَاوَى الْبَغَوِيّ: لَمْ تَصِحَّ الْجُمُعَةُ اهـ. وَمِثْلُهُ
فِيمَا يَظْهَرُ لَوْ كَانَ فِيهِمْ مُخِلٌّ بِخِلَافِ تَرْكِ الْبَسْمَلَةِ
مَثَلًا. وَقَيَّدَ شَارِحُ الرَّوْضِ مَسْأَلَةَ الْأُمِّيِّ بِأَنْ يَكُونَ
قَصَّرَ فِي التَّعَلُّمِ وَإِلَّا فَتَصِحُّ إذَا كَانَ الْإِمَامُ قَارِئًا
Perkataan matan
: (dengan empat puluh) jika diantara mereka ada yang ummi, maka berkata al-Azra’i
mengutip dari al-Baghwiy tidah sah jum’at. Yang sama dengannya menurut pendapat
yang dhahir jika diantara mereka ada yang mencederainya. Ini berbeda dengan
meninggalkan misalnya basmalah. Pensyarah al-Rauzh mengkaidkan masalah ummi dengan
keadaannya taqshir dalam belajar. Dan jika tidak taqshir, maka sah apabila imam
dalam keadaan qari.[4]
5.
Zakariya
al-Anshari mengatakan,
فَلَا تَنْعَقِدُ إلَّا بِأَرْبَعِينَ وَلَوْ
أُمِّيِّينَ فِي دَرَجَةٍ (لَا) بِأَرْبَعِينَ (وَفِيهِمْ أُمِّيٌّ) وَاحِدٌ أَوْ
أَكْثَرُ (لِارْتِبَاطِ) صِحَّةِ (صَلَاةِ بَعْضِهِمْ بِبَعْضٍ) فَصَارَ
كَاقْتِدَاءِ الْقَارِئِ بِالْأُمِّيِّ (نَقَلَهُ الْأَذْرَعِيُّ عَنْ) فَتَاوَى
(الْبَغَوِيّ) ، وَهُوَ مِنْ زِيَادَةِ الْمُصَنِّفِ وَظَاهِرٌ أَنَّ مَحَلَّهُ
إذَا قَصَّرَ الْأُمِّيُّ فِي التَّعَلُّمِ وَإِلَّا فَتَصِحُّ الْجُمُعَةُ إنْ
كَانَ الْإِمَامُ قَارِئًا
Maka tidak ter’aqad
kecuali dengn empat puluh, meskipun mereka ummi pada satu derajat. Tidak sah
dengan empat puluh dimana diantara mereka ada satu orang yang ummi atau lebih
banyak, karena terikat sah shalat sebagian mereka dengan sebagian yang lain. Karena
itu, jadilah seperti mengikuti si qari dengan si ummi. Telah mengutip ini oleh
al-Azra’i dari fatawa al-Baghwiy. Ini merupakan tambahan pengarang. Dhahirnya penempatannya
adalah apabila si ummi taqshir dalam belajar dan jika tidak taqshir, maka sah
jum’at jika keadaan imam qari.[5]
6.
Zainuddin
al-Malibary mengatakan,
ولو كانوا أريعين فقط وفيهم أمي واحد أو أكثر
قصر في التعلم، لم تصح جمعتهم، لبطلان صلاته فينقصون.
أما
إذا لم يقصر الامي في التعلم فتصح الجمعة به - كما جزم به شيخنا في شرحي العباب
والارشاد، تبعا لما جزم به شيخه في شرح الروض - ثم قال في شرح المنهاج: لا فرق هنا
بين أن يقصر الامي في التعلم، وأن لا يقصر.والفرق بينهما غير قوي.انتهى
Jika keadaan
mereka adalah empat puluh saja, sedangkan diantara mereka ada satu orang yang
ummi atau lebih banyak, yang taqshir dalam belajar, maka tidak sah jum’at
mereka karena kurang bilangan mereka. Adapun apabila tidak taqshir dalam
belajar, maka sah jumat denganmya sebagaimana dipastikan oleh syeikhuna dalam
Syarah ‘Ubaab dan Syarah al-Irsyad karena mengikuti gurunya dalam Syarah
al-Rauzh. Kemudian beliau mengatakan dalam Syarah al-Minhaj, tidak ada
perbedaan di sini antara taqshir ummi dalam belajar dan tidak taqshir. Perbedaan
di antara keduanya tidak kuat.[6]
7.
Dalam
Kitab Lum’ah al-Mufadah fi Bayan al-Jum’ah wa al-Mu’adah karya Syeikh Salim bin
Saamir al-Hazhriy dengan syarahnya oleh Syeikh Nawawi al-Bantaniy disebutkan:
(الثالث أن يكون فيهم أمي لم يقصر في التعلم فتصح) الجمعة (أيضا غلى
ما ماشى) أي ابن حجر (عليه في غير التحفة) وهذا هو اللائق بمحاسن الشريعة كما قاله
محمد أبو حضير الدمياطي ثم المدني
Yang
ketiga, bahwa keadaan ahli jum’at diantara mereka ada yang ummi yang tidak taqshir
dalam belajar, maka sah jumat juga berdasarkan pendapat Ibnu Hajar dalam selain
Tuhfah. Pendapat ini lebih sesuai dengan mahaasin syari’ah sebagaimana berkata
Muhammad Abu Hazhir al-Damyathi tsuma al-Madaniy.
Namun Syeikh
Salim bin Saamir al-Hazhriy, masih pada halaman yang sama beliau mengatakan,
pendapat yang mu’tamad adalah batal. Akan tetapi Nawawi al-Bantaniy berpendapat
yang lebih sesuai dengan mahaasin syari’ah adalah sah.[7]
Kesimpulan
1. Sepakat para ulama Syafi’iyah sah jum’at
apabila ahli jumat semua qari
2. Sepakat juga sah jumat apabila ahli jumat adalah
ummi (cedera bacaan) yang sejenis umminya, namun diantara mereka ada satu orang
yang qari yang menjadi imam
3. Terjadi perbedaan pendapat apabila berbeda umminya.
Menurut pendapat Ibnu Hajar al-Haitmiy dalam Tuhfah al-Muhtaj tidak sah, baik
lalai (taqshir) dalam belajar atau tidak lalai. Menurut Imam al-Ramli, Khathib
Syarbainiy, Zakariya al-Anshari dan Ibnu Hajar al-Haitamiy dalam kitab beliau
selain Tuhfah sah apabila tidak lalai dalam belajar
4. Pendapat Imam al-Ramli, Khathib Syarbainiy,
Zakariya al-Anshari dan Ibnu Hajar dalam kitab beliau selain Tuhfah telah
dinyatakan mu’tamad oleh Syeikhunaa (guru al-Syarwani), al-Bujairumiy dan
al-Syarwani sendiri.
5. Pendapat Ibnu Hajar al-Haitamiy dalam Tuhfah
al-Muhtaj juga diikuti oleh Qalyubi dan dinyatakan mu’tamad oleh Syeikh Salim
bin Saamir al-Hazhriy dalam kitab beliau Lum’ah al-Mufadah fi Bayan al-Jum’ah
wa al-Mu’adah.
6. Namun demikian, Syeikh Nawawi al-Bantaniy
mengatakan pendapat Ibnu Hajar al-Haitamiy dalam kitab beliau selain Tuhfah
al-Muhtaj lebih sesuai dengan mahaasin syari’ah sebagaimana pendapat Muhammad
Abu Hazhir al-Damyathi
[1] Ibnu Hajar al-Haitamiy, Tuhfah
al-Muhtaj, (Dicetak bersama Hasyiah al-Syarwaniy ‘ala Tuhfah al-Muhtaj)
Mathba’ah Musthafa Muhammad, Mesir, Juz. II, Hal. 438
[2] Syarwaniy, Hasyiah Syarwaniy
‘ala Tuhfah al-Muhtaj, Mathba’ah Musthafa Muhammad, Mesir, Juz. II,
Hal. 438
[3].
Qalyubi, Hasyiah Qalyubi ‘ala Syarah
al-Mahalli, Dar Ihya al-Kutub al-Arabiyah, Indonesia, Juz. I, Hal 274
dan 275
[4] ‘Amirah, Hasyiah ‘Amirah ‘ala
Syarah al-Mahalli, Dar Ihya al-Kutub al-Arabiyah, Indonesia), Juz. I,
Hal. 274
[5]. Zakariya al-Anshari, Asnaa al-Mathalib, Maktabah
Syamilah, Juz. I, Hal. 249
[6]
Zainuddin al-Malibary, Fathul Muin,
(Dicetak bersama I’anah al-Thalibin), Thaha Putra, Semarang, Juz. II, Hal. 57
[7]
Syeikh Nawawi al-Bantaniy, Suluuk al-Jaaddah
‘ala Lum’ah al-Mufadah fi Bayan al-Jum’ah wa al-Mu’adah, Hal. 8
Tidak ada komentar:
Posting Komentar