Derajat hadits
Nabi SAW bersabda :
لاَضَرَرَ وَلاَ
ضِرَارَ
Tidak boleh memudharatkan diri sendiri dan juga tidak
boleh memudharatkan orang lain.
Hadits ini
diriwayat oleh Imam Malik dari ‘Amr bin Yahya dari bapaknya secara mursal dan
juga telah keluarkan oleh al-Hakim dalam kitab al-Mustadrak serta al-Baihaqi
dan al-Darulquthny dari hadits Abu Sa’id al-Khudri. Juga telah dikeluarkan
hadits ini oleh Ibnu Majah dari hadits Ibnu Abbas dan ‘Ubadah bin al-Shaamit.[1] Al-Manawi
mengatakan, hadits ini telah dinyatakan hasan oleh al-Nawawi dalam al-Arba’in,
beliau mengatakan, hadits ini diriwayat oleh Malik secara mursal akan tetapi mempunyai beberapa jalur yang saling
menguatkan. al-Manawi juga mengutip pendapat al-‘Ala-iy yang mengatakan hadits
ini ada beberapa pendukungnya yang menyampaikan kepada derajat shahih atau
hasan yang dapat menjadi hujjah.[2]
Karena itu, Ibnu Hajar al-Haitamy mengatakan, hadits ini hasan li ghairihi. [3]
Tafsir hadits
1.
Penafsiran menurut al-Munawy,
Laa dharara artinya : Seseorang tidak boleh memudharatkan saudaranya
sehingga dia mengurangi hak saudaranya sendiri. Laa dhirara artinya :
tidak membalas orang yang memudharatkannya dengan membuat orang tersebut mudharat juga. Karena
itu, dharar satu perbuatan, sedangkan dhirar dua perbuatan atau dharar memulai
suatu perbuatan sedangkan dhirar merupakan perbuatan balasan atas kemudharatan.
Berdasarkan hadits ini haram semua perbuatan yang mengakibatkan kemudharatan
kecuali ada dalil lain, karena nakirah pada rangkaian kalam nafi berfaedah
umum.[4]
2. Menurut Ibnu Hajar al-Haitamy, dharar dan dhirar dengan makna satu, yaitu lawan manfa’at sebagaimana pendapat al-Jauhary. Menyebut keduanya untuk taukid (penguatan). Akan tetapi yang masyhur makna keduanya ini berbeda. Yang berpendapat berbeda, terjadi khilafiyah lagi dalam memaknai perbedaan ini, yakni sebagai berikut :
a, Ada yang mengatakan, yang pertama mendatangkan mafsadah kepada orang lain secara mutlaq, sedangkan yang kedua mendatangkan mafsadah kepada orang lain dalam rangka membalas kemudharatan orang tersebut.
b. Ibnu Habib mengatakan, yang pertama tidak kamu mendatangkan kemudharatan kepada saudaramu yang tidak didatangkan kepada dirinya sendiri, sedangkan makna yang kedua tidak saling memudharatkan.
c. Ada yang mengatakan, dharar itu sendiri dan juga mendatangkan kemudhratan tanpa haq adalah ternafi pada syara’
d. Pendapat yang ditarjih oleh Ibnu Abd al-Bar dan Ibnu al-Shalah, dharar adalah mendatangkan kepada orang lain kemudharatan dengan sebab sesuatu yang bermanfa’at baginya, sedangkan dhirar mendatangkan kepada orang lain kemudharatan dengan sebab sesuatu yang tidak bermanfa’at baginya
e. Ada yang mengatakan, makna yang pertama adalah sesuatu yang ada mamfaat bagimu, sementara tetanggamu mendapat mudharat. Sedangkan makna yang kedua adalah sesuatu yang tidak ada mamfaat bagimu, sementara tetanggamu mendapat mudharat.[5]
3.
Qalyubi mengatakan, makna
hadits ini seseorang tidak memudharatkan dirinya dan juga tidak memudharatkan
orang lain atau seseorang tidak memudharatkan orang lain dan juga tidak saling
memudharatkan.[6]
4.
Hadits ini dalam satu
riwayat dengan lafazh :
ولا اضرار
dari
perkataan :
اضر به اضرارا
اذا الحق به ضررا
Seseorang melakukan idhrar kepada
orang lain, yakni apabila mendatangkan kemudharatan kepada orang lain
Ibnu Shalah mengatakan, lafazh
tersebut atas dasar pengucapan kebanyakan fuqaha dan ahli hadits, akan tetapi
tidak sah. Karena itu telah diingkari oleh ulama lain. Namun ada yang mendukung
dengan lafazh ini berdasarkan sebagian riwayat Ibnu Majah dan Darulquthniy dan
pada sebagian naskah al-Muwatha’.[7]
5. Menurut Ibnu
Hajar al-Haitamy[8],
dhahir hadits ini haram semua jenis dharar kecuali yang ada dalil syara’
pengecualiannya. Karena nakirah pada rangkaian kalam nafi berfaedah umum.
Pengecualian ini karena hudud dan uqubat merupakan dharar namun menjadi syariat
secara ijmak ulama. Ternafi dharar selain yang dikecualikan juga di dukung
antara lain oleh firman Allah Ta’ala berbunyi :
يُرِيدُ ٱللَّهُ بِكُمُ ٱلۡيُسۡرَ وَلَا
يُرِيدُ بِكُمُ ٱلۡعُسۡرَ
“Allah menghendaki kemudahan bagimu dan tidak menghendaki
kesukaran”. (Q.S.al-Baqarah : 185)
Dan
firman Allah Ta’ala berbunyi :
يُرِيدُ ٱللَّهُ أَن يُخَفِّفَ عَنكُمۡۚ
“Allah
hendak memberikan keringanan kepadamu” (Q.S. An-Nisa’ : 28)
6. Masih menurut
Ibnu Hajar al-haitamy, terlarang mendatangkan dharar kepada seseorang meskipun dia
telah memudharatkan kamu sebelumnya.
Namun dikecualikan dalam rangka daf’u shaail (menghindar sesuatu yang
mengancam jiwa) dan lainnya yang dibolehkan meskipun dengan membunuhnya. Karena
itu, hadits yang berbunyi :
اْد
الامانة الى من ائتمنك ولا تخن من خانك
Tunailah amanah kepada orang yang
telah memberikan amanahnya kepadamu dan jangan kamu khianati orang yang
mengkhianatimu.
menurut ahli ilmu harus dimaknai dengan
makna “Jangan kamu khianati orang yang mengkhianatimu sebelumnya setelah kamu terlepas
dari pengkhianatannya.” Karena orang yang melakukan uqubat terhadap orang lain
dengan sesuatu yang sebanding untuk mengambil haknya bukanlah pengkhianat. Sesungguhnya
pengkhianat itu adalah orang yang mengambil yang bukan haknya atau yang lebih
dari haknya. Oleh karena itu, Imam Syafi’i membolehkan sipemberi hutang yang
mendapati harta orang yang berhutang untuk mengambil kadar haknya meskipun
mengakibatkan pecah pintu atau berlobang dinding milik orang yang berhutang.
Dan tidak ada tinjauan di sini kepada munculnya kemudharatan, karena orang yang
berhutang dengan sebab pengingkarannya atau lainnya yang telah menyia-nyiakan
hak sipemberi hutang.[9]
Martabat
dharuraat
Sebagai
penutup tulisan ini, kami sebut beberapa martabat yang berhubungan dengan
dharurat sebagaimana telah disebut oleh Ibnu Hajar al-Haitamy sebagai berikut :
1.
Dharurat, yakni batasnya sampai kepada batasan dimana
seandainya tidak dilakukan yang terlarang, maka akan terjadi kemudharatan yang
membolehkan tayamum yaitu yang membolehkan melakukan yang haram
2.
Hajad, yakni padanya semata-mata ada kesusahan dan
kesukaran. Hajad ini tidak membolehkan yang haram
3.
Manfaat, seperti keinginan kepada roti gandum
4.
Ziinah (perhiasan), seperti keinginan kepada yang manis
5.
Fuzhul, seperti toleransi dengan makanan yang haram dan
syubhat[10]
Martabat
di atas ini juga telah disebut oleh al-Suyuthi dalam kitab beliau, al-Asybah
wan Nadhair[11]
[1]
Al-Suyuthi, al- Asybah wa al-Nadhair, al-Haramain, Singapura,
Hal. 59-60
[2]
Al-Manawi, Faidhul Qadir, Maktabah Syamilah, Juz. VI, Hal. 431.
[3] Ibnu
Hajar al-Haitamy, Fathul Mubin, Darul Minhaj, Libanon, Hal. 523
[4] Al-Manawi,
Faidhul Qadir, Maktabah Syamilah, Juz. VI, Hal. 431.
[5] Ibnu
Hajar al-Haitamy, Fathul Mubin, Darul Minhaj, Libanon, Hal.
515-516
[6]
Qalyubi, Hasyiah Qalyubi ‘ala Syarah al-Mahalliy, Dar Ihya
al-Kutub al-Arabiyah, Indonesia, Juz. IV, Hal.226
[7] Ibnu
Hajar al-Haitamy, Fathul Mubin, Darul Minhaj, Libanon, Hal. 516
[8] Ibnu
Hajar al-Haitamy, Fathul Mubin, Darul Minhaj, Libanon, Hal. 516-517
[9] Ibnu
Hajar al-Haitamy, Fathul Mubin, Darul Minhaj, Libanon, Hal. 521
[10] Ibnu
Hajar al-Haitamy, Fathul Mubin, Darul Minhaj, Libanon, Hal. 525
[11]
Al-Suyuthi, al-Asybah wan
Nadhair,
al-Haramain, Singapura, Hal. 61
Tidak ada komentar:
Posting Komentar