Kamis, 10 Maret 2022

Tafsir Hadits “Laa Dharara wa laa dhiraara”

 Derajat hadits

Nabi SAW bersabda  :

لاَضَرَرَ وَلاَ ضِرَارَ

Tidak boleh memudharatkan diri sendiri dan juga tidak boleh memudharatkan orang lain.

Hadits ini diriwayat oleh Imam Malik dari ‘Amr bin Yahya dari bapaknya secara mursal dan juga telah keluarkan oleh al-Hakim dalam kitab al-Mustadrak serta al-Baihaqi dan al-Darulquthny dari hadits Abu Sa’id al-Khudri. Juga telah dikeluarkan hadits ini oleh Ibnu Majah dari hadits Ibnu Abbas dan ‘Ubadah bin al-Shaamit.[1] Al-Manawi mengatakan, hadits ini telah dinyatakan hasan oleh al-Nawawi dalam al-Arba’in, beliau mengatakan, hadits ini diriwayat oleh Malik secara mursal akan tetapi  mempunyai beberapa jalur yang saling menguatkan. al-Manawi juga mengutip pendapat al-‘Ala-iy yang mengatakan hadits ini ada beberapa pendukungnya yang menyampaikan kepada derajat shahih atau hasan yang dapat menjadi hujjah.[2] Karena itu, Ibnu Hajar al-Haitamy mengatakan, hadits ini hasan li ghairihi. [3]

Tafsir hadits

1.       Penafsiran menurut al-Munawy, Laa dharara artinya : Seseorang tidak boleh memudharatkan saudaranya sehingga dia mengurangi hak saudaranya sendiri. Laa dhirara artinya : tidak membalas orang yang memudharatkannya dengan  membuat orang tersebut mudharat juga. Karena itu, dharar satu perbuatan, sedangkan dhirar dua perbuatan atau dharar memulai suatu perbuatan sedangkan dhirar merupakan perbuatan balasan atas kemudharatan. Berdasarkan hadits ini haram semua perbuatan yang mengakibatkan kemudharatan kecuali ada dalil lain, karena nakirah pada rangkaian kalam nafi berfaedah umum.[4]

2.       Menurut Ibnu Hajar al-Haitamy, dharar dan dhirar dengan makna satu, yaitu lawan manfa’at sebagaimana pendapat al-Jauhary. Menyebut keduanya untuk taukid (penguatan). Akan tetapi yang masyhur makna keduanya ini berbeda. Yang berpendapat berbeda, terjadi khilafiyah lagi dalam memaknai perbedaan ini, yakni sebagai berikut :

a, Ada yang mengatakan, yang pertama mendatangkan mafsadah kepada orang lain secara mutlaq, sedangkan yang kedua mendatangkan mafsadah kepada orang lain dalam rangka membalas kemudharatan orang tersebut.

b. Ibnu Habib mengatakan, yang pertama tidak kamu mendatangkan kemudharatan kepada saudaramu yang tidak didatangkan kepada dirinya sendiri, sedangkan makna yang kedua tidak saling memudharatkan.

c. Ada yang mengatakan, dharar itu sendiri dan juga mendatangkan kemudhratan tanpa haq adalah ternafi pada syara’

d. Pendapat yang ditarjih oleh Ibnu Abd al-Bar dan Ibnu al-Shalah, dharar adalah mendatangkan kepada orang lain kemudharatan dengan sebab sesuatu yang bermanfa’at baginya, sedangkan dhirar mendatangkan kepada orang lain kemudharatan dengan sebab sesuatu yang tidak bermanfa’at baginya

e. Ada yang mengatakan, makna yang pertama adalah sesuatu yang ada mamfaat bagimu, sementara tetanggamu mendapat mudharat. Sedangkan makna yang kedua adalah sesuatu yang tidak ada mamfaat bagimu, sementara tetanggamu mendapat mudharat.[5]

3.    Qalyubi mengatakan, makna hadits ini seseorang tidak memudharatkan dirinya dan juga tidak memudharatkan orang lain atau seseorang tidak memudharatkan orang lain dan juga tidak saling memudharatkan.[6]

4.    Hadits ini dalam satu riwayat dengan lafazh :

ولا اضرار

dari perkataan :

اضر به اضرارا اذا الحق به ضررا

Seseorang melakukan idhrar kepada orang lain, yakni apabila mendatangkan kemudharatan kepada orang lain

 

Ibnu Shalah mengatakan, lafazh tersebut atas dasar pengucapan kebanyakan fuqaha dan ahli hadits, akan tetapi tidak sah. Karena itu telah diingkari oleh ulama lain. Namun ada yang mendukung dengan lafazh ini berdasarkan sebagian riwayat Ibnu Majah dan Darulquthniy dan pada sebagian naskah al-Muwatha’.[7]

5.  Menurut Ibnu Hajar al-Haitamy[8], dhahir hadits ini haram semua jenis dharar kecuali yang ada dalil syara’ pengecualiannya. Karena nakirah pada rangkaian kalam nafi berfaedah umum. Pengecualian ini karena hudud dan uqubat merupakan dharar namun menjadi syariat secara ijmak ulama. Ternafi dharar selain yang dikecualikan juga di dukung antara lain oleh firman Allah Ta’ala berbunyi :

يُرِيدُ ٱللَّهُ بِكُمُ ٱلۡيُسۡرَ وَلَا يُرِيدُ بِكُمُ ٱلۡعُسۡرَ

“Allah menghendaki kemudahan bagimu dan tidak menghendaki kesukaran”. (Q.S.al-Baqarah : 185)

Dan firman Allah Ta’ala berbunyi :

يُرِيدُ ٱللَّهُ أَن يُخَفِّفَ عَنكُمۡۚ

“Allah hendak memberikan keringanan kepadamu” (Q.S. An-Nisa’ : 28)

 

6.  Masih menurut Ibnu Hajar al-haitamy, terlarang mendatangkan dharar kepada seseorang meskipun dia telah  memudharatkan kamu sebelumnya. Namun dikecualikan dalam rangka daf’u shaail (menghindar sesuatu yang mengancam jiwa) dan lainnya yang dibolehkan meskipun dengan membunuhnya. Karena itu, hadits yang berbunyi :

اْد الامانة الى من ائتمنك ولا تخن من خانك

Tunailah amanah kepada orang yang telah memberikan amanahnya kepadamu dan jangan kamu khianati orang yang mengkhianatimu.

 

menurut ahli ilmu harus dimaknai dengan makna “Jangan kamu khianati orang yang mengkhianatimu sebelumnya setelah kamu terlepas dari pengkhianatannya.” Karena orang yang melakukan uqubat terhadap orang lain dengan sesuatu yang sebanding untuk mengambil haknya bukanlah pengkhianat. Sesungguhnya pengkhianat itu adalah orang yang mengambil yang bukan haknya atau yang lebih dari haknya. Oleh karena itu, Imam Syafi’i membolehkan sipemberi hutang yang mendapati harta orang yang berhutang untuk mengambil kadar haknya meskipun mengakibatkan pecah pintu atau berlobang dinding milik orang yang berhutang. Dan tidak ada tinjauan di sini kepada munculnya kemudharatan, karena orang yang berhutang dengan sebab pengingkarannya atau lainnya yang telah menyia-nyiakan hak sipemberi hutang.[9]

 

Martabat dharuraat

Sebagai penutup tulisan ini, kami sebut beberapa martabat yang berhubungan dengan dharurat sebagaimana telah disebut oleh Ibnu Hajar al-Haitamy sebagai berikut :

1.    Dharurat, yakni batasnya sampai kepada batasan dimana seandainya tidak dilakukan yang terlarang, maka akan terjadi kemudharatan yang membolehkan tayamum yaitu yang membolehkan melakukan yang haram

2.    Hajad, yakni padanya semata-mata ada kesusahan dan kesukaran. Hajad ini tidak membolehkan yang haram

3.    Manfaat, seperti keinginan kepada roti gandum

4.    Ziinah (perhiasan), seperti keinginan kepada yang manis

5.    Fuzhul, seperti toleransi dengan makanan yang haram dan syubhat[10]

 

Martabat di atas ini juga telah disebut oleh al-Suyuthi dalam kitab beliau, al-Asybah wan Nadhair[11]



[1] Al-Suyuthi, al- Asybah wa al-Nadhair, al-Haramain, Singapura, Hal. 59-60

[2] Al-Manawi, Faidhul Qadir, Maktabah Syamilah, Juz. VI, Hal. 431.

[3] Ibnu Hajar al-Haitamy, Fathul Mubin, Darul Minhaj, Libanon, Hal. 523

[4] Al-Manawi, Faidhul Qadir, Maktabah Syamilah, Juz. VI, Hal. 431.

[5] Ibnu Hajar al-Haitamy, Fathul Mubin, Darul Minhaj, Libanon, Hal. 515-516

[6] Qalyubi, Hasyiah Qalyubi ‘ala Syarah al-Mahalliy, Dar Ihya al-Kutub al-Arabiyah, Indonesia, Juz. IV, Hal.226

[7] Ibnu Hajar al-Haitamy, Fathul Mubin, Darul Minhaj, Libanon, Hal. 516

[8] Ibnu Hajar al-Haitamy, Fathul Mubin, Darul Minhaj, Libanon, Hal. 516-517

[9] Ibnu Hajar al-Haitamy, Fathul Mubin, Darul Minhaj, Libanon, Hal. 521

 

[10] Ibnu Hajar al-Haitamy, Fathul Mubin, Darul Minhaj, Libanon, Hal. 525

[11] Al-Suyuthi, al-Asybah wan Nadhair, al-Haramain, Singapura, Hal. 61

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar