Abu Hurairah r.a. berkata, Aku mendengar Rasulullah SAW bersabda :
قَالَ
اللهُ عَزَّ وَجَلَّ :كل عمل بن آدَمَ لَهُ إِلَّا الصِّيَامَ هُوَ لِي وَأَنَا أَجْزِي بِهِ
Allah ‘Azza wa Jalla berfirman : “Setiap
amal anak Adam untuknya kecuali puasa, ia bagi-Ku dan Aku yang akan membalasnya.”
(H.R. Muslim ).[1]
Hadits ini merupakan firman Allah Ta’ala melalui lisan Nabi SAW
(hadits qudsi). Dalam riwayat Imam al-Bukhari hadits ini disebutkan tanpa
penisbatan kepada Allah Ta’ala, yakni :
عَنْ
أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ قَالَ: كُلُّ عَمَلِ ابْنِ آدَمَ لَهُ إِلَّا الصَّوْمَ، فَإِنَّهُ لِي وَأَنَا
أَجْزِي بِهِ
Dari Abu Hurairah r.a. dari Nabi SAW
beliau bersabda : “Setiap amal anak Adam untuknya kecuali puasa, ia bagi-Ku dan
Aku yang akan membalasnya.” (H.R. al-Bukhari)[2]
Menjawab ini, Ibnu Hajar al-Asqalaniy
mengatakan :
وَلَمْ
يُصَرِّحْ بِنِسْبَتِهِ إِلَى اللَّهِ لِلْعِلْمِ بِهِ وَعَدَمِ الْإِشْكَالِ
فِيهِ
Tidak diterangkan penisbatannya
kepada Allah karena sudah maklum dan karena itu, tidak ada musykil tentangnya.
Kemudian
Al-Asqalaniy dalam mendukung pernyataannya tersebut, menyebut beberapa riwayat
yang ada penisbatan hadits di atas kepada Allah Ta’ala.[3]
Makna Hadits
Sebagaimana
dimaklumi semua amal, pahalanya untuk yang mengamalkannya termasuk puasa. Lalu
kenapa dalam hadits ini hanya puasa dinisbahkan kepada Allah Ta’ala. Ibnu Hajar
al-Asqalaniy menjelaskan kepada kita telah terjadi perbedaan pendapat ulama
dalam memahami makna “Puasa untuk-Ku dan Aku yang akan membalasnya”, yaitu
sebagai berikut :
1. Pada puasa tidak terjadi riya sebagaimana
halnya riya dapat terjadi pada ibadah lainnya. Pendapat ini merupakan hikayah
al-Maziriy dan kutipan Qadhi ‘Iyadh dari Abu ‘Ubaid. Pemahaman ini didukung
antara lain sabda Nabi SAW berbunyi :
لَيْسَ فِي
الصِّيَامِ رِيَاءٌ
Tidak ada dalam
puasa riya.
Abu ‘Ubaid
telah meriwayat hadits ini dari Syababah dari ‘Uqail dari al-Zuhriy secara
mursal. Namun hadits ini juga telah diriwayat oleh al-Baihaqi dalam kitab
beliau, Syu’b al-Iman dari jalur ‘Uqail dari al-Zuhriy secara bersambung sanad
dari Abu Salamah dari Abu Hurairah r.a. namun sanadnya dhaif.
2. Hanya Allah yang mengetahui kadar pahala dan
berlipat ganda kebaikan puasa. Adapun selain puasa, sebagian manusia ada yang
mengetahuinya. Al-Qurthubi mengatakan, semua amal dibuka kadar pahalanya bagi
manusia yang berlipat ganda dari sepuluh sampai dengan tujuh ratus dan
seterusnya sesuai dengan kehendak-Nya kecuali puasa. Sesungguhnya puasa
diberikan pahala dengan tanpa ukuran kadarnya. Pemahaman ini didukung oleh
hadits dalam riwayat lain, yaitu riwayat Malik dalam al-Muwatha’ dan riwayat
al-A’masy dari Abu Shalih, berbunyi :
كل عمل بن آدَمَ يُضَاعَفُ الْحَسَنَةُ بِعَشْرِ أَمْثَالِهَا إِلَى
سَبْعِمِائَةِ ضِعْفٍ إِلَى مَا شَاءَ اللَّهُ قَالَ اللَّهُ إِلَّا الصَّوْمَ
فَإِنَّهُ لِي وَأَنَا أَجْزِي بِهِ
Setiap amal anak Adam berlifat ganda
kebaikannya dari sepuluh bandingannya sampai tujuh ratus dan seterusnya sesuai
dengan kehendak-Nya. Allah berfirman : kecuali puasa, sesungguhnya puasa
untuk-Ku dan Aku yang akan membalasnya.
3.Makna “Puasa untuk-Ku”, sesungguhnya
puasa adalah ibadah yang paling dicintai dan utama di sisi Allah. Pemahaman ini
sesuai dengan riwayat al-Nisa’i dan lainnya dari hadits Abu Umaamah secara
marfu’, berbunyi :
عَلَيْكَ بِالصَّوْمِ فَإِنَّهُ لَا مِثْلَ لَهُ
Atasmu berpuasa, karena puasa itu tidak ada bandingannya.
Namun ini bertentangan dengan hadits shahih
berbunyi :
وَاعْلَمُوا أَنَّ خَيْرَ أَعْمَالِكُمُ
الصَّلَاةُ
Ketahuilah, sesungguhnya sebaik-baik amal kamu
adalah shalat
4.Penisbatan puasa kepada Allah merupakan
penisbatan untuk kemuliaan dan ta’zhim, sebagaimana dikatakan, “baitullah”,
meskipun semua rumah adalah milik Allah. Al-Zain ibn al-Munir mengatakan,
pengkhususan pada tempat yang bersifat umum pada contoh ini rangkaian kalam,
tidak dipahami kecuali untuk ta’zhim dan kemuliaan.
5.Tidak membutuhkan makanan dan syahwat lainnya
termasuk sifat Allah Ta’ala. Pada saat orang berpuasa bertaqrrub kepada Allah
Ta’ala dengan sesuatu amal yang munasabah (sesuai) dengan sifat Allah, maka
dinisbahkan amal tersebut kepada-Nya.
6.Maknanya sama seperti makna nomor 5 (lima) akan
tetapi dinisbahkan kepada malaikat, karena yang demikian termasuk sifat para
malaikat.
7.Murni (ikhlas) karena Allah dan tidak ada bagi
hamba bagian apapun. Pendapat ini merupakan pendapat al-Khuthabiy menurut
kutipan Qadhi ‘Iyadh dan lainnya. Namun pemahaman ini kembali kepada makna
pertama.
8.Sebab penisbatan puasa kepada Allah Ta’ala
karena tidak pernah ada ibadah dalam bentuk puasa kepada selain Allah Ta’ala,
beda halnya ibadah shalat, sadaqah, thawaf dan lainnya. Tetapi pemahaman ini
dibantah, karena penyembah bintang dan lainnya juga beribadah dengan cara puasa.
9.Semua ibadah dapat hilang pahalanya karena
kedhaliman hamba-hambanya kecuali puasa. Al-Baihaqi meriwayat dari hadits Ibn
‘Uyainah beliau berkata :
إِذَا كَانَ يَوْمُ الْقِيَامَةِ يُحَاسِبُ اللَّهُ عَبْدَهُ
وَيُؤَدِّي مَا عَلَيْهِ مِنَ الْمَظَالِمِ مِنْ عَمَلِهِ حَتَّى لَا يَبْقَى لَهُ
إِلَّا الصَّوْمُ فَيَتَحَمَّلُ اللَّهُ مَا بَقِيَ عَلَيْهِ مِنَ الْمَظَالِمِ
وَيُدْخِلُهُ بِالصَّوْمِ الْجَنَّةَ
Apabila
datang hari kiamat, Allah akan menghisab amalan hambanya. Kezaliman akan
dihukum dengan semua amal pelakunya dijadikan kafarah dosa, sehingga tidak
menyisakan apapun kecuali puasa. Lalu Allah menghapus sisa dosa dari kedhaliman
serta memasukkannya dalam syurga dengan sebab puasa
10. Bahwa puasa merupakan ibadah yang tidak dhahir. Karena itu,
tidak dapat ditulis oleh para malaikat pencatat sebagaimana amal-amal lain.
Disandarkan pendapat ini kepada perkataan yang sangat lemah. Memadai dalam
menolak pemahaman ini dengan hadits shahih yang menjelaskan ditulis kebaikan
untuk orang yang bertekad mengamalkannya, meskipun belum diamalkannya.[4]
Kemudian Ibnu Hajar al-Asqalaniy mengatakan,
sepakat para ulama bahwa puasa yang dimaksud dalam hadits ini adalah puasa yang
selamat dari maksiat, baik perkataan maupun perbuatan.[5]
Dengan segala perbedaan pendapat para ulama dalam
memahami maksud hadits ini, namun disepakati bahwa hadits ini wurud dalam
rangka menjelaskan besar fadhilah dan pahala puasa. Imam al-Nawawi setelah
menyebut sebagian dari pendapat-pendapat di atas, mengatakan,
وَفِي
هَذَا الْحَدِيثِ بَيَانٌ عِظَمِ فضل الصوم والحث إِلَيْهِ وَقَوْلُهُ تَعَالَى وَأَنَا
أَجْزِي بِهِ بَيَانٌ لِعِظَمِ فَضْلِهِ وَكَثْرَةِ ثَوَابِهِ لِأَنَّ
الْكَرِيمَ إِذَا أَخْبَرَ بِأَنَّهُ يَتَوَلَّى بِنَفْسِهِ الْجَزَاءَ اقْتَضَى
عِظَمَ قَدْرِ الْجَزَاءِ وَسَعَةَ الْعَطَاءِ
Dalam hadits ini merupakan
penjelasan besarnya fadhilah puasa dan menyungguhkannya. Firman Allah “Aku akan
membalasnya” merupakan penjelasan besar fadhilah dan banyak pahalanya. Karena Allah
yang Maha Pemurah tatkala mengabarkan Dia sendiri yang akan membalasnya,
dipahami bahwa besar kadar balasan dan luas anugerah-Nya.[6]
[1]
Imam Muslim, Shahih Muslim, Maktabah Syamilah, Juz. II, Hal. 806,
No. 1151
[2]
Imaam al-Bukhari, Shahih al-Bukhari, Maktabah Syamilah, Juz. VII,
Hal. 164, No. 5927
[3]
Ibnu Hajar al-Asqalaniy, Fathul Barri, Maktabah Syamilah, Juz.
IV, Hal. 106-107
[4] Ibnu Hajar al-Asqalaniy, Fathul Barri,
Maktabah Syamilah, Juz. IV, Hal. 107-109
[5] Ibnu
Hajar al-Asqalaniy, Fathul Barri, Maktabah Syamilah, Juz. IV, Hal. 109
[6] Al-Nawawi,
Syarah Muslim, Maktabah Syamilah, Juz. VIII, Hal. 29
Tidak ada komentar:
Posting Komentar