Pada
dasarnya makruh hukumnya atas khatib menoleh ke kanan atau ke kiri dan
menggerak-gerakkan tangan untuk isyarat atau lainnya pada saat membaca
khutbahnya pada hari Jum’at. Khatib al-Syarbaini mengatakan :
“Dalam khutbah makruh melakukan sesuatu yang diada-adakan oleh
khatib jahil seperti isyarah dengan tangan atau selainnya, menoleh dalam
khutbah kedua dan mengetuk tangga pada sa’at naik mimbar dengan pedang, dengan
kaki dan sebagainya.[1]
Dalil
makruh khatib menoleh ke kanan atau ke kiri dan menggerak-gerakkan tangan untuk
isyarat atau lainnya pada saat membaca khutbahnya, antara lain :
1. Hadits dari U’marah bin Ruaibah,
رأى
بشر بن مروان على المنبر رافعا يديه قبح الله هاتين اليدين لقد رأيت رسول الله صلى
الله عليه و سلم ما يزيد على أن يقول بيده هكذا وأشار بأصبعه المسبحة
Artinya : U’marah bin Ruaibah melihat Bisyr bin Marwan di atas mimbar
mengangkat dua tangannya - semoga Allah menghina kedua tangannya itu- lalu
‘Umarah bin Rubaibah berkata : “Sesungguhnya aku melihat Rasulullah SAW tidak
pernah melebihi berkata dengan tangan beliau seperti ini”, ‘Umarah bin Rubaibah
mengisyarah dengan jari telunjuknya. (H.R. Muslim)[2]
Imam an-Nawawi dalam
mengomentari hadits di atas, berkata :
هَذَا فِيهِ أَنَّ
السُّنَّةَ أَنْ لَا يَرْفَعَ الْيَدَ فِي الْخُطْبَةِ وَهُوَ قَوْلُ مَالِكٍ
وَأَصْحَابِنَا وَغَيْرِهِمْ وَحَكَى الْقَاضِي عَنْ بَعْضِ السَّلَفِ وَبَعْضِ
الْمَالِكِيَّةِ إِبَاحَتَهُ لِأَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ رَفَعَ يَدَيْهِ فِي خُطْبَةِ الْجُمُعَةِ حِينَ اسْتَسْقَى وَأَجَابَ
الْأَوَّلُونَ بِأَنَّ هَذَا الرفع كان لعارض
“Pada
hadits ini dipahami sesungguhnya yang sunnah adalah hendaknya tidak mengangkat
tangan dalam khutbah. Ini adalah pendapat Malik, sahabat-sahabat kami (Syafi’iyyah),
dan selain mereka. Al-Qadhi meceriterakan bahwa sebagian ulama salaf dan
Malikiyyah menyatakan: boleh, karena Nabi Muhammad SAW mengangkat kedua tangan
beliau dalam khutbah Jum’at ketika memohon hujan. Kelompok yang pertama menjawab bahwa mengangkat tangan tersebut
karena ada suatu tujuan.”[3]
2. Hadits
riwayat al-Baraa’ bin ‘Azib, beliau berkata :
كان رسول الله صلعم إذا خطب يستقبلنا بوجهه ونستقبله بوجوهنا
Artinya : Rasulullah SAW apabila berkhutbah, beliau menghadapkan
wajahnya kepada kami dan kami menghadapkan wajah kami kepada beliau.(H.R.
Baihaqi)[4]
3. Hadits :
أنه
صلعم كان إذا خطب استقبل الناس بوجهه واستقبلوه وكان لايلتفت
Artinya : Sesungguhnya Nabi SAW apabila berkhutbah, beliau
menghadap wajahnya kepada manusia dan mereka juga menghadap kepada beliau dan
tidak berpaling.[5]
Hukum mengangkat jari telunjuk ketika berdoa dalam khutbah
Ada sebagian kecil umat
Islam yang menjadikan hadits riwayat Muslim di atas sebagai dalil bahwa mengangkat
jari telunjuk ketika berdoa dalam khutbah merupakan perbuatan sunnah yang
berpahala apabila dilakukannya, meskipun tidak ada tujuan apapun dalam
mengangkat tangan tersebut, alias bukan karena ada mengisyaratkan sesuatu kecuali
hanya sekedar mengikuti perbuatan Nabi SAW.
Menurut hemat kami,
pemahaman itu sangatlah lemah. Karena konteks hadits tersebut bukan dalam
rangka menjelaskan bahwa mengangkat telunjuk pada khutbah merupakan perbuatan
sunnah. Tetapi perawi hadits (U’marah bin
Ruaibah) hanya ingin
menjelaskan bahwa mengangkat dua tangan pada khutbah sebagaimana yang dilakukan
oleh Bisyr bin Marwan merupakan tindakan tidak terpuji. Karena itu, U’marah
bin Ruaibah berargumentasi bahwa beliau tidak pernah melihat Rasulullah SAW
ketika ingin mengisyaratkan sesuatu pada khutbah kecuali dengan telunjuknya. Jadi,
perbuatan Rasulullah SAW mengangkat telunjuk adalah dalam konteks ada keperluan
mengisyaratkan atau memberitahukan sesuatu kepada jama’ah seperti supaya jangan
berbicara, sedangkan khatib sedang berkhutbah atau supaya mengamini do’a atau
lainnya. Pemahaman ini dapat diperhatikan dari penggalan redaksi hadits “tidak
pernah melebihi berkata dengan tangan beliau seperti ini”. Ucapan “berkata
dengan tangan beliau” tentu harus dipahami bahwa Rasulullah SAW ingin
mengisyaratkan sesuatu kepada jama’ah, karena semua orang memaklumi bahwa
tangan tidak dapat berbicara. Karena itu, mengangkat telunjuk Rasulullah SAW
bukanlah sunnah yang dianjur mengikutinya kalau memang tidak ada keperluan mengisyaratkan
apapun dengan mengangkat telunjuk tersebut.
Syeikh Ali Muhammad al-Qari
(w. 1014 H) seorang ahli hadits dan seorang tokoh Mazhab Hanafi
mengatakan dalam mengomentari hadits riwayat Muslim di atas sebagai berikut :
قَالَ
الطِّيبِيُّ: قَوْلُهُ: يَقُولُ أَيْ: يُشِيرُ عِنْدَ التَّكَلُّمِ فِي
الْخُطْبَةِ بِإِصْبَعِهِ يُخَاطِبُ النَّاسَ، وَيُنَبِّهُهُمْ عَلَى
الِاسْتِمَاعِ.
“Al-Thaiby
mengatakan, “Sabda Nabi SAW “mengatakan” artinya mengisyaratkan dengan jarinya ketika
ingin mengatakan sesuatu kepada manusia dan memberitahukan mereka untuk
menyimak pada waktu ada orang berbicara ketika berlangsungnya khutbah”[6]
Maka berdasarkan hadits ini yang menjadi sunnah adalah
apabila ingin mengisyaratkan sesuatu dalam khutbah, hendaknya jangan diisyarat
dengan dua tangan, tetapi hendaknya diisyaratkan dengan telunjuk saja atau cara
lain yang tidak terlihat banyak bergerak dalam khutbah.
Al-Turmidzi telah menempatkan hadits U’marah bin Ruaibah di atas dalam “bab makruh mengangkat tangan di
atas mimbar”. Dalam dalam Sunan al-Turmidzi dengan lafazh Husyaim
memberitahukan kepada kami oleh Hushain, beliau berkata :
سَمِعْتُ
عُمَارَةَ بْنَ رُوَيْبَةَ، وَبِشْرُ بْنُ مَرْوَانَ يَخْطُبُ، فَرَفَعَ يَدَيْهِ
فِي الدُّعَاءِ، فَقَالَ عُمَارَةُ: قَبَّحَ اللَّهُ هَاتَيْنِ اليُدَيَّتَيْنِ
القُصَيَّرَتَيْنِ، لَقَدْ رَأَيْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ،
وَمَا يَزِيدُ عَلَى أَنْ يَقُولَ هَكَذَا، وَأَشَارَ هُشَيْمٌ
بِالسَّبَّابَةِ.هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ صَحِيحٌ.
Artinya
: Pada ketika Bisyr bin Marwan berkhutbah dengan mengangkatkan dua tangannya
ketika berdo’a, aku mendengar Umaarah bin Ruwaibah berkata : “Semoga Allah
mengina dua tangan yang pendek itu. Sesungguhnya aku melihat Rasulullah SAW
tidak pernah melebihi mengatakan seperti ini.” Husyaim mengisyarat dengan telunjuknya. (H.R.
Turmizi, hadits hasan shahih)[7]
Jadi, dhahirnya
al-Turmidzi sendiri tidak memahami hadits tersebut sebagai dalil sunnah mengangkat telunjuk
ketika berdoa dalam khutbah dalam kondisi apapun. Ini sesuai pula dengan
pemahaman al-Baihaqi dalam Sunannya. Setelah menyebut hadits U’marah bin Ruaibah dan hadits Sahal bin Sa’ad berikut ini :
عَنْ سَهْلِ
بْنِ سَعْدٍ قَالَ: مَا رَأَيْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
شَاهِرًا يَدَيْهِ قَطُّ يَدْعُو عَلَى مِنْبَرِهِ وَلَا عَلَى غَيْرِهِ، وَلَكِنْ
رَأَيْتُهُ يَقُولُ هَكَذَا، وَأَشَارَ بِالسَّبَابَةِ وَعَقَدَ الْوُسْطَى
بِالْإِبْهَامِ
Artinya : Dari Sahal bin
Sa’ad berkata : “Aku tidak pernah melihat Rasulullah SAW memunculkan dua
tangannya sama sekali dalam berdo’a atas mimbar dan tidak juga pada tempat
lainnya. Akan tetapi aku melihatnya mengatakan seperti ini. Sahal
mengisyaratkan dengan telunjuknya dan menjempit jari tengah dengan ibu jarinya.
(H.R. al-Baihaqi)[8]
al-Baihaqi mengatakan :
وَالْقَصْدُ مِنَ الْحَدِيثَيْنِ إِثْبَاتُ الدُّعَاءِ فِي
الْخُطْبَةِ، ثُمَّ فِيهِ مِنَ السُّنَّةِ أَنْ لَا يَرْفَعَ يَدَيْهِ فِي حَالِ
الدُّعَاءِ فِي الْخُطْبَةِ وَيَقْتَصِرَ عَلَى أَنْ يُشِيرَ بِأُصْبُعِهِ
“Maksud dua hadits ini adalah penetapan adanya do’a dalam khutbah,
kemudian termasuk sunnah adalah tidak mengangkat dua tangan pada ketika berdo’a
dalam khutbah serta mengkhususkan isyarat dengan menggunakan jari.[9]
Catatan
1.
Mengisyaratkan
dengan telunjuk atau jari lainnya, maksudnya ada isyarat sesuatu dengan
mengangkat telunjuk seperti menyuruh menyimak, mengamini do’a dan lain-lain. Adapun
mengangkat telunjuk pada waktu berdo’a dalam khutbah tanpa tujuan mengisyarakan
sesuatu, maka tidak termasuk dalam maksud hadits di atas, sehingga bukanlah
merupakan suatu sunnah yang dianjurkan melakukannya.
2.
Kalau
diduga jama’ah sudah memahami dengan isyarat telunjuk pada awal do’a, maka
isyarat dengan telunjuk tidak perlu diteruskan lagi, karena tujuan mengangkat
telunjuk sudah terpenuhi.
3.
Kalau
diduga jama’ah sudah memahami dengan
mendengar bacaan doanya saja, maka tentu isyarat dengan telunjuk tidak
diperlukan sama sekali, karena tujuan mengangkat telunjuk sudah terpenuhi
[1]
Khatib Syarbaini, Mughni Muhtaj, Darul Ma’rifah, Beirut , Juz. I, Hal. 433
[2] Imam Muslim, Shahih
Muslim, Maktabah Dahlan, Indonesia, Juz. II, Hal. 595, No. Hadits : 874
[3]
Al-Nawawi,
Syarah
Muslim, Cet. Muassasah Qurthubah,, Juz. VI, Hal. 231
[4]
Al-Mawardi, al-Hawi al-Kabir, Dar al-Kutub al-Ilmiyah, Beirut , Juz. II, Hal. 440
[5]
Ibnu Mulaqqan, Badrul Munir, Darul Hijrah, Arab Saudi, Juz. IV,
Hal. 631
[6]
Ali
Muhammad al-Qari, Mirqah al-Mafatih, Dar al-Kutub al-Ilmiyah,
Beirut, Juz. III, Hal. 462
[7] Turmidzi, Sunan
al-Turmidzi, Thaha Putra, Semarang, Juz. II, Hal. 14, No. 366
[8]
Baihaqi, Sunan al-Baihaqi, Maktabah Syamilah, Juz. III, Hal. 298,
No. 5776
[9]
Baihaqi, Sunan al-Baihaqi, Maktabah Syamilah, Juz. III, Hal. 298.
Jadi, jika ada khotib mengangkat/berisyarat dg jari telunjukknya, boleh atau tidak (harom), ustadz Alizar Usman ?
BalasHapusMaaf pak, pemahaman bapak sangat keliru.
BalasHapusHadist2 yg bapak sampaikan sangat jelas bahwa saat berdo'a di khutbah jumat nabi mengisyaratkan dengan telunjuk dan tidak mengangkat kedua tangan.
Terimakasih Tungku penjelasannya sangat bermanfaat. Jazakallahu khairan🤲🤲🤲
BalasHapusSangat mencerahkan, bnyak yg salah faham tentang isyarat dgn telunjuk. Mereka biasanya dri kalangan wahabi yg sok-sok an memahami teks tanpa konteks atau memahami hanya teksnya saja tanpa mau tahu syarah dari ulama..
BalasHapusYang jelas kita harus mencontoh rosul.masalah pendapat mana yang sesuai dengsn contoh itulah yang mendekati kebenaran
BalasHapusTa'lil nash dan syarahnya bagus. Wahabi tidak bisa paham yg begini.
BalasHapus