Al-Qur’an merupakan kitab suci terakhir yang
Allah SWT mukjizatkan kepada Nabi Muhammad SAW. Al-Quran ini terdiri atas 30
juz, 114 surat dan 6666 ayat. Menurut al-Ja’bary al-Qur’an itu diturunkan dalam
dua bentuk : Pertama, diturunkan sebagai permulaan tanpa didahului oleh suatu peristiwa
atau pertanyaan, Kedua,
diturunkan al-Qur’an seiring terjadi suatu peristiwa atau muncul sebuah
pertanyaan (asbabun nuzul).[1]
Bagaimanapun juga sangat penting mempelajari
Asbabun nuzul karena dengan mempelajari dan memahaminya, manusia akan lebih mudah
memahami dan sekaligus menempatkan pemahamannya kepada posisi yang benar serta
lebih memperkuat iman dan takwanya kepada Allah SWT. Al-Wahidi berkata:
”Tidak mungkin mengetahui
penafsiran ayat al-qur’an tanpa mangetahui kisahnya dan sebab turunnya”.[2]
Ibnu Daqiq
al-‘Id mengatakan :
“Penjelasan
asbabun nuzul merupakan jalan yang kuat dalam memahami makna al-Qur’an.”[3]
Kalimat asbabun nuzul pada mulanya merupakan
gabungan dua kalimat atau dalam bahasa arab disebutnya kalimat idhafah yakni
dari kalimat “asbab” dan “nuzul”. Yang jika dipandang secara etimologi maka asbabun
nuzul didefinisikan sebagai sebab-sebab yang melatarbelakangi terjadinya
sesuatu. Sedangkan asbabun nuzul yang dimaksudkan disini adalah sebab-sebab
yang melatar belakangi turunnya al-Quran. Asbabun nuzul juga dapat didefinisikan sebagai
suatu hal yang karenanya al-Qur’an diturunkan untuk
menerangkan status hukumnya pada masa hal itu terjadi, baik berupa peristiwa
maupun pertanyaan. Menurut Mana’
Al-Qaththan, asbabun nuzul merupakan peristiwa-peristiwa yang menyebabkan
turunnya al-Qur’an yang berkenaan dengannya waktu peristiwa itu terjadi, baik
berupa satu kejadian atau berupa pertanyaan yang di ajukan kepada Nabi.[4]
B. Faedah mengetahui asbabun
nuzul
Faedah mengetahui asbabun nuzul, antara lain :
1. Membawa kepada pengetahuan tentang rahasia dan tujuan Allah
secara khusus mensyari’atkan suatu hukum.
2. Diketahui pula bahwa sebab turun ayat tidak pernah keluar
dari hukum yang terkandung dalam ayat tersebut sekalipun datang mukhasis-nya
(yang mengkhususkannya ).
3. Membantu dalam memahami ayat dan menghindarkan kesulitannya.
4. Dapat menolak dugaan adanya hasr ( pembatasan ).
5. Diketahui nama orang yang turun ayat padanya dan menghilangkan
kesamaran yang bisa membawa kepada
penuduhan terhadap orang yang tidak bersalah.[5]
Ad.1. Contohnya
dapat diperhatikan Q.S. al-Maidah : 93 pada contoh pada Ad. 3 di bawah ini. Berdasarkan
asbabun nuzul ayat ini dipahami bahwa tidak berdosa orang-orang yang sudah
beriman dan beramal shaleh atas perbuatan mereka minum khamar sebelum ada
larangan minum khamar merupakan bentuk kasih sayang Allah kepada makhluqnya yang
tunduk dan patuh kepada-Nya, sehingga Allah tidak membebani suatu hukum kepada
makhluq-Nya melainkan setelah Allah memberi ilmu pengetahuan kepada mereka.
Ad.2. Contohnya,
firman Allah Q.S.
al-Nur : 23. (sudah dijelaskan pada masalah peristiwa yang menjadi sebab masuk
dalam umum secara qat’i sesudah ini)
Ad.3. Contohnya,
firman Allah Q.S. al-Maidah : 93, berbunyi :
لَيْسَ عَلَى الَّذِينَ آَمَنُوا
وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ جُنَاحٌ فِيمَا طَعِمُوا
Artinya : Tidak berdosa atas
orang-orang beriman dan beramal shaleh terhadap apa yang mereka makan. (Q.S. al-Maidah
: 93)
Diceritakan bahwa Utsman bin Madhghun
dan ‘Amr bin Ma’dy Karb berpendapat bahwa khamar adalah halal berdasarkan
firman Allah di atas. Al-Suyuthi menjelaskan seandainya keduanya mengetahui
asbabun nuzul ayat di atas, pasti keduanya tidak akan berpendapat seperti itu.
Karena asbabun nuzul ayat di atas adalah manakala diharamkan khamar, manusia
bertanya-tanya, bagaimana dengan orang-orang telah syahid pada peperangan pada
jalan Allah, sementara mereka pernah minum khamar.[6] Dengan
demikian, dapat dipahami bahwa ayat di atas bukanlah menjelaskan apabila
seseorang sudah beriman dan beramal shaleh boleh minum dan makan apa saja,
tetapi hanya menjelaskan bahwa orang-orang yang beriman dan beramal shaleh yang
sudah meninggal dunia dunia sebelum turun ayat pengharaman khamar, mereka tidak
berdosa atas perbuatan meminum khamar pada ketika hidup mereka.
Ad.4. Contohnya,
firman Allah Q.S. al-An’am : 145, berbunyi :
قُلْ لَا
أَجِدُ فِي مَا أُوحِيَ إِلَيَّ مُحَرَّمًا عَلَى طَاعِمٍ يَطْعَمُهُ إِلَّا أَنْ يَكُونَ
مَيْتَةً أَوْ دَمًا مَسْفُوحًا أَوْ لَحْمَ خِنْزِيرٍ فَإِنَّهُ رِجْسٌ أَوْ
فِسْقًا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللَّهِ بِهِ
Artinya : Katakanlah:
"Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang
diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu
bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi - karena sesungguhnya semua
itu kotor - atau binatang yang disembelih atas nama selain Allah.(Q.S. al-An’am :
145)
Ayat ini diturunkan karena
kaum kafir menentang Allah dengan mengharamkan yang dihalalkan Allah dan
menghalalkan yang diharamkan-Nya, maka turunlah ayat di atas untuk melawan
maksud mereka, sehingga seolah-olah Allah mengatakan “Tidak haram kecuali apa
yang kamu halalkan, yaitu bangkai, darah, daging babi dan sembelihan yang bukan
dengan nama Allah.” Tidak dimaksudkan sebagai halal selain yang tersebut itu,
karena maksud ayat tersebut adalah menetapkan yang haram, bukan menetapkan yang
halal.[7]
Ad.5. Contohnya firman Allah Q.S. al-Ahqaf : 17, berbunyi :
وَالَّذِي قَالَ لِوَالِدَيْهِ أُفٍّ
لَكُمَا
Artinya : Dan orang yang berkata kepada dua orang ibu bapaknya:
"Cis bagi kamu keduanya. (Q.S.
al-Ahqaf : 17)
Diriwayatkan
bahwa Marwan meminta kepada kaum muslimin untuk mau bai’at kepada Yazid, Marwan
mengatakan : “Ini adalah sunnah Abu Bakar dan Umar”, Abdurrahman bin Abu Bakar
menjawab : “Sunnah Heraqlu dan Kaisar”. Marwan menjawab pula : “Ini adalah
orang yang dikatakan Allah tentangnya pada ayat : “Dan orang yang berkata kepada dua orang ibu bapaknya: "Ah bagi
kamu keduanya”. Berita
perkataan Marwan ini tentang Abdurrahman bin Abu Bakar ini sampai kepada
Aisyah, Aisyah membantah : “Dusta Marwan, demi Allah, Abdurrahman bukan
orangnya, kalau kamu menginginkan aku sebut nama orang yang diturunkan ayat
tersebut tentangnya , maka aku sebut namanya.”[8] Dengan sebab ada penjelasan asbabun nuzul dari Aisyah, maka
terlepas Abdurrahman bin Abu Bakar dari tuduhan yang tidak benar.
C.
Kitab-kitab khusus
pembahasannya mengenai asbabun nuzul
Pada awalnya para ulama hanya menjelaskan
asbabun nuzul suatu ayat dari al-Qur’an hanya dalam kitab-kitab tafsir atau
dalam kitab-kitab fiqh ketika menjelaskan penafsiran ayat al-Qur’an yang
berkenaan dengan pembahasan tertentu. Namun seiring dengan perkembangan ilmu
tafsir, maka muncullah ulama-ulama yang mengarang kitab-kitab khusus membahas
mengenai asbabun nuzul ini. Kitab-kitab itu antara lain :
1.
Kitab yang menjelaskan
asbabun nuzul, karangan Ali bin al-Madiny (guru Imam al-Bukhari). Menurut keterangan
al-Suyuthi kitab ini merupakan kitab pertama dalam bidang ini.
2.
Kitab Asbabun Nuzul, karangan
al-Wahidy (kitab ini kemudian diringkas oleh al-Ja’bary)
3.
Kitab yang menjelaskan
asbabun nuzul, karangan Syekh Islam Ibnu Hajar
4.
Lubab al-Nuqul fi Asbab
al-Nuzul, karangan al-Suyuthi. (Point 1-4 di atas berdasarkan keterangan
al-Suyuthi dalam kitabnya, al-Itqan fi Ulum al-Qur’an)[9]
D. Pedoman mengetahui asbabun nuzul
1. Riwayat dari Sahabat Nabi SAW.
2. Riwayat dari Tabi’in. Menurut al-Suyuthi riwayat Tabi’in
dapat diterima dalam periwayatan asbabun nuzul apabila Tabi’in itu merupakan
imam-imam tafsir yang mengambil tafsirnya dari Sahabat Nabi SAW, seperti
Mujahid, Ikrimah, Sa’id bin Jabir atau apabila didukung (ada ‘azhid) oleh
riwayat lain atau semisalnya.[10]
E. Qaidah-qaidah yang berhubungan dengan asbabun
nuzul
1.
Terjadi
perbedaan pendapat ulama, apakah yang dii’tibar umum lafazh atau khusus sebab
?, menurut pendapat yang lebih shahih, yang dii’tibar umum lafazhnya.
Berdasarkan pendapat yang lebih shahih ini, maka muncullah qaidah berbunyi :
العبرة بعموم
اللفظ لا بخصوص السبب
ِ Artinya : Yang dii’tibar adalah umum
lafazh, bukan khusus sebab.[11]
Contohnya : Q.S. al-Mujadilah : 1-4, berbunyi :
قَدْ
سَمِعَ اللَّهُ قَوْلَ الَّتِي تُجَادِلُكَ فِي زَوْجِهَا وَتَشْتَكِي إِلَى
اللَّهِ وَاللَّهُ يَسْمَعُ تَحَاوُرَكُمَا إِنَّ اللَّهَ سَمِيعٌ بَصِيرٌ (1)
الَّذِينَ يُظَاهِرُونَ مِنْكُمْ مِنْ نِسَائِهِمْ مَا هُنَّ أُمَّهَاتِهِمْ إِنْ
أُمَّهَاتُهُمْ إِلَّا اللَّائِي وَلَدْنَهُمْ وَإِنَّهُمْ لَيَقُولُونَ مُنْكَرًا
مِنَ الْقَوْلِ وَزُورًا وَإِنَّ اللَّهَ لَعَفُوٌّ غَفُورٌ (2) وَالَّذِينَ
يُظَاهِرُونَ مِنْ نِسَائِهِمْ ثُمَّ يَعُودُونَ لِمَا قَالُوا فَتَحْرِيرُ
رَقَبَةٍ مِنْ قَبْلِ أَنْ يَتَمَاسَّا ذَلِكُمْ تُوعَظُونَ بِهِ وَاللَّهُ بِمَا
تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ (3) فَمَنْ لَمْ يَجِدْ فَصِيَامُ شَهْرَيْنِ مُتَتَابِعَيْنِ
مِنْ قَبْلِ أَنْ يَتَمَاسَّا فَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَإِطْعَامُ سِتِّينَ
مِسْكِينًا ذَلِكَ لِتُؤْمِنُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ وَتِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ
وَلِلْكَافِرِينَ عَذَابٌ أَلِيمٌ (4)
Artinya : Sesungguhnya Allah telah mendengar perkataan wanita yang
mengajukan gugatan kepada kamu tentang suaminya, dan mengadukan (halnya) kepada
Allah. Dan Allah mendengar soal jawab antara kamu berdua. Sesungguhnya Allah
Maha Mendengar lagi Maha Melihat. Orang-orang yang menzhihar isterinya di
antara kamu, (menganggap isterinya sebagai ibunya, padahal) tiadalah isteri
mereka itu ibu mereka. Ibu-ibu mereka tidak lain hanyalah wanita yang
melahirkan mereka. Dan sesungguhnya mereka sungguh-sungguh mengucapkan suatu
perkataan mungkar dan dusta. Dan sesungguhnya Allah Maha Pemaaf lagi Maha
Pengampun. Orang-orang yang menzhihar isteri mereka, kemudian mereka hendak
menarik kembali apa yang mereka ucapkan, maka (wajib atasnya) memerdekakan
seorang budak sebelum kedua suami isteri itu bercampur. Demikianlah yang
diajarkan kepada kamu, dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. Barangsiapa
yang tidak mendapatkan (budak), maka (wajib atasnya) berpuasa dua bulan
berturut-turut sebelum keduanya bercampur. Maka siapa yang tidak kuasa
(wajiblah atasnya) memberi makan enam puluh orang miskin. Demikianlah supaya
kamu beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. Dan itulah hukum-hukum Allah, dan bagi
orang kafir ada siksaan yang sangat pedih. (Q.S.
al-Mujadilah : 1-4)
Anas bin Malik menceritakan bahwa Aus bin Shamit
menzhihar isterinya, Khuwailah bin Tha’labah. Isterinya itu mengadu kepada Nabi
SAW dengan mengatakan :
“Dia telah mendhihar aku pada ketika aku sudah tua dan
lemah tulangku.”, maka turun ayat di atas menjawab persoalan yang
diadukan isteri Aus bin Shamit.[12] Ayat
ini meskipun turun pada kasus Aus bin Shamit dan isterinya, namun hukum zhihar
yang menjadi maksud ayat ini tetap berlaku secara umum.
2.
Kaidah berbunyi :
ان صورة السبب قطعية الدخول في العام
ِArtinya : Sesungguhnya peristiwa yang menjadi sebab masuk
dalam umum secara qat’i (pasti).[13]
Apabila yang diturunkan itu lafazh yang umum dan terdapat
dalil pengkhususannya, maka pengkhususannya itu hanya terhadap yang selain
peristiwa sebabnya. Misalnya firman Allah Q.S. al-Nur : 23, berbunyi :
إِنَّ
الَّذِينَ يَرْمُونَ الْمُحْصَنَاتِ الْغَافِلَاتِ الْمُؤْمِنَاتِ لُعِنُوا فِي
الدُّنْيَا وَالْآَخِرَةِ وَلَهُمْ عَذَابٌ عَظِيمٌ
Artinya : Sesungguhnya
orang-orang yang menuduh berzina wanita yang baik-baik, yang lengah lagi beriman, mereka kena la'nat di dunia dan
akhirat, dan bagi mereka azab yang besar (Q.S. al-Nur : 23)
Ayat di atas turun berkenaan dengan
Aisyah secara khusus atau Aisyah dan isteri-isteri Nabi SAW yang lain.[14]
Berdasarkan ayat ini, akan dikenai azab atas umum orang yang menuduh berzina
orang-orang beriman dan terpelihara. Namun ayat ini dikhususkan kepada
orang-orang yang tidak mau bertaubat, karena dikhususkan oleh firman Allah Q.S.
al-Nur : 4-5), berbunyi :
وَالَّذِينَ
يَرْمُونَ الْمُحْصَنَاتِ ثُمَّ لَمْ يَأْتُوا بِأَرْبَعَةِ شُهَدَاءَ
فَاجْلِدُوهُمْ ثَمَانِينَ جَلْدَةً وَلَا تَقْبَلُوا لَهُمْ شَهَادَةً أَبَدًا
وَأُولَئِكَ هُمُ الْفَاسِقُونَ (4) إِلَّا الَّذِينَ تَابُوا مِنْ بَعْدِ ذَلِكَ
وَأَصْلَحُوا فَإِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ (5)
Artinya : Dan
orang-orang yang menuduh berzina wanita-wanita yang baik-baik dan mereka tidak
mendatangkan empat orang saksi, maka deralah mereka (yang menuduh itu) delapan
puluh kali dera, dan janganlah kamu terima kesaksian mereka buat selama-lamanya.
Dan mereka itulah orang-orang yang fasik. kecuali orang-orang yang bertaubat
sesudah itu dan memperbaiki (dirinya), maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun
lagi Maha Penyayang. (Q.S. al-Nur : 4-5)
Namun
pengkhususan kepada orang-orang yang tidak mau bertaubat tidak berlaku pada
kasus Aisyah atau Aisyah dan isteri-isteri Nabi SAW yang lain, karena kasus
Aisyah atau Aisyah dan isteri-isteri Nabi SAW yang lain masuk dalam umum Q.S. al-Nur : 23 di atas secara
qat’i, sehingga tidak dapat di khususkan oleh dalil yang lain. Dengan demikian,
orang-orang yang telah menuduh Aisyah berzina, tidak ada tobat baginya.
Dosen : Tgk Alizar Usman
[1] Al-Suyuthi, al-Itqan
fi Ulum al-Qur’an, al-Haramain, Singapura, Hal. 28
[2]
Al-Suyuthi, al-Itqan
fi Ulum al-Qur’an, al-Haramain, Singapura, Hal. 28
[3]
Al-Suyuthi, al-Itqan
fi Ulum al-Qur’an, al-Haramain, Singapura, Hal. 28
[5]
Al-Suyuthi, al-Itqan
fi Ulum al-Qur’an, al-Haramain, Singapura, Hal. 28-29
[6]
Al-Suyuthi, al-Itqan
fi Ulum al-Qur’an, al-Haramain, Singapura, Hal. 29
[7]
Al-Suyuthi, al-Itqan
fi Ulum al-Qur’an, al-Haramain, Singapura, Hal. 29
[9]
Al-Suyuthi, al-Itqan
fi Ulum al-Qur’an, al-Haramain, Singapura, Hal. 28
[10]
Al-Suyuthi, al-Itqan
fi Ulum al-Qur’an, al-Haramain, Singapura, Hal. 31
[11]
Al-Suyuthi, al-Itqan
fi Ulum al-Qur’an, al-Haramain, Singapura, Hal. 29
[12]
Al-Suyuthi, Lubab al-Nuqul fi
Asbab al-Nuzul, Maktabah Syamilah, Hal. 145
[13] Al-Suyuthi, al-Itqan fi Ulum
al-Qur’an, al-Haramain, Singapura, Hal. 30
Assalamu'alaikum,
BalasHapusTeungku yg saya muliakan..
saya ingin bertanya mengenai perbedaan pendapat ulama ttg masalah aurat wanita diluar shalat.. mengapa Imam syafi'i dan Imam Ahmad bin Hanbal menganggap wajah dan telapak tangan termasuk aurat wanita di luar shalat, apa dalil yg kedua Imam ini digunakan??
dan kalau tidak salah, jika kita baca dlm kitab fiqh Mzhab Imam syafi'i maka yg dijadikan sebagai patron itu adalah sesuatu yg menimbulkan شهوة dan perasaan لذة
Syukran katsira. wassalamu'alaikum.
pembahasan dapat saudara klik pada lingk "http://kitab-kuneng.blogspot.com/2012/10/aurat-wanita-merdeka-menurut-madzhab.html"
BalasHapuswassalam