Jumat, 22 November 2013

Beberapa masalah Qurban

assalamu'alaikum Tgk. tolong penjelasan sedikit tentang kurban,saya pernah dengar dalam sebuah keluarga kurban memadai dilakukan oleh kepala keluarga meskipun satu ekor kambing untuk seorang istri dan 7 orang anak karna hukumnya sunat kifayah. satu lagi Tgk....kurban menjadi wajib apabila seseorang berkata "kambing ini untuk kurban"sedangkan semua orang sewaktu menyerahkan kambing kepada Tgk yg menyembelih kambing kita bilang Tgk ini kambing saya untuk kurban.....mohon penjelasannya.....wassalam

jawab :
1.      Untuk masalah pertama dapat dibaca pada link berikut :
2.      Qurban pada dasarnya adalah sunnah, namun dapat menjadi wajib dengan sebab nazar seperti seseorang mengatakan “kewajiban atasku qurban seekor kambing.” Dalam hal perkataan seperti “kambing ini untuk qurban” yang sering diucapkan manusia dalam kenyataan sehari-hari karena menjawab pertanyaan orang bertanya, Pengarang I’anah al-thalibin mengatakan :
“Maka apa yang sering terjadi pada lisan awam pada ketika mereka membeli binatang qurban yang mereka rencanakan mulai awal tahun untuk qurban, dimana setiap ada yang menanyakannya, mereka menjawab : “Ini adalah qurban”, padahal mereka tidak mengerti akibat hukum yang akan timbul,  maka itu menjadi qurban wajib.”[1]

Berdasarkan penjelasan di atas, maka jawaban untuk pertanyaan kedua adalah : benar menjadi wajib. Namun dalam Hawasyi al-Syarwani ‘ala Tuhfah al-Muhtaj dijelaskan :
“ Sepatutnya posisinya apabila tidak diqashad memberitahu, maka apabila diqashad memberitahu, sehinga maksudnya menjadi “Ini kambing yang aku rencana qurbankan”, maka tidak menjadi wajib. Demikian Sayed Umar.”[2]



[1] Al-Bakri al-Damyathi, I’anah al-Thalibin, Thaha Putra, Semarang, Juz. II, Hal. 331
[2] Syarwani, Hawasyi al-Syarwani ‘ala Tuhfah al-Muhtaj,  Mathba’ah Mustafa Muhammad, Mesir, Juz. IX, Hal. 346

Senin, 18 November 2013

Hamzah Fansuri juga bersyari’at, berbeda dengan i’tiqad Salek Buta

Hamzah Fansuri merupakan seorang tokoh kontroversial di mata ilmuan Islam sesudahnya. Meskipun banyak banyak yang mencelanya karena dikaitkan dengan akidah wahdatul wujud, tetapi juga tidak sedikit yang membelanya sehingga disebut-sebut sebagai gelar auliya Allah atau ‘arif billah dan sebagainya. Namun terlepas dari kontroversial Hamzah Fansuri tersebut, beliau adalah seorang ilmuan Islam yang tetap menghormati syari’at. Syari’at dan hakikat tidak pernah saling bertentangan. Beliau mengatakan barangsiapa yang keluar dari kandungan syari’at, maka orang itu termasuk orang yang digoda syetan. Pemahaman beliau ini berbeda sekali dengan i’tiqad Salek Buta yang berpendapat kalau sudah sampai maqam hakikat, maka tidak perlu lagi berbuat ibadah dhahir (syari’at).
Berikut cuplikan tulisan dalam kitab beliau, Syarabul ‘Asyiqin :
“Dan mencari makrifat kepada guru yang sempurna kepada syari’at dan tarikat dan hakikat. Karena syari’at seperti rumah, hakikat seperti isi rumah. Jika rumah tiada berpagar akibatnya isi rumah itu dicuri orang, yakni jalan kepada Allah jika tiada dengan syari’at akibatnya diharu syetan, seperti firman Allah :
أَلَمْ أَعْهَدْ إِلَيْكُمْ يَا بَنِي آدَمَ أَنْ لَا تَعْبُدُوا الشَّيْطَانَ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُبِينٌ
  Yakni bahwa tiadakah kujanjikan dengan kamu hai anak Adam bahwa jangan kamu menyembah syetan, sesungguhnya ia bagi kamu seteru terlalu nyata.
  Bagi kita memagar diri kita supaya kita jangan diharu syetan. Barangsiapa memagar dirinya dengan pagar syari’at, tiada dapat diharu syetan. Adapun barangsiapa keluar daripada kandung syari’at, niscaya ia dapat diharu syetan. Jangan kamu sanggah syari’at ini kecil, barangsiapa mencela syari’at, kafir. Na’uzu billahi minha, karena syari’at tiada bercerai dengan tarikat, tiada bercerai dengan hakikat, tiada bercerai dengan makrifat. Seperti kapal sebuah, syari’at seperti isinya, makrifat akan labanya. Apabila lunas dibuangkan, niscaya kapal itu karam, labapun lenyap, modalpun lenyap, merugi kita. Wallhu a’lam bisshawab.” (Hamzah Fansuri, Syarabul ‘Asyiqin, alih aksara oleh Drs Nurdin AR, M.Hum, Terbitan Dinas Kebudayaan Prov. NAD, Tahun 2002, Hal. 19)



Minggu, 17 November 2013

Tafsir Q.S. al-Maidah : 6

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلَاةِ فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ وَامْسَحُوا بِرُءُوسِكُمْ وَأَرْجُلَكُمْ إِلَى الْكَعْبَيْنِ وَإِنْ كُنْتُمْ جُنُبًا فَاطَّهَّرُوا وَإِنْ كُنْتُمْ مَرْضَى أَوْ عَلَى سَفَرٍ أَوْ جَاءَ أَحَدٌ مِنْكُمْ مِنَ الْغَائِطِ أَوْ لَامَسْتُمُ النِّسَاءَ فَلَمْ تَجِدُوا مَاءً فَتَيَمَّمُوا صَعِيدًا طَيِّبًا فَامْسَحُوا بِوُجُوهِكُمْ وَأَيْدِيكُمْ مِنْهُ مَا يُرِيدُ اللَّهُ لِيَجْعَلَ عَلَيْكُمْ مِنْ حَرَجٍ وَلَكِنْ يُرِيدُ لِيُطَهِّرَكُمْ وَلِيُتِمَّ نِعْمَتَهُ عَلَيْكُمْ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu sudah mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki, dan jika kamu junub maka mandilah, dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayammumlah dengan tanah yang baik (bersih); sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu. Allah tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu, supaya kamu bersyukur.” (Q.S. al-Maidah : 6)

Tafsirnya :
1.        “Apabila kamu sudah mengerjakan shalat” maksudnya apabila kamu hendak mengerjakan shalat. Ini sama dengan firman Allah Ta’ala, berbunyi :
فَإِذَا قَرَأْتَ الْقُرْآنَ فَاسْتَعِذْ بِاللَّهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ
“Apabila kamu membaca al-Qur’an, maka berlindunglah dari syaithan yang terkutuk.”(Q.S. al-Nahl : 98)

2.        Dhahir ayat wajib berwudhu’ pada setiap shalat yang hendak dilakukan meskipun tidak berhadats, namun al-sunnah menunjukkan memadai dengan satu wudhu’ berdasarkan hadits Nabi SAW dari Amr bin Amiir,  berbunyi :
عَنْ أنَسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قالَ: كَانَ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم يَتَوَضَّأ عِنْدَ كُلِّ صَلاةٍ. قُلْتُ: كَيْفَ كُنْتُمْ تَصْنَعُون؟ قال: يُجْزِئُ أحَدَنَا الوُضُوءُ مَا لَمْ يُحْدِثْ.
“Dari Anas r.a. berkata, Nabi SAW berwudhu’ pada setiap shalat, Aku (Amr bin Amiir mengatakan, kalau kalian bagaimana melakukannya, Anas mengatakan, memadai wudhu’ salah seorang dari kami selama tidak berhadats.” (H.R. al-Bukhari).[1]

3.        “Maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku” , maksudnya mengalirkan air atas keduanya. Tidak wajib menggosoknya karena beramal dengan dhahir ayat. Imam Malik mengatakan wajib.[2]Sampai dengan siku” maksudnya siku termasuk dalam anggota yang wajib dibasuh. Dalilnya ijmak ulama dan hadits Abu Hurairah :

أَنَّهُ تَوَضَّأَ فَغََسَلَ يَدَيهِ حتَّى أَشْرَعَ فِي العَضدَيْنِ، وَغَسَلَ رِجْلَيهِ حتَّى أَشْرَعَ فِي السَّاقَيْنِ، ثُمَّ قَالَ: هَكَذَا رَأَيْتُ رَسُول الله - صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسلم - يَتَوَضَّأ
“Sesungguhnya Abu Hurairah berwudhu’ dengan membasuh dua tangannya sehingga masuk pada dua lengan atasnya dan membasuh dua kakinya sehingga masuh dua betisnya, kemudian beliau berkata, “Seperti ini saya melihat Rasulullah SAW berwudhu’.” (H.R. Muslim)[3]
4.        “dan sapulah kepalamu” Dhahir ayat ini, perintah menyapu kepala secara mutlaq tanpa dikaidkan dengan ukuran tertentu. Ini merupakan pendapat golongan Syafi’iyah. Malikiyah dan Hanabilah berpendapat disapu semua kepala, karena ihtiyath. Sedangkan Hanafiyah mengatakan, qadar wajib sapu kepala adalah seperempat kepala dengan argumentasi mengikuti perbuatan Nabi SAW yang menyapu pada ubun-ubunnya,[4] padahal tidak ada ulama yang berpendapat ada kewajiban menyapu khusus pada ubun-ubun.[5]
5.        “dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki,” Qadar yang dibasuh di sini adalah seluruh kakinya, termasuk mata kaki sebagaimana dijelaskan dalam hadits shahih Muslim di atas.
6.        Menyelangi penyebutan antara kaki dan tangan yang sama-sama dibasuh dengan kepala yang disapu mengindikasikan adanya kewajiban tertib antara anggota wudhu’.
7.        “dan jika kamu junub maka mandilah” maksudnya junub dengan sebab bersetubuh atau lainnya. اطَّهَّرُوا di sini dimaknai dengan mandi sekalian tubuh, karena mandi merupakan makna yang dipahami secara mutlaq dari lafazh اطَّهَّرُوا . adapun berwudhu’ hanya membasuh sebagian anggota tubuh.
8.        “dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayammumlah”,  dari penggalan ayat ini dapat dijelaskan sebagai berikut :
a.       maksud sakit di sini adalah sakit yang dapat memudharatkan tubuh apabila disentuh air.
b.      maksud dalam perjalanan adalah perjalanan yang mubah, baik perjalanan panjang atau pendek. Disyaratkan perjalanan mubah berdasarkan qaidah fiqh :
الرخصة لا تناط بالمعصية
“ Rukshah tidak boleh digantungkan atas maksiat.”
c.       kembali dari tempat buang air merupakan isyarat melakukan buang air.
d.      menyentuh perempuan di sini berkemungkinan bermakna menyentuh kulit sebagaimana Ibnu Mas’ud, Ibnu Umar dan al-Sya’bi. Ini merupakan mazhab Syafi’i atau juga dapat bermakna bersetubuh sebagaimana pendapat Ali, Ibnu Abbas dan al-Hasan. Ini merupakan mazhab Hanafi. Para fuqaha berbeda pendapat apakah bersentuhan dengan perempuan meruntuhkan wudhu’?,  :
-          mazhab Hanafi : tidak runtuh wudhu’, baik secara syahwat atau tidak
-          mazhab Syafi’i : runtuh wudhu’, baik secara syahwat atau tidak
-          mazhab Malik : runtuh wudhu’ apabila dengan syahwat dan tidak runtuh apabila tidak dengan syahwat.[6]
e.       Perkara-perkara dalam penggalan ayat ini menjadi sebab berhadats, buktinya ada perintah tayammum apabila wujud perkara-perkara tersebut apabila tidak ada air. Jadi apabila ada air, maka wajib berwudhu’. Namun khusus sakit tetap menjadi sebab berhadats, meskipun ada air.
9.        “maka bertayammumlah dengan tanah yang baik (bersih); sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu.”
Berdasarkan penggalan ayat ini, rukun tayammum adalah menyapu muka dan dua tangan. Dan tentunya niat tayamum menjadi rukunnya berdasarkan dalil lain, yaitu hadits Nabi SAW.
10.    Allah tidak hendak menyulitkan kamu,” menunjukkan bahwa tayamum merupakan rukhsah (hukum karena faktor keringanan), bukan ‘azimah (hukum asal).
Firman Allah yang lain yang menjelaskan masalah tayammum adalah Q.S. al-Nisa’ : 43, berbunyi :
وَإِنْ كُنْتُمْ مَرْضَى أَوْ عَلَى سَفَرٍ أَوْ جَاءَ أَحَدٌ مِنْكُمْ مِنَ الْغَائِطِ أَوْ لَامَسْتُمُ النِّسَاءَ فَلَمْ تَجِدُوا مَاءً فَتَيَمَّمُوا صَعِيدًا طَيِّبًا فَامْسَحُوا بِوُجُوهِكُمْ وَأَيْدِيكُمْ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَفُوًّا غَفُورًا
Dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, maka bertayammumlah dengan tanah yang baik (bersih); sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu. Sesungguhnya Allah Maha Pemaaf dan Pengampun “ (Q.S. Al-nisa’: 43)





[1] Bukhari, Shahih al-Bukhari, Maktabah Syamilah, Juz. I, Hal. 53
[2] Syarbaini, Tafsir Sirajul Munir, Juz. I, Hal. 357
 [3] Ibnu Mulaqqan, Badrul Munir, Maktabah Syamilah, Juz. I, Hal. 672
[4] Ali Shabuni, Rawi’ al-Bayan, Maktabah al-Ghazali, Damsyiq, Juz. I, Hal. 538
[5] Syarbaini, Tafsir Sirajul Munir, Juz. I, Hal. 357
  [6] Ali Shabuni, Rawi’ al-Bayan, Maktabah al-Ghazali, Damsyiq, Juz. I, Hal. 487

Talqin Mayat

Talqin mayat ada dua macam, yaitu :
1. talqin sebelum peguburan, yaitu dimana seseorang sedang menghadapi maut.
2. talqin mayat sesudah penguburan.
Yang banyak timbul polemik di tengah masyarakat kita adalah talqin setelah penguburan. Berikut keterangan para ulama mengenai talqin mayat setelah penguburan, antara lain :
1.      Dalam al-Fatawa karangan an-Nawawi, disebutkan :
Adapun talqin sesudah penguburan yang sudah menjadi kebiasaan di negeri Syam, menurut pendapat yang terpilih adalah mustahab (dianjurkan). Diantara yang menganjurkan dari kalangan ashhab kita adalah al-Qadhi Husain, Abu Sa’id  al-Mutawalli, Syaikh Abu al-Fath Nashr al-Muqaddisy al-Zahid, Abu Qasim al-Rafi’i dan lainnya.” [1]

2.      Berkata Zainuddin al-Malibary :
Sunat talqin mayat yang sudah baligh, meskipun dia orang syahid sesudah sempurna penguburan[2]

3.      Muhammad ar-Ramli dalam Fatawanya, beliau berkata :
Talqin mayat yang bukan anak-anak dan seumpamanya adalah sunat dan itu setelah dikebumikan” [3]

4.      Sayyed al-Bakri al-Damyathi berkata [4]:
Aku telah melihat dalam Hasyiah Barmawi ala Sinmim: disunatkan talqin mayat sesudah dikebumikan dan meratakan tanah”.

5.      Al-Shakawy, salah seorang tokoh Mazhab Syafi’i mengatakan :
Sesungguhnya kalangan Mazhab Maliki sepakat dengan kita juga mengenai dianjurkan talqin sesudah mati. Diantara yang menerangkannya dari kalangan mereka adalah Qadhi Abu Bakar bin al-Arabi. Beliau mengatakan, ”Itu merupakan perbuatan penduduk Madinah, orang-orang shalih dan pilihan dan di sisi kita berlaku amalan tersebut di Qurthubah. Adapun dikalangan Mazhab Hanafi, maka terjadi perbedaan pendapat dikalangan tokoh-tokoh mereka sebagaimana dalam sebagian kitab mereka, yaitu al-Muhith. Demikian juga terjadi perbedaan pendapat dikalangan Mazhab Hanbali.[5]


Berdasarkan keterangan di atas, nampak jelas bahwa pendapat disunnatkan talqin orang yang sudah meninggal dunia tersebar dalam mazhab yang empat. Berikut dalil-dalil yang menyatakan sunat talqin orang sudah meninggal dunia atau sesudah penguburan antara lain :
1.      Firman Allah Ta’ala
وَذَكِّرْ فَإِنَّ الذِّكْرَى تَنْفَعُ الْمُؤْمِنِينَ
Artinya : Dan berikanlah peringatan! Sesungguhnya peringatan itu bermanfaat bagi orang mukmin”. (Q.S. al-Zariyaat : 55)

Memberi peringatan kepada orang mukmin tidak dibatasi hanya pada orang masih hidup, tetapi juga berlaku bagi orang yang sudah meninggal
2.      Hadits Nabi :

ﺇﻥﺍﻠﻌﺒﺩ ﺇﺫﺍﻭﻀﻊ ﻔﻰﻗﺒﺭﻩ ﻭﺘﻭﻠﻰﻋﻨﻪ ﺃﺼﺤﺎﺒﻪ ﺃﻨﻪ ﻴﺴﻤﻊ ﻗﺭﻉ ﻨﻌﺎﻠﻬﻡ ﻓﺄﺫﺍﺍﻨﺼﺭﻓﻭﺍ ﺃﺘﺎﻩ ﻤﻠﻜﺎﻥ
Artinya : Seorang hamba apabila diletak dikuburnya, berpaling dan pergi sahabat-sahabatnya sehingga dia mendengar suara sandal mereka maka datang dua orang malaikat (H.R. Muslim) .[6]

Berdasarkan hadits ini, orang yang sudah meninggal dunia dapat mendengar suara yang berasal dari manusia yang masih hidup. Dengan demikian, maka peringatan dalam bentuk talqin juga dapat didengar dan bermanfaat bagi yang sudah meninggal dunia

3.      Hadits Nabi Riwayat Thabrani dari Abu Umamah, beliau berkata :
إذا أنا مت فاصنعوا بي كما أمر رسول الله صلى الله عليه و سلم فقال إذا مات أحد من إخوانكم فسويتم التراب على قبره فليقم أحدكم على رأس قبره ثم ليقل : يا فلان بن فلانة . فإنه يسمعه ولا يجيب . ثم يقول : يا فلان بن فلانة . فإنه يستوي قاعدا . ثم يقول : يا فلان بن فلانة . فإنه يقول : أرشدنا رحمك الله - ولكن لا تشعرون - فليقل : اذكر ما خرجت عليه من الدنيا شهادة أن لا إله إلا الله وأن محمدا عبده ورسوله وأنك رضيت بالله ربا وبالإسلام دينا وبمحمد نبيا وبالقرآن إماما فإن منكرا ونكيرا يأخذ كل واحد منهما بيد صاحبه ويقول : انطلق بنا ما نقعد عند من لقن حجته فيكون الله حجيجه دونهما فقال رجل : يا رسول الله فإن لم يعرف أمه ؟ قال فينسبه إلى حواء يا فلان بن حواء
Artinya : Apabila aku meninggal dunia, maka lakukanlah atasku sebagaimana perintah Rasulullah SAW. Rasulullah bersabda :Apabila mati seseorang dari saudara kamu, ratakanlah tanah atas kuburannya. Berdirilah salah seorang kamu atas kuburannya. Kemudian berkatalah : hai pulan bin pulanah, maka sesungguhnya dia mendengar tetapi tidak dapat menjawab. Kemudian berkatalah : hai pulan bin pulanah, maka sesungguhnya dia duduk dengan bersela. Kemudian berkatalah : hai pulan bin pulanah, maka dia berkata : berikanlah petunjuk untukku, mudah-mudahan Allah memberi rahmat kepadamu, tetapi kamu tidak mengetahuinya. Maka katakanlah : Ingatlah keadaan kamu ketika keluar dari dunia, yaitu : syahadah bahwa tidak ada tuhan selain Allah dan bahwa Muhammad adalah hamba dan Rasul Allah. Dan sesungguhnya kamu redha Allah sebagai tuhan, Islam sebagai agama, Muhammad sebagai Nabi dan Al-Qur’an sebagai ikutan. Sesungguhnya Munkar dan Nakir saling berpegang tangan satu sama lain berkata : mari kita pergi!, apa kita duduk di sisi orang yang diperingatkan hujjahnya. Allah menjadi hujjahnya bukan kedua malaikat itu. Seorang laki-laki berkata :Ya Rasul Allah!, Bagaimana jika tidak diketahui nama ibunya ?. Rasul Allah menjawab : bangsakan kepada Hawa dan katakan Pulan bin Hawa”(H.R. Thabrany) [7]

            Mengenai kedudukan hadits ini dalam pendalilian, berikut kutipan ulama ahlussunnah wal jama’ah mengenai hal tersebut, yaitu :
a.       Syaikh al-Imam Abu Amr bin al-Shalah r.h.m. pernah ditanyai mengenai talqin, beliau menjawab dalam fatawanya :
Kami memilih dan mengamalkan talqin. Pendapat ini juga telah disebut oleh satu jama’ah  ashhab kita (Syafi’iyah) dari Khurasan. Kami meriwayat satu hadits tentangnya dari hadits Abu Umamah, tetapi sanadnya tidak kuat. Namun demikian, hadits tersebut disokong dengan beberapa penyokong dan amalan penduduk negeri Syam tempo dulu.[8]

b.      Berkata Imam Nawawi dalam al-Raudhah :

Hadits tersebut (hadits sebagaimana disebut di atas ) meskipun dha’if, tetapi didukung oleh beberapa penyokong dari hadits-hadits shahih dan senantiasa manusia mengamalkannya mulai masa awal pada zaman orang-orang yang diikuti.[9]

c.       Al-Hafidh al-Sakhawy telah menulis pembahasan talqin yang didalamnya berisi kutipan-kutipan dari imam empat yang menyatakan dianjurkan talqin. Beliau melakukan pembahasan secara panjang lebar tentang hadits talqin dan syawahid (penyokongnya). Dalam kitab tersebut beliau menyebut lebih sepuluh syawahid hadits talqin.[10]
d.      Imam Nawawi dalam al-Fatawa mengatakan :
Hadits ini (hadits sebagaimana disebut di atas) diriwayat oleh Thabrany dalam Mu’jamnya dan berpredikat hadits dha’if, tetapi ditoleransikan pengamalannya. Para ulama hadits dan lainnya telah sepakat adanya toleransi mengamalkan hadits-hadits fadhail, targhib dan tarhib. Aku telah membahas ini  dengan dalil-dalil berupa hadits yang telah aku jelaskan dalam Syarah al-Muhazzab. Dan senantiasa penduduk negeri Syam dengan amalan ini mulai zaman ulama-ulama yang sering diikuti sampai dengan sekarang”.[11]

4.      Hadits riwayat dari Abu Said al-Khudry, Rasulullah SAW berkata :

لقنوا موتاكم لا إله إلا اللّه
Artinya : Talqinlah orang meninggal diantara kamu dengan Laa ilaha illallah (H.R. Muslim)[12]

            Kalangan Syafi’i menjadikan dhahir hadits ini menjadi dalil sunat talqin sesudah mati.[13] Sebagian ulama mengatakan :
 ”Sabda Nabi SAW : ”Laqinuu mautakum La ilaha illallah” merupakan dalil atas talqin sesudah mati, karena hakikat mayit adalah orang yang sudah mati”[14]








[1] An-Nawawi, al-Fatawa, Hal. 42. Pernyataan serupa  ini, juga beliau sebutkan dalam Kitab al-Azkar, al-Haramain, Singapura, Hal. 148
                [2] .Zainuddin al-Malibary,  Fathul Muin, dicetak pada Hamisy I’anah at-Thalibin, Thaha Putra, Semarang, Juz II, Hal. 140
                [3] .Muhammad ar-Ramli, Fatawa ar-Ramli, dicetak pada hamisy al-Fatawa al-Kubra al-Fiqhiah, Juz. II, Hal. 38
                [4] Sayyed al-Bakri al-Damyathi, I’anah at-Thalibin, Thaha Putra, Semarang, Juz II, Hal. 140
[5] Ibnu Alan, Darul Falihin, Maktabah Syamilah, Juz. VI, Hal. 214
                [6] Imam Muslim, Shahih Muslim, Maktabah Dahlan, Indonesia, Juz. IV,  Hal. 2200
[7] Al-Haitsamy, Majma’ al-Zawaid, Darul Fikri, Beirut, Juz. III, Hal. 163, No. Hadits : 4248
[8] An-Nawawi,  al-Azkar, al-Haramain, Singapura, Hal. 148
[9] Bujairumi, Hasyiah al-Bujairumi ‘ala Khathib, Maktabah Syamilah, Juz. VI, Hal. 195
[10] Muhammad bin Alan al-Shadiqi al-Syafi’i, Futuhah al-Rabbaniyah, Dar Ihya al-Turatsi al-Araby, Beirut, Juz. IV, Hal. 194
[11] An-Nawawi, al-Fatawa, Hal. 43
[12] Imam Muslim, Shahih Muslim, Maktabah Syamilah, Juz. III, Hal. 37
[13] Al-‘Aini, Syarah Sunan Abu Daud, Maktabah Syamilah, Juz. VI, Hal. 65
[14] Zakariya al-Anshari, Asnaa al-Mathalib, Maktabah Syamilah, Juz. I, Hal. 329