( وَالنَّظَرُ ) لغة يقال لمعان منها الإعتبار
والرؤية واصطلاحا ( فِكْرٌ ) وتقدم تفسيره ( يُؤَدِّىْ ) أى يوصل ( إِلَى
عِلْمٍ أَوِْ اعْتِقَادٍ ) والتصريح به من زيادتى ( أَوْ ظَنٍّ ) بمطلوب
خبرى فيها أوتصورى فى العلم
والإعتقاد فخرج الفكر غير المؤدى الى ذلك كأكثر حديث النفس فليس بنظر وشمل التعريف
النظر الصحيح من قطعى وظنى والفاسد فإنه يؤدى الى ذلك بواسطة اعتقاد أوظن كما مر
بيانه وان لم يستعمل بعضهم التأدية الا فيما يؤدى
بنفسه كذا قيل وظاهر انه خاص بتأديته الى الإعتقاد أوالظن لا الى العلم لما
مر فى تعريف الدليل
(Dan nadhar) secara
bahasa dikatakan ada beberapa makna, diantaranya i’tibar dan melihat dan
menurut istilah (adalah pikir) - penafsirannya sudah ada sebelumnya- (yang
mengantarkan) artinya menyampaikan (kepada ilmu atau i’tiqad) – menyebutnya merupakan
tambahanku(1) – (ataupun dhan) kesimpulan yang bersifat khabar pada ilmu, i’tiqad
dan dhan atau tasawwur(2) pada ilmu dan i’tiqad saja(3). Tidak termasuk nadhar,
pikir yang yang tidak mengantarkan kepada demikian itu, seperti kebanyakan
bisikan jiwa, maka hal itu bukanlah nadhar. Devinisi tersebut mencakup nadhar
yang shahih, yang qath’i dan dhanni serta nadhar yang fasid. Nadhar yang fasid
mengantarkan kepada kesimpulan dengan perantaraan i’tiqad atau dhan sebagaimana
yang telah lalu penjelasannya, meskipun sebagian ulama tidak menggunakan lafazh
ta’diyah kecuali dalam hal-hal yang mengantarkannya dengan sendirinya(4)
sebagaimana dikatakan. Dhahirnya sesungguhnya nadhar yang fasid, khusus
mengantarkannya kepada i’tiqad atau dhan, bukan kepada ilmu(5) karena hal yang
telah lalu pada devinisi dalil.
Penjelasan
(1). Tambahan dengan menyebut
“i’tiqad”. Ashal hanya mengatakan, “nadhar adalah pikir yang mengantarkan kepada ilmu atau
dhan”. [1]
(2). Tasawwur adalah memahami makna
suatu lafazh yang tunggal, bukan yang yang tersusun, seperti memahami seseorang
yang tertentu dari lafazh “Muhammad” sebagai namanya. Muhammad adalah lafazh
tunggal.
(3). Tidak ada dhan di sini, karena
dhan adalah hukum, karena itu dhan tidak berhubungan dengan kesimpulan yang
bersifat tasawwur.[2]
(4), Lafazh ta’diyah di sini adalah
lafazh “yuaddi” pada devinisi nadhar.
(5). Karena ilmu hanya berasal dari
nadhar yang shahih.
[1] Ibnu
al-Subki, Jam’u al-Jawami’. Dicetak dalam Hasyiah al-Banany ‘ala Syarh
Jam’u al-Jawami’, Dar Ihya al-Kutub
al-Arabiah, Indonesia, Juz. I, Hal. 141-143
[2]
Abdrrahman al-Syarbaini, Taqrir al-Syarbaini, dicetak pada hamisy
Hasyiah al-Banany, Dar Ihya al-Kutub al-Arabiyah, Indonesia, Juz. I, Hal. 144
Tidak ada komentar:
Posting Komentar