Kamis, 14 Juli 2011

Shalat Jum’at bertepatan dengan shalat hari raya

Para ulama berbeda pendapat mengenai hukum shalat Jum’at yang bertepatan dengan Shalat Raya. Syafi’i dan pengikutnya berpendapat jatuh hari raya pada hari Jum’at tidak menghilangkan kewajiban Shalat Jum’at pada hari tersebut atas penduduk yang ada sekitar mesjid (penduduk balad). Pendapat ini juga merupakan pendapat Usman bin Affan, Umar bin Abdul Aziz dan jumhur ulama. Itha’ bin Abi Ribaah berpendapat atas penduduk balad maupun penduduk dusun tidak wajib shalat Jum’at, shalat Dhuhur dan lainnya kecuali shalat ‘Ashar pada hari tersebut. Menurut Ibnu Munzir pendapat ini juga merupakan pendapat Ali bin Abi Thalib dan Ibnu Zubair. Ahmad mengatakan gugur shalat Jum’at atas penduduk balad maupun penduduk dusun, tetapi wajib atas mereka shalat Dhuhur. Abu Hanifah berpendapat Jum’at tidak gugur sama sekali, baik atas penduduk balad maupun penduduk dusun. 1 Pendapat Abu Hanifah ini juga merupakan pendapat sebagian ulama dari kalangan Syafi’i yang masuk dalam katagori dha’if. 2
Sebagaimana disebut di atas, menurut Mazhab Syafi’i bertepatan hari raya pada hari Jum’at tidak menghilangkan kewajiban Shalat Jum’at pada hari tersebut atas penduduk yang ada sekitar mesjid (penduduk balad). Adapun penduduk yang dusun (ahlu qura) yang jauh dari mesjid diberikan keringan tidak melakukan shalat Jum’at pada hari itu. Berikut keterangan ulama Mazhab Syafi’i mengenai shalat jum’at yang bertepatan dengan shalat hari raya, antara lain :

1.Imam Syafi’i dan pengikutnya mengatakan :
“Apabila bertepatan hari Jum’at dan Hari ‘Id, sedangkan penduduk dusun yang wajib Jum’at atas mereka karena sampai suara azan balad kepada dusun mereka, hadir melaksanakan shalat ‘Id, maka pada ketika itu, atas penduduk balad tidak gugur kewajiban shalat Jum’at dengan tanpa khilaf. Sedangkan atas penduduk dusun, terdapat dua pendapat (wajh) ; Yang shahih dan yang dinash oleh Syafi’i dalam al-Um dan pendapat qadim, atas penduduk dusun gugur kewajiban shalat Jum’at.” 3

2. Imam Sya’rany mengatakan :
“Termasuk perbedaan pendapat ulama, qaul Syafi’i yang mengatakan apabila jatuh bersamaan hari raya pada hari Jum’at, maka tidak dapat menggugurkan shalat Jum’at dengan sebab melakukan shalat hari raya atas penduduk balad tersebut berbeda halnya untuk penduduk dusun ”.

Selanjutnya Sya’rani menjelaskan dalil pendapat ini adalah bahwa shalat hari raya dan shalat Jum’at tidaklah mudakhalah (salah satunya menampung yang lain). Zhahir syari’at, kita dituntut dengan setiap keduanya pada hari tersebut, yaitu sunnat pada shalat hari raya dan wajib pada shalat Jum’at. 4
3. Berkata al-Ruyani :
“Apabila berhimpun hari raya dan jum’at, maka tidak dapat mengugurkan fardhu Jum’at dari penduduk balad.” 5

Tidak menggugurkan jum’at yang bertepatan dengan hari raya karena dhahir firman Allah Q.S. al-Jum’at : 9 berlaku kapan saja dan dengan keadaan bagaimana saja. Ayat tersebut berbunyi :

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا إِذَا نُودِيَ لِلصَّلَاةِ مِنْ يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا إِلَى ذِكْرِ اللَّهِ وَذَرُوا الْبَيْعَ ذَلِكُمْ خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ
Artinya : Hai orang-orang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat Jum'at, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahuinya.(Q.S. al-Jum’ah : 9)

Alasan lain adalah shalat Jum’at merupakan sebuah kewajiban agama. Suatu kewajiban agama tidak boleh ditinggalkan hanya karena suatu amalan sunnah, yaitu shalat hari raya. Kedua alasan ini telah disebut al-Ruyani dalam Bahrul Mazhab.6

Dua hadits di bawah ini dijadikan dalil oleh sebagian ulama yang berpendapat bahwa shalat hari raya menggugurkan kewajiban shalat Jum’at apabila hari raya bertepatan dengan hari Jum’at, yaitu antara lain :
1. Hadits Nabi SAW
عن إياس بن أبي رملة الشامي قال شهدت معاوية بن أبي سفيان وهو يسأل زيد بن أرقم قال
أشهدت مع رسول الله صلى الله عليه و سلم عيدين اجتمعا في يوم ؟ قال نعم قال فكيف صنع ؟ قال صلى العيد ثم رخص في الجمعة فقال " من شاء أن يصلي فليصل
Artinya : Dari Iyaas bin Abi Ramalah al-Syami, beliau berkata aku telah menyaksikan Mu’awiyah bin Abi Sufyan bertanya kepada Zaid bin Arqam, Mu’awiyah berkata : “Apakah engkau ada menyaksikan pada masa Rasulullah SAW berhimpun dua hari raya pada satu hari ? Zaid bin Arqam menjawab : “ya”. Kemudian Mu’awiyah bertanya lagi : “Bagaimana yang dilakukan Rasulullah ? “Rasulullah melakukan shalat hari raya dan membolehkan tinggal shalat Jum’at” jawab Zaid bin Arqam. Maka berkata Mu’awiyah : “Barangsiapa yang menginginkan shalat, maka hendaknya dia shalat”. (H.R. Abu Daud) 7

2. Hadits Nabi SAW
قد اجتمع في يومكم هذا عيدان فمن شاء أجزأه من الجمعة وإنا مجمعون
Artinya : Sesungguhnya pada hari ini telah berhimpun dua hari raya. Barang siapa yang menginginkan, maka memadai untuk Jum’at. Tetapi sesungguhnya kami melaksanakan Jum’at. (H.R. Abu Daud) 8

Untuk menjawab pendalilian ini, kita jelaskan dulu bagaimana keadaan masjid pada zaman Rasulullah. Pada zaman beliau masjid jami` (masjid besar yang digunakan untuk shalat jum`at) hanya ada di pusat kota Makkah atau Madinah, sedangkan yang di desa-desa/pedalaman hanya ada masjid-masjid kecil, atau sering disebut mushalla, yang tidak mampu menampung jumlah besar jamaah yang datang untuk shalat jum`at atau shalat Ied. Oleh karena itu, masyarakat yang tinggal di desa/pedalaman bila ingin melaksanakan shalat Jum`at atau Ied, mereka pergi ke masjid besar, atau yang sering disebut masjid jami'. Mereka memerlukan perjalanan yang cukup meletihkan untuk pergi ke masjid jami` tersebut. Suatu ketika hari raya bertepatan jatuh pada hari jum`at. Ini yang menyebabkan orang-orang yang tinggal di desa merasa kerepotan, karena harus pergi ke masjid jami' dua kali dalam sehari, padahal perjalanan yang ditempuh terkadang cukup jauh. Bila mereka harus menunggu di masjid sampai waktu jum`at, tentu itu terlalu lama bagi mereka. Meskipun begitu sebagian sahabat yang dari pedalaman, ada yang berusaha menunggu di masjid jami' sampai datangnya waktu jum`at. Sebagian lain ada yang kembali ke desa dan kembali lagi waktu shalat Jum'at. Melihat keadaan yang seperti ini, Rasulullah memberikan keringanan kepada penduduk yang tinggal di desa untuk pulang ke desa tanpa perlu balik lagi ke mesjid jami’ untuk melaksanakan shalat Jum’at pada hari raya. Dengan demikian dua hadits di atas tidak dapat menjadi dalil menggugurkan kewajiban shalat Jum’at apabila bertepatan dengan shalat hari raya.

DAFTAR PUSTAKA
1.Al-Nawawi, Majmu’ Syarah Muhazzab, Maktabah al-Irsyad, Yeddah, Juz. IV, Hal. 359
2.Al-Nawawi, Majmu’ Syarah Muhazzab, Maktabah al-Irsyad, Yeddah, Juz. IV, Hal. 358
3.Al-Nawawi, Majmu’ Syarah Muhazzab, Maktabah al-Irsyad, Yeddah, Juz. IV, Hal. 358
4.Abdul Wahab Sya’rani, al-Mizan al-Kubra, Darul Fikri, Juz. I, Hal. 202
5.Al-Ruyani, Bahrul Mazhab, Dar Ihya al-Turatsi al-Araby, Beirut, Juz. III, Hal. 117
6.Al-Ruyani, Bahrul Mazhab, Dar Ihya al-Turatsi al-Araby, Beirut, Juz. III, Hal. 117
7.Abu Daud, Sunan Abu Daud, Darul Fikri, Beirut, Juz. I, Hal. 348, No. Hadits 1070
8.Abu Daud, Sunan Abu Daud, Darul Fikri, Beirut, Juz. I, Hal. 349, No. Hadits 1073

Tidak ada komentar:

Posting Komentar